Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perkembangan dunia yang semakin maju disertai dengan era globalisasi yang kian
meningkat dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat dalam
beberapa bidang kehidupan masyarakat telah membawa pengaruh yang besar yang dapat
menimbulkan berbagai persoalan-persoalan hukum masyarakat Islam, sebagai suatu
bagian yang tak dapat melepaskan diri dari persoalan persoalan baru yang berkem-bang
dalam masyarakat, terutama jika dikaitkan dengan persoalan-persoalan yang menyangkut
kedudukan hukum suatu persoalan.
Perubahan dan perkembangan dalam kehidupan sosial yang begitu cepat dewasa
ini mau tidak mau menuntut adanya penetapan hukum yang ber-kembang pula, yang
mampu berpacu dengan masa, mampu menjawab berbagai tuntutan masa kini, sehingga
ia dapat sejalan dengan peristiwa yang dihadapi-nya.
Persoalan-persoalan baru yang status hukumya sudah jelas dan tegas yang
dinyatakan dalam Alquran dan hadis tidak akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan
umat Islam. Akan tetapi, banyak persoalan baru yang tidak ditemukan pemecahannya
dalam Alquran maupun dalam hadis secara tekstual. Dalam mengatasi hal ini, Alquran
ataupun hadis sebagai sumber hukum Islam harus ditafsirkan secara kontekstual.
Penafsiran terhadap sumber hukum Islam tidak cukup dengan pemahaman berupa kosa
kata dan kalimat yang tertera dalam nas Alquran atau hadis. Akan tetapi, diperlukan juga
upaya pemahaman berdasarkan kontekstual nilai-nilai yang terkandung di dalam Alquran
maupun hadis itu.
Pemahaman yang pertama disebut lafziyah (zahir nas), biasa juga diistilahkan
dengan tekstual. Cara kedua lazim di-istilahkan dengan maknawiyah, yaitu seorang
mujtahid terkadang mengenyam-pingkan bunyi lafaz dalam teks-teks syariat dan
memberinya pengertian baru meskipun asing bagi lafaz itu.
Pendekatan kebahasaan terhadap sumber hukum Islam dititikberatkan pada
pendalaman sisi kaidah-kaidah kebaha-saan untuk menemukan suatu makna tertentu dari
suatu teks. Maka dalam kajian pendekatan makna atau maqasid syari’ah, kajian lebih

1
dititkberatkan dengan melihat nilai-nilai yang yang berupa kemaslahatan dan keadilan
manusia dalam setiap taklif yang diturunkan Allah  melalui maqasid syari’ah inilah ayat-
ayat dan hadis-hadis hukum yang terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk
menjawab persoalan-persoalan baru yang yang tidak terselesaikan melalui kajian
kebahasaan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu maslahat al-‘ammah sebagai inti dari kebutuhan hidup manusia dalam
bidang dlarury, hajiy, dan tahsiny?
2. Bagaimana mengaplikasian masing-masing kategori dalam kehidupan?

C. TUJUAN
1. Agar mengetahui apa itu maslahat al-‘ammah sebagai inti dari kebutuhan hidup
manusia dalam bidang dlarury, hajiy, dan tahsiny
2. Agar mengetahui cara mengaplikasikan masing-masing kaategori dalam kehidupan

2
BAB II
PEMBAHASAN

Tujuan-tujuan syariah (maqasid as-syari’ah)


