Anda di halaman 1dari 15

Tugas Tidak Terstuktur Guru Pembimbing

Ushul Fiqih Umi. Nur ‘Aini S.Ag.MA

MAKALAH

Tentang:

HUKUM PENCATATAN HUTANG-PIUTANG


(Ditinjau Dari Segi Hukum Taklifi Dan Hukum Wadh’i)

DISUSUN

O
L
E
H:

SITI YASMIDA
KELAS : XII IPS

YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM ABUYA HAJI BAKHTIAR DAUD


PONDOK PESANTREN ISLAMIC CENTRE AL-HIDAYAH
KAMPA
TA. 2020/2021
KATA PENGANTAR

“Assalamu’alaikum wr. wb.”

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas karenaNya
sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Dalam makalah ini kami membahas mengenai HUKUM PENCATATAN HUTANG-
PIUTANG (Ditinjau Dari Segi Hukum Taklifi Dan Hukum Wadh’i) dalam mata
pelajaran Ushul Fiqih yang dibimbing oleh Umi Nur ‘Aini, S.Ag. M. Pd . Atas
dukungan yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, Penulis mengucapkan
terimakasih.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian penulis
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Akhir kata, tiada gading yang tak retak, demikian dengan makalah ini. Oleh
karena itu, Penulis menharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini selanjutnya.

“Wassalamualaikum wr. wb.”

Pekanbaru, 6 Februari 2021

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... i

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang................................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................... 2
1.4 Ruang Lingkup.................................................................................................. 2
1.5 Metode dan Pengumpulan Data......................................................................... 2
1.6 Sistematika......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Hutang-Piutang................................................................................... 4

2.2 Dail tentang Pencatatan Hutang-Piutang........................................................... 4

2.3 Hukum Pencatatan Hutang-Piutang................................................................... 5

2.4 Mahkum fih....................................................................................................... 8

2.5 Mahkum ‘Alaih.................................................................................................. 8

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan........................................................................................................ 9

4.2 Kritikan dan Saran............................................................................................. 9

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang tidak semua orang memiliki keadaan
finansial yang sama. Kadang kala diantara saudara-saudara kita sesama muslim terjebak
dalam kedaan sempit. Disaat keadaan finansial keluarga sedang tidak stabil, berbagai
problema finansial muncul secara bersamaan sehingga mengakibatkan seseorang
terpaksa melakukan hutang-piutang. Untuk menghindari kekeliruan dan perpecahan
antara keduabelah pihak, maka Allah SWt menuntun kita sebagai hamba-Nya untuk
mencatat transaksi hutang-piutang tersebut.
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari
ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan
Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber
lain yang diakui syari'at. Demikian pula halnya dengan hutang piutang yang sudah
diatur dalam kitabullah Al-qur’anul Kariim. Sebagaimana yang di katakan imam
Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan
Ushul fiqh. Sasaran kedua disiplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang
berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang
berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-
sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara',
yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik
berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa
wadh’i (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di
berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf.
Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab,
halangan (mani')dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang
kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.

1
1.2 Rumusan Masalah
Adapunn Rumusan Masalah dalam makalah ini:
1) Bagaimanakah defenisi Hutang-piutang dalam pandangan syara’?
2) Bagaimanakah hukum Hutang-piutang dilihat dari sisi hukum taklifi dan hukum
wadh’i?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan penulis membahas judul makalah ini adalah agar para pembaca
maupun penulis pribadi dapat lebih mengetahui dan lebih mengerti tentang “ WUDHU’
DALAM PELAKSANAAN SHOLAT ; HUKUM TAKLIFI ; HUKUM WADH’I”
tersebut.

1.4 Ruang Lingkup

Penulis membatasi Permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini yakni
hanya mencakup “HUKUM HUTANG-PIUTANG (Ditinjau Dari Segi Hukum Taklifi
Dan Hukum Wadh’i)” dan disertai dalil - dalilnya.

