Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

USHUL FIQH
“METODOLOGI QIYAS”

Diajukan sebagai salah satu syarat mengikuti Mata Kuliah Ushul fiqh

DISUSUN OLEH :
NIA NUR AINI (11920521975)

DOSEN PEMBIMBING
MUHAMMAD ABDI AL MAKTSUR, M.Ag.

JURUSAN EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan sehingga
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "METODOLOGI QIYAS" pada waktu yang
ditentukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta yakni Nabi Muhammad SAW. Semoga kita
mendapatkan syafa'atnya di hari akhir kelak.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Abdi Al
Maktsur, M.Ag. selaku pengampu mata kuliah Ushul Fiqh dan penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mengarahkan dan mendukung dalam pembuatan
makalah ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu penulis menyampaikan
permintaan maaf yang sebesar-besarnya kepada pembaca. Selanjutnya penulis juga
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan dan
kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini bermanfaat
dan dapat digunakan dengan semestinya.

Pekanbaru, April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................................ii
BAB I ........................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
1.3 Tujuan dan Manfaat.......................................................................................... 2
BAB II ....................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 2
2.1 Pengertian Qiyas.................................................................................................. 3
2.2 Dasar-dasar Hukum Qiyas................................................................................... 5
2.3 Rukun dan Syarat Qiyas ...................................................................................... 7
2.4 Pembagian Qiyas. ................................................................................................ 9
2.5 Kaidah-kaidah Qiyas. ........................................................................................ 10
2.6 Contoh Penerapan Metode Qiyas ...................................................................... 11
2.7 Tempat berlakunya Qiyas .................................................................................. 12
BAB III ................................................................................................................................... 13
PENUTUP .............................................................................................................................. 13
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 13
3.2 Saran ................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam tradisi hukum Islam dikenal adanya sumber hukum; yaitu al-Qur‟an, Sunnah,
Ijma‟ dan qiyas. Al-Qur‟an merupakan sumber utama hukum Islam. Karenanya dalam
perujukan hukum-hukum Islam al-Qur‟an haruslah dikedepankan. Bila dalam alQur‟an tidak
ditemukan maka beralih kepada al-Sunah, Karena AlSunah adalah penjelas bagi kandungan
al-Qur‟an. Apabila di dalam al-Sunah tidak ditemukan maka beralih kepada Ijma‟ karena
sandaran Ijma‟ adalah nash-nash Al-Qur‟an dan Al-Sunah. Bila dalam Ijma‟ tidak ditemukan
maka haruslah merujuk kepada qiyas. Karena qiyas merupakan suatu perangkat untuk
melakukan ijtihad.
Pada prinsipnya, qiyas memberikan pemahaman kepada para ulama bahwa dua kasus
yang berbeda dapat dipecahkan dengan mengacu pada aturan yang sama. Qiyas merupakan
salah satu metode istinbat (menggali) hukum yang populer di kalangan mazhab Syafi‟i.
Dalam urutannya, mazhab Syafi‟i menempatkan qiyas berada di urutan keempat setelah al-
Qur‟an, Hadis, dan ijmak. Imam Syafi‟i sebagai pelopor mujtahid yang menggunakan qiyas
sebagai satu satu jalan untuk menggali hukum, mengatakan bahwa yang dinamakan ijtihad
adalah qiyas. Beliau mengatakan bahwa “ijtihad” dan “qiyas” merupakan dua kata yang
memiliki makna yang sama. Artinya, dengan cara qiyas, berarti para mujtahid telah
mengembalikan ketentuan hukum sesuai dengan sumbernya: Al-Qur‟an dan Hadis.
Adapun artikel ini akan membahas qiyas sebagai salah satu metode istinbat hukum dalam
koridor usul fikih dengan mengulas berbagai unsur dan aspeknya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian Qiyas?
2. Apa Dasar Hukum Qiyas?
3. Apa saja Rukun dan syarat Qiyas?
4. Apa saja pembagian Qiyas?
5. Apa saja kaidah-kaidah Qiyas?
6. Bagaimana contoh penerapan metode qiyas?
7. Dimana tempat berlakunya Qiyas?

1
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Pengertian Qiyas.
2. Untuk mengetahui Dasar-dasar Hukum Qiyas.
3. Untuk mengetahui Rukun dan syarat Qiyas.
4. Untuk mengetahui pembagian Qiyas.
5. Untuk mengetahui Kaidah-kaidah Qiyas.
6. Untuk mengetahui contoh pengunaan metode qiyas.
7. Untuk mengetahui dimana tempat berlakunya Qiyas.

