Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

HUKUM SYARA

DOSEN PENGAMPU :

KHOIRUN NASIKH S.HI.M.HI

DISUSUN OLEH :

FERDY FERDINAND S (210711100056)


UBAID ARIEF (210711100086)
YEROH (210711100095)
EKA MARTHA (210711100003)
ANGGI DYAH CAHYANI (210711100137)
RETNO SULIS STYORINI (210711100035)

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

FAKULTAS KEISLAMAN

HUKUM BISNIS SYARIAH

2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan Hidayah-Nya, kami
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “HUKUM SYARA“. Makalah disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk
menambah wawasan tentang hukum syara.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Nasih selaku dosen mata kuliah Ushul
Fiqh. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, 18 Maret 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................2
BAB I......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN......................................................................................................................4
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH................................................................................. 4
1.2 RUMUSAN MASALAH................................................................................................. 4
1.3 TUJUAN....................................................................................................................... 4
BAB II........................................................................................................................................ 5
PEMBAHASAN........................................................................................................................ 5
2.1 PENGERTIAN HUKUM SYARA.................................................................................. 5
2.2 PEMBAGIAN HUKUM SYARA................................................................................ 7
2.3 AZIMAH DAN RUKHSHAH....................................................................................10
2.4 SAH, BATAL, DAN FASAD................................................................................... 13
2.5 AHLIYAH,................................................................................................................. 13
2.6 FAKTOR-FAKTOR PENGHALANG KECAKAPAN BERTINDAK SECARA
HUKUM,.......................................................................................................................... 13

BAB III.....................................................................................................................................20
PENUTUP................................................................................................................................20
KESIMPULAN.................................................................................................................... 20
SARAN...................................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................. 21

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Hukum syara’ atau hukum islam menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari’
yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang bersangkutan dengan
perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa
ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara atau hukum islam ialah
efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram danmubah

Syariat menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-
hukumyang diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik
hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang
berhubungan dengan amaliyah.

Di dalam Islam, semua umat muslim adalah saudara. Dan kewajiban dari seorang
muslim adalah saling mengingatkan kepada saudara seiman. Jadi bagi anda yang telah
mengetahui pengertian hukum Islam, sangat diharapkan jika anda mengingatkan dan
menyebar luaskan ilmu tersebut terhadap muslim yang lain. Selain medapat pahala
karena berdakwah, anda juga bisa bertukar pikiran dengan orang yang anda ingatkan

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Pengertian Hukum Syara?


2. Pembagian Hukum Syara?
3. Azimah dan Rukhshah?
4. Sah, Batal, dan Fasad ?
5. Ahliyah?
6. Faktor-faktor penghalang kecakapan bertindak secara hukum

4
1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian Hukum Syara
2. Untuk mengetahui pembagian Hukum Syara
3. Untuk mengetahui azimah dan Rukhshah
4. Untuk mengetahui sah, Batal, dan Fasad
5. Untuk mengetahui ahliyah
6. Untuk mengetahui faktor faktor penghalang kecakapan bertindak
secara hukum

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN HUKUM SYARA

Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan” menurut
terminology ushul fiqh, hukum berarti : ⺅ shul rart ϴ s ul ϔ t ϴϴ hl ο l Khitab
(kalam) allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa iqtidla (perintah,
larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi
orang mukalaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan ), atau wadl (ketentuan
yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ (penghalang).

Secara lughawy syariat berarti jalan ke tempat pengairan atau jalan yang sesungguhnya
harus diturut. Syariat juga berarti tempat yang akan dilalui untuk mengambil air di sungai. Kata
syariat terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an seperti dalam surah Al-Maidah ayat 48, Al-Syura
ayat 13, dan Al-Jatsiyah ayat 18, yang pada prinsipnya mengandung arti jalan yang jelas
membawa pada kemenangan. dalam hal ini yang disebut syariat adalah agama Islam.

. Hukum syara’ merupakan satu nama hukum yang disandarkan pada syariat atau syariah.
Yakni suatu ketentuan yang berasal dari Allah SWT dan Rasul, baik dalam bentuk tekstual
maupun hasil pemahaman ulama. Karenanya juga dikatakan berasal dari Al-Qur’an dan Hadis.

