Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

HUKUM WADH’I

DISUSUN
KELOMPOK 6

Muliasari (22)
Nurfitri (220440095)
Nabila Novianita (220440088)
Putri Werdia Rizky (220440064)
Riski Prtama (220440102)

DOSEN PEMBIMBING
NAZLI HASAN, Lc., MA

PRODI EKONOMI SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS MALIKUSSALEH LHOKSEUMAWE 2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah, karena atas berkat
dan limpahan rahmat-Nya lah maka kami bisa menyelesaikan sebuah karya tulis
dengan tepat waktu. Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah dengan
judul "Hukum Wadh'i", yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang
besar bagi kita semua. Melalui kata pengantar ini kami lebih dahulu meminta
maaf dan memohon permakluman bilamana isi makalah ini ada kekurangan dan
ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca.
Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih
dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan
manfaat kepada kita semua. Semoga makalah ini bermanfaat.

Lhokseumawe, 31 Mei 2023


Kelompok 6

Hukum Wadh’i Kelompok 6 |i


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................1
C. Tujuan Penelitian.................................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................2
PEMBAHASAN...............................................................................................................2
A. Pengertian Hukum Wadh’i..................................................................................2
 Klasifikasi Hukum Wadh’i..................................................................................3
1. Sebab.....................................................................................................................3
2. Syarat....................................................................................................................4
3. Mani'.....................................................................................................................6
4. Shah.......................................................................................................................7
6. Azimah..................................................................................................................8
7. Rukshah................................................................................................................8
BAB III...........................................................................................................................10
PENUTUP.......................................................................................................................10
A. Kesimpulan.........................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................11

H u k u m W a d h ’ i K e l o m p o k 6 | ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Melihat semakin kompleksnya masalah-masalah yang dihadapi
manusia pada era perkembangan zaman, Ushul Figh dengan beberapa
hukum Syara' yang berguna untuk menjawab berbagai masalah yang di
hadapi manusia pada perkembangan zaman. Dalam pembagian hukum
syara', Ushul Figh membagi hukum syara' menjadi dua, yaitu hukum
taklif'i dan hukum wadh'i. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang
hukum wadh'i beserta macam-macamnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari hukum Wadh'i ?
2. Apa macam-macam hukum Wadh'i ?
3. Apa definisi Mani’dan klasifikasinya ?
4. Apa definisi Fasid / Batal ?
5. Apa azimah, Rukshah ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui hukum Wadh’I
2. Untuk mengetahui macam-macam hukum Wadh’i
3. Untuk mengetahui definisi Mani’ dan klasifikasinya
4. Untuk mengetahui definisi Fasid / Batal
5. Untuk mengetahui definisi Rukshah

Hukum Wadh’i Kelompok 6 |1


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Wadh’i


Hukum wadh'i adalah firman Allah SWT yang menuntut manusia untuk
mengetahui sebab yang mewajibkan, syarat yang mesti dipenuhi dan penghalang-
penghalang untuk melakukan hukum taklifi. Oleh sebab itu, hukum wadh'i terbagi
kepada beberapa bagian, antara lain: sebab, syarat, dan mani' (penghalang), sah,
fasad, batal, azimah, dan ruklıshah1.

Kata al-wadh merupakan mashdar dari wadha'a, dapat diartikan dengan


penurunan, penjatuhan, pukulan, pemalsuan, atau rekayasa, pengarangan dan
peletakan. Dalam definisi hukum syarak, kata al-wadh yang mewakili hukum
wadh'ī, berarti peletakan, yakni peletakan sesuatu menjadi hukum syarak.
Berbagai literatur usul fikih berbahasa Indonesia menerjemahkan al-wadh dengan
kata “ketetapan". Dalam bahasa Indonesia, selain makna "peletakan", kata al-
wadh dalam definisi hukum juga bisa diartikan dengan "tatakan", yang dekat
maknanya dengan kata peletakan. Al- wadh juga dapat dimaknai dengan ukuran.
Dengan pemaknaan ini, "aka dapat dipahami bahwa hukum wadh 'i merupakan
tatakan atau ukuran bagi hukum taklīfi. Al-wadh dapat dimaknai dengan tatakan
dan model selain karena maknanya dekat, juga fungsi hukum al-wadh 'ī adalah
tatakan dan ukuran bagi hukum taklīfi. Hukum wadh 'ī, bagian kedua dari hukum
syarak adalah titah tuhan yang menjadikan atau menetapkan sesuatu menjadi
sebab atau syarat atau penghalang bagi suatu perbuatan mukallaf.2