2
BAB II
PEMBAHASAN
METODOLOGI QIYAS
2.1 Pengertian Qiyas
Secara etimologi, qiyas merupakan bentuk masdar dari kata qasa-yaqisu, yang artinya
ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Amir Syarifudin menjelaskan bahwa qiyas berarti
qadara yang artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya.1
Adapun arti qiyas secara terminologi menjadi perdebatan ulama, antara yang mengartikan
qiyas sebagai metode penggalian hukum yang harus tunduk pada nash, dan yang
mengartikan qiyas sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri di luar nash. Menurut ulama
ushul fiqh, Pengertian qiyas secara terminologi sebagaimana yang dipaparkan Amir
Syarifuddin terdapat beberapa definisi, diantaranya:
1. Al-Ghazali dalam al-Mustasfa mendefinisikan qiyas:
“Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam
hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya
disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan
hukum.”
2. Ibnu Subki dalam bukunya Jam’u al-Jawmi memberikan definisi qiyas:
“Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena
kesamaannya dalam ’’Illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan
(Mujtahid).”
3. Imam Baidhowi dan mayoritas ulama Syafi'iyyah mendefinisikan qiyas:
"Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui
dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi
keduanya, baik hukum maupun sifat."
4. Qiyas menurut Abu Zahrah adalah:
“Menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada
perkara lain yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam „‘Illat hukum.”
5. DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas:

1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 144

3
“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan
sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan „‘Illat antara
keduanya”.
6. Menurut ulama ushul fiqh, qiyas ialah menetapkan hukum dari suatu kejadian atau
peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu
kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash
karena ada persamaan ‘‘Illat antara kedua kejadian atau peristiwa tersebut.

Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para
ulama ushul fiqih diatas, tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum
melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal melainkan hanya
menyingkapkan dan menjelaskan hukum pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya.
Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti
terhadap ‘illa dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila ‘‘Illat -nya sama dengan ‘‘Illat
hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah
hukum yang telah ditentukan oleh nash.2
Jadi qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada
satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum. Karena itu tugas pertama
yang harus dilakukan oleh seseorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari apakah ada
nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika
telah diyakini benar-benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas. Menurut
Imam Syafi‟i, tidak boleh melakukan qiyas kecuali orang yang telah berhasil memiliki alat-
alat qiyas, yaitu; mengetahui hukum-hukum al-Qur‟an yakni fardu (kewajiban), adab
(kesusasteraan), nasikh mansukh (yang menghapus dan yang dihapus), ‘amm-khas (umum-
khusus), irsyad (petunjuk) dan nadb-nya (anjurannya).3

2
Satria Efendi,M. Zein, Ushul Fiqh, Cet 1, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 130
3
Abdul Karim al-Khatib., Ijtihad; Menggerakkan Potensi Dinamis Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama,
2005, hal. 87-88.

4
2.2 Dasar Hukum Qiyas
Mengenai dasar hukum qiyas yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-
Qur'an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:
a. Al-Quran
Allah SWT berfirman:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan
ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisâ': 59)
Dari ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan
kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits.
Jika tidak ada dalam al-Qur'an dan al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri.
Jika tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya
kepada al-Qur'an dan al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau
memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadits. Dalam hal
ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan qiyas.
b. Al-Hadits.
1. Setelah Rasulullah SAW melantik Mu'adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau
bertanya kepadanya:
Artinya:
"Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu
peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika
engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan
dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah?
Mu'adz menjawab :
Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh.
(Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi
Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia
berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud
dan at-Tirmidzi)

5
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-
Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan
dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
2. Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang
dikemukakan sahabat kepadanya, seperti:
Artinya:
"Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah
SAW ia berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi
ia tidak sempat melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku
berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah
haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu
yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah
lebih utama untuk dibayar." (HR. Bukhari dan an-Nasâ'i)
Pada hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang
kepada manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal
dunia dalam keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan
nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab
dengan mengqiyaskannya kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam
keadaan berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang
kepada Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada manusia. Jika hutang
kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah lebih utama harus
dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah SAW menggunakan qiyas
aulawi.
c. Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu
peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar.
Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding
sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau
sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar

6
mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar
menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.
Khalifah Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy'ari
yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim
mengambil keputusan. Diantara isi surat beliau itu ialah:
Artinya:
"kemudian pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu
tentang perkara yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Kemudian lakukanlah
qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-
contohnya, kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi
Allah dan yang paling sesuai dengan kebenaran"
d. Akal
Tujuan Allah SWT menetapakan syara' bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada
itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak
diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya ada yang 'illatnya sesuai benar dengan 'illat hukum dari
peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak
ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash
karena ada persamaan 'illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada
hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara
qiyas.4

2.3 Rukun dan syarat Qiyas.


1. Ashl (asal), yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadikan ukuran atau
tempat menyerupakan atau mengqiyaskan. Dalam istilah ushul disebut ashl atau maqis
„alaih atau musyabbah bih. Syarat-syaratnya:
 Harus ada dalil atau petunjuk yang membolehkan mengqiyaskan sesuatu kepadanya,
baik secara nau‟I atau syakhsi (lingkungan yang sempit atau terbatas).
 Harus ada kesepakatn ulama tentang adanya illat pada ashal maqis alaih itu.

4
DR. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, cet-2, (Pamulang: PT. Logos Wacana Ilmu. 1997), hlm. 66

7
2. Far‟u (cabang),yaitu sesuatu yang tidak dinash-kan hukumnya yang diserupakan atau
yang diqiyaskan. Dalam istilah ushul disebut Al-Far‟u atau Al-Maqis atau Al-
Musyabbah. Syarat-syaratnya:
 Illat yang terdapat pada furu memiliki kesamaan dengan illat yang terdapat pada
ashal.
 Harus ada kesamaan antara furu itu dengan ashal dalam hal ilat maupun hukuum baik
yang menyangkut ain atau jenis dalam arti sama dalam ain illat atau sejenis illat dan
sama dalam ain hokum atau jenis hukum.
 Ketetapan pada hukum tidak menyalahi dalil qat‟i.
 Tidak terdapat penentang hukum lain yang lebih kuat terhadap hukum pada furu dan
hukum dalam penentang itu berlawan dengan illat qiyas itu.
 Furu itu tidak pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu.
 Furu itu tidak mendahului ashal dalam keberadaannya.

3. Hukum ashl yaitu hukum syara‟ yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan
menjadi hukum pula bagi cabang. Adapun syarat-syaratnya:
 Hukum ashal itu adalah hukum syara, karena tujuan qias syari adalah untuk
mengetahui hukum syara pada furu.
 Hukum ashal itu ditetapkan dengan nash bukan dengan qiyas.
 Hukum ashal itu adalah hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang telah di
nasakh.
 Hukum ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan qiyas.
 Hukum ashal itu harus disepakati oleh ulama.
 Dalil yang menetapkan hukum ashal secara langsung tidak menjangkau kepada furu.

4. Illat yaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya atau suatu sifat yang
ada pada ashal dan sifat yang dicari pada far‟u.5 Syarat-syaratnya :
 Illat itu harus mengandung hikmah yang mendorong pelaksanaan suatu hukum dan
dapat dijadikan sebagai kaitan hukum.

5
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan keuangan kontemporer, cet 2, (Jakarta: Kencana, 2018), hlm. 63

8
 Illat itu adalah suatu sifat yang jelas dan dapat disaksikan.
 Illat itu harus dalam bentuk sifat yang terukur, keadaannya jelas dan terbatas,
sehingga tidak tercampur dengan yang lainnya.
 Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang akan
menjadi illat.
 Illat itu harus mempunyai daya rentang.
 Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat itu tidak dipandang untuk menjadi
illat.6

2.4 Pembagian Qiyas.


Pembagian qiyas dapat dilihat dari berbagai segi sebagai berikut:
1. Pembagian qiyas dari segi kekuatan illat yang terdapat pada furu, dibandingkan pada ilat
yang terdapat pada ashal.
a) Qiyas awlawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu lebih kuat dari
pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan illat pada furu.
b) Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu sama keadannya
dengan berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan illatnya sama.
c) Qiyas adwan, yaitu yang yang berlakunya hukum pada furu lebih lemah
dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipu qiuas tersebut
memenuhi persyaratan.
2. Pembagian qiyas dari segi kejelasan illatnya
a) Qiyas jali, yaitu qiyas yang illlatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan
penetapan hukum ashal atau tidak ditetapkan illat itu dalam nash, namun titik
pembedaan antara ashal dengan furu dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya.
b) Qiyas khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash. Maksudnya
diistinbatkan dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan illatnya bersifat
zhanni.
3. Pembagian qiyas dari segi keserasian illatnya dengan hukum
a) Qiyas muatsir, yang diibaratkan dengan dua definisi