Adapun dari segi kesamaan antar syariat Islam dengan jalan air (seperti dalam arti
lughawy di atas) terletak pada bahwa siapa yang mengikuti syariat jiwanya akan mengalir dan
bersih

2.2 PEMBAGIAN HUKUM SYARA

Secara garis besar para ulama Ushul Fiqh membagi hukum


kepada dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh‟i. Hukum
taklifi menurut ahli Ushul Fiqh adalah:

6
“Ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung
dengan perbuatan mukalaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk
melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk “

Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh‟i adalah

“Ketentuan-ketentua hukum yang mengatur tentan sebab, syarat dan mani‟

a. Hukum Taklifi
Seperti dikemukakan sebelumnya, istilah hukum dalam kajian Ushul pada asalnya adalah teks
ayat atau hadits hukum. Teks ayat hukum dan hadits hukum yang berhubungn dengan hukum
taklifi terbagi kepada lima bentuk.

1) Ijab (mewajibkan)
yaitu ayat atau hadits dalam bentuk perintah yang mengharuskan untuk melakukan suatu
perbuatan. Misalnya ayat yang memerintahkan untuk
melakukan shalat dan menunaikan zakat.
2) Nadb (anjuran untuk melakukan)
yaitu ayat atau hadits yang menganjurkan untuk melakukan suatu perbuatan.
3) Tahrim (melarang)
yaitu ayat atau hadits yang melarang
secara pasti untuk meninggalkan suatu perbuatan.
4) Karahah
yaitu ayat atau hadits yang menganjurkan untuk
meninggalkan suatu perbuatan.
5) Ibahah
yaitu ayat atau hadits yang member pilihan seseorang untuk melakukan atau meninggalkan suatu
perbuatan.

b. Hukum Wad’i
Seperti telah diuraikan sebelumnya, hukum wadh‟i adalah ketentuan syariat dalam bentuk
menetapkan sesuatu sebagai sebab, sebagai syarat, atau sebagai mani‟

7
2.3 AZIMAH DAN RUKHSHAH

Para ahli ushul fiqh mendefinisikan ‘azimah dengan :


ht Δϴs˷ l ˯ ˴ ⺅ ˷ ⺅
Artinya : “Hukum yang ditetapkan Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum umum.”
Kata-kata “ditetapkan pertama kali” mengandung arti bahwa pada mulanya pembuat hukum
bermaksud menetapkan hukum taklifi kepada hamba. Hukum ini tidak didahului oleh hukum lain.
Seandainya ada hukum lain yang mendahuluinya, hukum yang terdahulu itu tentu dinasakh
dengan hukum yang datang belakangan. Dengan demikian hukum ‘azimah ini berlaku sebagai
hukum pemula dan sebagai pengantar kepada kemaslahatan yang bersifat umum.

Kata-kata “hukum-hukum kuliyah (umum)” di sini mengandung arti berlaku untuk semua
mukallaf dan tidak ditentukan untuk sebagian mukallaf atau semua mukallaf dalam semua situasi
dan kondisi. Begitu pula kewajiban zakat, puasa, haji, dan kewajiban lainnya.
Dengan demikian hukum ‘azimah adalah hukum yang telah disyariatkan oleh Allah secara
umum sejak semula yang tidak terbatas kepada keadaan tertentu dan pada perorangan (mukallaf)
tertentu.
Shalat lima waktu diwajibkan atas segenap orang disegenap waktu dan keadaan, asal saja
orang itu masih dipandang cukup kuat untuk mengerjakannya. Hukum wajib shalat lima waktu
itu yang dimaksud ‘azimah.
Sedangkan tentang rukhshah ialah :
˷ l 䇇ϴl l 䇇 ⺅ s ˷ϟt l ˷˯ ˷ l
“Hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil, karena adanya uzur”
Kata-kata “hukum” merupakan jenis dalam definisi yang mencakup semua bentuk hukum.
Kata-kata tsabit (berlaku tetap) mengandung arti bahwa rukhshah itu harus berdasarkan dalil
yang ditetapkan pembuat hukum yang menyalahi dalil yang ditetapkan sebelumnya.
Kata-kata “dalil” yang maksudnya adalah dalil hukum, dinyatakan dalam definisi ini agar
mencakup rukhshah untuk melakukan perbuatan yang ditetapkan dengan dalil yang
menghendaki hukum wajib, seperti berbuka puasa bagi musafir, atau yang menyalahi dalil yang
menghendaki hukum sunah seperti meninggalkan shalat jum’at karena hujan dan lainnya.
Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum ‘azimah yang umum berlaku selama ada uzur
yang berat dan kadar perlu saja. Lagi pula hukum ini datangnya kemudian, sesudah ‘azimah.
Umpamanya, hukum makan bangkai di kala tak ada makanan-makanan yang lain. Hukum ini
datang kemudian,

