Anda di halaman 1dari 126

wadhi

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr. Wb!
Segala puji syukur hanya bagi Allah swt. Hanya kepada-Nya segala makhluk menyembah.
Semoga shalawat dan salam tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. keluaraga,
sahabat, serta pengikut beliau hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun isi dari makalah ini kami
kutip dari buku ataupun dari situs-situs internet.
Makalah ini menjelaskan tentang “Hukum Wadh’i dan Penerapannya dalam Islam” yang
terdiri atas pengertian dan macam-macamnya. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat
dan dapat kita laksanakan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Billahi taufik walhidayah
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..ii

BAB   I   PENDAHULUAN


A. Latar belakang………………………………………………………………………...1
B. Rumusan masalah……………………………………………………………………...1

BAB   II   PEMBAHASAN


A. Pengertian hukum wadh’i……………………………………………………………….2
B. Macam-macam hukum wadh’i………………………………………………………….3
1. Sebab (as-sabab).....................................................................................................3
2. Syarat……………………………………………………………………………..4
3. Mani’.......................................................................................................................5
4. Azimah dan rukhsah………………………………………………………………..7
5. Sah dan batal………………………………………………………………………8

BAB   III   PENUTUP


A. Kesimpulan……………………………………………………………………………9
B. Saran…………………………………………………………………………………..9
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Melihat semakin kompleksnya masalah-masalah yang dihadapi manusia pada era
perkembangan zaman, Ushul Fiqh muncul dengan beberapa hukum Syara’ yang berguna untuk
menjawab berbagai masalah yang di hadapi manusia pada perkembangan zaman.
Dalam pembagian hukum syara’, Ushul Fiqh membagi hukum syara’ menjadi dua, yaitu
hukum taklif’i dan hukum wad’i.Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang hukum wadh’i
beserta macam-macamnya.
Untuk memahami hal tersebut kami memiliki beberapa penjelasan mengenai
perkembangan manusia yang tersusun dalam makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain:
1.      Apakah pengertian dari hukum wadh’i?
2.      Apa macam-macam hukum wadh’i?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN HUKUM WADH’I
Hukum Wadh’i ialah hokum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab untuk
sesuatu atau syarat baginya atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu.
Hukum wadh’i merupakan hokum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang
mengandung persyaratan, sebab atau mani’.
Hukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara dua sebab
(sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara penghalang
(mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara hukum yang sah dan hukum yang tidak sah.
Hukum ini dinamakan hukum wadh’i karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal yang
saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-lain. Tapi
pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wad’i adalah hukum yang menghendaki dan
menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau
menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahîh), rusak atau batal (fasid), ‘azimah atau
rukhshah.
Jadi, Hukum wadh’i adalah Hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang
berkaitan dengan sebab akibat, syarat, mani’, shah dan batal, sekaligus azimah dan rukhsah.
B.     MACAM-MACAM HUKUM WADH’I
Hukum Wadh’i terbagi menjadi lima macam yaitu sebab, syarat, mani, rukhsah dan
azimah, sah dan batal.
1)        Sebab (As-Sabab)
Sabab yang dalam bahasa Indonesia disebut “sebab”, secara etimologis, artinya adalah
“sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan. “dari kata inilah dinamakan
“jalan”, itu sebagai sabab, karena “jalan” bisa menyampaikan seseorang  kepada tujuan.
Semua tanda yang melahirkan hukum dan apabila hubungan antara tanda dan ketentuan
hukum nampak jelas tanda itu memang cocok dijadikan sebab lahirnya hukum yang dinamakan
”illat”. Tetapi apabila hubungan antara tanda dan ketentuan hukum kurang jelas dan kurang
cocok yang seperti ini dinamakan sebab.
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwasanya sebab adalah sesuatu yang
keberadaannya dijadikan Syari’ sebagai pertanda keberadaan suatu hokum dan ketiadaan sebab
sebagai pertanda tidak adanya hukum.
Sebab yang diterangkan di atas garis besarnya ada dua macam, sebab yang tidak
termasuk perbuatan mukallaf dan yang berasal dari perbuatan mukallaf.
Sebab yang berasal dari bukan perbuatan mukallaf seperti tibanya waktu shalat dan
menimbulkan wajib shalat cukup nisab yang menimbulkan wajib mengeluarkan zakat,timbul
bulan awal Ramadhan yang menyebabkan wajib puasa, syirik yang menyebabkan haram kawin,
sakit yang menyebabkan buka puasa pada bulan Ramadhan, keluarga yang menjadi sebab
lahirnya hak waris, perkawinan yang menjadi sebab kebolehan talak dan balig yang menjadi
sebab sahnya tindakan.
Sebab dari perbuatan mukallaf seperti pembunuhan berencana yang menyebabkan
lahirnya perikatan dari kedua belah pihak.
Ditetapkan sebab tentunya akan melahirkan musabab, karena itu tidak diterima akal kalau
ditetapkan sebab tanpa melahirkan musabab. Setiap ketentuan hukum syara’ bertujuan untuk
mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dan menyingkirkan manusia dari kerusakan, inilah
yang menjadi sebab utama lahirnya berbagai ketentuan hukum.
Dilihat dari segi pengaruh yang ditimbulkan, maka al-sabab dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu:
1.  Al-Sabab al waqti. Sebagai contoh, masuknya waktu salat yang dijadikan Syari’ sebagai al-sabab
adanya kewajiban salat. Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir”. (QS. Al-Isra`: 78)
2.   Sabab al- ma’nawi, seperti mabuk sebagai penyebab keharaman khamr, sebagaimana sabda
Rasul:
Artinya:
“Setiap yang memabukkan itu adalah haram” (H.R Muslim, Ahmad Ibnu Hambal dan Ashhab
Al-Sunan)
2)        Syarat
Yang dimaksud dengan syarat ialah apa yang tergantung adanya hukum dengan adanya
syarat dan dengan tidak adanya syarat maka hukum tidak ada. Syarat letaknya di luar hakikat
sesuatu maka apabila ia tidak ada maka masyrut pun tidak ada tetapi tidak mesti dengan adanya
ada juga masyrut.
Syarat yang ditetapkan mungkin sebagai pelengkap sebab hukum seperti pembunuhan itu
dilakukan dengan berencana. Akad nikah dijadikan syarat halalnya pergaulan suami istri, namun
agar akad nikah itu sah disyaratkan dihadiri oleh dua orang saksi. Demikianlah dalam semua
perjanjian dan tindakan baru dianggap sah dan mengikat kedua belah pihak apabila terpenuhi
syarat-syaratnya.
Syarat-syarat dalam kegiatan hukum kadang-kadang ditetapkan syara’ yang seperti ini
dinamakan syarat syar’i dan kadang-kadang ditetapkan oleh mukallaf sendiri yang dinamakan
syarat ja’li. Contoh syarat syar’i seperti syarat yang ditetapkan sahnya akad nikah yang dihadiri
oleh dua orang saksi dan contoh syarat ja’li seperti jatuhnya talak apabila kedua belah pihak
mempunyai ikatan perkawinan.
Syarat syar’i dapat dibagi menjadi 2 macam:
a)   Syarat yang terkandung dalam khitab taklifi yang kadang-kadang dalam bentuk tuntutan untuk
memperbuatnya seperti wudhu dalam shalat. Dan kadang-kadang dalam bentuk tuntutan untuk
tidak memperbuatnya seperti akad nikah tahlil, ialah nikah yang dilakukan sebagai syarat untuk
memperbolehkan suami pertama menikahi kembali istrinya yang ditalak tiga.
b) Syarat yang terkandung dalam kitab wadh’i. Contohnya haul bagi yang memiliki harta kekayaan
yang cukup nisab menjadi syarat wajib mengeluarkan zakat.
Syarat ja’li dapat dibagi menjadi 3 macam:
a)   Syarat yang ditetapkan untuk menyempurnakan hikmah sesuatu perbuatan hukum dan tidak
bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu.
b)   Syarat yang ditetapkan tidak cocok dengan maksud perbuatan hukum yang dimaksud bahkan
bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu.
c)   Syarat yang tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan hikmah perbuatan hukum. Syarat yang
seperti ini kalau terjadi dalam bidang ibadah tidak berlaku karena tidak ada seorang juapun yang
berhak menetapkan syarat dalam ibadah. Namun, kalau terjadi dalam bidang muamalah dapat
diterima.
3)        Mani’
Yang dimaksud dengan mani’ menurut para ahli ialah:
“ Mani’ialah apa yang memastikan adanya tidak ada hukum atau batal sebab hukum
sekalipun menurut syara’ telah terpenuhi syarat dan rukunnya tetapi karena adanya mani’ (yang
mencegah) berlakunya hukum atasnya”.
Atau dengan kata lain apabila terdapat, hukum tidak akan ada atau sebab hukum menjadi
batal sekalipun memenuhi syarat dan rukunnya.
Contohnya seorang ayah yang membunuh anaknya karena yang membunuh itu adalah
ayah yang menjadi mani’ sehingga kepadanya tidak dapat dilaksanakan hukuman qisas sekalipun
sebab lahirnya ketentuan hukum seperti pembunuhan telah tercapai.
Para ulama dalam kalangan mazab Hanafi membagi mani’ menjadi 5 macam:
a)      Mani’ yang menghalangi sahnya sebab hukum seperti menjual orang yang merdeka. Tidak
boleh memperjualbelikan orang yang merdeka, karena orang yang merdeka bukan termasuk
barang yang boleh diperjualbelikan sedang membeli menjadi sebab berpindahnya hak mi,ik dan
membeli menjadi sebab kebolehan menguasai dan mengambil manfaat dari barang yang dibeli.
b)      Mani’ yang menjadi penghalang kesempurnaan sebab lahirnya hukum bagi orang yang tidak
ikut serta melakukan perjanjian dan menjadi penghalang sebab bagi orang yang mengikat
perjanjian. Seperti menjual barang bukan miliknya, penjual yang seperti ini tidak sah karena
terdapat mani’ ialah barang yang dijuala adalah milik orang lain. Namun apabila pemilik barang
yang dijual menyetujui penjualan itu, maka perjanjian itu menjadi sah.
c)      Mani’ yang menjadi penghalang berlaku hukum seperti khiyar syarat dari pihak penjualan
yang menghalangi pembelian mempergunakan haknya terhadap barang yang diberinya selama
masa khiyar syarat berlaku. Umpamanya di A tidak boleh dan si B bahwa barang yang dijualnya
kepada si B tidak boleh dipergunakan selama tiga hari karena si A masih pikir-pikir lagi pada
masa yang ditetapkan itu dan kalau pendiriannya berubah dalam masa itu penjualan dibatalkan.
Sebelum syarat berakhir pembeli haknya terhadap barang yang dibelinya.
d)     Mani’ yang hanya menghalangi sempurna hukum seperti khiyar ru’yah. Khiyar ru’yah tidak
menghalangi lahirnya hak milik, namun hak milik itu dianggap belum sempurna sebelum
pembeli melihat barang itu sudah berada ditangan pembeli. Kalau pembeli sudah melihat barang
yang dibelinya ia boleh meneruskan pembelian selama barang yang dibelinya cocok sifatnya
dengan apa yang ditetapkan tetapi dalam hal barang yang dijual belikan tidak cocok dengan
persyaratan yang ditetapkan pembeli dapat membatalkan tanpa menunggu persetujuan penjual
dan tanpa melalui peradilan.
e)      Mani’ yang menghalangi berlakunya hukum seperti ‘aib. Si A sebagai pembeli sesuatu barang
yang memang belum tahu keadaan barang yang dibelinya kemudian ternyata cacat, pembeli
berhak memilih antara meneruskan perjanjian atau mengembalikan barang yang dibelinya.
Hanya haknya mengembalikan barang itu sesudah mendapat persetujuan dari penjual atau
melalui peradilan dan lamanya hak mengembalikan tidak lebih dari tiga hari.
4)        Azimah dan Rukhsah
Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan azimah ialah:
“ Hukum yang disyriatkan Allah semenjak semula bersifat umum yang bukan tertentu
pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu”.
Jadi azimah merupakan hukum yang ditetapkan semenjak semula tidak berlaku hanya
untuk keadaan atau kasus atau orang tertentu dan bukan pula untuk tempat dan waktu tertentu.
Umpamanya shalat lima waktu diwajibkan setiap orang, diwajibkan pada semua keadaan asal
saja mukallaf dipandang cakap melakukannya.
Dan yang dimaksud dengan rukhsah ialah:
“ hukum yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan bagi mukhalaf pada
keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan”.
Rukhsah seperti yang telah diuraikan diatas mempunyai empat macam:
a)      Rukhsah yang menjadi pengecualian hukum umum dikarenakan terdapat kesulitan dalam
melaksanakan ketentuan umum. Bentuk rukhsah yang seperti ini seperti kebolehan utang piutang
perjanjian silm, diat yang dibebankan kepada seluruh anggota keluarga yang membunuh.
b)      Rukhsah karena adanya taklif yang berat kepada umat yang diisyaratkan Allah dalam firman-
Nya:
“. . .  Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana
Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. . .” (Q.S. Al Baqarah: 286)
c)      Rukhsah yang ditetapkan untuk memberikan keluasan dalam ibadah sehingga terdapat
kemudahan dan orang yang dapat melaksanakan ibadah lebih banyak.
d)     Rukhsah menurut pengertian yang diberikan para ahli ushul ialah hukum pengecualian dari
ketentuan hukum umum.
5)        Sah dan Batal
Lafal ‘sah’ dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban didunia serta
memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat dikatakan sah karena telah dilaksanakan
sesuai dengan yang diperintahkan syara’ dan perbuatan itu akan mendatangkan pahala diakhirat.
Sebaliknya, lafal ‘batal’ yang dapat diartikan tidak melepas tanggung jawab, tidak
menggugurkan kewajiban didunia dan di akhirat tidak memperoleh pahala.
Secara umum bahwasanya  sah adalah perbuatan yang dilakukan mukalaf dengan
memenuhi rukun dan syaratnya, dengan tata cara yang yang di tetapkan syara’, tanpa ada
halangan, dan tujuan dari perbuatan yang ditentukan syara’ tercapai. Apabila perbuatan tersebut
tidak tercapai maka dianggap bathil.
BAB III
PENUTUP
A.    SIMPULAN
Hukum Wadh’i ialah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab untuk
sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu.
Hukum Wadh’i terbagi menjadi lima macam yaitu sebab, syarat, mani’, rukhsah dan
azimah, sah dan batal.
B.     SARAN
Dengan riwayat yang diatas telah menunjukkan betapa pentingnya mengetahui
Pengertian hukum wadh’i dan macam-macamnya.Banyak hal yang belum terselesaikan dalam
makalah ini. Kami menyadari akan keterbatasan dan kekurangan baik dalam penulisan,
pemahaman, dan sumber rujukan. 