6
Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,(Jakarta:Kencana,2008),hlm.180-193

9
 Pertama, qiyas yang illat penghubung antara ashal dan furu ditetapkan dengan
nash yang syarih atau ijma.
 Kedua,qiyas yang ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghuubungkan
ashaldengan furu itu berpengaruh terhadap ain hukum.
b) Qiyas mulaim, yaitu qiyas yang illat hukum ashal dalam hubungannya dengan
hukum haram adalah dalam bentuk munasib mulaim.
4. Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas itu
a) Qiyas ma‟na atau qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun illatnya
tidak dijelaskan dalam qiyas namun antar ashal dengan furu tidak dapat dibedakan,
sehingga furu itu seolah-olah ashal itu sendiri.
b) Qiyas illat, yaitu qiyas yang illatnya dijelaskan dan illat tersebut merupakan
pendorong bagi berlakunya hukum dalam ashal.
c) Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penerapan hukum itu
sendiri namun ia merupakan keharusan (kelaziman) bagi illat yang memberi
petunjuk akan adanya illat.
5. Pembagian qiyas dari segi metode (masalik) yang digunakan dalam ashal dan dalam
furu.
a) Qiyas ikhalah, yaitu qiyas yang illat hukumnya ditetapkan melalui metode
munasabah dan ikhalah.
b) Qiyas syabah, yaitu qiyas yang hukum ashalnya ditetapkan melalui metode syabah.
c) Qiyas sabru, yaitu qiyas yang illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode sabru
wa taqsim.
d) Qiyas thard, yaitu qiyas yang illat hukum ashalnya ditetapkan melalui thard.7

2.5 Kaidah-kaidah Qiyas


Zakariya bin Ghulam Qadir al-Bakistani, dalam kitabnya Min ushul al-Fiqh ‘ala manhaj
ahl al-hadits, mengemukan 10 kaidah pokok qiyas sebagai berikut.
1. Qiyas adalah salah satu hujjah syar‟iyyah.
2. Tidak ada qiyas dalam pertentangan dengan nash.

7
Teungku Muhammad Hasbi Ash Sidieq, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001),
hlm.203-214

10
3. Qiyas tidak dilakukan kecuali dalam keadaan dibutuhkan atau terpaksa.
4. Qiyas itu adalah benar terhadap yang sudah ditetapkan oleh asal.
5. Qiyas yang benar didahulukan dari hadis yang dhaif.
6. Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan pendapat sahabat lainnya, didahulukan
dari qiyas.
7. Hukum itu beredar bersamaan ada dan tidaknya illat.
8. Illat tidak bisa ditetapkan kecuali dengan suatu dalil.
9. Tidak sah suatu pembenaran (mencari illat) berdasarkan keserupaan dalam bentuk.
10. Qiyas tidak berlaku dalam masalah ibadah.8

2.6 Contoh Penggunaan Metode Qiyas


Ketika seorang mujtahid ingin mengetahui hukum yang terdapat pada Bir, Wisky atau
Tuak. Kemudian setelah seorang mujtahid merujuk kepada nash al-Qur‟an ternyata tidak satu
pun nash yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Maka untuk menetapkan hukumnya
dapat ditempuh dengan cara qiyas yakni mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman
Allah SWT
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan
itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran
(meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan
sembahyang, Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.
Zat yang memabukkan itulah yang menjadi penyebab di haramkannya Khamr. Haramnya
meminum khamr tersebut berdasarkan „Illat hukumnya yakni memabukan. Maka setiap
minuman yang terdapat di dalamnya yang „Illat-nya sama dengan khamar dalam hukumnya
maka minuman tersebut adalah haram. Dengan demikian, mujtahid tersebut telah
menemukan hukum untuk bir, wisky atau tuak yaitu sama dengan hukum khamr, karena „Illat

8
Agus Miswanto, Ushul Fiqh: Metode Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama, 2018), hlm. 129-
131

11
keduanya adalah sama. Kesamaan „Illat antara kasus yang tidak ada nash-nya dengan hukum
yang ada nash-nya menyebabkan adanya kesatuan hukum.9