Kajian tentang maksud (tujuan) ditetapkannya hukum dalam Islam merupakan
kajian yang sangat menarik dalam bidang ushul fiqh. Dalam perkembangan berikutnya,
kajian ini merupakan kajian utama dalam filsafat hukum Islam. Sehingga dapat dikatakan
bahwa istilah maqasid as-syari’ah identik dengan istilah filsafat hukum Islam (The
Philosophy of Islamic Law). Istilah yang disebut terakhir ini melibatkan pertanyaan-
pertanyaan kritis tentang tujuan ditetapkannya suatu hukum.
Secara lughowi (etimologi), maqasid as-syari’ah terdiri diri dari dua kata yakni
maqasid dan asy-syari’ah. Maqasid berarti kesengajaan atau tujuan. Syari’ah artinya
adalah jalan menuju1 sumber air atau jalan menuju sumber pokok kehidupan. Menurut
istilah (terminologi) maqasid as-syari’ah adalah kandungan nilai yang menjadi tujuan
persyariatan hukum. Jadi, sebagaimana juga yang dikatakan oleh Ahmad al-Rausini
dalam Nazhariyat al-Maqasid ‘inda al-Syatibi, maqasid as-syari’ah adalah maksud atau
tujuan disyariatkannya hukum Islam.
Al syatibi mengatakn bahwa doktrin ini adalah kelanjutan dan perkembangan dari
konsep maslahah sebagaimana telah dicanangkan sebelum masa al-syatibi. Terkait
tentang tujuan hukum Islam, ia akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kesatuan hukum
Islam berarti kesatuan dalam asal-usulnya dan terlebih lagi dalam tujuan hukumnya.
Untuk menegakkan tujuan hukum ini, ia mengemukakan ajarannya tentang maqasid as-
syari’ah dengan penjelasan bahwa tujuan hukum adalah satu, yaitu kebaikan dan
kesejahteraan umat manusia. Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa tidak ditemukan
istilah maqasid as-syari’ah secara jelas sebelum al-Syatibi. Era sebelumnya hanya
pengungkapan masalah illat hukum dan maslahat.
Dalam karyanya al-muwafaqat, al-syatibi mempergunakan kata yang berbeda-
beda berkaitan dengan maqasid as-syari’ah. Kata-kata itu ialah maqasid as-syari’ah, al-
maqasid as-syari’ah fi as-syari’ah dan al-maqasid min syar’I al-hukm. Namun, pada

1
Syukri Muhammad, Filsafat Hukum Islam (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2013), hal. 125

3
prinsipnya semuanya mengandung makna yang sama yaitu tujuan hukum yang
diturunkan oleh Allah SWT.
Menurutnya, sesungguhnya syariat itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan
manusia didunia dan akhirat. Kajian ini bertolak dari pandangan bahwa semua kewajiban
(taklif) diciptakan bahwa dalam rangka merealisasikan kemaslahatan hamba. Tidak
satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai
tujuan sama dengan taklif mala yuthoq (membebankan sesuatu yang tidak dapat
dilaksanakan). Suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada hukum-hukum tuhan.
Kandungan maqasid as-syari’ah adalah pada kemaslahatan. Kemaslahatan itu,
melalui analisis maqasid as-syari’ah tidak hanya dilihat dalam arti teknis belaka, akan
tetapi dalam upaya dinamika dan pengembangan hukum dilihat sebagai sesuatu yang
mengandung nilai-nilai filosofis dari hukum-hukum yang disyariatkan Tuhan kepada
manusia.
Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan didunia dan akhirat, berdasarkan
penelitian para ahli ushul fiqh, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan
diwujudkan. Kelima unsur pokok tersebut adalah agama (hifz al-din), jiwa (hifz al-nafs),
akal (hifz al-aql), keturunan (hifz al-nasl), dan harta (hifz al-mal).
Dalam usaha mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok tersebut, al-
Syatibi membagi kepada tiga tingkatan maqasid atau tujuan syari’ah, yaitu: pertama,
maqasid al-dharuriyat (tujuan primer). Maqasid ini dimaksudkan untuk memelihara lima
unsur pokok dalam kehidupan manusia. Kedua, maqasid al-hajiyat (tujuan sekunder),
maksudnya untuk menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima
unsur pokok menjadi lebih baik. Ketiga, maqasid al-tahsiniyat (tujuan tertier).
Maksudnya agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk penyempurnaan
pemeliharaan lima unsur pokok tersebut.2