DAFTAR PUSTAKA
Effendi Satria.  2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana Preda Media Group
Haroen Nasrun. 1996. Ushul Fiqih. Jakarta: Logos Publishing House
Hudari, Muhammad. 1965. Ushul Fiqh. Kairo: Maktabah Tijariyatil Kubra.
Karim Asyafi’i. 1997. Fiqih (Ushul Fiqh). Bandung: Pustaka Setia
Mughits Abdul. 1983. Ushul Fikih Bagi Pemula. Bandung: Al-Ma’rif
Umam Chaerul. 1998. Ushul Fiqih 1. Bandung: Pustaka Setia

wadhi
Hukum Taklifi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan dan melimpahkan rohmat, hidayah dan inayahNya kepada penulis sehingga penulis
bias menyelesaikan makalahini dengan baik dan lancar.
Mengingat kurangnya kemampuan dan keterbatasan penulis dalam menyelesaikan
makalah ini, penulis meyakini bahwa tugas ini tidak dapat terselesaikan tanpa bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak.
Atas bimbingan dan bantuan tersebut tiada yang dapat penulis ucapkan selain ucapan terima
kasih, kepada :
1.      Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat dan segala barokah-Nya
2.      Dosen Pembimbing, Muh. Latief Fauzi, S.H.I., M.S.I., M.A
3.      Seluruh pihak yang membantu yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.

Demikian penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab
itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dan bermanfaat bagi kita
semua.
Semoga makalah ini dapat kita ambil manfaatnya bersama, khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi para pembaca.

Surakarta,29 Mei 2013

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................................i


KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii

BAB I : PEMBUKAAN........................................................................................................
A.       Latar Belakang.........................................................................................................................
B.       Rumusan Masalah....................................................................................................................
C.       Tujuan Penulisan.....................................................................................................................

BAB II : PEMBAHASAN....................................................................................................
A.       Pengertian Hukum Taklifi.......................................................................................................
B.       Pembagian Hukum Taklifi.......................................................................................................

BAB III : PENUTUP..............................................................................................................


Kesimpulan...............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang


Dalam islam terdapat berbagai macam hukum, diantaranya adalah hukum taklifi. Hukum
Taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pegerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk
berbuat , atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya. Begitu
juga terdapat macam-macam hukum taklifi. Makalah ini akan menjelaskan pengertian dari
macam-macam hukum tersebut.

B.       Rumusan masalah


1.         Apa pengertian Hukum Taklifi?
2.         Bagaimana pembagaian Hukum Taklifi?

C.       Tujuan penulisan


1.         Menjelaskan pengertian Hukum Taklifi.
2.         Menjelaskan pembagaian Hukum Taklifi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Taklifi


Hukum Taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pegerjaan dari mukallaf, atau menuntut
untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya.
1. Contoh firman Allah SWT yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan:

َّ ‫الز َكوةَ َواَ ِطْيعُوا‬


‫الر ُس ْو َل لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْرمَحُْو َن‬ َّ ‫َواَقِْي ُموا‬
َّ ‫الصلَوةَ َوآتُوا‬

"Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Rasul, supaya kamu diberi Rahmat."
(QS. An-Nur : 56)
2. Contoh firman Allah SWT yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan:
ِ ‫والَ تَأْ ُكلُوا اَموالَ ُكم بينَ ُكم بِالْب‬
‫اط ِل‬َ ْ َْ ْ َ ْ ْ َ
"Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan bathil." (QS. Al-Baqarah : 188)
3. Contoh firman Allah yang bersifat memilih:

‫ض ِم َن اْخلَْي ِط اْالَ ْس َو ِد ِم َن اْل َف ْج ِر‬


ُ َ‫ط اْالَْبي‬
ُ ‫َو ُكلُ ْوا َوا ْشَربُ ْوا َحىَّت َيتََبنَّي َ لَ ُك ُم اْخلَْي‬
"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar."
(QS. Al-Baqarah : 187)

Macam-macam hukum taklifi menurut Jumhur ulama Ushul Fiqh:


1. Ijab
Yaitu tuntutan syar'i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan.
Orang yang meninggalkan dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat An-Nur :56

‫الز َكو َة‬ َّ ‫واَقِْي ُموا‬....