8
sesudah hukum ‘azimah yakni tak boleh makan bangkai. Dan seperti dibolehkan berqashar dalam
safar, datangnya sesudah ditetapkan bahwa shalat dhuhur, ashar dan isya’ itu empat rakaat.
Makan bangkai di kala lapar jika tidak ada makanan yang lain.

Asy Syathibi menetapkan bahwa hukum menjalankan rukhshah itu, boleh.


Dan banyak dalil yang menegaskan demikian. Diantaranya firman Allah SWT :
( : 7l ) Δϴs ˯ aa ύt ϴ ˷ ο ua
Artinya : “. . .tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa
baginya. ...”. (QS. Al Baqarah : 173)

Akan tetapi diantara hukum rukhshah ada yang dituntut kita kerjakan, yaitu bila rukhshah itu
untuk melawan sesuatu kesukaran yang tak dapat dipikul oleh manusia. Kita diwajibkan
berpuasa di bulan Ramadhan. Tetapi, jika kita bersafar diharuskan kita berbuka, karena berbuka
itu hukum yang dirukhshahkan. Akan tetapi, bila berpuasa dalam safar itu, mengakibatkan
kesukaran kita dituntut menjalan rukhshah, tak boleh lagi kita menjalankan ‘azimahnya.
Bersabda Nabi SAW:
( u˴ ) l a ˷䇇 ϴ⺅l 7l ⺅ aϴl
Artinya : “Tidak dipandang kebajikan berpuasa di dalam safar”. (HR. Ahmad).
Dari uraian di atas maka yang dimaksud dengan rukhshah adalah keringanan hukum yang
telah disyariatkan oleh Allah atas mukallaf dalam keadaan tertentu yang sesuai dengan
keringanan tersebut. Atau sesuatu yang disyariatkan karena ada udzur yang memberatkan dalam
keadaan tertentu. Atau diperbolehkannya sesuatu yang dilarang dengan suatu alasan, meskipun
larangan itu tetap berlaku.

1. Macam-macam ‘Azimah
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa azimah ada empat macam, yaitu :

a. Hukum yang disyariatkan sejak semula untuk kemashlahatan umat manusia seutuhnya,
seperti ibadah, muamalah, jinayah dan seluruh hukum yang bertujuan untuk mencapai
kebahagiaan umat di dunia dan di akhirat.

b. Hukum yang disyariatkan karena adanya suatu sebab yang muncul, seperti hukum mencaci
maki berhala atau sesembahan agama lain. Hal ini dilarang oleh Allah, karena orang yang
menyembah berhala atau sesembahannya dicela akan berbalik mencela Allah. Hal ini sesuai
dengan firman Allah SWT dalam Surat Al-An’am ayat 108 :
9
Artinya :“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan…”

c. Hukum yang disyariatkan sebagai pembatal (nasikh) bagi hukum sebelumnya, sehingga
mansukh seakan – akan tidak pernah ada. Status nasikh dalam kasus seperti ini adalah
‘azimah. Misalnya, firman Allah SWT :
( 霸霸 : Q \ D) 鋘D QK D Ϊ˶Π˸ D Q ㌳ eiga emaa i Q 쳌 \ e e aή a
Artinya :“Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah : 144).

Maksudnya ialah Nabi Muhammad SAW sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-
nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah yang sebelumnya
berkiblat ke Baitul Maqdis.

d. Hukum pengecualian dari hukum-hukum yang berlaku umum, seperti firman Allah SWT :
( 霸 : Π D) Ϣή˵ή ˸ϨD Ζ˵ ˴ ˴ D Πe D ˴ ήΖ ϨKή˸ Da
Artinya : “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak
yang kamu miliki”. (QS. An-Nisa : 24)
Dalam ayat ini Allah mengharamkan mengawini para wanita yang telah bersuami dengan
lafaz yang bersifat umum, kemudian dikecualikan dengan wanita-wanita yang menjadi budak.

