Anda di halaman 1dari 14

Tugas Tidak Terstuktur Guru Pembimbing

Ushul Fiqih Umi. Nur ‘Aini S.Ag.MA

MAKALAH

Tentang:

HUKUM WARIS
(Menurut Hukum Taklifi Dan Hukum Wadh’i)

DISUSUN

O
L
E
H:

NETI ANDINI
KELAS : XII IPS

YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM ABUYA HAJI BAKHTIAR DAUD


PONDOK PESANTREN ISLAMIC CENTRE AL-HIDAYAH
KAMPA
TA. 2020/2021
KATA PENGANTAR

“Assalamu’alaikum wr. wb.”

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas
karenaNya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada
waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai HUKUM WARIS dalam
mata pelajaran Ushul Fiqih yang dibimbing oleh Umi Nur ‘Aini, S.Ag. M. Pd . Atas
dukungan yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, Penulis mengucapkan
terimakasih.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian penulis
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Akhir kata, tiada gading yang tak retak, demikian dengan makalah ini. Oleh
karena itu, Penulis menharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini selanjutnya.

“Wassalamualaikum wr. wb.”

Pekanbaru, 5 Februari 2021

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... i

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang................................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 1
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................... 2
1.4 Ruang Lingup.................................................................................................... 2
1.5 Metode dan Pengumpulan Data......................................................................... 2
1.6 Sistematika......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Waris................................................................................................... 3

2.2 Dail tentang Waris............................................................................................. 3

2.3 Hukum Waris .................................................................................................... 4

2.4 Mahkum fih....................................................................................................... 7

2.5 Mahkum ‘Alaih.................................................................................................. 7

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan........................................................................................................ 9

4.2 Kritikan dan Saran............................................................................................. 9

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkara warisan senantiasa menjadi masalah yang memecah belahkan hubungan
antara kakak beradik. Banyak diantara umat manusia zaman sekarang yang tega
menyakiti bahkan saling bunuh hanya karena harta warisan orang tua yang tidak tuntas
dibagikan. Padahal dalam Islam segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur
katanya sudah diatur dalam hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di
dalam Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi
terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at.
Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara'
merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua disiplin ilmu ini
memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang
mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara'
dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi
hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan
perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan),
takhyir (pilihan), maupun berupa wadh’i (sebab akibat), yang di maksud dengan
ketetapan Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang
berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib,
sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani')dan ungkapan lain yang akan
kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan
ilmu Ushul fiqh.

1.2 Rumusan Masalah


Adapunn Rumusan Masalah dalam makalah ini:
1) Bagaimanakah defenisi Waris dalam pandangan syara’?
2) Bagaimanakah hukum Waris dilihat dari sisi hukum taklifi dan hukum wadh’i?

1.3 Tujuan

iii
Adapun tujuan penulis membahas judul makalah ini adalah agar para pembaca
maupun penulis pribadi dapat lebih mengetahui dan lebih mengerti tentang HUKUM
WARIS (Menurut Hukum Taklifi Dan Hukum Wadh’i) tersebut.

1.4 Ruang Lingkup

Penulis membatasi Permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini yakni
hanya mencakup “HUKUM WARIS (Menurut Hukum Taklifi Dan Hukum Wadh’i)”
dan disertai dalil - dalilnya.

1.5 Metode Pengumpulan Data

Dalam menyusun makalah ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data


Library. Dimana data dikupulkan melalui membaca buku-buku cetak, mapun eBook,
dan beberapa tulisan di Internet terkait pembahasan yang penulis sebutkan diatas.

1.6 Sistematika Penulisan

Penulis menyusun makalah ini dalam 3 Bab, yaitu ;


BAB I PENDAHULUAN : Pada Bab pertama ini penulis mencoba memaparkan
gabaran secara umum terkait pembahasan yang akan penulis paparkan nantinya.
BAB II PEMBAHASAN : Pada Bab ini penulis mencoba menjabarkan hal-hal yang
penulis ketahui dari data-data yang penilis kumpulkan mengenai hukum Waris ; Hukum
Taklifi ; Hukum Wadh’i. Dimulai dari defenisi, hukum-hukum, serta dalil-dalil terait
Wudhu’ yang penulis kumpulkan.
BAB III PENUTUP : Pada Bab ini, berisi mengenai kesimpulan dari pmaparan makalah
yang sudah penulis jabarkan sebelumnya. Pada Bab ini juga berisi kritikan dan saran
atas kekurangan makalah yang penulis susun.

iv
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Defenisi Waris

Waris menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang


peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal
serta akibatnya bagi para ahli warisnya. perpidahan hak milik, hak milik
yang dimaksud adalah berupa harta, seorang yang telah meninggal dunia
kepada ahli warisnya.1 dan juga berbagai aturan tentang perpidahan hak
milik, hak milik yang dimaksud adalah berupa harta, seorang yang telah
meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain waris disebut
juga dengan fara‟id. Yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut
agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya dan yang telah di
tetapkan bagian-bagiannya.