َّ ‫الصلَو َة َوآتُوا‬ َ
artinya:
"Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat..."
Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafadz amr, yang menurut ahli para Ushul Fiqh melahirkan
ijab, yaitu kewajiban mendirikan sholat dan membayar zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan
dengan perbuatan orang mukallaf, maka disebut dengan wujub, sedangkan perbuatan yang
dituntut itu (yaitu mendirikan sholat dan membayar zakat), disebut dengan wajib. Oleh sebab itu,
istilah ijab menurut ulama Ushul Fiqh, terkait dengan khithab (tuntutan) Allah, yaitu ayat di atas,
sedangkan wujub merupakan akibat dari khithab tersebut dan wajib adalah perbuatan yang
dituntut oleh khithab Allah.

2. Nadb
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan
sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang
meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub,
sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah : 282. Allah
SWT berfirman:
ِ ِ ِ
ُ‫يَآ اَيُّ َها الَّذيْ َن َآمُن ْوآ اذَا تَ َدا َيْنتُ ْم بِ َديْ ٍن اىَل اَ َج ٍل ُم َس ًّمى فَا ْكتُُب ْوه‬....
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya..."
Lafadz faktubuhu (maka tuliskanlah olehmu), dalam ayat itu pada dasarnya mengandung
perintah (wujub), tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada nadb yang
terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut (Al-Baqarah : 283):

... ُ‫ضا َف ْلُي َؤ ِّد الَّ ِذي ْاؤمُتِ َن اََمنَتَه‬


ً ‫ض ُك ْم َب ْع‬
ِ ِ
ُ ‫فَا ْن اَم َن َب ْع‬....
Artinya:
"Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya..."
Tuntutan wujub dalam ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan
ini adalah lanjutan ayat, yaitu allah menyatakan jika ada sikap saling mempercayai, maka
penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti ini disebut dengan nadb,
sedangkan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan itu, yaitu menuliskan utang-piutang disebut
mandub, dan akibat dari tuntutan Allah di atas disebut nadb.

3. Tahrim
Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa.
Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram.
Misalnya firman Allah dalam surat Al-An'am : 151:

... ُ‫س الَّيِت َحَّر َم اللَّه‬


َ ‫الن ْف‬
َّ ‫ َوالَ َت ْقُتلُوا‬....
Artinya:
"...Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah..."
Khithab (ayat) ini disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut harman, dan
perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang, disebut dengan
haram.

4. Karahah
Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui
redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut
untuk ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan seperti ini disebut juga
karahah. Karahah ini merupakan kebalikan dari nadb. Misalnya hadits Nabi Muhammad SAW:

‫ض اْحلَاَل ِل ِعْن َداللَّ ِه الطَّاَل ُق‬


ُ ْ‫اَب‬
Artinya:
"perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak." (H.R. Abu Daud, Ibn Majah, Al-
Baihaqi dan Hakim).
khithab hadits ini disebut karahah dan akibat dari khithab ini disebut juga dengan karahah,
sedangkan perbuatan yang dikenai khithab ini disebut makruh.
5. Ibahah
Yaitu khithab Allah yang bersifat memilih, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak
berbuat secara sama. Akibat dari khithab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan
yang boleh dipilih itu disebut mubah. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Maidah : 2

... ‫اد ْوا‬ ِ


ُ َ‫اصط‬
ْ َ‫وا َذا َحلَْلتُ ْم ف‬....
َ
Artinya:
"Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu."
Ayat ini juga menggunakan lafadz amr (perintah) yang mengandung ibahah (boleh), karena
ada indikasi yang memalingkannya kepada hukum boleh. Khithab seperti ini disebut ibahah, dan
akibat dari khithab ini juga disebut dengan ibahah, sedangkan perbuatan yang boleh dipilih itu
disebut mubah.

B. Pembagian Hukum Taklifi


1. Wajib
Para ulam Ushul Fiqh mengemukakan bahwa hukum wajib itu bisa dibagi dari berbagai segi,
antara lain:
a.     Dilihat dari segi waktu.
  Wajib al-muthlaq adalah sesuatu yang dituntut syari' untuk dilaksanakan oleh mukallaf tanpa
ditentukan waktunya. Misalnya, kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman bagi orang yang
melanggar sumpahnya. Orang yang bersumpah tanpa mengaitkan dengan waktu, lalu ia
melanggar sumpahnya itu, maka kafarat-nya boleh dibayar kapan saja.
  Wajib al-mu'aqqat adalah kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukallaf pada waktu-waktu
tertentu, seperti shalat dan puasa Ramadhan. Shalat wajib (Shubuh, Zhuhur, 'Ashar, Maghrib,
dan 'Isya') harus dikerjakan pada waktunya, demikian juga puasa Ramadhan. Waktu di sini
merupakan bagian dari kewajiban itu sendiri, sehingga apabila belum masuk waktunya,
kewajiban itu belum ada.
b.    Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan.
  Wajib al-muhaddad adalah suatu kewajiban yang ditentukan ukurannya oleh syara' dengan ukuran
tertentu. Misalnya, jumlah harta yang wajib dizakatkan dan jumlah raka'at dalam shalat. Jumlah
dan ukuran ini tidak boleh diubah, ditambah, atau dikurangi.
  Wajib ghairu al-muhaddad adalah kewajiban yang tidak ditentukan syara' ukuran dan jumlahnya,
tetapi diserahkan kepada para ulama dan pemimpin umat untuk menentukannya. Misalnya,
penentuan hukuman dalam jarimah ta'zir (tindak pidana di luar hudud dan qishash) yang
diserahkan kepada para qadhi (hakim). Dalam penentuan hukuman ini, para hakim harus
berorientasi pada tercapainya tujuan syara' dalam mensyari'atkan suatu hukuman dan bersifat
adil.
c.     Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban.
  Wajib al-'aini adalah kewajiban yang ditujukan kepada setiap pribadi orang mukallaf. Misalnya,
kewajibab melaksanakan shalat bagi setiap orang mukallaf.
  Wajib al-kifa'i adalah kewajiban yang ditujukan kepada seluruh orang mukallaf, tetapi apabila
telah dikerjakan oleh sebagian dari mereka, maka kewajiban itu telah terpenuhi dan orang yang
tidak mengerjakannya tidak dituntut untuk melaksanakannya. Misalnya, pelaksanaan shalat
jenazah, melaksanakan amr ma'ruf nahi munkar, dan menjawab salam ketika berkumpul
bersama orang banyak.
Akan tetapi, wajib al-kifa'i bisa berubah menjadi wajib al-'aini apabila yang bertanggung
jawab dalam kewajiban tersebut hanya satu orang. Misalnya, menolong orang yang tenggelam di
laut atau di sungai merupakan wajib al-kifa'i, karena semua orang yang menyaksikannya wajib
menolongnya. Akan tetapi, jika dari sejumlah orang yang menyaksikan peristiwa itu hanya satu
orang yang pandai berenang, maka waib al-kifa'i yang dikenakan kepada sejumlah orang itu
berubah menjadi wajib al-'aini bagi orang yang pandai berenang tersebut.
d.    Dilihat dari segi kandungan perintah.
  Wajib al-mu'ayyan adalah kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang diperintahkan, seperti
sholat, puasa, dan harga barang dalam jual beli. Shalat dan puasa dikerjakan yang pada dirinya
adalah wajib, dan harga barang yang dibeli itu juga wajib ada dan wajib diserahkan.
  Wajib al-mukhayyar adalah suatu kewajiban tertentu yang bisa dipilih orang mukallaf. Misalnya
firman Allah dalam surat al-Maidah:89, mengemukakan bahwa kafarat sumpah itu terdiri atas,
memberi makan fakir miskin, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak.

2. Mandub
Para ulama Ushul Fiqh membagi mandub menjadi 3 macam, antara lain:
a.     Sunnah al-Mu'akkadah (sunah yang sangat dianjurkan)
Yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak
mendapat dosa, tetapi yang meninggalkannya mendapat celaan. Di antaranya adalah shalat-shalat
sunah sebelum dan sesudah mengerjakan shalat lima waktu (shalat fardu'), seperti shalat sunah
dua raka'at sebelum shubuh, dua raka'at sebelum dan setelah Zhuhur, dan berkumur-kumur
waktu berwudhu', adzan, berjama'ah.
b.    Sunnah ghairu al-Mu'akkadah (sunah biasa)
Yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala, apabila ditinggalkan tidak
berdosa dan tidak pula mendapat celaan dari syar'i, seperti bersedekah, shalat sunnah dhuha dan
puasa setiap hari Senin dan Kamis. Pekerjaan seperti ini, menurut para ulama fiqh disyari'atkan,
tetapi tidak senantiasa dikerjakan Rasulullah SAW. Sunah seperti ini disebut juga dengan istilah
mushtahab atau nafilah.
c.     Sunnah al-Za'idah (sunah yang bersifat tambahan)
Yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah SAW, sehingga
apabila dikerjakan diberi pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa dan tidak pula dicela.
Pekerjaan-pekerjaan seperti ini adalah berupa sikap dan tindak-tanduk Rasulullah SAW sebagai
manusia biasa, seperti cara tidur, cara makan, dan cara berpakaian. Apabila hal-hal seperti ini
dilakukan seorang muslim dengan niat mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah SAW, maka
disebut sunah Za'idah.