 Klasifikasi Hukum Wadh’i

1
Iwan Hermawan, Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam(Kuningan:Hidayatul quran,2019),78.
2
Ahmad Sholihin Siregar, Ayatul Ahkam: Dasar Seleksi dan Konstruksi(Aceh: Mahara
Publishing,2018),32.

Hukum Wadh’i Kelompok 6 |2


1. Sebab
Sebab menurut bahasa berarti sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang
kepada sesuatu yang lain.

Sedangkan Menurut istilah

“ Sebab ialah menjadikan sifat yang pasti sebagai sangkutan bagi adanya
hukum, artinya adanya sifat itu melazimkan adanya hukum dan tidak adanya
sifat itu melazimkan tidak adanya hukum. “

Misalnya, tindakan perzinaan menjadi sebab (alasan) bagi wajib


dilaksanakan hukuman atas pelakunya, keadaan gila menjadi sebab (alasan)
bagi keharusan ada pembimbingnya, dan tindakan perampokan sebagai sebab
bagi kewajiban mengembalikan benda yang dirampok kepada pemiliknya.

 Macam – macam sebab menurut para ulama


1. Dari segi objek, sebab terbagi menjadi dua:
a. Sabab al-waqti contohnya adalah firman Allah berikut ini
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir.” (QS. Al-Isra (17):
Dalam ayat tersebut Allah menjadikan tergelincirnya matahari sebagai
pertanda wajibnya shalat zuhur. Jadi tergelincirnya matahari merupakan
sebab adanya hukum wajibnya shalat zuhur.
b. Sabab al-Ma'nawi, contohnya seperti mabuk penyebab keharaman khamar.

2. Dari segi kemampuan mukallaf, sebab terbagi menjadi dua.


a. Sebab yang merupakan perbuatan dan mampu dilakukan.
b. Sebab yang bukan perbuatan mukallaf dan tidak mampu untuk dilakukan.

Hukum Wadh’i Kelompok 6 |3


3. Dari segi hukumnya, sebab terbagi menjadi dua
a. Sabab al-Masyru' ialah seluruh yang membawa kepada kemashlahatan
dalam pandangan syar'i.
b. Sabab Ghairu al-Masyru'ialah sebab yang membawa kepada kemaf
sadatan dalam pandangan syari.

4. Darisegi pengaruhnya terhadap hukum, sebab terbagi kepada dua bentuk.


a. Sebab yang berpengaruh kepada hukum.
b. Sebab yang tidak berpengaruh kepada hukum.

5. Dari segi jenis mussabab, terbagi menjadi dua macam.


a. Sebab bagi hukum taklifi. Contohnya seperti munculnya hilal sebagai
sebab diwajibkanya puasa.
b. Sebab untuk menetapkan hak milik, melepaskannya atau
menghalalkannya.

6. Dari segi hubungan sebab dengan mussabab, terbagi menjadi tiga macam.
a. Sabab al-Syari, yaitu sebab yang hubungannya dengan mussabab
dihasilkan hukum syari.
b. Sabab al-'aqli, sebab yang hubungannya dengan mussabab dihasilkan
melalui nalar manusia.
c. Sabab al-'adi, sebab yang hubungannya dengan mussabab dihasilkan pada
hukum 'adat atau kebiasaan3

2. Syarat
Syarat secara bahasa sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum mesti
dengan ketidak adaannya tidak adanya hukum, namun tidak mesti dengan
keberadaannya adanya hukum.

