Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH MATA KULIAH STUDI HUKUM ISLAM

Tentang
“Al-AHKAM, HUKUM TAKLIFI, DAN HUKUM WADH’IY”

Disusun Oleh:

Wanda Wulan Dari : 2212020049


Febriyani Siregar : 2212020006
Zainun Qolifah : 2212020083
Vera Athirah Handayani : 2212020087

Dosen Pengampu :
Mufti Ulil Amri,Ma

PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING ISLAM (B)


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN IMAM BONJOL PADANG
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan nikmat
sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah tentang “Al-Ahkam,
Hukum Taklifiy, dan Hukum Wadh’iy” ini tepat pada waktunya. Adapun
maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini selain untuk menyelesaikan tugas
yang diberikan oleh dosen pembimbing kami yaitu, bapak Mufti Ulil Amri, Ma
dan juga untuk memperluas pengetahuan mahasiswa.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin
dan menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak ditemukan
kekurangan, kesalahan-kesalahan baik dari segi teknik penulisan, maupun dari isi,
oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
dosen pembimbing bahkan semua pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Kami ucapkan terima kasih atas kepada semua pihak yang telah
berpatisipasi dalam pembuatan makalah ini terutama dosen pembimbing dan
teman-teman yang akan memberikan kritik dan saran nantinya.

Sungai Bangek,25 Februari2023

Penulis Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i


DAFTARISI .................................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ..................................................................................................... 2
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................ 3
A. Pengertian Al-Ahkam, Hukum Taklifi, dan Hukum Wadh’iy ............................. 3
B. Pembagian Hukum Taklifiy ................................................................................. 4
C. Pembagian Hukum Wadhi’iy ............................................................................... 7
BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 10
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 10
B. Saran .................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dilihat dari segi kebahasaan, kata hukum bermakna “menetapkan sesuatu
pada yang lain”. Seperti menetapkan haram pada khamar, atau halal pada air susu.
Sedangkan istilah para ulama ushul, sebagaimana diungkapkan Abu Azhar adalah
“titah (khitab) syari’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa
tuntutan, pilihan atau wadh’i.
Ketentuan-ketentuan hukum bagi umat manusia ini, pada dasarnya
disyari’atkan Tuhan untuk mengatur tata kehidupan mereka di dunia ini, baik
dalam masalah-masalah keagamaan maupun kemasyarakatan. Dengan mengkuti
ketentuan-ketentuan hukum ini, mereka akan memperoleh ketentraman dan
kenyamanan , serta kebahagian dalam hidupnya. Fungsi hukum diatas telah
dinyatakan secara tegas oleh Allah SWT dalam surat Al-nisa ayat 105 yang
berbunyi :
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu dapat enetapkan hukum kepada manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”
Tata kehidupan itu perlu diatur dengan norma-norma hukum yang diambil
dari ajaran-ajaran islam, karena semua mereka selain hidup di dunia juga akan
menjalani kehidupan akhirat yang kebahagian atau kesengsaraannya ditentukan
oleh akumulasi pahala dari perbuatan-perbuatan baik didunia ini. Sementara
ketentuan-ketentuan hukum yang diambil dari ajaran agama termasuk bagian yang
menyediakan pahala tersebut.
Demikian, menaati ketentuan-ketentuannya itu, disamping akan
membawa ketentraman, kenyamanan serta kebahagiaan dalam kehidupan di dunia
ini, juga akan membawa pada kebahagiaan dalam kehidupan akhirat kelak.

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Itu Al-Ahkam, Hukum Taklifiy, dan Hukum Wadh’iy?
2. Apa saja pembagian hukum taklifiy?
3. Apa saja pembagian hukum wadh’iy?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pengertian al-ahkam.
2. Untuk mengetahui pembagian hukum taklifiy.
3. Untuk mengetahui pembagian hukum wadh’iy.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Ahkam, Hukum Taklifi, dan Hukum Wadh’iy


1. Pengertian Al-ahkam
Ahkam berasal dari bahasa Arab yang merupakan jamak dari kata
hukum dan khamsah artinya lima. Oleh karena itu, gabungan kedua kata
dimaksud al-ahkam al-khamsah (ahkamul khamsah) atau biasa juga disebut
hukum taklifi. Al-ahkam adalah ketentuan-ketentuan syari`ah yang berkaitan
dengan perbuatan manusia yang datang dari Syâri' (Allah dan Rasul-Nya) seperti
wajib, sunnah, haram, makruh, dan haram. Al-ahkam al-khamsah adalah lima
penilaian yang disebut norma atau kaidah dalam ajaran Islam yang meliputi
seluruh lingkungan hidup dan kehidupan.