3. Haram
a.    Haram li dzatihi
Yaitu suatu keharaman langsung dan sejak semula ditentukan Syar'i tentang keharamannya.
Misalnya memakan bangkai, babi, berjudi, meminum minuman keras, berzina, membunuh dan
memakan harta anak yatim. Keharaman dalam contoh ini adalah keharaman pada zat (esensi)
pekerjaan itu sendiri. Akibatnya, apabila melakukan suat transaksi dengan sesuatu yang haram li
dzathihi ini, hukumnya menjadi batal, dan tidak ada akibat hukumnya.
b.    Haram li ghairihi
Yaitu sesuatu yang pada mulanya disyari'atkan, tetapi dibarengi oleh sesuatu yang bersifat
mudarat bagi manusia, maka keharamannya adalah disebabkan adanya mudarat tersebut.
Misalnya, melaksanakan shalat dengan pakaian hasil ghashab (mengambil barang orang lain
tanpa izin), melakukan transaksi jual beli ketika suara adzan shalat Jum'at telah berkumandang,
pernikahan tahalal, puasa di Hari Raya Idul Fitri.
4. Makruh
Ulama hanafiyyah membagi makruh dalam dua bentuk, yaitu:
a.    Makruh Tanzil
Yaitu sesuatu yang dituntut Syar'i untuk ditinggalkan, tetapi dengan tuntunan yang tidak
pasti. Makruh tanzih dalam istilah ulama hanafiyyah ini sama dengan pengertian makruh di
kalangan Jumhur Ulama. Misalnya, memakan daging kuda yang dikemukakan di atas.
b.    Makruh Tahrim
Yaitu tuntutan Syar'i untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan itu melalui cara yang
pasti, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Seperti larangan memakai sutera dan perhiasan
emas bagi kaum lelaki, sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah SAW:
"Keduanya ini (emas dan sutera) haram bagi umatku yang laki=laki dan halal bagi wanita."
(H.R. Abu Daud, An-Nasai', Ibn Majah, dan Ahmad Ibn Hanbal).

5. Mubah
Pembagian mubah menurut ulama Ushul Fiqh dilihat dari segi keterkaitannya dengan mudarat
dan manfaat, antara lain:
a.     Mubah yang apabila dilakukan atau tidak dilakukan, tidak mengandung mudarat, seperti
makan, minum, berpakaian dan berburu.
b.    Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya, sedangkan perbuatan ini
sendiri pada dasarnya diharamkan. Mubah seperti ini di antaranya, melakukan sesuatu dalam
keadaan darurat atau terpaksa, seperti makan daging babi, karena tidak ada makanan lagi yang
mesti dimakan dan apabila daging babi itu tidak dimakan, maka seseorang akan meninggal
dunia. Oleh sebab itu, dalam kondisi seperti ini makan daging babi untuk sekedar
mempertahankan nyawa termasuk mubah. Atau sesuatu yang pada dasarnya wajib dilaksanakan,
tetapi karena darurat, maka boleh ditinggalkan, seperti berbuka puasa bagi orang hamil, musafir
dan ibu yang menyusui anaknya.
Sesuatu yang pada dasarnya bersifat mudarat dan tidak boleh dilakukan menurut syara',
tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehingga perbuatan itu menjadi mubah. Misalnya
mengerjakan pekerjaan haram sebelum islam, seperti mengawini bekas istri ayah (ibu tiri) dan
mengawini dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Kemudian datang syari'at islam yang
mengharamkan perbuatan tersebut, dan menyatakan bahwa orang yang telah melakukannya
sebelum islam dimaafkan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Hukum Taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pegerjaan dari mukallaf, atau menuntut
untuk berbuat , atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya.
Macam-macam hukum taklifi menurut Jumhur ulama Ushul Fiqh:Ijab, Nadb, Ibahah, Karahah,
Tahrim.
2.      Pembagian Hukum Taklifi
a.       Wajib
1)   Dilihat dari segi waktu, yaitu wajib al-muthlaq dan wajib al-mu’aqqat.
2)   Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan, yaitu wajib al-muhaddad dan wajib ghairu al-
muhaddad.
3)   Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban, yaitu wajib al-‘aini dan wajib al-kifa’i.
4)   Dilihatdarisegikandunganperintah, yaituwajibal-mu’ayyandanwajib al-mukhayyar.
b.      Mandub
1)    Sunah al-Mu’akkadah (sunah yang sangatdianjurkan).
2)    Sunahghairu al-Mu’akkadah (sunahbiasa).
c.       Haram
1)   Haram li dzatihi.
2)   Haram li ghairihi.
d.      Makruh
1)   Makruhtanzih.
2)   Makruhtahrim.
e.       Mubah.

Hokum tahklifi
makalah amar dan nahi

A.   Latar Belakang Masalah


Ushul fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan penting
dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam atau ilmu fiqih.
Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali ditelaah karena
sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan bahasa arab yang mempunyai
banyak makna yang terkandung didalamnya. Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang sangat
diperlukan bagi setiap muslim yang ingin mengetahui dan mengistimbathkan hukum dari dalil-
dalil syar’i, terutama untuk mengetahui hukum-hukum dari peristiwa atau hal baru yang tidak
terjadi pada masa Rasulullah SAW. Karena zaman selalu berkembang, sedangkan Al-Qur’an dan
Hadits sudah tidak akan ada penambahan dan perubahan karena memang segalanya sudah
tercakup di dalam Al-Qur’an.
Sehingga banyak para ulama atau tokoh-tokoh agama islam yang berijtihad bersama
dalam memecahkan banyaknya permasalahan yang semakin hari kian banyak dan memengaruhi
kemantapan hati umat islam dalam beribadah kepada Allah SWT. Sudah barang tentu, para
ulama dalam berijtihad tidak hanya menggunakan akal pikiran semata namun, semua pemikiran
itu dilandaskan pada Al-Qur’an dan As sunnah.
Kemudian halnya, hasil ijtihad para ulama ditetapkan sebagai hukum syara’, yang
disesuaikan dengan berbagai sebab dan keadaannya. Sehingga dapat membantu meringankan
para mukallaf dalam beribadah kepada Allah secara mutlak, seiring berbagai macam persoalan
zaman yang semakin berkembang. Bagitupun juga terkait dalil-dalil antara perintah dan
larangan. Maka, dalam makalah ini kami akan membahas tentang amar (perintah) dan nahi
(larangan).

B.   Permasalahan
1.      Apakah pengertian Amar, dan jelaskan yang berkaitan dengan Amar !
2.      Apakah pengertian Nahi, dan jelaskan yang berkaitan dengan Nahi !
C.   Pembahasan
C.1 Pengertian Amar, dan Penjelasan yang Berkaitan dengan Amar
1. Pengertian Amar
Menurut bahasa arab, Amar artinya perintah, menurut istilah Amar adalah suatu lafadz
yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada
bawahan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa Amar itu tidak hanya ditunjukkan pada
lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) Amar saja, tetapi ditunjukkan pula oleh semua
bentuk kata yang didalamnya mengandung arti perintah. Jadi Amar merupakan suatu permintaan
untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan.[1]
Hakikat pengertian amar (perintah) ialah Lafal yang dikehendaki supaya orang
mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali Hasbullah menyatakan bahwa amar
berarti suatu tuntutan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang
lebih rendah kedudukannya. Dalam hal ini, tidak diharuskan bahwa orang yang menyuruh lebih
tinggi  derajatnya dari orang yang disuruh, walaupun perintah tersebut tidak akan ditaati oleh
yang disuruh itu, karena derajatnya lebih tinggi daripada yang menyuruh. Sebagian ulama
mensyaratkan bahwa orang yang menyuruh harus lebih tinggi derajatnya daripada orang yang
disuruh, yakni dalam hal ini Allah kepada hambanya.
2. Sighat (bentuk kata) Amar
 Amar merupakan lafal yang mengandung pengertian  perintah. Sighat Amar berbentuk
sebagai berikut:
a.       Berbentuk Fi’il Amar / perintah langsung.
Misalnya, firman Allah:

َّ ‫اَقِ ْي ُموا‬
‫الصالَ َة‬

        Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS. Al baqarah: 43)[2]


Contoh lain:
Apabila lafadz yang khusus dalam nash syar’i datang dalam shighat amar atau perintah,
maka lafadz itu menunjukkan kewajiban. Artinya menuntut perbuatan yang diperintah itu secara
penetapan dan kepastian.  Allah swt berfirman:

‫ص َن‬ ُ ‫وال ُْمطَلَّ َق‬                                                             


ْ َّ‫ات َيَت َرب‬ َ
Artinya: “wahai wanita yang ditalak menahan diri (menunggu) …..”.
Firman tersebut menunjukkan kewajiban wanita yang ditalaq untuk menahan diri atau
beriddah selama tiga kali quru’ (suci). Sebab menurut pendapat yang rajih (unggul) bahwasannya
shighat amar dan shighat lain yang bermakna sama dengannya ditetapkan untuk mewajibkan.
Sedangkan suatu lafadz ketika di mutlakkan, maka ia menunjukkan terhadap maknanya yang
hakiki yang telah ditetapkan untuknya. Ia tidak boleh dipalingkan dari maknanya yang hakiki,
kecuali dengan adanya suatu qarinah (hubungan/keterkaitan kata sebelum dan sesudahnya).
Selanjutnya jika ditemukan suatu qarinah (keterkaitan / hubungan) yang dapat
memalingkan shighat perintah dari makna kewajiban kepada makna lainnya, maka ia dipahami
sesuai dengan apa yang ditunjuki oleh qarinah itu, seperti ibahah (pembolehan).[3]
b.      Berbentuk Fi’il  mudhari’  yang didahului oleh lam Amar.
Misalnya, firman Allah:

‫ت ال َْعتِْي ِق‬
ِ ‫ولْيطََّّو ُفوا بِالْب ْي‬
َ ْ ََ
Artinya: “dan hendaklah thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah)”. (QS.Al Haj: 29)

ٌ‫َولْتَ ُك ْن ِّم ْن ُكم اَُّمة‬


Artinya: “dan hendaklah ada segolongan umat”. (QS. Ali Imran: 104)

c. Isim Fi’il Amr, seperti:


  

‫س ُك ْم‬
َ ‫َعلَْي ُك ْم اَْن ُف‬
Artinya: “Jagalah dirimu”. (QS. Al Maidah: 105)
d.      Masdar pengganti fi’il, seperti:
ِ ِ ِ
َ ‫َوبا ل َْوال َديْ ِن ا ْح‬
‫سانًا‬
Artinya: “dan berbuat baiklah kepada Ibu Bapak”. (QS. Al Baqarah: 83)
e.       Bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradla, kutiba dan lain sebagainya.

‫اج ِه ْم‬ َ ْ ْ ْ ‫قَ ْد َعلِ ْمنَا َما َف َر‬


ِ ‫ضنَا َعلَْي ِهم ِفي اَ ْزو‬

Artinya: “sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang
istri istri mereka”. (QS. Al Ahzab: 50).
ِ ِ
‫ام‬
ُ َ‫الصي‬
ِّ ‫ب َعلَْي ُك ُم‬ َ ‫يَأ َُّي َهالَّذيْ َن‬
َ ‫ءامنُوا ُكت‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa”. (QS. Al Baqarah:
183)
ِ َ‫اِ َّن اللّهَ يأْ مر ُكم اَ ْن ُت َؤ ُّداآْل َمن‬
‫ت‬ َ ْ ُُ َ
Artinya: “sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanah”. (QS. An
Nisa’: 58)
Bentuk amar kadang-kadang keluar dari maknanya yang asli dan digunakan untuk makna
yang bermacam-macam yang dapat kita ketahui dari susunan kalimatnya.[4]
Amr (perintah) memiliki kaidah yaitu ketentuan-ketentuan yang dipergunakan para
mutjahid dalam mengistinbatkan hukum. Ulama ushul merumuskan kaidah-kaidah amar dalam
lima bentuk, yaitu :
Kaidah pertama; pada dasarnya ‘amar (perintah) itu menunjukan kepada wajib dan tidak
menunjukan kepada selain wajib kecuali dengan adanya qarinah (hubungan keterkaitan). Maksud
dari kaidah tersebut adalah bahwa mengerjakan sesuatu pekerjaan yang dituntut oleh suatu
perintah adalah wajib diperbuat.
Imam Ar Razi berkata di dalam kitabnya Al Mahsul, bahwa ahli Ushul telah sepakat
menetapkan bahwa bentuk fi’il ‘amar dipergunakan dalam 15 macam makna sesuai dengan
qarinah yang mempengaruhinya, antara lain:
1.      Ijab (Wajib)
Contoh:
َّ ‫اَقِ ْي ُموا‬
‫الصالَ َة‬

        Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS. Al baqarah: 43)


2.      Nadb (anjuran)

‫ال اللّ ِه الَّ ِذي أت ُك ْم‬


ِ ‫وآ ُت ْو ُهم ِّم ْن َّم‬
ْ َ
Artinya: “dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan Nya
kepadamu”. (QS. An Nur : 33)
3.      Takdzib (mendustakan)

‫ص ِد قِ ْي َن‬ ِ
َ ‫قُ ْل َهاتُوا ُب ْر َهانَ ُك ْم انْ ُك ْنتُ ْم‬
Artinya: “tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (QS. Al
Baqarah 111).

4.      Irsyad (membimbing atau Menunjukkan)


Contoh firman Allah:

‫استَ ْش ِه ُدوا َش ِه ْي َديْ ِن ِم ْن ِر َجالِ ُك ْم‬


ْ ‫َو‬
Artinya: “dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki (diantaramu).
(QS. Al Baqarah : 282)
5.      Ibahah (kebolehan)

‫َس َو ِد ِم َن الْ َف ْج ِر‬ ِ ِ ‫ط األَبي‬


ْ ‫ض م َن الْ َخ ْيط األ‬
ُ َ ْ ُ ‫َو ُكلُ ْوا َوا ْش َر ُب ْوا َحتَّى َيتََبيَّ َن لَ ُك ُم الْ َخ ْي‬
Artinya: “makan dan minumlah hingga jelas bagimu beng putih dan benang hitam bagimu”.
(QS. Al Baqarah : 187)

‫اد ْوا‬
ُ َ‫اصط‬ َ ‫َوإِ َذ‬
ْ َ‫احلَلْتُ ْم ف‬
Artinya: dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. (QS. Al-
Ma’idah:2)
6.      Tahdid (Ancaman)
ِ ‫اش ْئتُم اِنَّهُ بِما َت ْعملُو َن ب‬
‫ص ْي ٌر‬ ِ ِ
َ َْ َ ْ ‫ا ْع َملُ ْوا َم‬
Artinya: “kerjakanlah apa yang kamu kehendaki. Sesungguhnya Dia maha melihat apa yang
kamu kerjakan”. (QS. Fusshilat : 40)
7.      Inzhar (peringatan)

‫ص ْي َر ُك ْم اِلَى النَّا ِر‬


ِ ‫قُل تَمتَّعوا فَِا َّن م‬
َ ُْ َ ْ
Artinya: “Katakanlah, “Bersuka rialah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu adalah
neraka”. (QS. Ibrahim : 30)
8.      Ikram (memuliakan)
ِ ‫اُ ْد ُخلُوها بِسالٍَم‬
‫آمنِْي َن‬ َ َْ
Artinya: “(dikatakan kepada mereka): masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman”.
(QS. Al Hijr : 46)

9.      Taskhir (penghinaan)


ِ ‫ُكو ُنوا قِر َدةً َخ‬
‫اسئِْي َن‬ َ ْ ْ
Artinya: “Jadilah kamu sekalian kera yang hina”. (QS. Al Baqarah : 65)
10.  Ta’jiz (melemahkan)

‫س ْو َر ٍة ِم ْن ِمثْلِ ِه‬ ِ
ُ ‫فَأُْت ْوا ب‬
Artinya: “datangkanlah satu surat (saja) yang seumpama )Al Qur’an( itu”. (QS. Al Baqarah :
23)
11.  Taswiyah (mempersamakan)

‫صبِ ُروا‬
ْ َ‫اصبِ ُروا اَ ْوالَت‬
ْ َ‫ف‬
Artinya: “maka bersabar atau tidak”. (QS. At Thur  :16)
12.  Tamanni (angan-angan)
Contoh Syi’ir Arab:
ْ ِ‫اص ْب ُح ق‬
‫ف اَل تَطْلَ ُع‬ ُ َ‫ ي‬   ‫يَا لَْي ُل طُ ْل يَا َن ْو ُم ُز ْل‬
Artinya: “wahai sang malam, memanjanglah wahai kantuk menghilanglah. Wahai waktu subuh
berhentilah dahulu, jangan segera dating.
13.  Do’a

‫ب ا ْغ ِف ْرلِى‬
ِّ ‫َر‬
Artinya: “Ya Allah ampunilah aku”. (QS. Shad : 35)
14.  Ihanah (meremehkan)

‫ت ال َْع ِز ْي ُز‬ َ َّ‫ذُ ْق إِن‬


َ ْ‫ك اَن‬
Artinya: “Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”. (QS. Ad Dukhan :
49)

15.  Imtinan

‫فَ ُكلُ ْوا ِم َّما َر َزقَ ُك ُم اللّه‬


Artinya: “Makanlah apa yang direzekikan kapadamu”. (QS. An Nahl :114)[5]
Kaidah kedua: Perintah setelah larangan menunjukan kepada kebolehan. Maksud dari kaidah ini
ialah, apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang, lalu datang perintah mengerjakan,
maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi bersifat membolehkan. Seperti Firman Allah
swt:

ْ َ‫ض َو ْابَتغُ ْوا ِم ْن ف‬


‫ض ِل الّله‬ ِ ‫الصالَةُ فَا ْنتَ ِش ُر ْوا فِى اأْل َْر‬
َّ ‫ت‬ ِ ِ
ِ ‫ضي‬
َ ُ‫فَا َذا ق‬
“apabila shalat telah dilaksanakan , maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia
allah{ QS.al-jumu’ah 62:10}”.
Dengan demikian perintah bertebaran dimuka bumi, seperti kata ayat diatas, hukumnya tidak
wajib, tapi diperbolehkan.
  Kaidah ketiga: Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan. Misalnya
tentang haji. Jumhur ulama sepakat bahwa perintah mengerjakan sesuatu yang berhubungan
dengan waktu, maka harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan tidak bleh
di luar waktu. Bila dilakukan diluar waktu, tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara’ maka
hukumnya akan berdosa.
Kaidah Keempat: pada dasarnya perintah ini tidak menghendaki pengulangan (berkali-kali
mengerjakan perintah). Misalnya dalam ibadah haji, yaitu satu kali seumur hidup namun bila
perintah itu dimaksudkan pengulangan, maka harus ada qarinah atau kalimat yang menunjukan
pada pengulangan.
Allah berfirman:
‫ْح َّج َوالْعُ ْم َرةَ لِلّه‬ ِ
َ ‫َوأَت ُّم ال‬
“dan Sempurnakan haji dan umrah karena Allah”. (QS. Al Baqarah: 196).
Kewajiban haji dan umrah hanya sekali seumur hidup. Jadi bila dikerjakan sekali saja sudah
cukup.[6]
Kaidah Kelima: kaidah ini menjelaskan bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa
terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat mewujudkan perbuatan yang
diperintah itu. Misalnya, kewajiban melaksanakan sholat, sholat ini tidak sah untuk dikerjakan
tanpa suci (wudhu) terlebih dahulu. Maka para ulama menetapkan bahwa “ Tiap-tiap perkara
yang kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka perkara itu wajb pula”.

3. Dilalah dan Tuntutan Amar


a.       Menunjukkan wajib, seperti dijelaskan oleh Dr. Zakariya Al Bardisy bahwa jumhur ulama
sepakat menyatakan bahwa amar menunjukkan tidak wajib suatu tuntutan yang secara mutlaq
selama tidak ada qarinah (hubungan sesuatu) dari ketentuan amar tersebut. Berdasarkan kaidah
juga ada yang mengatakan bahwa arti pokok dalam ‘amar ialah menunjukkan wajib (wajibnya
perbuatan yang diperintahkannya).   
Contoh:

‫س‬ ‫ي‬ ِ‫اُسج ُدوا أِل ََدم فَسج ُدوا ااَّل اِبل‬
ْ
َ ْ ْ ََ َ ْ ُْ
Artinya: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis”. (QS. Al Baqarah :
34)
Bentuk perintah amar dalam ayat tersebut, yaitu perkataan sujudlah (usjuduu) dengan tidak
disertai qarinah menunjukkan kemestian / keharusan. Kalau tidak demikian Allah tidak mencela
iblis karena kedurhakaannya itu.
Perlu diketahui bahwa suatu perintah atau suruhan yang tidak ada qarinahnya, dengan suatu
hal yang lain berarti menunjukkan arti kemestian (wajib).
b.      Menunjukkan anjuran (nadb) berdasarkan sebuah kaidah yang berarti amar / suruhan ialah
menunjukkan sebuah anjuran (nadb).
Suruhan itu memang adakalanya untuk suruhan (wajib), seperti salat lima waktu, adakalanya
untuk anjuran (nadb), seperti salat dluha. Di antara kemestian dan anjuran yang paling diyakini
adalah anjuran (sunnah).
Kesimpulannya, amar tetap mengandung arti wajib, kecuali apabila amar tadi sudah tidak
mutlaq lagi, atau terdapat qarinah yang dapat mengubah ketentuan tersebut, sehingga amar itu
berubah pula, yakni tidak menunjukkan wajib, tetapi menjadi bentuk yang menunjukkan hukum
sunnah atau mubah dan sebagainya sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya.[7]

4.  Syarat yang harus ada pada kata Amar (perintah) adalah :
a. Harus berupa ucapan perintah (Amar) seperti kata uf’ul (kerjakanlah).
b. Harus berbentuk kata permintaan.
c. Tidak ada tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan permintaan itu bertatus tidak mewajibkan
atau mengharuskan.
d. Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawahan namanya do’a.[8]
Suatu kata perintah (fiil amar) dapat dipandang dari dua sisi yakni:
a)      Cara menyatakan perintah dari bentuk kata. Hal ini menunjukkan tuntunan perbuatan dalam
waktu yang tertentu atau waktu mendatang.
b)      Maksud yang dikandung dalam perintah itu atau perbuatan yang diminta (ma’addatul amri). Hal
ini menunujukkan macamnya  perbuatan yang diminta, seperti berdiri, duduk. Apabila disatukan
kedua sisi tersebut dalam amar, maka maksudnya tidak lebih dari pada hanya menuntut
perbuatan yang disebutnya, dan tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan berulang-ulanya
perbuatan itu. Memenuhi tuntunan suruhan tersebut cukup dengan dikerjakan sekali saja, karena
menurut qaidah “tidak ada kewajiban lebih dari pada tanggungan yang sebenarnya (sesuai
kemampuan seorang hamba)”.[9]
C.2 Pengertian Nahi, dan Penjelasan yang Berkaitan dengan Nahi
1. Pengertian Nahi
Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u), sedangkan Menurut istilah
adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan
menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau  lafadz yang menyuruh kita untuk
meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal
juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk tidak
berbuat salah.
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk
meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu larangan yang harus
ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
[10]
Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan haram, seperti dalam firman
Allah:

ً‫اع َفة‬
َ‫ض‬ َ ‫ض َعافًا ُم‬ ِّ ‫َواَل تَأْ ُكلُوا‬
ْ َ‫الربَا أ‬
Artinya: “dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali Imran:
130)
Karena La ta’kulu berbentuk nahi, sedangkan ketentuan nahi adalah haram, maka makan
harta riba hukumnya haram, karena tidak diridlai Allah swt. Inilah hukum asli dari nahi.
Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut tidak lagi
menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh, mubah, dan sebagainya. Sesuai
dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada ulama yang berpendapat bahwa nahi yang masih
asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun, pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah
haram.[11]
2. Sighat (bentuk kata) Nahi

Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang
mutlak. Seperti firman Allah:

ِ
‫الصالَةَ َوأَْنتُ ْم ُس َك َارى‬
َّ ‫ب‬ُ ‫يَاأ َُّي َها الَّذيْ َن َامنُوا اَل َت ْق َر‬
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam keadaan
mabuk”. (QS.An Nisa : 43)

Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk
diantaranya:

a)      Fi’il Mudhari’ yang disertai dengan la nahi, seperti:

ِ ‫اَل ُت ْف ِس ُد ْوا فِى ااْل َ ْر‬


‫ض‬
Artinya: “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. (QS. Al Baqarah: 11).
b)      Lafadz-lafadz yang member pengertian haram atau perintah meninggalkan sesuatu perbuatan,
seperti:

‫الربَوا‬
ِّ ‫َواَ َح َّل اللّهَ َو َح َّر َم‬
Artinya: “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al Baqarah: 275).

Kaidah-kaidah Nahi:

                        Kaidah pertama, pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram, seperti:

‫الزنَى‬
ِّ ‫َواَل َت ْق َر بُوا‬
                        Artinya: “dan janganlah kalian mendekati zina”. (QS. Al Isra: 32).
Sighat Nahi mengandung beberapa pengertian, antara lain sebagai berikut:

a.      Untuk do’a

‫اخ ْذنَا اِ ْن نَ ِس ْينَااَ ْواَ ْخطَأْنَا‬


ِ ‫ر َّبنا اَل ُت َؤ‬
ََ
“hai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami, bila kami lupa atau salah”.
b.      Untuk pelajaran

‫س ْؤ ُك ْم‬ ِ ‫اَل تَسئلُواعن اَ ْشي‬


ُ َ‫اء ا ْن ُت ْب َدلَ ُك ْم ت‬
َ َ ْ َ ْ َْ
“janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan
kamu”.
c.       Putus asa
‫اَل تَ ْعتَ ِذ ُروا ا ْليَ ْو َم‬
“janganlah kamu cari-cari alasan hari ini”
d.      Untuk menyenangkan (menghibur)

‫اَل تَ ْح َز ْن إِ َّن اللّهَ َم َعنَا‬


“jangan bersedih kamu, bahwa sesungguhnya Allah bersama kita”
Kaidah kedua: larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya, seperti:

‫اَل تُ ْش ِر ْك بِاللّه‬
Artinya: “janganlah kamu mempersekutukan Allah”.
Kaidah ketiga: pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam
setiap waktu. Seperti:

‫الصلَواةَ َواَْنتُ ْم ُس َك َارى‬


َّ ‫اَل َت ْق َربُوا‬
Artinya: “janganlah shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk”. (QS. An Nisa’:43).