3
Hayatuddin, amrullah. (2019). Ushul Fiqh: Jalan Tengah Memahami Hukum Islam. Jakarta:
Amzah, hlm 135

Hukum Wadh’i Kelompok 6 |4


Syarat secara istilah

“sesu
atu yang kepadanya tergantung keberadaan sesuatu yang kedua, sedangkan
sesuau yang pertama bukanlah merupakan bagian dari sesuatu yang kedua itu,
tetapi ketiadaan sesuatu yung kedua tidak mesti menyebabkan sesuatu pertama
tidak ada"4

Syarat mempunyai titik kesamaan dari segi keberadaan hukum tergantung


kepadanya. Perbedaan antara sebab dan syarat ialah bahwa keberadaan sebab
memastikan ke beradaan hukum. Umpamanya dengan tergelincirnya matahari
pasti masuk waktu Zuhur. Keberadaan syarat belum memastikan keberadaan
hukum. Umpamanya dengan telah berwudhu belum tentu sahnya shalat, karena
mungkin sajadia tidak menghadap kiblat. Dari segi yang disyaratkan itu berada
dalam hakikat sesuatu atau berada di luarnya, syarat itu terbagi dua:
1. Rukun, yaitu yang menentukan adanya hukum itu berada dalam hakikat
yang dikenai hukum itu sendiri. Umpamanya sujud dalam shalat. Sujud itu
di samping harus dilakukan, ia juga merupakan bagian dari shalat itu
sendiri.

2. Syarat, yaitu sesuatu yang harus ada untuk adanya hukum, namun ia
berada di luar hakikat sesuatu yang dikenai hukum itu. Umpamanya
menghadap kiblat waktu shalat. Menghadap kiblat menentukan sahnya
shalat, namun ia bukan bagian dari shalat itu5

4
Ibid, hlm 138
5
Syarifuddin, Amir, Garis-Garus Besar Ushul Fiqh, Jakarta, Kencana, 2014,20

Hukum Wadh’i Kelompok 6 |5


3. Mani'
Mani' adalah perkara yang adanya ini menyebabkan tidak adanya hukum atau
batalnya sebab-sebab hukum walaupun menurut syara' telah terpenuhi syarat dan
rukunnya, tapi karena adanya mani' mencegah berlakunya hukum.
Mani' menurut istilah.

“ Sesuatu yang ditetapkan syari' keberadaannya menjadikan ketiadaan hukum


atau ketiadaan sebab, maksudnya batal.”6

Contoh utang menjadi mani' wajib mengeluarkan zakat, jadi utang menjadi
pencegah terpenuhinya sebab-sebab diwajibkannya zakat. Harta orang yang
berutang sebenarnya bukan miliknya tapi milik orang yang dihutangi, utang inilah
yang menghapus syarat yang menjadi pelemgkap sebab hukum syara' sehingga
tidak dianggap tidak memenuhi syarat wajib zakat.

Ulama Hanafi membagi mani' menjadi lima macam:


1. Mani' yang menghalangi sah sebab hukum. Seperti menjual orang
merdeka.
2. Mani' yang jadi penghalang kesempurnaan sebab. Contoh orang yang
punya utang mencegah wajibnya zakat.
3. Mani' yang menjadi penghalang berlakunya hukum. Seperti khiyar syarat,
penjual menghalangi pembeli mengguanakan haknya terhadap barang
yang dibelinya selama masa khiyar berlaku.
4. Mani' yang menghalangi sempurnanya hukum seperti khiyar ru'yah.
Khiyar rukyah ini tidak menghalangi lahirnya hak milik namun hak milik
itu dianggap sempurna sebelum melihat barangnya walau sudah di tangan
pembeli.
5. Mani' yang menghalangi berlakunya hukum, seperti aib.