2. Pengertian hukum taklifi


A. sumber hukum itu, di satu pihak berarti "sumber rujukan", tetapi di lain
pihak kadang-kadang dapat diidentikkan dengan pengertian metode
penalaran hukum (legal reasoning). Misalnya, yang dianggap sumber
hukum adalah Al-Qur'an, hadis, ijmak, dan qiyas.
B. Secara bahasa, hukum berarti memutuskan (al-qadha) dan mencegah (al-
man’u). Hukum juga berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain
(itsbat syai’i ala syai’). Menurut istilah, terminoogi hukum dipahami
dalam dua pengertian. Menurut Ushuliyun (Ulama ahli Ushul Fiqh),
hukum adalah: Titah Allah yang berhubungan dengan prbuatan orang
mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan, maupun wadh’i. Sedangkan
menurut Fuqaha’ (Ulama ahli Fiqh),hukum adalah: Sifat yang bersifat
Sya’i yang merupakan pengaruh dari titah Allah. Atau pengaruh titah
Allah yang berkaiatan dengan perbuatan orang mukallaf, baik dalam
bentuk tuntutan, pilihan , maupun wadh’i.

3
3. Pengertian hukum wadh’iy
Hukum wadh’i adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai suatu sebab
adanya yang lain, atau syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagai penghalang bagi
sesuatu yang lain. Menurut Abdul Wahab Khalaf dan Wahbah Zuhaili, pembagian
hukum wadh’i bukan hanya terbatas kepada tiga bagian tersebut saja (sebab,
syarat dan penghalang), namun termasuk juga sahih, buthlan, ‘azimah dan
rukhsah. Mereka mendefinisikan hukum wadh’i sebagai hukum yang
menghendaki adanya.sesuatu itu sebagai sebab bagi sesuatu yang lain atau sebagai
syarat atau sebagai penghalang atau sebagai sesuatu yang memperkenankan
keringanan (rukhsah) atau sebagai pengganti hukum ketetapan pertama (‘azimah)
atau sebagai yang sahih dan tidak sahih (Hasbiyallah, 2013:34).

B. Pembagian Hukum Taklifiy


1. Macam-Macam Hukum Taklifi Menurut Jumhur Ulama Ushul
Fiqh:
a. Ijab
Yaitu tuntutan syar'i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan
tidak boleh ditinggalkan.Orang yang meninggalkan dikenai sanksi.
Misalnya, dalam surat An-Nur :56
َ‫الرس ُْو َل لَعَلَّكُ ْم تُرْ َح ُم ْون‬ َّ ‫ص ٰلوةَ َو ٰاتُوا‬
َّ ‫الز ٰكوةَ َواَطِ ْيعُوا‬ َّ ‫َواَقِ ْي ُموا ال‬

Artinya:
"Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat...”
Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafadz amr, yang menurut ahli
para Ushul Fiqhmelahirkan ijab, yaitu kewajiban mendirikan sholat dan
membayar zakat.Apabila kewajiban ini dikaitkan dengan perbuatan orang
mukallaf, maka disebut dengan wujub, sedangkan perbuatan yang dituntut
itu (yaitu mendirikan sholat dan membayar zakat), disebut dengan wajib.
Oleh sebab itu, istilah ijab menurut ulama Ushul Fiqh, terkait dengan
khithab (tuntutan) Allah, yaitu ayat di atas, sedangkan wujub merupakan

4
akibat dari khithab tersebut dan wajib adalah perbuatan yang dituntut oleh
khithab Allah.
b. Nadb
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak
bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak
dilarang untuk meninggalkannya.Orang yang meninggalkannya tidak
dikenai hukuman.Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub,
sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb. Misalnya, dalam surat
Al-Baqarah : 282. Allah SWT berfirman:
ۡ‫ِبد َۡين ا ِٰلٰٓى اَ َجل ُّم َس ًّمى ف َۡاكتُب ُۡوهُ ٰٰۤيـاَيُّ َها الَّذ ِۡينَ ٰا َمن ُٰۡۤوا اِذَا تَدَا َي ۡنتُم‬
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya..."Lafadz aktubuhu (maka tuliskanlah olehmu), dalam ayat
itu pada dasarnya mengandung perintah (wujub), tetapi terdapat indikasi
yang memalingkan perintah itu kepada nadb yang
terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut (Al-Baqarah : 283):
c. Tahrim
Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan
tuntutan yang memaksa.Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan
perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Misalnya firman Allah
dalam surat Al-An'am : 151:
‫ي َح َّر َم اللّٰ ُه َو َل‬
ْ ِ‫س الَّت‬
َ ‫تَ ْقتُلُوا النَّ ْف‬
Artinya:
"...Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah..."Khithab
(ayat) ini disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut harman,
dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa
seseorang, disebut dengan haram.
d. Karahah
Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan
itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa.Dan

