Anda di halaman 1dari 32

QIYAS

Makalah dibuat sebagai salah satu tugas mata kuliah Ushul Fiqh
Disusun oleh:
Dinda safira febrianti 22320103

Dosen pengampu:
Siti Shopiyah,MA

PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI (PIAUD)


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN JAKARTA
2022M/1144H
i

‫ِبْس ِم ِهّٰللا الَّرْح ٰم ِن الَّر ِح ْيم‬


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulllah senantiasa kami penjatkan kehadirat Allah


SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah
Ushul Fikih yang berjudul Qiyas dengan tepat waktu

Penulis mengucapkan terima kasih kepada ibu Siti Shopiyah, MA.


dosen Ushul Fikih. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan
yang dimiliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran
serta masukan bahkan kritikan dari teman- teman semua yang
konstruktif. Sadar akan keterbatasan penulis, sumbangan saran yang akan
sangat penulis harapkan.

Pamulang, 19 Oktober 2022

Penyusun

i
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................

DAFTAR ISI............................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1.2 Latar Belakang............................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................

1.3 Tujuan Penulisan........................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................

a.Pengertian Qiyas dan Kehujjahannya...........................................................................


b. Dasar Hukum Qiyas...................................................................................................
c.Rukun Qiyas.................................................................................................................
d. Produk hukum islam berdasarkan Qiyas...................................................................
e.Pengertian Illat hukum.................................................................................................
f. Sebab Illat dan hikmah Illat..........................................................................................
g. Macam-macam Illat dan metode mencari Illat /masalik Al-Illah
...................................................................................................................................
h. Hukum Ta’abubudi dan contohnya...........................................................................

BAB III PENUTUP................................................................................................................

a. KESIMPULAN................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

ii
1

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan pendapat untuk
menetapkan suatu hukum terhadap suatu cara atau kejadian yang belum
jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah.Dasar pemikiran Qiyas itu adalah
adanya kaitan yang era tantara hukum dengan sebab. Hampir setiap
hukum diluar bidang ibadah diketahui dapat alasan rasional ditetapkan
nya hukum itu oleh Allah.

Illat adalah patokan utama dalam menetapkan hukum atau


permasalahan, objek masalah adalah sesuatu yang tidak memiliki Nash.
Atas dasar keyakinan tersebut bahwa tidak ada yang luput dari hukum
Allah.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa pengertian Qiyas dan kehujjahan nya?
2. Apa saja dasar hukum Qiyas?
3. Apa saja rukun Qiyas?
4. Apa saja produk hukum islam berdasarkan Qiyas?
5. Apa pengertian Illat hukum?
6. Apa saja sebab Illat dan hikmah Illat?
7. Apa saja macam-macam Illat dan metode mencari Illat/masalik Al-
Illah?

1
2

8. Apa saja hukum Ta’abubudi dan contohnya

1.3 TUJUAN PENULISAN


1. Agar kita dapat mengetahui pengertian Qiyas dan kehujjahan nya
2. Agar kita dapat mengetahui dasar hukum Qiyas
3. Agar kita dapat mengetahui rukun Qiyas
4. Agar kita dapat mengetahui produk hukum islam berdasarkan Qiyas
5. Agar kita dapat mengetahui pengertian Illat hukum
6. Agar kita dapat mengetahui sebab Illat dan hikmah Illat
7. Agar kita dapat mengetahui macam-macam Illat dan metode mencari
Illat/masalik Al-Illah
8. Agar kita mengetahui hukum Ta’abubudi dan contohnya

2
3

BAB II
QIYAS

A. Pengertian Qiyas dan Kehujjahan nya

Secara etimologi, qiyas merupakan bentuk masdar dari kata qasa-


yaqisu(,‫يقيس‬-‫ ( ق اس‬yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu
(Ahmad Warsono Munawwir, 1984).

Amir Syarifudin menjelaskan bahwa qiyas berarti qodaro (‫ )قدر‬yang


artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya.
Sebagai contoh, "Fulan meng-qiyas-kan baju dengan lengan tangannya",
artinya membandingkan antara dua hal untuk mengetahui ukuran yang
lain. Secara bahasa juga berarti "menyamakan", dikatakan "Fulan meng-
qiyas-kan extasi dengan minuman keras", artinya menyamakan antara
extasi dengan minuman keras (Amir Syarifuddin, 1997:144).

Qiyas menurut istilah Ulama’ Ushul fiqh ialah menerangkan hukum


sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadits dengan cara
membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash. Mereka juga membuat definisi lain: Qiyas ialah menyamakan
sesuatu yang tidak ada nash.

