Anda di halaman 1dari 7

Makalah

Perbedaan antara Hikmah dan Illat Hukum

Oleh :

Taufik Rifal Hasbi (193080003)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALU

FAKULTAS SYARIAH

JURUSAN PERBANDINGAN MADZHAB

TAHUN AJARAN

2021/2022

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Hukum syariat atas suatu fakta ditetapkan melalui nash dan didasarkan pada suatu illat
(motif penetapan hukum), maka hukum syariat dapat diterapkan pada fakta lain yang tidak
ada nashnya yang memiliki illat yang sama. Untuk memahami makna dan hakekat hukum
atau aturan-aturan yang telah disyari‘atkan Allah Swt. bukanlah persoalan yang mudah. Hal
ini dapat dipahami bahwa semua aturan yang telah ditetapkan Allah tersebut, pada akhirnya
Dia sendiri yang mengetahui hakekatnya. Meskipun demikian, kita sangat berkehendak
untuk mengetahui dan memahami keberadaan dan alasan-alasan apa yang
melatarbelakangi penetapan aturan-aturan hukum tersebut.

Berdasarkan pertimbangan akal sehat, bahwa segala ketentuan hukum yang telah
ditetapkan oleh Allah pasti mempunyai alasan-alasan tertentu dan mengandung hikmah
yang hendak dicapai. Sebab, jika tidak demikian, maka ketentuan-ketentuan hukum yang
telah ditetapkan oleh Allah itu tidak ada gunanya dan hal ini tentu tidak boleh terjadi.
Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan
Allah tersebut pasti terkait dengan sebab-sebab yang melatarbelakanginya dan pasti ada
tujuan yang hendak dicapai, yaitu agar terciptanya kemaslahatan dan kebahagiaan bagi
umat manusia dalam kehidupan ini baik di dunia maupun di akhirat nanti.

B. Rumusan Permasalahan

1. Bagaimana Pengertian illat Dan hikmah hukum ?

2. Bagaimana Perbedaan illat dan hikmah hukum ?

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Illat dan Hikmah Hukum

Didalam bidang ini ditegaskan bahwa ‘illat dalam kajian ushul fiqih, merupakan
permasalahan pokok dalam pembahasan kias (qiyas). Ulama usul fiqih menyatakan bahwa
apabila disebut ‘illat maka yang dimaksudkan adalah :

Suatu hikmah yang menjadi motivasi dalam menetapkan hukum, berupa pencapaian
kemaslahatan atau menolak kemudaratan. Misalnya tecapainya berbagai manfaat bagi
orang-orang yang melakukan transaksi jual beli, karena jual beli itu dibolehkan.
Terpeliharanya keturunan yang diakibatkan oleh diharamkannya perzinaan dan
terpeliharanya akal manusia disebabkan diharamkannya meminum khamar.

Sifat zahir yang dapat diukur yang sejalan dengan sesuatu hukum dalam mencapai sesuatu
kemaslahatan baik berupa manfaat untuk manusia maupun menghindari kemudaratan bagi
manusia, karena menolak dan menghindari kemudaratan bagi manusia termasuk suatu
kemaslahatan.

‘Illat adalah suatu hal yang menjadi latar belakang bagi pensyariatan suatu hukum (asy-syaiu
alladzî min ajlihi wujida al-hukm). Dengan kata lain, ‘illat adalah suatu hal yang menjadi
motif (latar belakang) penetapan suatu hukum (al-amr al-bâits alâ al-hukm). ‘Illat disebut
juga ma’qûl an-nash. Dengan itu, akal dapat menghukumi masalah cabang dengan hukum
yang ada pada masalah pokok, karena pada keduanya ada ‘illat yang sama. ‘Illat merupakan
jawaban dari pertanyaan mengapa suatu hukum disyariatkan.

B. Pengertian Hikmah Hukum

Hikmah hukum Yaitu kemashlahatan yang berupa mengambil manfaat atau menghindarkan
kemudlaratan yang hendak diwujudkan oleh syari’at dengan mensyari’atkan hukum itu.
Ciriny-cirinya tidak bergantung kepada hukum. Cirinya adalah tidak bergantung kepada
hukum, baik keberadaan atau ketidakadaanya. Dan Tidak terkontrol, dalam pengertian
bahwa manusia berbeda-beda tentang keberadaan atau ketidak adaannya dan dalam
kaidah-kaidahnya.

E. Perbedaan

Perbedaan ‘Illat dan Hikmah Hukum yaitu yang terkandung dalam suatu hukum bersifat
tidak mengikat, berbeda dengan illat karena suatu hukum yang mengandung illat akan
berkisar seputar itu, ada atau tiada. Dalam kaidah fiqih biasa disebut, al-hukmu yaduuru
ma'al illat wujudan wa 'adaman.

a. Ciri-cirinya

illat itu berkaitan dengan hukum, baik ada atau tidak adanya hukum itu. Karena keterkaitan
hukum dengan hikmah itu mengandung dugaan untuk mewujudkan hikmah dari hukum itu.