Maslahat al-ammah yang terdiri dari:


1. Tujuan primer (al-dlarurly)
Tujuan primer hukum islam ialah tujuan hukum yang mesti ada demi adanya
kehidupan manusia. Apabila tujuan itu tidak tercapai, maka akan menimbulkan

2
Ibid., 126-127

4
ketidak ajegan kemaslahatan hidup manusia didunia dan akhirat, bahkan merusak
kehidupan itu sendiri. Kebutuhan hidup yang primer ini hanya bisa dicapai apabila
terpeliharanya lima tujuan hukum islam yang disebut al-dlaru’riyya’t al-khams atau
al-kulliya’t al-khams, atau sering disebut maqa’sid al-syari’ah, yaitu lima tujuan
utama hukum islam yang telah disepakati bukan saja oleh ulama islam melainkan
juga oleh keseluruhan agamawan. Kelima tujuan itu adalah:
a. Memelihara agama
b. Memelihara jiwa
c. Memelihara akal
d. Memelihara keturunan dan/atau kehormatan
e. Memelihara harta
Tujuan hukum ibadah merujuk kepada pemeliharaan agama, seperti iman,
mengucapkan dua kalimah syahadat, mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah
puasa sibulan ramadhan, dan bentuk-bentuk ibadah lainnya. Tujuan hukum
mu’amalat merujuk kepada pemeliharaan jiwa dan akal serta keturunan dan harta. 3
Tujuan hukum pidana(jinayah) yang meliputi amar makruf nahi munkar merujuk
kembali kepada pemeliharaan keseluruhan tujuan hukum yang bernilai primer.
2. Tujuan sekunder (al-haajiy)
Tujuan sekunder hukum islam ialah terpeliharanya tujuan kehidupan manusia
yang terdiri atas berbagai kebutuhan sekunder hidup manusia itu. Kebutuhan hidup
yang sekunder ini bila tidak terpenuhi atau terpelihara akan menimbulkan kesempitan
yang mengakibatkan kesulitan hidup manusia. Namun demikian, kesempitan hidup
tersebut tidak akan mengakibatkan kerusakan yang menimbulkan kerusakan hidup
manusia secara umum. Kebutuhan hidup yang berifat sekunder ini terdapat dalam
ibadat, adat, mu’amalat, dan jinayat. Terpeliharanya tujuan sekunder hukum islam
dalam ibadat umpamanya, dapat tercapai dengan adanya hukum rukhshah yang
berbentuk dispensasi untuk menjamak dan mengqasar solat bagi mereka yang sedang
dalam perjalanan/safar atau mereka yang tengah mengalami kesulitan, baik karena
sakit dan atau karena sebab lainnya.

3
Juhaya, Filsafat Hukum Islam (Pusat Penerbitan Universitas LPPM-Universitas Islam Bandung: Bandung 1995),
hal. 101

5
Contoh tujuan hukum sekunder dalam adat, seperti adanya kebolehan berburu dan
menikmati segala yang baik-baik selama hal itu dihalalkan, baik berupa makanan,
minuman, sandang, papan, dsb.
Tujuan hukum sekunder dalam bidang mua’malat dapat tercapai, antara lain,
dengan adanya hukum musa’qah dan salam. Musaqah merupakan sistem kerja sama
dalam pertanian, yakni sistem bagi hasil yang dikenal dengan sebutan paroan sawah.
Jual beli salam, yaitu sistem jual beli melalui pesanan dan pembayaran dimuka atau
dikemudian hari setelah terjadi penyerahan barang yang diperjual belikan.
Contoh tujuan hukum sekunder dalam bidang hukum pidana atau jinayat, seperti
adanya sistem sumpah (al-yami’n) dan denda(diyat) dalam proses pembuktian dan
pemberian sanksi hukum atas pelaku tindak pidana.
3. Tujuan tertier (al-tahsi’niy)
Tujuan tertier hukum islam ialah, tujuan hukum yang ditujukan untuk
menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa-apa yang baik dan
yang paling layak menurut kebiasaan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut
akal sehat. Pencapaian tujuan tertier hukum islam ini biasanya terdapat dalam bentuk
budi pekerti yang mulia al-akhla’q al-kari’mah. Budi pekerti atau akhlak mulia ini
mencakup etika hukum , baik etika hukum ibadah, muamalat, adat, pidana atau
jinayah, keperdataan.
Etika hukum ibadah, umpamanya, dicerminkan dengan adanya ketetapan hukum
bersuci atau thaha’rah, menutup aurat, mensucikan dan membersihkan 4 najis dari
tempat ibadah, berhias, melaksanakan kebaikan dalam bentuk sodaqah, dsb.