5
seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan
itu tidak dikenai hukuman.Akibat dari tuntutan seperti ini disebut juga
karahah.Karahah ini merupakan kebalikan dari nadb.
e. Ibahah
Yaitu khithab Allah yang bersifat memilih, mengandung pilihan
antara berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat dari khithab Allah
ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu
disebut mubah.
f. Wajib
Wajib ialah sesuatu yang dituntut mengerjakannya dengan tuntutan
yang pasti atau sesuatu yang mengerjakannya berpahala dan
meninggalknnya berdosa, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan,
menghormati kedua orang tua dan rendah hati. Menurut Hanafiyah ,
wajib tidak sama dengan fardhu. Fardhu ialah sesuatu yang dittapkan
berdasarkan dalil yang qoth’i (al-Qur’an dan hadis) dan tidak
mengandung syubhat, seperti hukum yang ditetapkan berdasarkan nash
qoth’i sunnah mutawatirah dan sunnah masyhurah, sedangkan wajib
adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanni dan mengandung
syubhat, seperti hukum yang ditetapkan berdasarkan hadis ahad
g. Mandub(Sunah)
Mandub adalah bentuk masdar dari nadaba-yandubu-nadb, yang
berarti mengajak atau menganjurkan.Jadi, mandub berarti sesuatu yang
dianjurkan oleh agama.Menurut istilah ushul fiqh, mandub atau sunah
adalah hukum yang dituntut ole asy-syari’ (Allah) kepada mukalaf untuk
dikerjakan, tetapi dengan menggunakan redaksi yang tidak tegas.
h. Makruh
Makruh adalah bentuk isim maful (objek) dari kata kariha-yakrahu-
karhan-karihun-makruhun, yang secara bahasa berarti membenci.Jadi,
makruh artinya sesuatu yang dibenci. Istilah lain yang sering digunakan
adalah karahah. Menurut ushul fikih, makruh adalah perbuatan yang
dituntut asy-Syari’ (Allah) untuk ditinggalkan tetapi tuntutannya tidak

6
bersifat tegas.Adapun menurut istilah fikih, makruh adalah perbuatan
yang jika dikerjakan mendapat celaan dari Allah dan Rasul-Nya, tetapi
jika ditinggalkan mendapat pahala.Sesuatu yang menunjukan bahwa
larangan itu untuk karahah, bukan untuk menghramkan.
i. Mubah
Secara bahasa kata mubah berarti “sesuatu yang dibolehkan atau
diizinkan”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukaan oleh Abdul
Karim Zaidan, bererti: sesuatu yang diberikan pilih oleh syariat apakah
seorang mukalaf akan melakukan atau tidak melakukannya, dan tidak ada
hubungannya dengan dosa dan pahala. Misalnya, tidur siang hari dapat
bernilai pahala jika diniatkan agar bisa bangun tengah malam untuk
ibadah, makan malam dapat berubah hukumnya menjadi haram
manakalah diniatkan agar memperoleh tenaga untuk mencuri dan ketika
ada cekcok yang berkepanjangan dalam rumah tangga dan dikhawatirkan
tidak lagi akan dapat hidup bersama, maka boleh (mubah) bagi seorang
istri membayar sejumlah uang kepada suami agar suaminya itu
menceraikannya.

C. Pembagian Hukum Wadh’iy


a. Sebab
Sebab adalah, sesuatu hal tertentuyang dijadikan sebagai pangkal
adanya hukum, artinya dengan adanya sebabmaka terwujudlah hukum.
Sebab adalahsesuatu hal yang nyata lagi pasti yangdijadikan sebagai
pertanda hukum syara’yang merupakan akibatnya. Oleh karenaitu adanya
sebab mewajibkan adanyaakibat, dan tiada akibat tanpa diawali
olehsebab,Dalam bentuk ini perlu kita perhatikan beberapa hal :
1. Suatu sebab bila ada yangberbentuk tuntutan atau izin berbuat,
maka hukum yang diakibatkannyaberbentuk hak-hak yang dapat
diterima;
seperti pernikahan menjadi sebab untukhak mewarisi. Tetapi
sebaliknya bilassebab itu sesuatu yang terlarang, makahukum yang

