Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum syariat atas suatu fakta ditetapkan melalui nash dan didasarkan pada
suatu illat (motif penetapan hukum), maka hukum syariat dapat diterapkan pada fakta
lain yang tidak ada nashnyayang memiliki illat yang sama. Untuk memahami makna
dan hakekat hukum atau aturan-aturan yang telah disyari‘atkan Allah Swt. bukanlah
persoalan yang mudah. Hal ini dapat dipahami bahwa semua aturan yang telah
ditetapkan Allah tersebut, pada akhirnya Dia sendiri yang mengetahui
hakekatnya.Meskipun demikian, kita sangat berkehendak untuk mengetahui
dan memahami keberadaan danalasan-alasan apa yang melatarbelakangi penetapan
aturan-aturan hukum tersebut.
Berdasarkan pertimbangan akal sehat, bahwa segala ketentuan hukum
yang telah ditetapkan olehAllah pasti mempunyai alasan-alasan tertentu
dan mengandung hikmah yang hendak dicapai.Sebab, jika tidak demikian,
maka ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah itutidak ada
gunanya dan hal ini tentu tidak boleh terjadi. Dengan kata lain, dapat dinyatakan
bahwasegala ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah tersebut pasti terkait
dengan sebab-sebab yangmelatarbelakanginya dan pasti ada tujuan yang hendak
dicapai, yaitu agar terciptanya kemaslahatandan kebahagiaan bagi umat manusia
dalam kehidupan ini baik di dunia maupun di akhirat nanti.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hikmah dan Illat hukum, serta perbedaannya?
2. Apa yang dimaksud Al-Hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman?
3. Bagaimana penyatuan antara hikmah dan Illat hukum dalam perumusan hukum
islam?
C. Tujuan
1. Agar kita dapat mengetahui pengertian Hikmah dan Illat hukum, serta perbedaan
keduanya.
2. Agar kita tahu apa itu Al-Hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman
3. Agar kita tahu penyatuan antara hikmah dan Illat hukum dalam perumusan hukum
islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hikmah dan Illat Hukum serta perbedaan antar keduanya

1. HIKMAH
Secara bahasa, hikmah berarti kebijaksaan, atau arti yang dalam.
Hikmah juga berati mengetahui keunggulan sesuatu melalui suatu
pengetahuan. Ahli tasawuf mengartikan hikmah sebagai pengetahuan
tentang rahasia allah dalam menciptakan sesuatu.
Ilmuan hukum islam (ulama ushul al fiqh) mendefinisikan hikmah
sebagai suatu motivasi dalam pensyariatan hukum daam rangka mencapai
kemaslahatan dan menolak kemudharatan. Contohnya, jual beli dibolehkan
daam rangka mendapatkan sesuatu manfaaat yang dibutuhkan. Zina
diharamkan dalam rangka memelihara keturunan. Meminum minuman
keras diharamkan dalam rangka memelihara akal. Membunuh diharamkan
dalam rangka memelihara nyawa. Mencuri diharamkan dalam rangka
menjaga harta dan seterusnya. Mereka berkesimpuan bahwa hikmah dari
seluruh hukum yang ditetapkan oleh allah adalah kemaslahatan itu sendiri.
Namun, dari segi kejelasan dan ukurannya, kemaslahatan bisa berbeda
kualias dan tingkatannya. Ada kalanya ia bersifat jelas dan dapat diukur
dan berlaku untuk semua orang, dan ada kalanya ia tidak jelas dan tidak
bisa diukur, sehingga sulit ditangakap oleh nalar manusia, sehingga
diperlukan pemikiran yang mendalam untuk mengetahui/ menangkapnya.
Atas dasar itulah agaknya, kebanyakan penulis arab, termasuk para filsuf
muslim menggunakan kata hikmah sebagai sinonim dari filsafat.
Para ahli berpendapat bahwa intisari filsafat ada dalam al-qur’an,
tetapi al-qur’an bukanlah buku filsafat. Maka, tidak salah bila dikatakan
bahwa hikmah adalah rahasia tersembunyi dari si pembuat syariat (Allah),
yang bisa ditangkap oleh manusia melalui ilham yang dianugrahkan Allah
kedalam jiwa manusia ketika yang bersangkutan bersih dari gangguan
gangguan hawa nafsu, sementara filsafat adalah rahasia syariat yang
ditemukan oleh manusia melalui upaya penalaran akalnya. Jadi, hikmah
yang ditemukan oleh manusia itu bisa disebut sebagai fillsafat syariat, atau