Nahi terbagi kedalam 4 bagian yakni:


1.      Nahi yang menunjukkan perbuatan itu sendiri sebagaimana contoh di atas yang menyebabkan
perbuatan yang dilarang itu hukumnya fasid (rusak) haram.
2.      Nahi yang menunjukkan juz’I dari perbuatan (bagian dari perbuatan). Misalnya, larangan jual
beli anak binatang yang masih dalam kandungan ibunya.
3.      Nahi yang menunjukkan sifat perbuatan yang tidak dapat dipisahkan, misalnya larangan
berpuasa pada hari raya karena hikmah di hari raya ialah agar semua umat Islam dapat
menikmati kegembiraan makan minum di hari tersebut.
4.      Nahi yang menunjukkan hal-hal di luar perbuatan yang tidak mesti berhubungan dengan
perbuatan tersebut. Misalnya, larangan dalam jual beli sewaktu shalat jum’at yang akibatnya
akan meninggalkan shalat jum’at.[12]
3.      Dilalah dan Tuntutan Nahi
Dalam melarang suatu perbuatan, menurut pendapat Muhammad Khudhari Beik, Allah juga
memakai beragam gaya bahasa diantaranya:
a. Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang searti dengannya yang  secara
bahasa berarti melarang. Misalnya surat An-Nahl ayat 90 yang artinya:

‫ش ِاء َوال ُْم ْن َك ِر َوالَْب ْغ ِي‬


َ ‫َو َي ْن َهى َع ِن الْ َف ْح‬
 “Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”.
b.      Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan, misalnya ayat 33 surat Al-
A’raf:
ِ ِ
َ ‫ش َما ظَ َه َرم ْن َه َاو َمابَطَ َن َواإْلِ ثْ َم َوالَْب ْغ َي بِغَْي ِرال‬
‫ْح ِّق‬ َ ‫قُ ْل إِنَّ َم‬
َ ‫اح َّر َم َربِّ َي الْ َف َواح‬
 Artinya: “Katakanlah : "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan
yang benar”.
c.       Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan, contoh surat An-Nisa’
ayat 19:
ِ ِ َّ
‫اء َك ْر َها‬
َ‫س‬ َ ِّ‫يَا اَُّي َهاالذيْ َن َامنُوا اَل يَح ُّل لَ ُك ْم اَ ْن تَ ِرثُوا ان‬
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa”.
d.      Larangan dengan menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk sekarang atau mendatang)
yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan, misal surat Al-An’am ayat 152:
ِ َِّ ِ ِ ِ َ ‫واَل َت ْقربوا م‬
َ ‫ال اليَت ْي ِم ااَّل بالت ْي ه َي اَ ْح‬
ُ‫س ُن َحتَّى َي ْبلُ َغ اَ ُش َّده‬ َ ُْ َ َ
Artinya:“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa”.
e.       Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan
misalnya, surat Al-An’am ayat 120 artinya:
ِ ‫وب‬
 ُ‫اطنَه‬ ِ َ‫وذَرواظ‬
‫اه َراإْلِ ثْ ِم‬
ََ ُْ َ
“Dan tinggalkanlah dosa yang Nampak dan yang tersembunyi”.
f.       Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih, misalnya surat Al-Taubah :
34.
‫اب اَلِْي ٍم‬ ِّ َ‫ضةَ َواَل ُي ْن ِف ُق ْو َن َها فِي َسبِْي ِل اللّه َفب‬
ٍ ‫ش ْر ُه ْم بِ َع َذ‬ َّ ‫ب َوال ِْف‬ َّ ‫َوالَّ ِذيْ َن يَ ْكنِ ُز ْو َن‬
َ ‫الذ َه‬
            Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya
pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih”.
g.      Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan, misalnya surat Ali Imran : 180

ْ َ‫أته ُم اللّهُ ِم ْن ف‬
‫ضلِ ِه ُه َو َخ ْي ًرا لَّ ُه ْم‬ ِ
ُ ‫سبَ َّن الَّذيْ َن َي ْب َخلُ ْو َن بِ َما‬
َ ‫َواَل يَ ْح‬
Artinya: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah
berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka”.
h. Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri, misalnya surat al-Baqarah :
193

‫فَِإ ِن ا ْنَت َهوافَاَل عُ ْد َوا َن اَاَّل َعلَى الظَّالِ ِم ْي َن‬


Artinya: “Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”[13]

4.      Syarat-syarat Nahi


1.      Bentuk nahi hanya satu saja, yaitu fiil mudhari’ yang disertai la nahi.
Arti nahi yang pokok.
a.       Menunjukkan haram
Artinya: “ larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang dilarang)”.
Alasannya, apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita dapat mengerti
keharusan yang diminta larangan itu,  yang segera dapat dimengerti menunjukkan pengertian
yang sebenarnya. Demikian pula pemahaman lama salaf.
Qarinah ialah kata-kata yang menyerupai larangan, yang menyebabkan larangan itu tidak
menyebabkan haram.
b.      Menunjukan makruh
Artinya:  “Bermula larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang dilarang).
Alasannya, larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya) perbuatan yang
dilarang. Keburukan ini tidak berarti haram atau larangan menunjukkan rusaknya perbuatan yang
dilarang.[14]
c.       Melarang sesuatu mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya menjadi rusak dan tidak
sah.

Artinya, larangan melakukan suatu perbuatan itu akan mengakibatkan perbuatan yang
dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi tidak sah. Contoh zina. Sebagian ulama
termasuk imam Ghazali dan ar Razi berpendapat bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak
sahnya suatu perbuatan yang dilakukan, kecuali hanya dalam soal ibadah saja, tidak dalam
muamalah”. Sebagian ulama Syafi’iyyah, hanafiah, dan muktazilah berpendapat bahwa “nahi itu
tidak menyebabkan tidak sahnya perbuatan yang dilarang, tidak pada lughah / bahasanya, tidak
pada syara’, dan tidak pula dalam soal-soal ibadah dan muamalah”. Sementara Imam Syaukani
berkata di dalam kitab shulnya Irsyadul Fuhul bahwa “tiap-tiap nahi yang tidak membedakan
antara ibadah dan muamalah menyebabkan perbuatan yang dilarang itu haram hukumnya, dan
tidak sahnya hukum menurut syara’ berarti batal (tidak sah).[15]

D.   Simpulan
1.      ‘Amar
         Pengertian ‘Amar
Jadi ‘Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya
mewajibkan/mengharuskan yakni dalam hal ini Allah kepada hambanya.
         Sighat (bentuk kata) ‘Amar
         Dilalah dan Tuntutan ‘Amar
         Syarat yang harus ada pada kata’ Amar (perintah) adalah :
2.      Nahi
         Pengertian Nahi
Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada
bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
         Sighat (bentuk kata) Nahi
         Dilalah dan Tuntutan Nahi
         Syarat-syarat Nahi
E.   Daftar Pustaka
Efendi,Satria dan Ma’shum Zein.tt. UshulFiqh.Jakarta: Kencan Perdana Media Group.
Karim,Syafi’i.2001. Fiqih-Ushul Fiqih.Bandung: Pustaka Setia.
Uman,Chaerul dan Achyar Aminudin.2001. Ushul Fiqih II.Bandung: Pustaka Setia.
Zudbah, Muhammad Ma’sum Zein.2008. UshulFiqh.Jawa Timur:Darul Hikmah.
Zuhri,Moh dan Ahmad Qarib.1994.Ilmu Ushul Fiqih.Semarang:Toha Putra Group.
engertian Wajib dan Macam-Macamnya Menurut Ushul  Fiqih
Agustus 12, 2009 Author oleh BerenamDikirimkan di Makalah

Oleh: Febria

Kerangka Karangan :

Judul            : PENGERTIAN WAJIB DAN MACAM-MACAMNYA MENURUT USHUL


FIQIH

BAB I                         PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


2. Rumusan Masalah
3. Tujuan Penelitian
4. Kegunaan Penelitian
5. Metodologi Penelitian

Jenis Penelitian

Metode Pengumpulan Data

BAB II            PEMBAHASAN TENTANG WAJIB DAN MACAM-MACAMNYA

1. Pengertian Tentang Wajib


2. Pembagian Wajib

Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya.

Wajib ditinjau dari segi ketentuan dari syari’

Wajib ditinjau dari segi tuntutan menunaikannya

Wajib ditinjau dari segi sifatnya

BAB III          PENUTUP

1. Kesimpulan
2. Saran

Daftar Pustaka

BAB I

PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia terkenal dengan negara yang bermayoritas muslim. Ini dikarenakan
penduduknya kebanyakan beragama Islam. Sebagai seorang muslim seharusnya dia
mengamalkan apa yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi larangan-Nya. Di agama ini juga
ada kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim. Namun, apa yang kita
saksikan sekarang ? Kebanyakan muslimin di negeri ini tidak menunaikan sholat fardlu secara
sempurna, melalaikan zakat, tidak mau puasa Ramadlan. Padahal semua itu adalah suatu
kewajiban yang harus mereka laksanakan. Salah satu sebabnya mereka enggan mengamalkannya
karena mereka tidak tahu apa makna wajib yang sebenarnya.

Dari sini penulis tergerak untuk menjelaskan apa yang dimaksud wajib beserta macam-
macamnya menurut ushul Fiqih.

1. 2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa yang dimaksud dengan wajib itu dan berapa
macamnya menurut Ushul Fiqih ?