2. Macam-Macam Rukhshah
Rukhshah dilihat dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi kepada dua, yaitu rukhshah
memperbuat dan rukhshah meninggalkan.

1) Rukhshah memperbuat ialah keringanan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang


menurut asalnya harus ditinggalkan, dalam bentuk ini asal perbuatan adalah terlarang
dan haram hukumnya. Inilah hukum ‘azimahnya. Dalam keadaan darurat atau hajat,
perbuatan yang terlarang menjadi boleh hukunya. Umpamanya boleh melakukan
perbuatan haram karena darurat seperti memakan daging babi dalam keadaan terpaksa.
Contoh melakukan perbuatan haram karena hajat umpamanya melihat aurat bagi calon
suami yang sedang meminang calon istri dalam batas yang tertentu. Pada dasarnya
hukum melihat aurat itu adalah haram berdasarkan ayat Alqur’an surat Al-Nur ayat 30.
Untuk kekalnya jodoh, kedua belah pihak sepatutnya saling mengenal. Untuk maksud
itu diperkenankan keduanya saling melihat. Demikian pula dokter laki-laki melihat
atau memegang pasiennya yang perempuan saat pemeriksaan (diagnosa) kesehatan.
10
2) Rukhshah meninggalkan ialah keringanan untuk meninggalkan perbuatan yang
menurut hukum ‘azimahnya adalah wajib atau nadb (sunnat). Dalam bentuk asalnya,
hukunya adalah wajib atau sunnat. Tetapi dalam keadaan tertentu si mukallaf tidak
dapat melakukannya dengan arti bila dilakukannya akan membahayakan terhadap
dirinya. Dalam hal ini dibolehkan dia meninggalkannya. Umpamanya kebolehan
meninggalkan puasa Ramadhan bagi orang sakit atau dalam perjalanan firman Allah
dalam surat al Baqarah ayat 184. Dalam bentuk lain umpamanya keharusan shalat
empat rakaat dapat dilakukan dua rakaat dalam keadaan tertentu, yaitu dalam
perjalanan, berdasarkan firman Allah dalam al Nisa’ ayat 101. Termasuk pula ke
dalam ruskhshah ditinjau dari segi hukum asalnya shalatmu.

3) Ruskhshah dalam meninggalkan hukum-hukum yang berlaku terhadap umat sebelum


Islam yang dinilai terlalu berat dilakukan umat Nabi Muhammad, sebagaimana
dipahami dari firman Allah surat al Baqarah 286. Umpamanya membayar zakat yang
kadarnya ¼ dari harta; bunuh diri sebagai cara untuk tobat; memotong pakaian yang
terkena najis sebagai cara untuk membersihkannya; dan keharusan sembahyang dalam
mesjid yang berlaku dalam syari’at Nabi Musa. Bila diperhatikan keringanan hukum
dalam hal ini dibandingkan dengan yang berlaku sebelumnya, lebih tepat disebut
nasakh; meskipun demikian dalam artian luas dapat pula disebut ruskhshah.

4) syarat-syarat yang ditentukan. Adanya ruskhshah ini disebabkan oleh kebutuhan


umum. Umpamanya jual beli ‘ariyah yaitu menukar kurma basah dengan kurma
kering dalam ukuran yang berbeda padahal keduanya satu jenis. Hal ini menyalahi
ketentuan umum dalam tukar menukar barang yang sejenis dalam ukuran yang
berbeda. Contoh lain adalah jual beli saham. Hal ini menyalahi ketentuan umum yang
melarang menjual sesuatu yang tidak ada di tangan.