2
filsafat hukum islam.1 . Ciri-ciri hikmah yaitu tidak bergantung kepada
hukum, baik keberadaan atau ketidakadaanya. Hal itu adalah kerena
hikmah itu kadang-kadang berupa sesutau yang samar yang sulit untuk
diketahui dan tidak dijadikan sebagai dasar untuk membangun sebuah
hukum. Tidak terkontrol, dalam pengertian bahwa manusia berbeda-beda
tentang keberadaan atau ketidak adaannya dan dalam kaidah-kaidahnya.
Contohnya adalah seperti kebolehan berbuka puasa pada Bulan ramadlan.
Hikmahnya adalah untuk menghilangkan kesulitan. Sedangkan kesulitan
itu adalah sesuatu yang bersifat perkiraan yang tidak dapat dijelaskan
kaidahnya. Karena itulah hukum itu tidak bergantung kepadanya. Tetapi
bergantung kepada seautu yang jelas, yaitu bepergian (safar) atau sakit,
karena jelasnya nash tentangnya.2

2. ILLAT
Illat yaitu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya ‘illat
hukum inilah, proses mempersamakan ketentuan hukum dilakukan. 3 Ciri-
cirinya illat itu berkaitan dengan hukum, baik ada atau tidak adanya
hukum itu. Karena keterkaitan hukum dengan hikmah itu mengandung
dugaan untuk mewujudkan hikmah dari hukum itu. Mengaitkan antara illat
dengan hukum itu mengakibatkan kepada konsistennya taklif, menjaga
hukum-hukum syari’at dan perintah-perintah syari’at yang umum.
Contohnya tecapainya berbagai manfaat bagi orang-orang yang melakukan
transaksi jual beli, karena jual beli itu dibolehkan. Terpeliharanya
keturunan yang diakibatkan oleh diharamkannya perzinaan dan
terpeliharanya akal manusia disebabkan diharamkannya meminum
khamar. Sifat zahir yang dapat diukur yang sejalan dengan sesuatu hukum
dalam mencapai sesuatu kemaslahatan baik berupa manfaat untuk manusia
maupun menghindari kemudaratan bagi manusia, karena menolak dan
menghindari kemudaratan bagi manusia termasuk suatu kemaslahatan.4

1
Alaidin Koto, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), Hal. 15-16.
2
Harry Firdaus, “Illat Dan Hikmah Hukum” ( Semarang, 2012), Hal. 2.
3
Muhammad syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), Hal.
103.
4
Harry Firdaus, “Illat Dan Hikmah Hukum” ( Semarang, 2012), Hal. 4.

3
3. Perbedaan Illat dan Hikmah hukum
Perbedaan ‘Illat dan Hikmah Hukum yaitu yang terkandung dalam
suatu hukum bersifat tidak mengikat, berbeda dengan illat karena suatu
hukum yang mengandung illat akan berkisar seputar itu, ada atau tiada.
Dalam kaidah fiqih biasa disebut, al-hukmu yaduuru ma'al illat wujudan
wa 'adaman.5

B. Al-Hukmu Yadru ma’a illalihi wujudan wa’adaman.


Alyasa Abu Bakar menyebutkan bahwa illat dilihat dari segi
penggunaannya dibagi menjadi beberapa illat diantaranya yaitu ‘illat
tasyri. Yang dimaksud dengan illat tasyri’i adalah jenis ‘illat yang
digunakan untuk mengetahui apakah suatu ketentuan hukum dapat
diberlakukan terus atau sudah seharusnya berubah, karena ‘illat yang
mendasari telah berubah. Hal iniah yang dinyatakan telah dirumuskan
oleh ulama ushul sebagai dinyatakan oleh Mukhtar Yahya dan
fathurrahman dalam suatu kaidah berikut ini :

‫ال ُح ْك ُم يَ ُدوْ ُر َم َع ال ِعلَ ِة ُوجُوْ دًا َو َع َد ًما‬

“Hukum itu akan selalu berkaitan dengan ‘illatnya, adanya hukum


karena adanya ‘illat dan begitu pula sebaliknya.”