3
4

hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya


persamaan illat hukum. 1

Qiyas berarti mempertemukan sesuatu yang tidak ada nas


hukumnya dengan hal lain yang ada nas hukumnya karena ada
persamaan Illat hukum. Dengan demikian, qiyas merupakan penerapan
hukum analogis terhadap hukumsesuatu yang serupa karena prinsip
persamaan Illat akan melahirkan hukum yang sama pula. Oleh
karenanya, sebagaimana yang diungkapkan Abu Zahrah, asas qiyas
adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan
persamaan sebab dan sifat yang membentuknya. Apabila pendekatan
analogis itu menemukan titik persamaan antara sebab-sebab dan sifat-
sifat antara dua masalah tersebut,maka konsekuensinya harus sama pula
hukum yang ditetapkan.

Kehujjahan qiyas menduduki urutan yang keempat setelah al-


Qur'an, hadis, dan ijmak. Menurut jumhur ulama, qiyas dapat digunakan
sebagai hujjah atas dalil hukum ketika tidak ditemukan hukum tentang
suatu peritiwa dari ketiga sumber hukum (al-Qur'an, hadis, dan ijmak),
sedangkan peristiwa tersebut memiliki ‘illat yang sama dengan kasus
yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an, hadis, dan ijmak. Pendapat para
ulama yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan sebagai hujjah
sumber hukum Islam ini berdasarkan firman Allah Swt. sebagai berikut.2

Pendapat para ulama yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan


sebagai hujjah.
1
Rebecca Safayona, “Fiqih Tentang Qiyas,” hal.6.
2
Harjan Syuhada, Sungarso Fiqih (Bumi Aksara 2021) h.47
5

sumber hukum Islam ini berdasarkan firman Allah Swt.


sebagai berikut.

‫ٰٓيَاُّيَه ا اَّل ِذ ْيَن ٰا َم ُن ْٓو ا َاِط ْيُع وا َهّٰللا َو َاِط ْيُع وا الَّرُس ْو َل َو ُاوِلى اَاْلْم ِر ِم ْنُك ْۚم َف ِاْن‬
‫َتَناَز ْع ُتْم ِفْي َش ْي ٍء َفُر ُّد ْو ُه ِاَلى ِهّٰللا َو الَّر ُسْو ِل ِاْن ُكْنُتْم ُتْؤ ِم ُنْو َن ِباِهّٰلل َو اْلَي ْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر ٰذ ِل َك‬
‫ࣖ َخْيٌر َّو َاْح َس ُن َتْأِو ْياًل‬

”Wahai orang-orang yang beriman”! Taatilah Allah dan taatilah Rasul


(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S An-Nisa (4): 59)3

Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari


ungkapan kembali kepada Allah dan Rasul” (dalam masalah khilafiah),
tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan
apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat
diperoleh melalui pencarian Illat hukum yang merupakan tahapan dalam
melakukan qiyas.

Abdul Wahab Khallaf menyebutkan alasan pengambilan dalil ayat


di atas sebagai dalil qiyas,yakni bahwa Allah SWT telah memerintahkan
kepada orang orang yang beriman untuk mengembalikan permasalahan
yang diperselisihkan dan dipertentangkan di antara mereka kepada Allah

3
Q.S. An-Nisa (9): 59. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung:
CV Penerbit J-Art, 2005), h. 87.
6

dan Rasulullah jika mereka tidak menemukan hukumnya dalam al-


Qur’an maupun Sunnah.

Sedangkan mengembalikan dan merujukkan permasalahan kepada


Allah dan Rasul adalah mencakup semua cara dalam mengembalikan
permasalahan itu. Artinya, bahwa menyamakan peristiwa yang tidak
memiliki nas dengan peristiwa yang sudah ada nasnya dikarenakan
adanya kesamaan Illat, maka hal tersebut termasuk kategori
“mengembalikan permasalahan kepada Allah dan Rasul-Nya”
sebagaimana dalam kandungan ayat di atas.12 Selain al-Nisa‟ (4): 59.

B. Dasar Hukum Qiyas


1.Qiyas Illat

Qiyas yang jelas-jelas illatnya dan mempertemukan pokok dengan


cabang dan illat itulah yang menumbuhkan hukum pada pokoknya
(dasarnya). Misalnya, mengumpulkan antara Nabiz dengan arak didalam
mengharamkan minuman keras dengan dasar memabukkan. Misalnya,
menghubungkan keharaman memukul ibu atau bapak dengan
mengucapkan katakata yang menyakitkan hatinya dengan illat menahan
gangguan dari pada keduanya.

2.Qiyas Khafi

Illatnya dari hukum asal (pokok). Misalnya, menqiyaskan


pembunuhan dengan benda yang berat kepada pembunuhan dengan
benda yang ringan. Contoh lain, mengqiyaskan tumbuh-tumbuhan
7

dengan gandum dalam pengharaman riba dengan Illah sama-sama


ditakar, maka penetapan Illah dengan takaran tidak tetap dengan nash,
tidak pula dengan ijma dan tidak dipastikan dengan menampilkan
perbedaan antara ashl dan cabangnya. Bahkan memungkinkan untuk
dibedakan antara keduanya.