2.4 SAH BATAL DAN FASAD

1. Shah
Pengertian shah yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah “sah” – digunakan
secara mutlak dengan dua pandangan : Dimaksud dengan shah bahwa perbuatan itu
mempunyai pengaruh dalam kehidupan dunia atau dengan arti perbuatan itu mempunyai
arti secara hukum. Dimaksud dengan “sah” bahwa perbuatan itu mempunyai pengaruh
atau arti untuk kehidupan akhirat; seperti berhaknya atas pahala dari Allah swt. Bila
dikatakan perbuatan itu diharapkan mendapat pahala diakhirat.
11
Baik dalam pengertian pengaruh dalam tinjauan dunia atau akhirat, maka suatu
perbuatan dikatakan sah bila perbuatan itu dilakukan sesudah ada sebab, terpenuhi
rukun dan telah terhindar dari segala bentuk mani’. Dari keterangan di atas dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksdu dengan shah- baik dalam bidang ibadat atau
muamalah – adalah ; telah mencapai tujuan”. Artinya tuntutan berbuat untuk mengikuti
tujuan dari hukum itu dibenarkan Allah. Tujuan itu telah tercapai bila hukum telah
terlaksana. Pencapaian tujuan di sini berbeda antara ibadat dan akad pada muamalah.

2. Batal
Batal yang ada dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah “batal” – yaitu kebalikan
dari sah. Batal juga mempunyai dua arti dilihat dari segi dalam bidang apa kata bathal
itu digunakan : a. Batal digunakan untuk arti “tidak berpengaruhnya perbuatan bagi
pelaku dalam kehidupan di dunia”. Arti ini berbeda dalam ibadat, muamalah dan akad.
Arti batal dalam ibadat adalah bahwa ibadat itu tidak memadai dan belum melepaskan
tanggung jawab serta belum menggugurkan kewajiban qadha’. Ibadat dikatakan batal
bila menyalahi tujuan Syari’ dalam menetapkan amalan itu. Bertentangan dengan
maksud syarak itu terkadang mengenai materi ibadat itu sendiri, seperti tidak cukup
rukun dan syaratnya, atau terdapat mani’, dan terkadang juga mengenai sifat luar yang
terlepas darinya. Muamalah dikatakan batal dalam arti tidak tercapai arti atau manfaat
yang diharapkan secara hukum¸ yaitu adanya peralihan hak milik atau menghalalkan
hubungan yang semula 108 ILMU USHUL FIQH haram. Biasanya hal-hal yang
mengenai muamalah atau akad itu menyangkut kepentingan di dunia dan oleh
karenanya pembicara di sini dilihat dari dua hal :
1) Dari segi perbuatan itu termasuk hal-hal yang diizinkan atau disuruh oleh Syari’
2) Dari segi kembalinya kepentingan hamba (manusia)

3. Fasad
Fasad merupakan kebalikan dari shah. Istilah ini tidak berlaku di kalangan jumhur
ulama karena bagi mereka, fasid mempunyai arti yang sama dengan batal, baik dalam
bidang ibadat maupun muamalah. Pengertian fasid hanya berlaku di kalangan ulama
Hanafiyah; itupun hanya dalam bidang muamalah ini ada perbedaan antara fasid dengan
batal. Dengan demikian, terdapat kesamaan pendapat dalam hal penamaan batal dengan
fasid dalam ibadat, yaitu sesuatu perbuatan yang dilakukan tidak memenuhi rukun dan
syarat, atau belum berlaku sebab atau terdapat mani’.

12
Dalam bidang akad atau muamalah terdapat kesepakataan ulama dalam penggunaan arti
sah, yaitu ;” suatu akad yang telah memenuhi syarat-syarat yang melengkapi sebab dan
tidak terdapat ILMU USHUL FIQH 107 padanya halangan apa pun”. Tetapi dalam
menetapkan hukum tidak sah terdapat perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama akad
yang tidak sah itu hanya ada satu macam ; tidak berbeda antara batal dan fasid, baik
kekurangan pada rukun maupun pada syarat dan sifatnya. Menurut ulama Hanafiyah
bila kekurangan atau kesalahan terdapat pada rukun dari suatu akad, perbuatan itu
disebut batal dan tidak memberi bekas apa-apa, karena tidak terdapat sebab dan dengan
sendirinya tidak membawa akibat hukum. Dalam perkawinan umpamanya, tidak ada
salah satu pihak yang berakad. Apabila kekurangannya atau kesalahan terdapat pada
salah satu syarat di antara syarat yang berkaitan dengan hukum disebut fasid. Dalam
bentuk ini perbuatan dapat berlangsung karena telah menghasilkan sebagian akibat
dengan telah adanya sebab bagi hukum itu. Tetapi karena tidak sempurna, maka harus
disempurnakan kemudian. Dalam nikah umapanya belum terdapat mahar. Akad nikah
dapat