Mengaitkan antara illat dengan hukum itu mengakibatkan kepada konsistennya taklif,
menjaga hukum-hukum syari’at dan perinta-perintah syari’at yang umum.

Secara harfiah juga Hikmah hukum mendefinisikan tentang kemashlahatan yang berupa
mengambil manfaat atau menghindarkan kemudharatan yang hendak diwujudkan oleh
syari’at dengan mensyari’atkan hukum itu. Bahkan Itu adalah merupakan tujuan dari syari’at
yang paling agung.

b. Ciri-cirinya

tidak bergantung kepada hukum, baik keberadaan atau ketidakadaanya. Hal itu adalah
kerena hikmah itu kadang-kadang berupa sesutau yang samar yang sulit untuk diketahui dan
tidak dijadikan sebagai dasar untuk membangun sebuah hukum.

Tidak terkontrol, dalam pengertian bahwa manusia berbeda-beda tentang keberadaan atau
ketidak adaannya dan dalam kaidah-kaidahnya. Contohnya adalah seperti kebolehan
berbuka puasa pada Bulan ramadlan. Hikmahnya adalah untuk menghilangkan kesulitan.
Sedangkan kesulitan itu adalah sesuatu yang bersifat perkiraan yang tidak dapat dijelaskan
kaidahnya. Karena itulah hukum itu tidak bergantung kepadanya. Tetapi bergantung kepada
seautu yang jelas, yaitu bepergian (safar) atau sakit, karena jelasnya nash tentangnya.

d. Dalilnya

Firman Allah :

ِ ‫اص َح َياةٌ َياُأولِي اَأْل ْل َبا‬


َ ُ‫ب لَ َعلَّ ُك ْم َت َّتق‬
‫ون‬ ِ ‫ص‬َ ِ‫َولَ ُك ْم فِي ْالق‬

(Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa). (Al baqqoroh : 179)

Perbedaan ‘Illat dan Hikmah Hukum

Hikmah yang terkandung dalam suatu hukum bersifat tidak mengikat, berbeda dengan illat
karena suatu hukum yang mengandung illat akan berkisar seputar itu, ada atau tiada. Dalam
kaidah fiqih biasa disebut, al-hukmu yaduuru ma'al illat wujudan wa 'adaman.
Salah satu contoh hikmah adalah disyariatkannya mandi bagi orang yang berhadas besar,
karena seseorang setelah bersetubuh atau keluar sperma mengakibatkan lemah dan
loyonya kondisi tubuh dan dengan mandi bisa segar kembali. Ini hikmah, dan kalau orang
mandi tetapi tidak segar juga tidak akan mempengaruhi ketetapan hukum yang ada.

Sedangkan contoh illat adalah Khamar. Illatnya adalah memabukkan. Maka setiap sesuatu
yang bisa mencapai keadaan memabukkan, dihubungkan hukumnya dengan hukum khamar,
tapi tidak disebut sebagai khamar secara langsung.

Selama illat itu ada maka selama itu pula hukum itu berlaku. Karena itu, ada yang perlu
dipahami juga di sini, hukum dasar (al-Ashl) dan hukum cabang (al-Far'u). Dalam
pembahasan ethanol dan sesuatu yang mengandung ethanol dulu saya lihat terjadi
pencampuradukan antara hukum ashal dan hukum cabang.

Hukum dasar ini didapatkan dari penetapan nash. Maka Khamar dengan definisinya yang
sudah diketahui adalah haram sebagaimana ditegaskan oleh nash. Hukum dasar ini, jika
illatnya tidak terdapat hukumnya tetap haram. Karena itu, khamar itu hukumnya haram,
apakah sedikit (tidak memabukkan) atau banyak (memabukkan). Sedangkan hukum cabang
hanya terhubung dengan hukum dasar apabila illatnya ada. Dengan demikian, kalau setiap
buah-buahan atau makanan buatan yang berdasarkan penelitian mengandung seperti
kandungan khamar dalam persentasi yang berbeda-beda tidak dihukumkan haram selama
illat yang mengharamkan itu tidak ada (memabukkan).

Kemudian illat ini tidak sekedar diukur memabukkan secara sederhana begitu saja, namun
diukur dengan standar yang dalam ushul fiqh disebut. Mazhan al-Hukum. Artinya dilihat
potensi suatu kandungan sampai dimana sehingga mencapai illat mengharamkan secara
standar. Kalau secara umum orang makan durian dua karung, tidak terjadi apa-apa, tetapi
ternyata pada si A membuat dia mabuk misalnya, maka ini tidak bisa diukur sebagai illat
bahwa standar durian dua karung itu memabukkan maka haram.

Illat dalam suatu hukum kadang-kadang disebutkan dalam nash seperti Khamar ini misalnya
disebutkan dalam al-Qur`an, juga dijelaskan dalam hadits. Kadang-kadang ada hukum yang
nash tidak menyebutkan illat, namun hokum itu sendiri mengandung atau setelah diteliti
oleh para fuqaha mengandung illat.