Etika hukum dalam hukum adat umpamanya, tercermin dengan adanya hukum
dan etika tentang bagaimana seharusnya makan-minum, israf atau berlebihan, dsb.
Etika hukum dalam hukum pidana atau fiqh jinayah, umpamanya, tercermin dengan
adanya ketentuan yang melarang membunuh wanita dalam perang. Etika hukum
tersebut merujuk pada kebaikan dan keutamaan demi tercpainya tujuan-tujuan hukum
yang bersifat primer dan sekunder. Apanila tidak tercapai tujuan hukum tertier

4
Ibid., 102

6
tersebut tidak akan mengakibatkan hilangnya esensi tujuan hukum primer dan
sekunder.5

Aplikasi Masing-Masing Kategori dalam Kehidupan

1. Tujuan Primer (Al-dlarury)


Al-dharuriyyat adalah kebutuhan yang harus terpenuhi agar manusia dapat
bertahan hidup diatas permukaan bumi secara manusia, kalau salah satunya tidak ada
maka hidup manusia akan terancam, berada dalam kesulitan yang sangat besar dan
berkepanjangan dan akan membawa kepada kepunahan. Contoh: kalau pembunuhan
dibiarkan terjadi dan dan tidak ada perlindungan terhadap nyawa manusia, maka
kehidupan manusia dipermukaan bumi akan terancam, karena tidak bisa hidup
tentram, bahkan bisa membawa kepada kepunahan, karena bisa jadi akan saling
membunuh dengan alasan yang sepele atau hanya dengan alasan untuk memuaskan
dendam. Contoh lain kalau pemeliharaan harta tidak ada perlindungan maka manusia
tidak dapat hidup tentram dan tidak dapat dikembang keadaan lebih tinggi dari
keadaan primitif,  dan apabila hal seprti ini tidak ada perlindungan sangat mungkin
suatu saat semua hartanya akan dicuri. Begitu juga dengan keselamtan akal/ hati
nurani, keselamatan keturunan.
2. Tujuan Sekunder (Al-Haajiy)
Keperluan dan kebutuhan ini ada untuk hidup tidak terlalu susah, dan kalaupun
tidak ada maka sebagian manusia akan berada dalam kesulitan tapi tidak sampai
kepada tingkat menyebabkan kepunahan atau sama sekali tidak berdaya. Contoh:
keperluan rumah yang bersifat al-dharuriyyat karena manusia memerlukan untuk
berlindung dari cuaca, atau dari serangan binatang buas dan lain-lain, tempat yang
masuk dalam kategori al-dhaririyyat untuk memenuhi kebutuhan dasariah diatas tidak
musti rumah yang dibuat dari kayu, atau batu yang kokoh, gua atau cabang-cabang
kayu, kemah atau pondok yang seadanya pun dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan dasariah, karena manusai dapat berlindung didalamnya walaupun tentunya
dengan cara yang sederhana dan boleh jadi sama sekali tidak memberikan kemudahan
dan kenyamanan. Jadi keperluan rumah yang dibuat secara khusus dengan dinding