2.5 AHLIYAH

Dari segi etimologi, ahliyyah berarti “kecakapan menangani suatu urusan”. Misalnya,
seseorang dikatakan ahli untuk menduduki suatu jabatan atau posisi berarti ia punya
kemampuan pribadi untuk itu. Adapun ahliyyah secara terminologi ialah : “Suatu sifat yang
dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah
cakap dikenai tuntutan syara’.”
Maksudnya, ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani
dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh Syara’. Apabila seseorang telah
mempunyai sifat ini, maka ia dianggap telah sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti
transaksi yang bersifat menerima hak dariorang lain. Oleh sebab itu, jual belinya sah, hibahnya
sah, dan telah cakap untuk menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah dan menjadi saksi.
Sifat kecakapan bertindak hukum itu datang kepada seseorang secara evolusi melalui tahapan-
tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan akalnya, tidak sekaligus.
Para ulama ushul fiqh membagi ahliyyah kepada dua bentuk, yaitu ahliyyah al- wujub dan
ahliyyah ada’.

13
1. Ahliyyah al-Wujub

Adapun ahliyyah al-wujub adalah kepantasan seorang manusia untuk menerima


hak-hak dan dikenai kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku bagi setiap
manusia ditinjau dari segi ia adalah manusia, semenjak ia dilahirkan sampai
menghembuskan nafas terakhir dalam segala sifat, kondisi dan keadaannya.
Ahliyyah al-wujub ini berlaku bagi setiap manusia, dengan keadaan bahwa ia
adalah manusia, baik laki-laki maupun perempuan, berupa janin, anak-anak,
mumayyiz, baligh, pandai atau bodoh, berakal atau gila, sehat maupun sakit.
Tidak ada manusia yang tidak memiliki ahliyyah al-wujub, karena ahliyyah al-
wujub adalah sifat ke”manusia”annya.

Para ahli ushul fiqh membagi ahliyyah al-wujub tersebut kepada dua bagian,yaitu :

a. Ahliyyah al-Wujub an-Naqishah

Atau kecakapan dikenai hukum secara lemah, yaitu kecakapan seorang


manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban, atau
kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak. Sifat
lemah pada kecakapan ini disebabkan oleh karena ia hanya memiliki salah
satu kecakapan pada dirinya diantara dua kecakapan yang harus ada padanya.
Contoh kecakapan untuk menerima hak, tetapi tidak untuk menerima
kewajiban adalah bayi dalam kandungan ibunya. Bayi atau janin itu telah
berhak menerima hak kebendaan seperti warisan dan wasiat meskipun ia
belum lahir. Realisasi dari hak itu berlaku setelah ternyata ia lahir dalam
keadaan hidup. Bayi dalam kandungan itu tidak dibebani kewajiban apa pun,
karena secara jelas ia belum bernama manusia.
Contoh kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak cakap menerima hak
adalah orang yang meninggal dunia tetapi masih meninggalkan hutang.
Dengan kematiannya itu ia tidak akan mendapatkan hak apa pun lagi, karena
hak hanyalah untuk menusia yang hidup. Tetapi ia tetap dikenai kewajiban
untuk membayar hutang yang dibuatnya semasa ia masih hidup. Kewajiban
itu tentunya yang menyangkut harta benda yang dapat dilakukan oleh orang
lain.

14
b. Ahliyyah al-Wujub al-Kamilah

Atau kecakapan dikenai hukum secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang


untuk dikenai kewajiban dan juga untuk menerima hak. Adanya sifat
sempurna dalam bentuk ini karena kepantasan berlaku untuk keduanya
sekaligus. Kecakapan ini dimiliki oleh setiap orang sejak dilahirkan. Yakni
sejak usia kanak-kanak, usia mumayyiz, sampai sesudah usia baligh
(dewasa), dalam keadaan dan kondisi lingkungan yang bagaimanapun.
Contoh ahliyyah al-wujub al-kamilah adalah anak yang baru lahir, disamping
ia berhak secara pasti menerima warisan dari orang tua atau kerabatnya, ia
juga telah dikenai kewajiban seperti zakat fitrah yang pelaksanaannya
dilakukan oleh orang tua atau walinya.