7
diakibatkannya merupakanhukuman yang harus ditanggungnya;seperti
merusak harta orang lain menjadisebab bagi kewajiban mengganti.
2. Setiap sebab mengakibat kan sesuatu hukum yang disebut
musabab,meskipun pelaku yang melakukan sebabitu tidak
menghendaki adanya
3. Menetapkan suatu sebab,melazimkanadanya kesengajaan
yangmenetapkan kepada musabab karena kitamengetahui secara pasti
sebab itu tidakakan menjadi sebab dengan sendirinyadari segi
keberadaannya, tetapi menjadisebab dengan sendirinya dari
segitimbulnya sesuatu yang lain sebagaiakibatnya. Karena itu lazimlah
bahwadengan nada kesengajaan menetapkansebab,maka ada
kesengajaan untukmenetapkan musabab yang ditimbulkannya.
4. Hukum syara’ sesungguhnyaditetapkan untuk
mendatangkankemaslahatan atau menolak kerusakan.Itulah yang
menjadi musababnya secarapasti. Bila kita bahwa sebab-sebab
ituhanya ditetapkan untuk tujuan musabab,maka lazimlah bahwa
dengan adakesengajaan kepada sebab, tentu adakesengajaan kepada
musabab.
5. Sebab yang terlarang adalah sebabyang akan mendatangkan
kerusakan,bukan mendatangkan maslahat. Misalkantugas amar ma’ruf
nahi munkar adalahsesuatu yang telah ditetapkan dalamagama. Ia
adalah sebab untukmenegakkan agama dan mewujudkansyi’ar-syi’ar
Islam. Ia bukanlah sebabsyar’i untuk melenyapkan harta atau
jiwameskipun kadang-kadang dapat mengarahkepada hal itu dalam
pelaksanaannya.Menetapkan sanksi hukuman bertujuanuntuk suatu
kemaslahatan atau sebabuntuk mencegah kerusakan yang lebihluas,
meskipun dalam pelaksanaanya adajiwa yang korban atau darah
yangtertumpah.

8
b. Syarat
Yang dimaksud dengan Syarat adalahsuatu yang karenanya baru
ada hukumdan dengan ketiadaannya tidak adahukum. Misalnya haul
(genap satu tahun)adalah syarat wajibnya zakat hartaperniagaan. Tidak
ada haul tidak ada pula kewajiban zakat. Contoh lain misalnyawudhu
sebagaimana sabda Nabi SAW;16“Allah tidak menerima
shalatnyaseseorang apabila berhadast, hingga iaberwudhu” (HR.
Bukhari)Wudhu merupakan syarat sahnyashalat, dengan demikian
shalat dipandangsah manakala orang yang bersangkutanwudhu terlebih
dahulu sebelum iamendirikan shalat. Artinya tanpa wudhushalatnya
tidak sah sebab syaratnya belum terpenuhi.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Al-ahkam adalahketentuan-ketentuan syari`ah yang berkaitan dengan
perbuatan manusia yang datang dari Syâri' (Allah dan Rasul-Nya) seperti
wajib, sunnah, haram, makruh, dan haram.
2. Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung tuntutan atau perintah,
larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukalaf. Sebagai contoh,
hukum yang menunjukan perintah seperti perintah sholat, membayar
zakat, ataupun menunaikan ibadah haji.
3. Hukum wadh’iy adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai suatu
sebab adanya yang lain, atau syarat bagi sesuatu yang lain atau sebagai
penghalang bagi sesuatu yang lain.

B. Saran
Menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang
makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang dapat
dipertanggung jawabkan. Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap
penyusun juga bisa untuk menghadapi terhadap keismpulan dari bahasan makalah
yang telah dijelaskan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mughits, Ushul Fiqh Bagi pemula (Jakarta: CV Artha Rivera, 2008),
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama Semarang,
1994),
Abdul Mughits, Ushul Fiqh Bagi pemula (Jakarta: CV Artha Rivera, 2008),
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996 ),
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: CV PustakaSetia, 2010),
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media, 2005),
Suwarjin, Ushul Fiqh (Yogyakarta: Teras, 2012),
Zen Amiruddin, Ushul Fiqh (Yogyakarta: TERAS, 2009),

11

Anda mungkin juga menyukai