5
Ibid., 103

7
dan atap yang kuat serta lantai yang hangat yang dibagi kepada kamar-kamar dengan
fungsi dan kegunaan yang berbeda masuk kedalam kategori al-hajiyyat.
3. Tujuan Tertier (Al-Tahsiny)
Keperluan dan perlindungan tingkat ketiga ini adalah semua keperluan dan
perlindungan yang diperlukan agar kehidupan lebih nyaman, lebih mudah, dan
seterusnya. Kebutuhan ini kelihatannya tidak menyentuh kepada kegiatan atau suatu
yang menjadi kebutuhan pokok atau subtansial bagi kehidupan, tetapi hanya
berhubungan dengan suatu yang menjadi fasilitas, tata cara atau upaya menghasilkan
barang-barang yang dapat mempermudah pemenuhan dan perlindunga al-dharuriyyat
dan al-hajiyyat yang sudah disebutka diatas. Contoh: tidur diatas kasur, memasak
makanan, menyediakan berbagai berbagai jenis bumbu, menci[takan dan
menggunakan berbagai alat untuk transportasi ,dan sebagainya termasuk kedalam al-
tahsiniyyat.6

6
http://muklasihaha.blogspot.com/2015/01/dharuriyyat-hajiyyat-dan-tahsiniyat-asy.html diakses pada tanggal 30
oktober 2018

8
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Maqasid al syari’ah merupakan kajian utama dalam filsafat hukum islam,
sehingga dapat dikatakan bahwa istilah Maqasid as syari’ah identik dengan istilah
filsafat hukum islam. Menurut terminologi atau istilah maqasid as syari’ah adalah
kandungan nilai yang menjadi persyariatan hukum. Seperti yang dikatakan oleh Ahmad
al-Rausini dalam Nazhariyat al-Maqasid ‘inda al-Syatibi, maqasid as-syari’ah adalah
maksud atau tujuan disyariatkannya hukum islam.
Kandungan maqasid as syari’ah adalah pada kemaslahatan. Kemaslahatan itu,
melalui analisis maqasid as syariah tidak hanya dilihat dalam teknis belaka, akan tetapi
dalam upaya dinamika dan pengembangan hukum dilihat sebagai sesuatu yang
mengandung nilai-nilai filosofis dari hukum-hukum yang disyariatkan.
Maslahat al-ammah yang terdiri dari:
1. Tujuan primer (al-dlarurly)
Tujuan primer hukum islam ialah tujuan hukum yang mesti ada demi adanya
kehidupan manusia. Apabila tujuan itu tidak tercapai, maka akan menimbulkan
ketidak ajegan kemaslahatan hidup manusia didunia dan akhirat, bahkan merusak
kehidupan itu sendiri.
2. Tujuan sekunder (al-haajiy)
Kebutuhan hidup yang sekunder ini bila tidak terpenuhi atau terpelihara akan
menimbulkan kesempitan yang mengakibatkan kesulitan hidup manusia. Namun
demikian, kesempitan hidup tersebut tidak akan mengakibatkan kerusakan yang
menimbulkan kerusakan hidup manusia secara umum.
3. Tujuan tertier (al-tahsi’niy)
Tujuan tertier hukum islam ialah, tujuan hukum yang ditujukan untuk
menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa-apa yang baik dan
yang paling layak menurut kebiasaan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut
akal sehat.

9
10
DAFTAR PUSTAKA

Syukri Muhammad, Filsafat Hukum Islam (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2013)

Juhaya, Filsafat Hukum Islam (Pusat Penerbitan Universitas LPPM-Universitas Islam Bandung:
Bandung 1995)

http://muklasihaha.blogspot.com/2015/01/dharuriyyat-hajiyyat-dan-tahsiniyat-asy.html diakses
pada tanggal 30 oktober 2018

11

Anda mungkin juga menyukai