Dalam hubungan ini Abu Yahya Zakariyah al-Anshari bahwa ‘illat itu
merupakan kata kunci dalam melihat hukum syara’ dan beliau
menjelaskan :

ٍ ْ‫بِا َ ْن يُوْ َج َد ال ُح ْك ُم ِع ْن َد ُوجُوْ ِد َوص‬


‫ف َويُ ْع َد ُم ِع ْن َد َع َد ِم ِه‬

“Hukum itu ada ketika adanya sifat (‘illat) dan ketika ‘illat tidak ada
maka hukuman menjadi tidak ada.”

5
Harry Firdaus, “Illat Dan Hikmah Hukum” ( Semarang, 2012), Hal. 4.

4
Dalam perkembangan pemikiran hukum pada setiap periode waktu,
ternyata rumusan kaidah kulliyah ini dalam aplikasinya telah menerapkan
terhadap berbagai kasus atau persoalan hukum. Menurut Alyasa Abu
Bakar, banyak ketentuan hukum yang berubah dan berkembang
berdasarkan kaidah diatas.6

C. Penyatuan Hikmah dan `Illat Hukum dalam Perumusan Hukum Islam


Mengingat hukum itu tidak boleh terlepas dari dalil, maka tidak boleh
pula hukum itu terlepas dari ‘Illat dan Hikmah, sebab pada dasarnya tujuan
utama pensyari’atan hukum Islam adalah meraih kemaslahatan dan menolak
kerusakan (“Daf’ul mafasdi” dan “Jalbul mashaalihi”), baik di dunia maupun
di akhirat. Tujuan inilah yang lazim disebut dengan istilah Hikmah, yaitu:
“Almashlahatu almaqshuudu lisysyaari’i min tasyrii’atil hukmi”
(kemaslahatan yang memang dikehendaki dan dijadikan tujuan oleh syar’i dari
pada mensyari’atkannya pada hukum).
Adapun ‘Illat adalah: “al’illatu washfun fil ashli yutsbitu ‘alaihi hukmuhu
wayu’raqu bihi wujuuduhu fil far’i” (‘illat ialah suatu sifat pada perkara asal
yang dari sifat itu dikeluarkan hukumnya dan dengan perantarnannya
diketahui wujud hukum pada cabangnya).
Dari definisi inilah muncul ketetapan bahwa setiap hukum tidak bisa
terlepas dari suatu ‘Illat atau sebab-sebab yang menjadi “ta’lil al-Hukmi”-nya,
karena yang dimaksud dengan istilah ini adalah:
“Ta’liilul hukmi huwa ta’yiynussababi alladzii syara’a asysyaari’u hukman
binaa an ‘alaihi” (ta’lil al-hukm ialah menentukan suatu sebab yang dijadikan
dasar pijakan bagi syara’ untuk mensyari’atkan suatu hukum).
Oleh sebab itu, untuk mengetahui lebih dalam tentang seluk beluk
Hikmah, diperlukanlah pengetahuan tentang seluk beluk ‘Illat, sebab pada
hakikatnya di dalam ‘Illat itu terkandung suatu Hikmah (Ibid), sehingga pada
akhirnya dapat diketahui bentuk hikmah di balik pensyari’atan hukum, karena
‘Illat berfungsi sebagai pemberi tahu tentang ada dan tidaknya suatu hukum,
dimana dalam perjalanan selanjutnya, jika ‘Illat dari suatu hukum telah dapat
diketahui dan dimengerti, maka dapat juga diketahui dan dimengerti status
6
Romli, Studi Perbandingan Ushul Fiqh, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar), 2014, hlm.162-163