3. Qiyas Dalalah

yang menunjuki kepada hukum berdasarkan dalil illat, atau


mempertemukan pokok dengan cabang berdasarkan dalil Illat.Misalnya,
mengqiyaskan harta anak kecil dalam perkara wajibnya zakat kepada
harta orang besar atas dasar sama-sama harta yang baik. Atau
umpamanya menqiyaskan nabiz kepada khamar/arak dengan dasar
kedua-duanya mengeluarkan bau yang terdapat pada minuman yang
memabukkan.

4. Qiyas Syabah

Qiyas yang menjadi (sebab illat) yang mempertemukan antara cabang


dengan pokok hanyalah penyerupaan semata-mata. Misalnya, Imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa meyapu kepala tidak dengan berulang-ulang
karena menyerupakan dengan menyapu sepatu dan tayamum, dimana di
dalamnya terkumpul antara pokok dengan cabang yaitu sapu. Namun,
qiyas ini ditolak oleh para muhaqiqin.4

4
Asrowi, “Ijma Dan Qiyas Dalam Hukum Islam,” hal.40-41.
8

C. Rukun Qiyas

Rukun qiyas merupakan segala sesuatu yang harus dipenuhi dalam


qiyas dan setiap qiyas harus memenuhi rukun-rukun nya. Adapun rukun-
rukun qiyas, yaitu al-ashlu, al-far’u, hukum ashl dan ,al-illat.

4. Al-aslu
Yaitu sesuatu yang ada nas hukumnya Al-aslu juga memiliki beberapa
arti, yakni Al- maqis alaih yang (diqiyaskan kepadanya), Mahmul
alaih(yang dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang
diserupakan dengannya).
5. Al-far’u
Yaitu sesuatu yang tidak ada nas hukumnya. Al-far’u juga memiliki
beberapa arti, Al-maqis, (yang diqiyaskan), Al mahmul (yang
dipertanggungkan), dan Al- musabbah (yang diserupakan).
6. Hukum Al-asl, yaitu hukum syara’ yang ada nas nya pada al-asl
(pokok)nya, dan al-musyabbah (yang diserupakan).
7. Al-illat yaitu suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk
hukum pokok, dan berdasarkan adanya keberadaan sifat itu pada
cabang (al-far’u), maka itu disamakan dengan pokok nya dari
hukumnya.5

5
Harjan Syuhada,Sungarso, “Fikih,” hal.48.
9

D. Produk Hukum Islam Berdasarkan Qiyas

1. Babi Najis Mughallazhah


Babi najis mughallazhah diqiyaskan dengan najis air liur anjing yang
juga mughallazhah. Padahal tidak ada satu pun ayat Al-Quran atau hadits
nabawi yang menyebutkan bahwa babi itu nasjid mughallazah.
Yang ada sebatas haramnya makan daging babi yang disebutkan empat
kali dalam al-qur’an.6
2. Istinja’ pakai batu
Di masa Rasulullah SAW, kebanyakan orang buang hajat di padang
pasir, di luar rumah dan di luar pemukiman penduduk Namun para ulama
kemudian membolehkan istinja’ dengan menggunakan selain batu. Yang
penting bisa digunakan untuk menghilangkan najis sisa buang air.
3. Tayamum dua tepukan
Ada dua pendapat tentang tayammum, apakah menepuk ke tanah itu
cukup sekali saja, ataukah harus dua kali.Al-hanafiyah lebih merajihkan
hadist yang di menepuk dua kali. Salah satu alasannya karena dekat pada
7
wudhu dimana setiap anggota wudhu membutuhkan air yang baru.

6
Ahmad Sarwat “qiyas”rumah fiqih Publishing,(Jakarta selatan,2019)
h.23
7
Wahhab Az-Zuhaly, Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqh, jilid 1 hal. 586
10

E. Pengertian Illat Hukum

Secara etimologi kata ‘illat adalah bentuk masdar dari kata -‫يعل‬-‫عل‬
‫ عل]ة‬yang berarti sakit atau penyakit.8 Menurut al-Jurjani illat dinamakan
penyakit karena ia mengobah kondisipisik seseorang dari kuat menjadi
lemah. Dalam dunia kedokteran sesuatu yang menyebabkan tubuh
merasa sakit disebut dengan illat.

Secara terminologi ditemukan sejumlah rumusan pengertian tentang


illat hukum yang redaksionalnya berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Ulamaushul fiqh klasik, misalnya al-Ghazali menyebut illat
hukum itu dengan manath al-hukum (keterpautan hukum), yaitu
keterpautan hukum dimana Syari menggantungkan hukum dengannya.
Al-Ghazali terkadang menyebut illat dengan“al-Muatstsir” (yang
membawa pengaruh), terkadang dengan ungkapan“al-alamah” (suatu
tanda).