Demikian pula orang yang sedang berada di ujung kematian (sakarat al-
maut). Disamping ia berhak menerima harta warisan dari orang tua atau
kerabatnya yang lebih dulu meninggal, ia juga dibebani kewajiban zakat atas
hartanya yang telah memenuhi syarat untuk dizakatkan.

2. Ahliyyah al-Ada’

Ahliyyah al-ada’ atau kecakapan bertindak secara hukum adalah kepantasan


seseorang untuk dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Pada semua
perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif, baik dalam bidang
ibadah maupun muamalah, sehingga semua perbuatannya menimbulkan akibat
hukum, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan baginya.
Manusia ditinjau dari hubungannya dengan kecakapan berbuat hukum atau

ahliyyah al-ada’ mempunyai tiga keadaan, yaitu:

a. Adim al-Ahliyyah (tidak memiliki kecakapan)

Terkadang ia sama sekali tidak mempunyai ahliyyah al-ada’, atau sama sekalisepi
darinya. Inilah anak kecil pada masa kanak-kanaknya dan orang gila dalam usia
berapapun. Masing-masing dari keduanya, karena keadaannya

15
yang tidak mempunyai akal, maka ia tidak mempunyai ahliyyah al-ada’.
Masing-masing dari keduanya tidak bisa menimbulkan konsekuensi hukum
syara’ pada perbuatannya maupun ucapannya. Jadi, semua akad
(perjanjiannya) dan tasharruf (tindakan hukumnya) adalah batal. Lebih jauh
lagi, apabila salah seorang dari mereka berbuat kriminal atas jiwa atau harta,
maka ia dituntut dari segi harta, bukan dari segi fisik. Apabila seorang anak
atau orang gila, maka ia menanggung diyat (denda) si terbunuh atau apa yang
telah ia rusakkan, akan tetapi ia tidaklah dikenakan hukuman qishash. Inilah
maksud dari fuqaha : “Kesengajaan seorang anak atau orang gila adalah
ketersalahan”. Karena sepanjang tidak ada akal, maka tidak ada pula maksud.
Oleh karena itu, tidak ada pula kesengajaan.

b. Ahliyyah al-Ada’ al-Naqishah (kecakapan bertindak tidak sempurna)

Ada kalanya ahliyyah al-ada’nya kurang. Yaitu orang yang telah pintar tapi
belum baligh atau seseorang yang sudah mencapai umur tamyiz (kira-kira 7
tahun) sampai batas dewasa. Penamaan naqishah (lemah) dalam bentuk ini

oleh karena akalnya masih lemah dan belum sempurna. Manusia dalam batas
umur ini dalam hubungannya dengan hukum, sebagian tindakannya telah
dikenai hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum. Mereka juga belum
dipandang mukallaf, namun semua perbuatan ibadahnya dipandang sah.
Adapun semua perbuatannya yang pasti menguntungkan baginya dipandang
sah, meskipun tanpa persetujuan dari walinya, seperti menerima hibah dan
wasiat. Sebaliknya semua perbuatannya yang pasti merugikan baginya,
dipandang batal demi hukum, seperti memberi hibah dan berwasiat. Akan
tetapi, jika ia melakukan transaksi atau akad yang berpeluang menimbulkan
keuntungan atau kerugian, misalnya melakukan jual beli, maka keabsahan
tindakannya itu tergantung pada persetujuan walinya.