2.2 Dalil tentang Pelaksanaan Qishash

Qs. An-Nisa : 11

‫ُأْل‬
ۚ ُ‫ص ف‬ ْ ‫ت َوا ِح َد ًة َفلَ َه ا ال ِّن‬ ْ ‫ك ۖ َوِإن َكا َن‬ َ ‫ْن َف َلهُنَّ ُثلُ َثا َما َت َر‬ ِ ‫ْن ۚ َفِإن ُكنَّ ِن َسا ًء َف ْوقَ ْاث َن َتي‬ ِ ‫يُوصِ ي ُك ُم هَّللا ُ فِي َأ ْواَل ِد ُك ْم ۖ ل َِّلذ َك ِر م ِْث ُل َح ِّظ ا ن َث َيي‬
‫ان لَ ُه ِإ ْخ َوةٌ َفُأِل ِّم ِه‬ َ ‫ث ۚ َفِإن َك‬ ُّ ‫ان َل ُه َولَ ٌد ۚ َفِإن لَّ ْم َي ُكن لَّ ُه َولَ ٌد َو َو ِر َث ُه َأ َب َواهُ َفُأِل ِّم ِه‬
ُ ُ‫الثل‬ َ ‫ك ِإن َك‬ َ ‫َوَأِل َب َو ْي ِه ِل ُك ِّل َوا ِح ٍد ِّم ْن ُه َما ال ُّسدُسُ ِممَّا َت َر‬
‫ان َعلِي ًم ا‬ َ ‫يض ًة م َِّن هَّللا ِ ۗ ِإنَّ هَّللا َ َك‬َ ‫ُون َأ ُّي ُه ْم َأ ْق َربُ لَ ُك ْم َن ْفعًا ۚ َف ِر‬ َ ‫ْن ۗ آ َباُؤ ُك ْم َوَأ ْب َناُؤ ُك ْم اَل َت ْدر‬ ٍ ‫ال ُّسدُسُ ۚ مِن َبعْ ِد َوصِ َّي ٍة يُوصِ ي ِب َها َأ ْو دَ ي‬
‫َحكِيمًا‬

Artinya : “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan


untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya
fauqotsnataini (maksudnya dua keatas), maka bagian mereka 2/3 dari harta yang
ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh 1/2
(harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing 1/6 dari
harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang

1
Effendi Perangin, Hukum Waris,(Jakarta: Rajawali Pers ,2008), Hal. 3

v
meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat 1/3. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat 1/6. (pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi)
wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (tentang) orang tuamu
dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di Antara mereka yang lebih banyak
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui,
Maha Bijaksana.”

2.3 Hukum Syara’ terkait Pelaksanaan Qishash

Hukum Syara’ merupakan seperangkat peraturan yang bersumber dari ketentuan


Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat
untuk semua umat yang beragama Islam. Hukum syara terbagi dua macam: Pertama,
Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan. Dan keduaa,
Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu
sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.

a) Hukum Taklifi dalam Waris

Pelaksanaan Waris, juga disebutkan dalam ketentuan syara’ baik dari segi
hukum taklifi maupun hukum wadh’inya. Berdasarkan surah An-Nisa : 11,

ۖ ‫صي ُك ُم هَّللا ُ فِي َأوْ اَل ِد ُك ْم‬


ِ ‫يُو‬

Artinya : “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian


warisan untuk) anak-anakmu..,.” (Qs. an-Nisa : 11)

Kata ‫صي ُك ُم‬


ِ ‫( يُو‬Yushikum) yang termuat dalam Qs. an-Nisa : 11 secara bahasa
diartikan bahwa Allah SWt telah berwasiat, maksudnya Allah SWt memerintahkan
kalian dalam perkara hak anak-anak kalian dalam harta warisan. Jika salah seorang
dari kalian mati dan meninggalkan anak keturunan, maka harta warisannya adalah
untuk anak laki-laki dua kali lipat dari bagian anak perempuan jika tidak ada ahli
waris selain anak.