Rumusan al-Ghazali ini tidak berbeda dengan rumusan yang


dikemukakan oleh al-Subki9. Yang menyebutkan bahwa ‘illat itu yaitu
suatu tanda dan petunjuk bagi yang ditetapkannya hukum.Adapun
rumusan yang dibuat oleh Abu Zakariya al-Anshari10. Maksud illat
8
Luis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughat wa al-Adab wa al-Ulum
(Beirut, al-Mathba’at al-Katsulikiyah, 1956) h. 523.
9
Ibnu Subki, Syarh Matan Jami’ al-Jawami’ Jl. II ( Maktabah Dar
Ihya, t.th.)
h. 231.
10
Abu Yahya Zakariya al-Anshari, Ghayah al-Washil: Syarh Lubb al-
Ushul, (Surabaya, t.tp. t.th.) h. 144)
11

hukum itu adalah merupakan sesuatu yang memberitahu atau yang


mempengaruhi, yang mendorong untuk menimbulkan penetapan hukum
bagi mukallaf. Dalam pengertian ini Abu Zakariya memberikan
tambahan ungkapan bahwa penetapan hukum itu ada hubungannya
dengan pembebanan orang mukallaf.Sementara itu Shadiq hasan khan,
menyebutkan bahwa Illat hukumitu diungkapkan dengan rumusan sebab
tanda atau petunjuk, yang mendorong,yang menuntut, yang
menghendaki, yangmenjadi motif, yang menjadi pautan, yang menjadi
petunjuk, yang menentukan, yang mengharuskan, atau yang
mempengaruhi.11

Rumusan tentang illat hukum yang dikemukakan oleh para ulama


klasik di atas berbeda dengan rumusan yang dikemukakan oleh para
ulama konteporer, misalnya Muhammad Abu Zahrah12 dalam bukunya
Ushul Fiqh menyebutkan bahwa ‘illat hukum itu yaitu suatu sifat atau
keadaan yang jelas yang serasi sebagai dasar penetapan hukum. Abd al-
Karim Zaidan13 yang merumuskan bahwa Illat hukum itu adalah sesuatu
sifat yang jelas dan pasti yang dapat dijadikan sebagai dasar pembinaan
dan pautan hukum, karena ada atau tidak adanya hukum berhubungan
dengan ada dan tidak adanya illat.Sementara itu, Abd al-Wahhab
Khallaf14 mengatakan bahwa ‘illat hukum itu sesuatu yang jelas dan
teratur (akurat) yang dapat dijadikan landasan
11
Shadiq Hasan Khan, Mukhtashar Hushul al-Ma’mul Min ‘Ilm al-
Ushul, (Kairo,Dar al-Shahwah, 1403) h. 106-108.
12
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh,(Kairo, Dar al-Fikral
Arabi, 1958), h.237.
13
Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Baghdad, al-Dara
14
Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Mesir, Maktabah al-Da’wah al-
Islamiyah,1990), h. 65.
12

Pembinaan dan tambatan hukum karena ada atau tidak adanya illat
tersebut. Dari sejumlah pengertian yang dikemukakan oleh para ulama
klasik maupun ulama kontemporer, maka illat itu merupakan sesuatu
yang memberitahu dan sesuatu yang mendorong yang menjadi landasan
hukum. Namun para ulama kontemporer bukan saja melihat kepada
fungsi illat sebagaimana ulama klasik, tetapi lebih kepada kriterinya.
Misalnya Muhammad Abu Zahrah, Abd al-Wahhab Khallaf maupun Abd
al-Karim Zaidan merumuskan illat lebih tegas dan rinci dan jelas
kriterinya terhadap sifat-sifat yang dapat dijadikan illat dalam penetapan
hukum. Para ulama klasik, tidak membedakan antara illat dengan sebab,
keduanya sama-sama menjadi dasar atau alasan adanya ketetapan
hukum. Sedangkan para ulama kontemporer misalnya Abd al-Wahhab
Khallaf membedakan antara illat dengan sebab.

Illat itu Sesuatu yang menjadi landasan atau alasan penetapan


hukum itu harus dapat dipahami kaitannya dengan ketentuan hukum
yang ditetapkan. Dengan demikian sesuatu yang tidak dapat dipahami
kaitannya antara yang menjadi landasan atau alasan penetapan hukum
dengan ketentuan hukum yang ditetapkan maka bukanlah illat hukum.

Dalam kaitan ini Abd al-Wahhab khallaf memberikan contoh


menyaksikan bulan sebagai sebab timbulnya kewajiban puasa Ramadhan
Hal ini tidaklah dinamakan sebab bukan illat, karena tidak dapat
dipahami bagaimana hubungannya antaramenyaksikan bulan dengan
adanya kewajiban puasa. Atau contoh lain, terbenamnya matahari di
barat, maka timbulnya kewajiban shalat maghrib. Baik menyaksikan
bulan atau terbenam matahari di barat adalah sebab yangmengakibatkan
13

kewajiban puasa atau kewajiban shalat maghrib.ini sebab akibat, tetapi


bukan illat. Atas dasar itulah Abd al-Wahhab Khallaf menjelaskan
bahwa setiap illat itu adalah sebab, tetapi tidaklah semua sebab itu dapat
disebut illat.