2.7 Tempat berlakunya Qiyas.


Sebagian ulama diantara Imam Syafi‟I berpendapat bahwa qiyas berlaku pada semua
hukum syariah, meskipun dalam perkara hudud, kafarat, taqditar (hukum-hukum yang telah
ditetapkan) dan hukum-hukum rukhsah, yakni hukum-hukum perkecualian, apabila syarat-
syaratnya sudah terpenuhi. Sebab dalil yang mendukung atas kehujjahannya tidak membeda-
bedakan antara satu macam hukum dengan hukum-hukum lainnya.
Ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat bahwa qiyas tidak berlaku pada masalah
hudud (pidana yang telah ditetapkan nash). Sebab ia termasuk batas yang telah ditetapkan
Allah yang tidak bisa diketahui illatnya oleh akal. Seperti seratus cambukan bagi pezina.
Disamping itu ialah karena dapat ditolak atau dihilangkan dengan kesyubhatan (ketidak
jelasan terjadinya). Sedangkan qiyas juga subhat, sebab ia menunjukan pada hukum dengan
cara dzanny bukan qat‟i. Maka uqubat yang telah diwajibkan tidak bisa ditetapkan kecuali
dengan dalil yang qat‟i. Adapun soal uqubat yang tidak ditentukan bentuk pidananya, yang
disebut dengan “Ta‟zir” maka qiyas dalam soal ini dapat berlaku. Demikian menurut
kesepakatan para ulama Fiqh.
Qiyas juga tidak berlaku dalam soal kafarat. Sebab, kafarat juga berarti uqubat, maka
hukumnyapun sama dengan uqubat. Demikian pula qiyas tidak berlaku pada soal rukhsah,
sebab ia merupakan hadiah ari Allah SWT, maka tidak berlaku qiyas padanya.
Begitu juga qiyas tidak berlaku dalam masalah ibadah. Maka qiyas tidak berlaku pada
pokok-pokok ibadah. Dan tidak sah menciptakan ibadah dengan cara mengqiyaskan pada
ibadah yang sudah ada ketetapannya. Qiyas juga tidak berlaku pada sesuatu yang akal tidak
mengetahui maksud dan tujuannya baik dari segi hukum maupun bagian-bagiannya,
sehingga tidak boleh mensyariatkan sesuatu ibadah yang tidak diizinkan Allah SWT.10

9
Op. Cit, Abdul Karim al-Khatib, hlm. 130
10
Syarmin Syukur,Sumber-Sumber Hukum Islam,(Surabaya:Al-Ikhlas,1993),hlm.167-168

12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menurut ulama ushul fiqh, qiyas ialah menetapkan hukum dari suatu kejadian atau
peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu
kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena
ada persamaan ‘‘Illat antara kedua kejadian atau peristiwa tersebut. Dasar hukum qiyas yang
membolehkannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Qur'an, Al-Hadits, Perbuatan sahabat dan
Akal. Rukun Qiyas terdiri dari Ashl, Far‟u, Hukum Ashl dan Illat. Sebagian ulama diantara
Imam Syafi‟i berpendapat bahwa qiyas berlaku pada semua hukum syariah, meskipun dalam
perkara hudud, kafarat, taqditar (hukum-hukum yang telah ditetapkan) dan hukum-hukum
rukhsah, yakni hukum-hukum perkecualian, apabila syarat-syaratnya sudah terpenuhi.

3.2 Saran
Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangannya, karena terbatasnya pengetahuan
dan kurangnya referensi dalam makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di
kesempatan berikutnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, Abdul Karim. 2005. Ijtihad: Menggerakkan Potensi Dinamis Hukum Islam. Jakarta:
gaya Media Pratama.
Ash-Sidieq, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Pustaka
Rizki Putra.
Efendi, Satria dan M.Zein. 2005. Ushul Fiqh, cet 1. Jakarta: Kencana.
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh, cet-2. Pamulang: PT Logo Wacana Ilmu.
Miswanto, Agus. 2018. Ushul Fiqh: Metode Ijtihad Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki
Putra.
Mufid, Moh. 2018. Ushul Fiqh Ekonomi dan keuangan kontemporer, set 2. Jakarta: Kencana.
Syarifuddin, Amir. 1997. UshulFiqh Jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh.Jakarta: Kencana.
Syukur, Syarmin. 1993. Sumber-sumber Hukum Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.

14

Anda mungkin juga menyukai