vi
b) Hukum Wadh’i dalam Pelaksanaan Qishash
Hukum wadh’i merupakan titah Allah swt yang menjadikan sesuatu sebagai
sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi adanya sesuatu yang
lain atau juga sebagai penghalang bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. 2 Dengan
demikian, ulama membagi hukum wadh’i kepada : Sebab, Syarat, Sah dan Batal,
Rukhsah, dan Azimah.
Dalam pelaksanaan hukuman Waris juga demikian. Terdapat hal-hal yang
terkait dengan hukum wadh’i, yaitu :
1) Sebab
Adapun sebab-sebab pelaksanaan hukuman Waris, diantaranya :
 Kekerabatan, merupakan hubungan nasab seperti ibu, bapak, anak-anak,
saudara-saudara, para paman dan lain-lain. Dijelaskan dalam surat al-
anfal ayat 8 (2) yang berhak menerima warisan adalah orang tua, anak
dan orang-orang yang bernasab bagi mereka.
 Pernikahan, merupakan pernikahan yang sah antara suami dan istri.
Sekalipun sesudah pernikahan belum terjadi persetubuhan atau berduaan
di tempat sepi (khalwat). Dan mengenai pernikahan yang batal atau fasid
tidak berhak menerima warisan.
 Perbudakan, merupakan hubungan antara budak dan orang yang
memerdekakannya, apabila budak yang dimerdekakan tidak mempunyai
ahli waris berhak menghabiskan hartanya.
 Tujuan Islam (Jihatul al-Islam), yaitu bagi orang yang tidak mempunyai
ahli waris maka hartanya ditaruh di Baitul Mal untuk kepentingan orang
Islam.
2) Syarat
Syarat merupakan segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan
adanya sesuatu tersebut3, dan semikian pula sebaliknya. Diantara syarat-
syarat sahnya Pelaksanaan Waris ialah :
 Matinya orang yang mewariskan harus bisa dibuktikan dengan baik,
teliti, terdapat saksi, hingga diberitakan sudah meninggal dari pihak yang
dapat dipercaya.

2
Prof. Dr. H. Alaidin Koto, M.A, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta, Rajawali Press: 2016) , Hal. 46
3
Ibid. Hal. 47

vii
 Ahli waris yang akan menerima harta haruslah dalam keadaan hidup
meskipun dalam keadaan sekarat.
 Harus ada hubungan antara ahli waris dengan pewaris, baik melalui
kekerabatan nasab, hubungan pernikahan, maupun pemerdekaan budak
(wala’).
 Adanya satu alasan secara rinci yang menetapkan seseorang bisa
mendapatkan warisan. Alasan pewarisan bisa disertai dengan saksi.

3) Mani’ (Penghalang)
Mani’ merupakan segala sesuatu yang dengan keberadaannya dapat
menghalangi atau membatalkan atau meniadakan sebab hukum. Dalam
pelaksanaan Waris ada beberapa hal yang dapat menjadi penghalang
pelaksanaan Waris. Diantara penghalang yang dimaksud adalah :
 Perbudakan, seorang yang berstatus budak yang tidak mempunyai hak
untuk mewarisi dari saudaranya sendiri. (Q.S An Nahl ayat 75).
Sedangkan menurut Idris Ramulyo, perbudakan menjadi penghalang
mewarisi bukan karena status sosialnya, tetapi karena dipandang sebagai
hamba sahaya yang tidak cakap menguasai harta benda.
 Pembunuhan, pembunuhan terhadap pewaris  oleh ahli waris
menyebabkan tidak dapat mewarisi harta yang ditinggal oleh orang yang
bunuh, meskipun yang dibunuh tidak meninggalkan ahli waris lain selain
yang dibunuh.
 Berlainan agama, keadaan berlainan agama akan menghalangi
mendapatkan harta warisan, dalam hal ini yang dimaksud adalah antara
ahli waris dengan muwarris yang berbeda agama.4
4) Sah & Batal
Sah dan batalnya Pelaksanaan Waris ialah bergantung pada syarat dan
rukunnya, jika syarat dan rukun waris sudah terpenuhi maka sah-lah
pembagian harta warisan tersebut.