F. Sebab Illat, dan Hikmah Illat

Sebab Illat Ialah sesuatu yang terang dan tertentu yang dijadikan
sebagai pangkal adanya hukum (musabbab) Artinya adanya sebab,
dengan sendirinya terwujud hukum15. Abu Zahrah mengemukakan
bahwa sebab ialah suatu perkara yang terang, jelas yang dijadikan Allah
sebagai tanda terwujudnya hukum.16 Sebab Illat itu terbagi dua:

1. Sebab yang bukan dari perbuatan orang mukallaf.


2. Sebab yang ditimbulkan oleh perbuatan orang mukallaf.

Adapun sebab-sebab yang bukan dari perbuatan orang-orang


mukallaf ialah sebab yang diciptakan Allah sebagai tanda atas
terwujudnya hukum, misalnya: masukya waktu sebagai sebab wajibnya
shalat, keadaan bahaya menjadi sebab bolehnya makan bangkai, mampu
dan banyak lagi yang diciptakan Allah seperti mati menjadi sebab
dibaginya harta warisan. Adapun sebab-sebab karena perbuatan orang
mukallaf ialah perbuatan mukallaf yang menyebabkan Allah menetapkan
hukumnya, misalnya: bepergian (safar) menjadi sebab boleh berbuka
15
Minhajuddin, Illat Hukum Dalam Kajian Kitab Ushul Fiqh yang Mu’tabar,
(Ujungpandang: Balai Penelitian IAIN Alauddin, 1992), h.12.
16
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, T.th.)
h. 55-56
14

bagi yang berpuasa, dan jual beli menjadi sebab memiliki apa yang
diperjanjikan (transaksikan) padanya.

Hikmah Illat

Kata hikmah jamaknya, hikam, menurut bahasa mempunyai beberapa


arti diantaranya berarti ilmu yang tinggi nilainya, mutiara kata yang
mengandung kebenaran, kebulatan pendapat yang penuh kebijaksanaan,
rahasia yang dalam, hasil buah pemikiran yang sistimatis, dan juga
berarti falsafah. Dalam kaitannya dengan hikmah hukum maka
dimaksudkan di sini adalah rahasia hukum atau manfaat yang
17
dimaksudkan oleh syara. Hikmah itu lebih khusus dari ilmu. Hikmah
ialah mengetahui sesuatu menurut hakikatnya dan mengetahui apa yang
terdapat padanya yang merupakan faidah dan manfaat yang
menggerakkan kita untuk melakukannya. sebagian pendapat
mengemukanan bahwa hikmah adalah Illat-illat yang ditetapkan akal
yang berpadanan dengan hukum. 18.

G. Macam-Macam Illat dan Metode Mencari


Illat/Masalik Al-Illah
Illat hukum dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a) Illat yang ditetapkan oleh syara’
Illat yang ditetapkan oleh syara’ada 4 macam yaitu:
1. al-Munasibul Mu’sir
17
Minhajuddin, Illat Hukum Dalam Kajian Kitab Ushul Fiqh yang
Mu’tabar, h.11.
18
Abu Ishaq Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syar’iyah, Juz II
(Ttp.:Musthafa Muhammad, T.th.) h. 202
15

Illat yang ditunjuk syara bahwa illat itulah yang menjadi illat
hukum yang baik ditunjuk secara langsung atau tidak langsung.

2. Al-Munasibul Muallim

illat yang tidak dijelaskan dalam nash sebagai illat hukumnya, namun
dalam nash lain disebutkan sebagai illat bagi hukum yang serupa.
Contohnya seperti yang diterangkan dalam hadisbahwa gadis yang belum
mencapai usia baligh harusdinikahkan oleh walinya, namun tidak
dijelaskan illatyang sebenarnya, apakah karena gadisnya atau karena
belum baligh, karena keduanya dapat dijadikan illat.

Menurut madzhab Hanafi yang menjadi illat disini karena belum


sempurnanya akal, sama halnya dengan anak belum baligh yang
mempunyai harta harus diletakkan dibawah pengawasan. Karena itu,
setiap orang yang belum sempurna akalnya atau hilangakalnya diqishash
dengan gadis yang belum baligh, seperti perempuan yang gila, orang
yang mabuk, dan janda yang belum mencapai usia baligh. Contoh lain
adalah hadis yang membolehkan menjama shalat ketika hari hujan dan
dalam hadis tidak dijelaskan illat-nya hari hujan. Namun, dalam hadis
lain dijelaskan illat kebolehan menjama karena bepergian sedangkan hari
hujan dan bepergian keduanyamenimbulkan kesukaran karena tidak
dapat dikatakan illat kebolehan menjama adalah menghilangkan
kesukaran.