5
hukum masalah-masalah lain yang memiliki kesamaan ‘Illat, tetapi status
hukumnya belum ditegaskan dan dijelaskan oleh nash. Disinilah letak
hubungan yang sangat erat antara Hukum, ‘Illat dan Hikmah, dimana
ketiganya tidak akan terpisahkan apalagi terlepas.
Contoh:
a. Hukum kebolehan meringkas (Qashar) shalat bagi orang yang sedang
dalam perjalanan (safar);
‘Illat; “bepergian”. Setiap safar sejauh ±80km, memperbolehkan
shalat dengan cara Qashar (meringkas) dari empat raka’at menjadi dua
raka’at.
Hikmah; “Adanya dugaan kuat mendapatkan kesulitan
(mazhinnatul masyaqqah) dalam bepergian bagi yang bersangkutan” -
sebab sifat yang ada dalam “bepergian” itu dapat dilihat secara jelas pada
ukuran-ukurannya. Sedang “Hikmah” yang terdapat didalam masalah
adanya dugaan kuat akan terjadi kesempitan, tidak dapat diketahui secara
pasti tentang seberapa jauh bobot nilai dari masyaqqat tersebut. Dari
masalah ini dapat dimengerti, adanya kesulitan (masyaqqah) dijadikan
sebagai ‘Illat Hukum, maka yang terjadi adalah munculnya suatu
ketentuan hukum bahwa kebolehan Qashar itu berlaku tidak hanya bagi
mereka yang sedang bepergian (musafir), tetapi masuk pula ke dalamnya
mereka yang selalu bekerja keras, yang keadaannya membuat mereka
merasa kesulitan (masyaqqah) untuk mengerjakan shalat, sehingga
baginya diperbolehkan meringkas (qashar). Akan tetapi, mereka yang
melakukan perjalanan sangat jauh dengan menggunakan pesawat tanpa
ada kesulitan apapun, tidak diperbolehkan Qashar (Padalah hukum
kebolehan meng-qashar shalat adalah safar sebagai ‘Illatnya; lantaran
dalam safar itu sendiri diduga kuat muncul masyaqqah)

b. Hukum keharaman meminum minuman keras (al-Qur’an dan


terjemahannya, al-Baqarah:219 lalu al-Maidah:90);
‘Illat; “memabukkan”. Yang sifatnya dapat ditangkap oleh panca
indra - Hikmah; “Adanya dugaan kuat muncul tindakan melanggar
hukum yang diluar kesadaran, baik permusuhan maupun kebencian dan

6
lainnya.Oleh sebab itu, dengan mengerti dan mengetahui ‘Illat dan
Hikmah dalam hukum keharaman seperti itu, dapat difahami bahwa setiap
benda yang memiliki ‘Illat dan Hikmah yang sama, dapat dengan
langsung dikatagorikan sebagai “khamr” dengan status hukum haram.
Sekalipun tidak berupa cairan.7

7
Studi Analisis Istinbath para Fuqaha, Drs. Muhammad Ma’shum Zien, M.A., halaman 29-32

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
hikmah berarti kebijaksaan, atau arti yang dalam. Hikmah juga
berati mengetahui keunggulan sesuatu melalui suatu pengetahuan. Ahli
tasawuf mengartikan hikmah sebagai pengetahuan tentang rahasia allah
dalam menciptakan sesuatu.
Illat yaitu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya ‘illat
hukum inilah, proses mempersamakan ketentuan hukum dilakukan. 8 Ciri-
cirinya illat itu berkaitan dengan hukum, baik ada atau tidak adanya
hukum itu. Karena keterkaitan hukum dengan hikmah itu mengandung
dugaan untuk mewujudkan hikmah dari hukum itu
Perbedaan ‘Illat dan Hikmah Hukum yaitu yang terkandung dalam
suatu hukum bersifat tidak mengikat, berbeda dengan illat karena suatu
hukum yang mengandung illat akan berkisar seputar itu, ada atau tiada.
Dalam kaidah fiqih biasa disebut, al-hukmu yaduuru ma'al illat wujudan
wa 'adaman.9

DAFTAR PUSTAKA
8
Muhammad syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), Hal.
103.
9
Harry Firdaus, “Illat Dan Hikmah Hukum” ( Semarang, 2012), Hal. 4.

8
Koto, Alaidin. 2012. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Nasution, Muhammad syukri Albani. 2013. Filsafat Hukum Islam . Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Firdaus, Harry. 2012. Illat Dan Hikmah Hukum. Semarang. Studi Analisis
Istinbath para Fuqaha, Drs. Muhammad Ma’shum Zien, M.A.
Romli. 2014. Studi Perbandingan Ushul Fiqh, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar)

Anda mungkin juga menyukai