1.5 Metode Pengumpulan Data

Dalam menyusun makalah ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data


Library. Dimana data dikupulkan melalui membaca buku-buku cetak, mapun eBook,
dan beberapa tulisan di Internet terkait pembahasan yang penulis sebutkan diatas.

1.6 Sistematika Penulisan

Penulis menyusun makalah ini dalam 3 Bab, yaitu ;


BAB I PENDAHULUAN : Pada Bab pertama ini penulis mencoba memaparkan
gabaran secara umum terkait pembahasan yang akan
penulis paparkan nantinya.
BAB II PEMBAHASAN : Pada Bab ini penulis mencoba menjabarkan hal-hal yang
penulis ketahui dari data-data yang penilis kumpulkan
mengenai Hutang-piutang dalam Pelaksanaann Hutang-
piutang ; Hukum Taklifi ; Hukum Wadh’i. Dimulai dari

2
defenisi, hukum-hukum, serta dalil-dalil terait Hutang-
piutang yang penulis kumpulkan.
BAB III PENUTUP : Pada Bab ini, berisi mengenai kesimpulan dari pmaparan
makalah yang sudah penulis jabarkan sebelumnya. Pada
Bab ini juga berisi kritikan dan saran atas kekurangan
makalah yang penulis susun.

3
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Defenisi Hutang-piutang

Hutang atau bisa dikatakan sebagai utang merupakan uang tunai dan non tunai atau
barang yang dipinjam oleh seseorang dari orang lain. Sedangkan piutang adalah uang
jenis tunai maupun non tunai atau barang yang dipinjamkan oleh seseorang atau tagihan
uang dari seseorang pada orang lain yang meminjam.

Utang piutang disebut dengan “dain” (‫)دين‬. Istilah “dain” (‫ )دين‬ini juga sangat terkait
dengan istilah “qard” (‫ )قرض‬yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan pinjaman.
Dari sini nampak bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara “dain” (‫ )دين‬dan
“qard” (‫رض‬J‫ )ق‬dalam bahasa ilmu fiqh mu’amalah dengan istilah utang piutang dan
pinjaman dalam bahasa Indonesia. Makna Al-Qardh  ialah memotong. Harta yang
diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan
dari harta orang yang memberikan hutang.