3. Al-Munasibul Mulga
16

illat yang diperkirakan akan membawa kebaikan, namun ditemui


dalil syara’ lain yang memberi petunjuk bahwa illat itu dihapuskan.
Umpamanya hukum bagi orang yang bersenggama pada siang hari di
bulan Ramadhan, sedangkan ia memilih berpuasa makahukumnya yang
pantas adalah berpuasa duabulan berturut-turut karena hukuman seperti
itu dapat membatasi jumlah pelanggaran.

Namun, syara mewajibkan kepadanya secara berurutan


melaksanakan hukuman:

1.Memerdekakan budak

2.berpuasa dua bulan berturut-turut

3.member makan enam puluh orang miskin.

Hukuman ini dikenakan bagi siapa saja, apakah ia miskin atau kaya,
apakah orang itu tua atau muda. Contoh lainnya, dilihat dari
segitingkatan keluarga bahwa saudara lelaki dansaudara perempuan ada
pada satu tingkatan,namun oleh syara’ ditetapkan bagi laki-laki duakali
lipat bagian perempuan.

4.Al-Munasibul mursal
17

sifat menurut anggapan mujtahid sebagai illat hukum, sedangkan


19
syara tidak menetapkan sebagai illat dan tidak jugamenolaknya. Illat
yang ditetapkan berdasarkan kemaslahatan yang dijadikan illat hukum.
Menurut penelitian bahwa kemaslahatan yang ingin dicapai oleh syara’
ada tiga macam ialah:

 Dhahiri

Dhariri Ialah segala sesuatu yang tidak mungkin dicapai dalam


kehidupan. Apabila tidak tercapai, baik seluruh atau sebagiannya
tidaklah sempurna. Yang dimaksud dzahiri dalam kehidupan ada lima
macam; yaitu: Agama, jiwa, kehormatan, akal dan harta. Untuk
memelihara jiwa diwajibkan qishash bagi pelanggar, untuk
memelihara kehormatan diperintahkan menikah dan diharamkan
berbuat zina. Untuk memelihara harta diwajibkan hukuman potong
tangan terhadap pencuri dan diperintahkan bekerja dan untuk
memelihara akan diharamkan diharamkan meminum minuman keras.

 Haji

19
Abdul Wahab al-Kholaq, Ilmu Ushul Fiqh (Quwaid: Dâr alQolam,
1990), hal., 71-75
18

Haji ialah semua yang akan membawa kemudahan dalam


kehidupan, meringankan penderitaan dan pembebanan. Kalau
seluruhnya atau sebagiannya tidak tercapai maka kehidupan akan terasa
sempit dan sukar. Contoh haji misalnya diberi kemudahan (taisir) dalam
kehidupan, diberi keringanan (tarkhis) dalam pembebanan taklif, dan
kebolehan (mubah) demimempermudah dalam kehidupan.

 Tahsinat
Tahsinat ialah segala sesuatu yang apabila didapatmaka
kehidupan menjadi lebih baik dan sempurna seperti tingkah laku yang
baik, adat istiadat yang baik, termasuk segala sesuatu yang
bersangkutan dengan kebersihan, kesopanan, dan tingkah laku yang
terpuji. Ketiga hal di atas dilaksanakan secara berturutanyaitu dharuri,
hajji dan tahsini. Karena itu, jihad dalam mempertahankan
agamadidahulukan mestipun harus mengorbankan jiwa.
Dankemaslahatan yang dimaksud bukan kem aslahatan pribadi atau
kelompok, tetapi kemaslahatan umum yang menjadi tujuan untuk
agama Islam.

b) Illat Hukum

Illat hukum yaitu menyampaikan tujuan hukum baik dalam


mencapai kemaslahatan maupun dalam menghindarkan dari kerusakan.
Jual beli misalnya tujuannya menghalalkan penjual dan pembeli untuk
menggunakan barang yang diperjual belikan. Perjanjian jual beli
19

dijadikan ‘illat yang pasti menyampaikan tujuan atau dinamakan juga


illat yang qath’i. Perjanjian jual beli dijadikan illat yang pasti
menyampaikan tujuan atau dinamakan juga illat yang qath’i. Namun
terdapat illat yang hanya diduga (dzan) atau diragukan dapat
menyampaikan tujuan hukum, umpamanya perkawinan yang tujuannya
untuk memperoleh keturunan, namun jika menikah dengan wanita yang
sudah tua, diragukan akan mendapat keturunan. Dengan demikian
tujuan hukum diragukan dapat mencapai keturunan.20

 Metode Mencari Illat/ Masalik Al-Illah

Jika ada nash dari Al-Qur’an atau sunnah yang menunjukkan


bahwa sifat tertentu marupakan illat hukum, maka sifat tersebut
menjadi illat hukum dengan ditentukan langsung oleh nash syariat, dan
disebut al-illat al manshush alaiha. Dalam hal ini, dilalah nash atau
petunjuk nash dalam menjelaskan bahwa sifat tersebut adalah Illat
hukum terkadang dengan kata-kata yang jelas (Sharih) atau dengan
isyarat.