6
Ibid, hlm 140

Hukum Wadh’i Kelompok 6 |6


4. Shah
Shah yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah "sah" - digunakan
secara mutlak dengan dua pandangan : Dimaksud dengan shah bahwa perbuatan
itu mempunyai pengaruh dalam kehidupan dunia atau dengan arti perbuatan itu
mempunyai arti secara hukum. Dimaksud dengan sah bahwa perbuatan itu
mempunyai pengaruh atau arti untuk kehidupan akhirat, seperti berhaknya atas
pahala dari Allah swt. Bila dikatakan perbuatan itu diharapkan mendapat pahala
diakhirat. Baik dalam pengertian pengaruh dalam tinjauan dunia atau akhirat,
maka suatu perbuatan dikatakan sah bila perbuatan itu dilakukan sesudah ada
sebab, terpenuhi rukun dan telah terhindar dari segala bentuk mani. Dari
keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksdu dengan shah- baik
dalam bidang ibadat atau muamalah adalah ; telah mencapai tujuan". Artinya
tuntutan berbuat untuk mengikuti tujuan dari hukum itu dibenarkan Allah. Tujuan
itu telah tercapai bila hukum telah terlaksana. Pencapaian tujuan di sini berbeda
antara ibadat dan akad pada muamalah.

5. Fasad atau Batal


Fasad merupakan kebalikan dari shah. Istilah ini tidak berlaku di kalangan
jumhur ulama karena bagi mereka, fasid mempunyai arti yang sama dengan batal,
baik dalam bidang ibadat maupun muamalah. Pengertian fasid hanya berlaku di
kalangan ulama Hanafiyah; itupun hanya dalam bidang muamalah ini ada
perbedaan antara fasid dengan batal. Dengan demikian, terdapat kesamaan
pendapat dalam hal penamaan batal dengan fasid dalam ibadat, yaitu sesuatu
perbuatan yang dilakukan tidak memenuhi rukun dan syarat, atau belum berlaku
sebab atau terdapat mani.
7

7
Bahrudin, Moh. (2019). Ilmu Ushul Fiqh. Bandar Lampung: Aura, hlm 106

Hukum Wadh’i Kelompok 6 |7


6. Azimah
Azimah Secara bahas adalah (kehendak untuk mengokohkan). Sedangkan secara
istilah

“Hukum yang ditetapkan Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum umum.
Yang dimaksud dengan "ditetapkan pertama kali" berarti bahwa pada
mulanya pembuat hukum bermaksud menetapkan hukum taklifi kepada hamba.
Hukum ini tidak didahului oleh hukum lain. Seandainya ada hukum lain yang
mendahuluinya, hukum yang terdahulu itu tentu di-nasakh dengan hukum yang
datang belakangan. Dengan demikian hukum 'Azimah ini barlaku sebagai hukum
pemula dan sebagai pengantar kepada kemaslahatan yang bersifat umum.
Sedangkan yang maksud dengan "hukum-hukum umum" mengandung arti bahwa
hukum tersebut berlaku untuk semua mukallaf dan tidak diten- tukan untuk
sebagian mukallaf atau semua mukallaf dalam semua situasi dan kondisi.
Dengan demikian hukum Azimah adalah hukum yang telah disyariatkan oleh
Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak semula. Artinya belum ada
disyariatkannya seluruh mukalaf wajib mengikutinya, seperti shalat lima waktu
diwajibkan atas segenap orang di setiap saat dan keadaan, asal saja orang itu
masih dipandang cukup kuat untuk mengerjakannya. Hukum wajib shalat lima itu,
hukum 'Azimah namanya'.8

7. Rukshah
Rukhsah secara bahasa rukhshah adalah yang berarti keringanan dan
kemudahan. Secara Istilahi ada beberapa defenisi yang diberikan oleh ulama ushul
tentang rukhshah, Dari defenisi tersebut dapat dipahami bahwa Rukhshah adalah
ketetapan hukum yang menyalahi atau berbeda dari hukum yang ditetapkan
secara kulli atau dalam istilah ushul disebut dengan azimah, Rukhshah lebih
bermakna adanya pengecualian dari hukum-hukum yang ditetapkan secara
global dan berlaku umum.