2.2 Dalil tentang Wudhu’ dalam Pelaksanaan Sholat

Qs. Al-Baqarah : 282

ٓ
ُ‫ب َك َما عَلَّ َمه‬ َ ُ‫ب َكاتِبٌ اَ ْن يَّ ْكت‬ َ ‫ن اِ ٰلى اَ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَا ْكتُبُوْ ۗهُ َو ْليَ ْكتُبْ بَّ ْينَ ُك ْم َكاتِ ۢبٌ بِ ْال َع ْد ۖ ِل َواَل يَْأ‬Jٍ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي‬
‫ ِع ْيفًا اَوْ اَل‬J ‫ض‬
َ ْ‫ق َسفِ ْيهًا اَو‬ ُّ ‫ق هّٰللا َ َربَّهٗ َواَل يَبْخَ سْ ِم ْنهُ َش ْيـ ًۗٔا فَا ِ ْن َكانَ الَّ ِذيْ َعلَ ْي ِه ْال َح‬ ُّ ‫هّٰللا ُ فَ ْليَ ْكتُ ۚبْ َو ْليُ ْملِ ِل الَّ ِذيْ َعلَ ْي ِه ْال َح‬
ِ َّ‫ق َو ْليَت‬
َ J‫ ٌل وَّا ْم‬J‫ا َر ُجلَ ْي ِن فَ َر ُج‬JJَ‫ا ِ ْن لَّ ْم يَ ُكوْ ن‬Jَ‫ الِ ُك ۚ ْم ف‬J‫ ِه ْي َد ْي ِن ِم ْن رِّ َج‬J‫ ِه ُدوْ ا َش‬J‫ ْد ۗ ِل َوا ْست َْش‬J‫يَ ْست َِط ْي ُع اَ ْن يُّ ِم َّل ه َُو فَ ْليُ ْملِلْ َولِيُّهٗ بِ ْال َع‬
‫راَ ٰت ِن ِم َّم ْن‬J
ُ‫وْ ه‬JJُ‫وْ ا ۗ َواَل تَسَْٔـ ُم ْٓوا اَ ْن تَ ْكتُب‬JJ‫ا ُد ُع‬JJ‫ب ال ُّشهَ ۤ َدا ُء اِ َذا َم‬ َ ‫ض َّل اِحْ ٰدىهُ َما فَتُ َذ ِّك َر اِحْ ٰدىهُ َما ااْل ُ ْخ ٰر ۗى َواَل يَْأ‬ ِ َ‫ضوْ نَ ِمنَ ال ُّشهَ ۤ َدا ِء اَ ْن ت‬ َ ْ‫تَر‬
‫ ِد ْيرُوْ نَهَا‬Jُ‫ َرةً ت‬J‫اض‬ِ ‫ارةً َح‬ َ J‫وْ نَ تِ َج‬JJ‫اَ ْن تَ ُك‬ ‫ص ِغ ْيرًا اَوْ َكبِ ْيرًا اِ ٰلٓى اَ َجلِ ٖ ۗه ٰذلِ ُك ْم اَ ْق َسطُ ِع ْن َد هّٰللا ِ َواَ ْق َو ُم لِل َّشهَا َد ِة َواَ ْد ٰن ٓى اَاَّل تَرْ تَاب ُْٓوا آِاَّل‬
َ
ٌ ۢ ْ‫و‬J‫وْ ا فَاِنَّهٗ فُ ُس‬JJُ‫ ِه ْي ٌد ەۗ َواِ ْن تَ ْف َعل‬J‫َش‬
ۗ ‫ق بِ ُك ْم‬ ‫اتِبٌ َّواَل‬JJ‫ ۤا َّر َك‬J‫ُض‬ َ ‫ايَ ْعتُ ْم ۖ َواَل ي‬JJَ‫ ِهد ُْٓوا اِ َذا تَب‬J‫ا َواَ ْش‬Jۗ Jَ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح اَاَّل تَ ْكتُبُوْ ه‬ َ ‫بَ ْينَ ُك ْم فَلَي‬
‫َواتَّقُوا هّٰللا َ ۗ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم هّٰللا ُ ۗ َوهّٰللا ُ بِ ُكلِّ َش ْي ٍء َعلِ ْي ٌم‬

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia
menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia
bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun

4
daripadanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah
(keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya
mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di
antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki
dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi
(yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya.
Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan
menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih
mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu
tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah
penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah
memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu..

2.3 Hukum Syara’ terkait Pelaksanaan Hutang-piutang dalam Sholat

Hukum Syara’ merupakan seperangkat peraturan yang bersumber dari ketentuan


Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat
untuk semua umat yang beragama Islam. Hukum syara terbagi dua macam: Pertama,
Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat atau meninggalkan. Dan keduaa,
Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu
sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.

a) Hukum Taklifi dalam Hutang-piutang

Hutang-piutang sebagai fenomena dalam kehidupan sehari-hari, juga tidak


terlepas dari ketentuan syara’ baik dari segi hukum taklifi maupun hukum
wadh’inya. Berdasarkan surah Al-Baqarah ayat 282, Hutang-piutang merupakan
salah satu kegiatan muamalah yang harus jelas segala sesuatunya.

ٓ
ُ‫ن اِ ٰلى اَ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَا ْكتُبُ ْو ۗه‬Jٍ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي‬

5
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang
piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. al-
Baqarah : 282)

Kata ُ‫( فَا ْكتُبُ ْو ۗه‬Faktubuu) yang termuat dalam Qs. BAqarah : 282 berbentuk
fi’il amar yang nantinya sangat menentukan penarikan hukum dalam ayat ini.
Dalam ushul fikih kalimat yang berbentuk fi’il amar/sighat amar berkonotasi
sebagai perintah yang mengharuskan sasarannya melakukan kegiatan tersebut. Hal
ini sesuai dengan kaidah ushul fikih yang menyebutkan bahwa ‫اال صل في المرااليجاب‬
(Asal dari pada amar itu ialah wajib.)
Meskipun demikian, pada ayat setelahnya, yakni QS. Al-Baqarah : 283,
dimana pada ayat ini Allah SWt justru menyebutkan bahwa menulis hutang-piutang
bukanlah kewajiban, melainkan sekedar anjuran. Sebagaimana kesepakatan ulama
mengatakan bahwa menuliskan hutang-piutang merupakan tuntunan dari Allah SWt
terhadap hambanya dalam melakukan transaksi hutang piutang.