Penentuan Illat dengan nash yang sharih terjadi jika dalam nash
terdapat kata-kata yang memang menunjukkan bahwa suatu sifat
merupakan illat hukum. Seperti kata lil’illati kadza (illat hukumnya
adalah ini), kata lisababi kadza (karena alasan ini), atau kata li ajli
kadza (karena hal ini).

20
Khoirul Umam, Usul Fiqih, hal., 112
20

Jika lafazh tersebut tidak mengandung arti lain selain


menunjukkan illat hukum, maka petunjuk nash tersebut bersifat
sharih dan qat’i. Seperti firman Allah yang menjelaskan alasan
adanya para rasul, yaitu ayat:

‫ُرُس اًل ُّمَبِّش ِر ْيَن َوُم ْنِذ ِرْيَن ِلَئاَّل َيُك ْو َن ِللَّناِس َع َلى ِهّٰللا ُحَّج ٌةۢ َبْع َد‬
‫)ُهّٰللا َع ِز ْيًز اَح ِكْيًم ا‬١٦٥( ‫الُّر ُس ِل ۗ َو َك اَن‬

“(mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita


gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi
manusia mambantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (An-
Nisa:165).

Dan ayat yang mewajibkan seperlima harta fai untuk


dibagikan kepada fakir miskin. Adapun lafazh dalam nash yang
menunjukkan Illat hukum bisa diartikan lain (kata tersebut bersifat
ambigu, mengandung dua makna atau lebih-pent.), maka petunjuk
nash tersebut bersifat sharih namun zhanni. Contoh firman

( ۗ ‫َاِقِم الَّص ٰل وَة ِلُد ُلْو ِك الَّش ْم ِس ِاٰل ى َغ َس ِق اَّلْيِل َو ُقْر ٰا َن اْلَفْج ِر‬
‫) ِاَّن ُقْر ٰا َن اْلَفْج ِر َك اَن َم ْش ُهْو ًد‬٧٨

"Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir." Kami


haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) Dihalalkan bagi mereka. (Al-Israa': 78)
21

‫َفِبُظْلٍم ِّم َن اَّلِذ ْيَن َهاُد ْو ا َح َّر ْم َنا َع َلْيِهْم َطِّيٰب ٍت ُاِح َّلْت َلُهْم َو ِبَص ِّد ِهْم َع ْن‬
‫َس ِبْيِل ِهّٰللا َك ِثْيًرا‬

"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh”. Katakanlah: "Haidh


itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh. (An-Nisaa': 160), 21

H. Hukum Ta’abudi dan Contohnya

Hukum Ta’abudi yaitu hukum yang kualitas/illat nya tidak


diketahui oleh mujtahid. Contohnya: kurban dan aqiqah yang dilakukan
dengan menyembelih binatang ternak dan tidak bisa diganti dengan
uang.22

Hukum yang bersifat ta'abbudi ini termasuk dalam wilayah ushul,


karena la hir dari dalil qath'i. Pembahasan qath'i ini sangat panjang,
namun ia dapat dipahami sebagai ajaran-ajaran yang sudah maklum
untuk publik (ma'lum min ad-din bi ad-dharurah) dan sudah menjadi
kesepakatan para ulama, karena qath'i ini menjadi identitas utama
agama, seperti rukun iman, Islam, dan ihsan

21
Rohidin wahid, Ijtihad dalam syari’at islam (Pustaka Al-kautsar
Jakarta timur2015) h. 290-291
22
Ahmad Munif Surahmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-
Ghazali. hlm. 177
22
23

BAB III
PENUTUP

1) KESIMPULAN

a. Pengertian Qiyas dan Kehujjahannya


Qiyas ialah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan
sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Kehujjahan qiyas menduduki urutan yang keempat setelah al-Qur'an,
hadis, dan ijmak. Menurut jumhur ulama, qiyas dapat digunakan sebagai
hujjah atas dalil hukum ketika tidak ditemukan hukum tentang suatu
peritiwa dari ketiga sumber hukum (al-Qur'an, hadis, dan ijmak),
sedangkan peristiwa tersebut memiliki illat yang sama dengan kasus
yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an, hadis, dan ijmak.
b. Dasar Hukum Qiyas
 Qiyas Illat

Qiyas yang jelas-jelas illatnya dan mempertemukan pokok dengan


cabang dan illat itulah yang menumbuhkan hukum pada pokoknya
(dasarnya).

 Qiyas Khafi

Illatnya terdapat padanya diambil dari hukum asal (pokok).