16
c. Ahliyyah al-Ada’ al-Kamilah (kecakapan bertindak secara sempurna)

Ada kalanya ia mempunyai ahliyyah al-ada’ yang sempurna, yaitu orang


yang telah mencapai akil baligh. Ahliyyah al-ada’ yang sempurna terwujud
dengan kebalighan manusia dalam keadaan berakal. Seseorang yang telah
mencapai usia dewasa, sehingga ia dipandang telah mukallaf.
Pada asalnya, bahwasanya ahliyyah al-ada’ berkenaan dengan akal saja,
akan tetapi dikaitkan dengan baligh, karena keadaan baligh merupakan
tempat dugaan (mazhinnah) keberakalan. Sedangkan hukum dikaitkan
dengan berbagai illat yang nyata dan pasti. Seseorang yang telah baligh, baik
balighnya karena usianya atau dengan berbagai tanda, maka ia dianggap
berakal dan ahli (layak) untuk melaksanakan, dan sempurna ahliyyahnya
sepanjang tidak ditemukan sesuatu yang menunjukkan rusaknya akalnya
atau kurangnya.
Dari penjelasan tentang ahliyyah al-wujub dan ahliyyah al-ada’ di atas dapat
diketahui bahwa semua manusia memiliki kecakapan secara hukum untuk
dikenakan kewajiban dan diberi hak (ahl li al-wujub), tetapi tidak semua
manusia dipandang cakap untuk bertindak secara hukum (ahl li al-ada’).
Seseorang baru dipandang cakap bertindak secara hukum, apabila ia telah
mencapai kedewasaan dari segi usia dan akalnya serta tidak ditemukan cacat
atau kurang pada akalnya. Dalam keadaan seperti ini barulah seseorang
dapat disebut sebagai mukallaf.

17
2.6 FAKTOR-FAKTOR PENGHALANG KECAKAPAN BERTINDAK SECARA
HUKUM

Para ulama ushul fiqih menggolongkan awaridh al-ahliyah ini menjadi tiga kelompok yaitu :

1. Penghalang samawi merupakan penghalang yang tidak bisa dihindari oleh mahkum alaih, dan
hadir dengan sendirinya tanpa dikehendaki. Seperti gila, pingsan, tidur, dan hilang akal.
Seseorang yang terkena penghalang samawi seperti ini akan diberi hukuman sebagai orang yang
tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hak dan kewajiban, sama sekali tidak sah
perjanjian dan pengelolaannya.

2. Penghalang kasby merupakan penghalang yang terjadi karena perbuatan manusia sendiri
seperti mabuk, boros, banyak hutang, bodoh dan sebagainya. Penghalang kasby ini dapat
dihindari dengan usaha manusia itu sendiri.

3. Penghalang yang datang pada manusia tetapi tidak mempengaruhi keahlian, tidak
menghilangkan dan tidak menguranginya, tetapi merubah sebagian hukumnya, karena ada
anggapan dan keuntungan yang menghendaki perubahan ini seperti ketidaktahuan dan lupa.

18
BAB II

PENUTUP

KESIMPULAN

Kata Syara secara etimologis berarti : Jalan, jalan yang biasa dilalui air, maksudnya adalah jalan
dilalui manusia dalam menuju kepada Allah. Jadi Hukum Syara adalah : seperangkat peraturan
berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui & diyakini berlaku serta
mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.

Terdapat juga perbedaan Hukum Syara menurut kahli Ushul Fiqh & Ahli Fiqh dalam
memberikan definisi terhadap hukum syara. Hukum Syara menurut ahli ushul fiqh yaitu :
Khitab (Titah) Allah yang menyangkut tindak-tanduk mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan
berbuat / tidak, atau dalam bentuk ketentuan-ketentuan. Ahli Ushul memandang pengatahuan
tentang titah Allah yang menyangkut tindak-tanduk manusia itulah yang disebut Hukum Syara.

SARAN

Demikian makalah tentang Peradilan Agama Pada Masa Kerajaan Islam di Indonesia
yang telah kami susun. Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kesalahan dalam
penyusunan makalah ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi terciptanya kesempurnaan pada makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca maupun penyusun.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim ibn Ali ibn Muhammad an-Namlah, 2000. al-Jami’ Limasail Ushulul Fiqh,
Riyad: Maktabah ar-Rusyd.
Abdul Karim ibn Ali ibn Muhammad an-Namlah, as-Syamil : fi Hudud wa Ta’rifat
Mushthalahat Ilm Ushul Fiqh, Riyad: Maktabah ar-Rusyd, 2009
Khallaf, Abdul Wahhab, 1994. Ilmu Ushul Fiqh, Terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qarib,
Semarang: Toha Putra Group.

20
21
22

Anda mungkin juga menyukai