b) Hukum Wadh’i dalam Hutang-piutang


Hukum wadh’i merupakan titah Allah swt yang enjadikan sesuatu sebagai
sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi adanya sesuatu yang
lain atau juga sebagai penghalang bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. 1 Dengan
demikian, ulama membagi hukum wadh’i kepada : Sebab, Syarat, Sah dan Batal,
Rukhsah, dan Azimah.
Demikian juga dalam Hutang piutang. Terdapat hal-hal yang terkait dengan
hukum wadh’i, yaitu :
1) Sebab
Adapun sebab-sebab Hutang-piutang, diantaranya :
 Menguatkan kesaksian.
 Lebih mendekatkan kepada ketidakraguan.
2) Syarat
Syarat merupakan segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan
adanya sesuatu tersebut2, dan semikian pula sebaliknya. Diantara syarat-syarat
Pencatatan Hutang-piutang ialah :

1
Prof. Dr. H. Alaidin Koto, M.A, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta, Rajawali Press: 2016) , Hal. 46
2
Ibid. Hal. 47

6
 Islam
 Tamyiz (dapat membedakan baik dan buruknya suatu tindakan)
 Jika salah seorang pihak memiliki keterbatasan fisik, maka walinya harus
membantuunya dalam transaksi,
 Dipersaksikan oleh dua orang saksi yang adil,
 Mencatat batas waktu pembayaran hutang,
3) Mani’ (Penghalang)
Mani’ merupakan segala sesuatu yang dengan keberadaannya dapat
menghalangi atau membatalkan atau meniadakan sebab hukum. Dalam
pelaksanaan pencatatan hutang-piutangtidak ada yang menghalanginya, sebab
hutang piutang bukanlah sesuatu yang diwajibkan secara syara’.
4) Sah & Batal
Sebagai seorang mukallaf, tentunya kita terkadang ragu tentang sah dan
batalnya pencatatan hutang-piutang. Adapun sahnya Pencatatan hutang-piutang
yakni jika seorang mukallaf sudah melaksakan anjuran pencatatan hutang
piutang tersebut dengan sempurna dan memenuhi syarat-syarat pencatatan
hutang-piutang yang telah disebutkan diatas. Namun, jika seorang mukallaf
melakukan pencatatan hutang-piutang sedangkan tanpa memperhatikan
syaratnya dengan benar, maka batalah transaksi tersebut.
5) Rukhsah & Azimah
Dan adapun rukhsah (keringanan) bagi mukallaf yang tidak mampu
melaksanakan pencatatan hutang sebagaimana mestinya, seperti mukallaf yang
sedang dalam perjalanan. Maka dalam keadaan yang demikian mukallaf boleh
tidak melaksanakan pencatatan hutang-piutang. Namun, mukallaf tetap harus
menghilangkan keraguan, atau menguatkan kepercayaan satu sama lainnya
dengan cara yang lain, yaitu dengan memberikan jaminan. Sebagaimana firman
allah dalam Qs. Al-Baqarah : 283

ٗ‫َؤ ِّد الَّ ِذى ۡاؤتُ ِمنَ اَ َمانَـتَه‬JJُ‫ا فَ ۡلي‬J‫ض‬


ً ‫ ُكمۡ بَ ۡع‬J‫ض‬ ُ ‫ضةٌ ‌ ؕ فَا ِ ۡن اَ ِمنَ بَ ۡع‬ َ ‫َواِ ۡن ُك ۡنتُمۡ ع َٰلى َسفَ ٍر َّولَمۡ تَ ِجد ُۡوا َكاتِبًا فَ ِر ٰه ٌن َّم ۡقب ُۡو‬
‫ق هّٰللا َ َربَّهٗ‌ؕ َواَل ت َۡكتُ ُموا ال َّشهَا َدةَ ‌ ؕ َو َم ۡن ي َّۡكتُمۡ هَا فَاِنَّهٗۤ ٰاثِ ٌم قَ ۡلبُهٗ‌ؕ َو هّٰللا ُ بِ َما ت َۡع َملُ ۡونَ َعلِ ۡي ٌم‬ ۡ
ِ َّ‫َوليَت‬