Misalnya, menqiyaskan pembunuhan dengan benda yang berat kepada
pembunuhan dengan benda yang ringan.

23
 Qiyas Dalalah

yang menunjuki kepada hukum berdasarkan dalil illat, atau


mempertemukan pokok dengan cabang berdasarkan dalil Illat.Misalnya,
mengqiyaskan harta anak kecil dalam perkara wajibnya zakat kepada
harta orang besar atas dasar sama-sama harta yang baik.
 Qiyas Syabah

Qiyas yang menjadi (sebab illat) yang mempertemukan antara


cabang dengan pokok hanyalah penyerupaan semata-mata.

c. Rukun Qiyas

Rukun qiyas merupakan segala sesuatu yang harus dipenuhi dalam


qiyas dan setiap qiyas harus memenuhi rukun-rukun nya. Adapun rukun-
rukun qiyas, yaitu al-ashlu, al-far’u, hukum ashl dan ,al-illat.

d. Produk hukum islam berdasarkan qiyas


1) Babi Najis Mughallazhah
2) Istinja’ pakai batu
3) Tayamum dua tepukan
4) Istinja’ pakai batu

e. Pengertian Illat Hukum


Secara etimologi kata ‘illat adalah bentuk masdar dari kata‫ علة‬-‫يعل‬-‫عل‬
yang berarti sakit atau penyakit
f. Sebab Illat, dan Hikmah Illat
Sebab Illat ialah sesuatu yang terang dan tertentu yang dijadikan
sebagai pangkal adanya hukum (musabbab) Artinya adanya sebab,
dengan sendirinya terwujud hukum.

g. Macam -Macam Illat dan Metode Mencari Illat/Masalik Al-Illah


a) Illat yang ditetapkan oleh syara’
b) Illat yang ditetapkan berdasarkan kemaslahatan yang dijadikan illat
hukum.
c) Illat hukum

 Metode Mencari Illat/Masalik Al-Illah

Jika ada nash dari Al-Qur’an atau sunnah yang menunjukkan bahwa
sifat tertentu marupakan illat hukum, maka sifat tersebut menjadi illat
hukum dengan ditentukan langsung oleh nash syariat, dan disebut al-illat
al manshush alaiha. Dalam hal ini, dilalah nash atau petunjuk nash
dalam menjelaskan bahwa sifat tersebut adalah Illat hukum terkadang
dengan kata-kata yang jelas (Sharih) atau dengan isyarat.

H. Hukum Ta’Abuddi Dan Contohnya


Hukum Ta’abudi yaitu hukum yang kualitas/illat nya tidak
diketahui oleh mujtahid. Contohnya: kurban dan aqiqah yang dilakukan
dengan menyembelih binatang ternak dan tidak bisa diganti dengan uang.
DAFTAR PUSTAKA

Safayona Rebecca “Fiqih Tentang Qiyas,”

Syuhada Harjan Sungarso Fiqih (Bumi Aksara 2021)

Q.S. An-Nisa (9): 59. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung:

CV Penerbit J-Art, 2005),

Asrowi, “Ijma Dan Qiyas Dalam Hukum Islam,”.

Sarwat Ahmad “qiyas”rumah fiqih Publishing,(Jakarta selatan,2019)

Az-Zuhaly Wahhab, Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqh, jilid 1

Ma’luf, al-Munjid Luis fi al-Lughat wa al-Adab wa al-Ulum (Beirut, al-

Mathba’at al-Katsulikiyah, 1956)

Subki Ibnu, Syarh Matan Jami’ al-Jawami’ Jl. II ( Maktabah Dar Ihya,

t.th.)

Yahya Abu Zakariya al-Anshari, Ghayah al-Washil: Syarh Lubb al-


Ushul,

(Surabaya, t.tp. t.th.)

Hasan Shadiq Khan, Mukhtashar Hushul al-Ma’mul Min ‘Ilm al-


Ushul,(Kairo,Dar al-Shahwah, 1403)
Abu Zahrah Muhammad, Ushul al-Fiqh,(Kairo, Dar al-Fikral Arabi,
1958),
Karim Zaidan Abd al, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Baghdad, al-Dar
al-Wahhab Abd Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Mesir, Maktabah al-
Da’wah al-Islamiyah,1990),
Minhajuddin, Illat Hukum Dalam Kajian Kitab Ushul Fiqh yang
Mu’tabar, (Ujungpandang: Balai Penelitian IAIN Alauddin,
1992),
Ishaq Abu Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syar’iyah, Juz II
(Ttp.:Musthafa Muhammad, T.th.)
Wahab Abdul al-Kholaq, Ilmu Ushul Fiqh (Quwaid: Dâr alQolam,
1990),
Umam Khoirul, Usul Fiqih,
Wahid Rohidin, Ijtihad dalam syari’at islam (Pustaka Al-kautsar Jakarta
timur2015)
Munif Ahmad Surahmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali.

Anda mungkin juga menyukai