5) Rukhsah & Azimah


4
http://www.forshei.org/2019/10/penyebab-dan-penghalang-menerima.html

viii
Pembagian waris secara damai dalam Islam itu dibolehkan, hal ini sesuai
dengan Hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dari ibn
‘Abbas:

‫ال تطل__ق وامس__كﯩي‬: ‫عن ابن عباس قال خشيت سوره ان يطلقها رسول هللا صلى هللا علي__ه وس__لم فق__الت‬
‫خال جن__اح عليهم__ا ان يص__لحا بينهم__ا ص__لحا والص__لح خ__ير فم__ا‬: ‫وجعل يومي منك لعائشة ففع__ل ف__نزلت‬
)‫اصطلحا عيه من سير فهو جائز ) رواه اترمذي‬

Hadits di atas dapat dijadikan sandaran bahwa perdamaian baik yang


menyangkut masalah pidana atau perdata dapat dilakukan sepanjang para pihak
yang ingin melakukan perdamaian menghendakinya dengan tujuan menjaga
kebaikan dan keutuha persaudaraan sesama muslim.

Jika pembagian warisan tidak dapat dilakukan secara damai, maka kembali
kepada hukum asalnya, sebagaimana yang disebutkan dalam Kalamullah Surah
An-Nisa : 11, maka hukum yang tertera pada ayat tersebutlah yang merupakan
‘Azimah dari perbuatan pembagian warian ini.

2.4 Mahkum Fih

Mahkum fih merupakan perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan-atau dibebani-


dengan hukum syara’. Maksudnya setiap perbuatan yang jika dilakukan ataupun
ditinggalkan tetap mengandung hukum syara’. Sebagaimana halnya pembagian warisan
yang dihukum wajib untuk dilaksanakan, dan tetap harus melaksanakannya meski
melalui cara damai saja. Dengan kata lain yang menjadi objek dari hukum itu adalah
perbuatan mukallaf itu sendiri. Qs. an-Nisa : 11

‫صي ُك ُم هَّللا ُ فِي َأ ْواَل ِد ُك ْم‬


ِ ‫يُو‬

Mahkum fih pada ayat ini adalah kata , ‫ فِي َأ ْواَل ِد ُك ْم‬yang mengandung makna waris
didalamnya.

2.5 Mahkum ‘Alaih

Mahkum ‘Alaih merupakan mukallaf yang melakukan tindakan yang


berhubungan dengan hukum syara’. Dalam hal qishash maka yang menjadi mahkum
‘alaihnya adalah mukallaf yang sudah memenuhi syarat pelaksanaan Qishash sepeti

ix
yang penulis sebutkan diatas. Sebab, mukallaflah yang dibebani hukum atas tindakan
berwudhu’ yang dimaksud pada . Qs. an-Nisa : 11 tersebut.

‫صي ُك ُم هَّللا ُ فِي َأ ْواَل ِد ُك ْم‬


ِ ‫يُو‬

Mahkum ‘Alaih pada ayat ini adalah mukallaf secara umum dan para ayah secara
khusus. Hal ini diketahui dari isim domir yang melekat pada kata ‫ ُك ُم‬.

x
BAB III

3.1 Kesimpulan

Pembagian harta waris merpakan salah satu hal yang perlu dilakukan setelah
kematian seseorang. Dimana, jika hal ini tidak dilaksanakan, maka dikhawatirkan akan
terjadi perpecahan antara sesama ahli waris yang ditinggalkan mayyit atas harta-harta
kepemilikan si mayyit.

3.2 Kritikan dan Saran

Penulis menyadari bahwasanya Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan dan
masih terdapat banyak kesalahan – kesalahan untuk itu saya sangat mengaharapkan
kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun untuk lebih baiknya makalah
saya di kedepan hari. Dan saya berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua,khususnya diri saya pribadi untuk menambah wawasan kita bersama tentang
HUKUM PELAKSANAAN QISHASH ; dilihat dari sudut pandang “HUKUM WARIS
(Menurut Hukum Taklifi Dan Hukum Wadh’i)” ini.

xi
xii
DAFTAR PUSTAKA

Effendi Perangin, Hukum Waris,(Jakarta: Rajawali Pers ,2008)


Prof. Dr. H. Alaidin Koto, M.A, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta, Rajawali Press: 2016) ,
http://www.forshei.org/2019/10/penyebab-dan-penghalang-menerima.html

Anda mungkin juga menyukai