Seperti misalnya Shalat Qashar, tidak disebutkan secara tegas kenapa dibolehkan bagi
musafir. Namun konotasi nash mengandung alasan kemudahan dan dibolehkan Qashar
karena masyaqqah (tingkat kesulitan) melaksanakan shalat saat bepergian. Para ulama
kemudian mengukur kira-kira dalam jarak sejauh apa kesulitan itu menjadi standar lalu
boleh menqashar shalat. Muncullah perbedaan pendapat lagi tentang ukuran jarak.

Pada masa modern, perbedaan pendapat ini menjadi semakin rumit. Misalnya bepergiaan
dari Banjarmasin ke Jakarta naik pesawat. Ini tidak sesulit dulu lagi, tetapi secara jarak kalau
menurut ulama dahulu boleh qashar, sekarang apakah masih boleh? Bagi yang mengikuti
pendapat ulama dahulu karena memang jaraknya sudah mencapai boleh qashar, silahkan.
Bagi yang mengikuti pendapat yang lebih melihat illat (artinya standar ulama dahulu dalam
menetapkan illat dengan perkiraan jarak yang mencapai tingkat kesulitan standar
diperbaharui lagi pada masa sekarang), juga silahkan.

Masalah kedua, tingkat kesulitan itu juga terjadi dalam jarak yang terhitung dekat (tidak
mencapai standar ulama dahulu dalam menetapkan kebolehan qashar) seperti misalnya
macet di Jakarta. Apakah pada kasus ini juga boleh qashar? Bagi yang mengikuti standar
ulama dahulu (tidak boleh qashar), silahkan. Bagi yang mengikuti illat (artinya, sudah
tercapai standar kesulitan meski tidak mencapai jarak yang membolehkan qashar), juga

silahkan. Karena mazhan hukumnya sudah bisa dilihat dan dirasakan sendiri secara standar.

Itulah perbedaan antara illat dan hikmah. Kemudian ada hukum-hukum yang memang
ditetapkan secara mutlak dan tidak ada illatnya. Saya kira, ini termasuk keharaman makan
babi, darah, daging yang disembelih tanpa menyebut nama Allah, kewajiban shalat, puasa,
zakat, dan haji, dan hukum-hukum lainnya. Yang muncul di sini pada akhirnya adalah
hikmah, bukan illat. Kenapa babi diharamkan, kenapa darah diharamkan, kenapa daging
yang disembelih tanpa menyebut nama Allah diharamkan? Jawabannya, ya begitu nash
menyebutkan, hukumnya haram. Kenapa shalat lima waktu itu wajib, kenapa puasa, zakat,
haji bagi yang mampu itu wajib? ya wajib aja, begitu yang

ditegaskan oleh nash. Jawabanya dari kenapa ini selanjutnya hanya berupa hikmah. Oh
hikmahnya orang puasa itu begini, hikmah berzakat itu begitu.

BAB III

KESIMPULAN

‘Illat adalah suatu hal yang menjadi latar belakang bagi pensyariatan suatu hukum (asy-syaiu
alladzî min ajlihi wujida al-hukm). Dengan kata lain, ‘illat adalah suatu hal yang menjadi
motif (latar belakang) penetapan suatu hukum (al-amr al-bâits alâ al-hukm). ‘Illat disebut
juga ma’qûl an-nash. Dengan itu, akal dapat menghukumi masalah cabang dengan hukum
yang ada pada masalah pokok, karena pada keduanya ada ‘illat yang sama. ‘Illat merupakan
jawaban dari pertanyaan mengapa suatu hukum disyariatkan.

Hikmah hukum Yaitu kemashlahatan yang berupa mengambil manfaat atau menghindarkan
kemudlaratan yang hendak diwujudkan oleh syari’at dengan mensyari’atkan hukum itu.
Ciriny-cirinya tidak bergantung kepada hukum. Cirinya adalah tidak bergantung kepada
hukum, baik keberadaan atau ketidakadaanya. Dan Tidak terkontrol, dalam pengertian
bahwa manusia berbeda-beda tentang keberadaan atau ketidak adaannya dan dalam
kaidah-kaidahnya.

Perbedaan ‘Illat dan Hikmah Hukum yaitu yang terkandung dalam suatu hukum bersifat
tidak mengikat, berbeda dengan illat karena suatu hukum yang mengandung illat akan
berkisar seputar itu, ada atau tiada. Dalam kaidah fiqih biasa disebut, al-hukmu yaduuru
ma'al illat wujudan wa 'adaman.

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da‘wah al-Islâmîyah, 1990.

Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, Kairo: Dâr al-Fikr al-Arâbî, 1958.

Praja Juhaya S, Filsafat Hukum Islam, Bandung: LPPM, 1995

Dr.Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1976

Hasbi Ash-Shiediddiqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putera, 2001.

Anda mungkin juga menyukai