Artinya : “Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan
seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi,
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa

7
kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian,
karena barangsiapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa).
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Akan tetapi, apabila seorang mukallaf tidak sedang dalam perjalanan, maka
mukallaf hendaklah/sangat dianjurkan untuk melakukannya sebagaimana
hukum ashalnya. Dan yang demikian itu disebut sebagai ‘Azimahnya.

2.4 Mahkum Fih

Mahkum fih merupakan perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan-atau dibebani-


dengan hukum syara’. Maksudnya setiap perbuatan yang jika dilakukan ataupun
ditinggalkan tetap mengandung hukum syara’. Sebagaimana halnya pelaksanaan
wudhu’ dalam sholat yang dihukum wajib untuk dilaksanakan sebelum sholat, dan tetap
harus melaksanakan penggantinya saat ada kendala yang sesuai syara’ dalam
melaksanakan wudhu’ tersebut. Seperti halnya mengganti wudhu’ dengan bertayamum
dikarenakan adanya penykit yang menjadikan seseorang tidak boleh tersentuh air.
Dengan kata lain yang menjadi objek dari hukum itu adalah perbuatan mukallaf itu
sendiri. Qs. al-Maidah : 6

ٓ
ُ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍن اِ ٰلى اَ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَا ْكتُبُ ْو ۗه‬

Mahkum fih pada ayat ini adalah kata ‫كتب‬

2.5 Mahkum ‘Alaih

Mahkum ‘Alaih merupakan mukallaf yang melakukan tindakan yang berhubungan


dengan hukum syara’. Dalam hal wudhu’ maka yang menjadi mahkum ‘alaihnya adalah
mukallaf yang sudah memenuhi syarat wudhu’ sepeti yang penulis sebutkan diatas.
Sebab, mukallaflah yang dibebani hukum atas tindakan berwudhu’ yang dimaksud pada
Qs. al-Maidah : 6 tersebut.

ٓ
ُ‫ن اِ ٰلى اَ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَا ْكتُبُ ْو ۗه‬Jٍ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي‬

Mahkum ‘Alaih pada ayat ini adalah mukallaf secara umum. Hal ini diketahui dari isim
domir yang melekat pada kata ‫كتب‬Sehingga, mahkum ‘alaih pada ayat tersebut adalah
mukallaf secara umum.

8
9
BAB III

3.1 Kesimpulan

Pencatatan Hutang-piutag memang bukan merupakan hal yang wajib menurut


pandangan mayoritas ulama. Akan tetapi, pelaksanaan pencatatan hutang sangatlah
dianjurkan untuk menghindari perpecahan dan perselisihan akibat keragu-raguan perihal
hutang-piutang.

3.2 Kritikan dan Saran

Penulis menyadari bahwasanya Makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan dan
masih terdapat banyak kesalahan – kesalahan untuk itu saya sangat mengaharapkan
kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun untuk lebih baiknya makalah
saya di kedepan hari. Dan saya berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua,khususnya diri saya pribadi untuk menambah wawasan kita bersama tentang
“HUKUM PENCATATAN HUTANG-PIUTANG (Ditinjau Dari Segi Hukum Taklifi
Dan Hukum Wadh’i)” ini.

10
11
DAFTAR PUSTAKA

Koto, Prof. Dr. H. Alaidin M.A, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Rajawali Press, Jakarta :
2016).

Al-ashqolani, al-hafidz ibn Hajar, Terjemahan Bulughul Maram, Toha


Putra:2003.Semarang.

Anda mungkin juga menyukai