8
Ibid, hlm 141

Hukum Wadh’i Kelompok 6 |8


 Pembagian Rukhshah
Bila dilihat dari sisi hukumnya , ulama syafi'i dan hanafi membagi
Rukhshah kepada beberapa bagian. hukum Rukhshah terbagi kepada:
1. Rukhshah wajib. Contohnya memakan bangkai dalam keadaan
darurat atau meminum khamar bagi orang yang tenggorokannya
tersekat sehingga tidak bisa bernafas. Maka jika berada dalam kondisi
ini hukumnya wajib untuk mengambil Rukhshah untuk memelihara
jiwa.
2. Rukhshah mandub. Contohnya salat qasar bagi musafir yang telah
melakukan perjalanan selama tigahari. Adapun qasar dalam kondisi ini
adalah sunnat atau lebih afdhal melakukannya
3. Rukhshah Mubah. Contohnya seperti akad salam, akad ijarah, akad
masaqah. Akad ini dikategorikan rukhshah yang mubah karena
memandang hukum asalnya yang tidak diperbolehkan karena dianggap
membeli barang yang ma'dum dan mengambil manfaat yang ma'dum.
4. Rukhshah khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan). Contohnya
berbuka bagi musafir yang tidak mengalami kesulitan untuk me-
laksanakan puasa, menyapu se- patu, melafazkan kafir dalam kondisi
terpaksa.

Hukum Wadh’i Kelompok 6 |9


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum wadh'i adalah firman Allah SWT yang menuntut manusia untuk
mengetahui sebab yang mewajibkan, syarat yang mesti dipenuhi dan penghalang-
penghalang untuk melakukan hukum taklifi. Oleh sebab itu, hukum wadh'i terbagi
kepada beberapa bagian, antara lain: sebab, syarat, dan mani' (penghalang), sah,
fasad, batal, azimah, dan ruklıshah.
Sebab menurut bahasa berarti "sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang
kepada sesuatu yang lain." Menurut istilah ushul fiqh, seperti dikemukakan Abdul
Karim Zaidan Yaitu “sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi
adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum”

Syarat Sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum mesti dengan


Aketidakadaannya tidak adanya hukum, namun tidak mesti dengan keberadaannya
adanya hukum

Mani' adalah perkara yang adanya ini menyebabkan tidak adanya hukum atau
batalnya sebab-sebab hukum walaupun menurut syara' telah terpenuhi syarat dan
rukunnya, tapi karena adanya mani' mencegah berlakunya hukum.

Sah dan batal adalah dua kata dalam hukum wadh'i yang merupakan hasil dari
perbuatan dalam hukum taklif yang dihubungkan kepada hukum wadhi

Azimah Secara bahasa adalah (kehendak untuk mengokohkan) sedangkan


secara istilah mengandung arti bahwa padamulanya pembuat hukum bermaksud
menetapkan hukum kepada hamba-Nya yang tidak didahului oleh hukum yang
lain

H u k u m W a d h ’ i K e l o m p o k 6 | 10
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sholihin Siregar, Ayatul Ahkam: Dasar Seleksi dan Konstruksi(Aceh: Mahara
Publishing,2018),32.
Bahrudin, Moh. (2019). Ilmu Ushul Fiqh. Bandar Lampung: Aura.
Hayatuddin, amrullah. (2019). Ushul Fiqh: Jalan Tengah Memahami Hukum Islam. Jakarta: Amzah.
Iwan Hermawan. 2019. Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam. Kuningan : Hidayatul quran.
Syarifuddin Amir. 2014. Garis-Garus Besar Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana.

H u k u m W a d h ’ i K e l o m p o k 6 | 11

Anda mungkin juga menyukai