1. 3. Tujuan Penelitian

Sedangkan tujuan yang diinginkan penulis dalam penelian ini adlah untuk menjelaskan makna
wajib dan macamnya.

1. 4. Kegunaan Penelitian

Mejelaskan kepada muslimin tetnang makna wajib dan macamnya.

1. 5. Metode Penelitian

Jenis Penelitian

Dilihat dari segi tempatnya, penelitian ini termasuk penelitian perpustakaan (literatur). Karena
penulis merujuk pada buku-buk. Sedangkan menurut tujuan umumnya, penelitian ini termasuk
penelitian verifikatis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menguji kebenaran suatu
pengetahuan.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelititan ini dilakukan dengan cara membaca, mencatat, meneliti
kitab-kitab yang memuat pembahasan masalah tentang wajib serta macam-macamnya.

BAB II

PEMBAHASAN TENTANG WAJIB DAN MACAM-MACAMNYA


1. 1. Pengertian Tentang Wajib

Wajib menurut bahasa adalah pasti atau tepat[1] sedangkan menurut istilah Ushul Fiqih adalah
sesuatu yang diperintah oleh syari’[2] supaya dikerjakan oleh mukalaf[3] secara pasti dan
perintah itu disertai dengan petunjuk yang menunjukkan bahwa perintah itu menjadi wajib.[4]
Petunjuk itu bisa berupa kalimat perintah itu sendiri atau kalimat yang terdapat petunjuk harus
melakukannya.

Contoh petunjuk yang berupa kalmat perintah itu sendiri :

ْ ُ‫صالَةَ َوآت‬
)43 : )2( ‫وا ال َّز َكاةَ … (البقرة‬ ْ ‫َوأَقِي ُم‬
َّ ‫وا ال‬

Artinya : Dan tegakkanlan shalat serta tunaikanlah zakat ….

(QS. Al-Baqarah (2) : 43).

Contoh kalimat yang terdapat petunjuk harus melakukannya :

ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬
)183 : )2( ‫صيَا ُم … (البقرة‬ َ ِ‫ُكت‬

Artinya : Diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa … (QS. Al-Baqarah (2) : 183).

Hukum wajib disini harus dilakukan. Siapa yang melakukannya akan mendapat pahala,
sedangkan siapa yang meninggalkannya akan mendapatkan siksaan.

1. 2. Pembagian Wajib

Wajib ditinjau dari beberapa aspek terbagi menjadi empat :

Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya

Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya terbagi menjadi dua, yaitu wajib muthlaq (tidak
terikat waktu) dan wajib muqayyad (terikat waktu).

1. Wajib muthlaq (tidak terikat waktu) adalah sesuatu yang dieprintah oleh syari’ untuk
melakukannya secara pasti dan tidak ditentukan waktu pelaksanannya.[5] Seperti orang yang
melanggar sumpah, dia harus membayar denda. Pelaksanaan pembayaran denda ini tidak
ditentukan waktunya. Ia dapat melaksanakannya langsung setelah melanggar sumpah atau
dalam jeda beberapa waktu.
2. Wajib muqayyad (terikat waktu) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ untuk melakukannya
secara pasti dlam waktu tertentu.[6] Seperti shalat lima waktu. Masing-masing shalat diabtasi
waktu tertentu sehingga tidak boleh bagi mukalaf untuk melaksanakan sebelumnya atau ia akan
mendapat dosa jika melaksanakannya di luar waktu yang ditentukan tanpa uzur.

Wajib muqayyad (terikat waktu), jika waktu wajib yang ditetapkan oleh syari’ memuat satu
kewajiban dan hal-hal lain yang sejenisnya, maka waktu itu disebut muwassa’ au dzorf (yang
luas atau memuat). Contohnya adalah waktu dhuhur, di dalam waktu itu mukalaf bisa
menunaikan shalat zuhur dan shalat-shalat selainnya seperti shalat sunnah sebelum shalat zuhur.
Jika waktu yang ditetapkan oleh syari’ hanya untuk kewajiban itu saja tidak yang lain, maka
waktu itu disebut mudlqyyaq au mi’yar (yang sempit atau dibatasi), misalnya waktu puasa
Ramadan. Dalam bulan ini seorang mukalaf tidak bisa menjalankan puasa lain selain puasa
Ramadan. Jika waktu yang ditetapkan oleh syari’ tidak untuk kewajiban selainnya dari satu segi
sedangkan dari segi yang lain bisa memuat hal-hal selain kewajiban itu, maka waktu itu disebut
dzasysyibhain (yang memiliki dua kesamaan). Contoh : waktu haji (bulan-bulan hari). Dari segi
mukalaf, dia dapat menunaikan haji hanya satu kali dalam setahun. Dari segi bahwa ibadah haji
tidak menghabiskan seluruh bulan-bulan hajji maka waktu itu menjadi luas dan memuat hal-hal
lain yang sejenisnya.

Wajib ditinjau dari segi ketentuannya dari syari’.

Wajib ditinjau dari segi ketentuannya dari syari terbagi menjadi wajib muhaddad (ketentuan
yang dibatasi) dan ghoiru muhaddad (ketentuan yang tidak dibatasi).

1. wajib muhaddad (ketentuan yang dibatasi) adalah suatu kewajiban yang ketentuannya
ditentukan oleh syari’ sehingga mukalaf tidak akan keluar dari tanggungan kewajiban itu kecuali
apabila ia telah melakukannya sebagaimana syari’ telah menetapkannya[7]. Misalnya shalat lima
waktu. Shalat fardlu ini harus dilakukan sesuai dengan jumlah, rukun dan syarat yang telah
dibatasi oleh syari’.
2. Wajib ghoiru muhaddad (ketentuan yang tidak dibatasi) adalah suatu kewajiban yang
ketentuannya tidak dibatasi oleh syari’[8]. Misalnya infak di jalan Allah, saling tolong menolong
pada kebaikan, dan memberi makan orang yang lapar. Tujuan kewajiban ini tidaklah lain untuk
memenuhi kebutuhan. Sedangkan ketentuan yang dapat memenuhi kebutuhan itu tergantung
yang dapat memenuhi kebutuhan itu tergantung pada jenis kebutuhan.

Wajib ditinjau dari segi tuntunan penunainnya.

Wajib ditinjau dari segi tuntunan penunainnya terbagi menjadi dua, yaitu wajib ‘aini (wajib ‘ain)
dan wajib kifai (wajib kifayah).

1. Wajib ‘ain (wajib ‘ain) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ supaya dilaksanakan oleh
setiap mukalaf[9]. Misalnya: shalat, zakat, haji.
2. Wajib kifa’i (wajib kifayah) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ untuk dilaksanakan tanpa
melihat siapa yang melaksanakannya[10]. Jadi syari’ hanya menuntut dari kelompok mukalaf,
jika seorang mukalaf telah melakukannya maka gugurlah dosa dari mukalaf yang lain, tapi
apabila tidak ada seorang mukalafpun yang melakukannya maka semua mukalaf berdosa karena
mengabaikan kewajiban itu. Misalnya menjawab salam, amar ma’ruf nahi munkar,
menshalatkan orang yang meninggal, menolong orang lain.

wajib kifayah bisa menjadi wajib ‘ain apabila tidak ada yang bisa melakukannya kecuali mukalaf
itu. Contoh : ada seorang yang tenggelam, sedang semua orang yang menyaksikan tidak ada
yang pandai berenang kecuali satu orang, maka wajib kifayah itu menjadi wajib ‘ain baginya.
Atau contoh lain, dalam satu negeri hanya terdapat satu dokter, maka menolong orang sakit yang
seharusnya wajib kifayah menjadi wajib ‘ain sehingga dokter itu harus menolong orang yang
sakit.
Wajib ditinjau dari segi sifatnya.

Wajib ditinjau dari segi sifatnya terbagi menjadi wajib mu’ayyan (tertentu) dan wajib mukhayyar
(pilihan).

1. Wajib mu’ayyan (tertentu) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ dengan sendirinya tanpa
pilihan antara satu kewajiban dengan kewajiban lainnya. Maksudnya mukalaf harus
melaksanakan kewajiban itu sendiri tanpa memilih yang lainnya. Seperti shalat, maka mukalaf
harus melakukan kewajiban itu dengan sendirinya.
2. Wajib mukhayyar (pilihan) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ secara samar yang
mencakup semua perkara yang ditentukan[11]. Maksudnya, mukalaf diharuskan untuk memilih
salah satu diantara kewajiban itu, sehingga hilanglah tanggungannya dengan melaksanakan
salah satunya. Misalnya denda bagi orang yang melanggar sumpah. Allah swt mewajibkan
kepada orang yang melanggar sumpah untuk memberi makanan kepada sepuluh orang miskin,
atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan budak. Mukalaf bisa mimilih salah satu
diantaranya.

BAB III

PENUTUP

1. 1. Kesimpulan

1.1    Wajib menurut bahasa adalah pasti atau tepat, sedangkan menurut istilah ushul fiqih adalah
sesuatu yang diperintah oleh syari’ supaya dikerjakan oleh mukalaf secara pasti dan perintah itu
disertai dengan sesuatu yang menunjukkan kepastian untuk berbuat.

1.2    Wajib terbagi menjadi empat macam:

1. Dari segi waktu pelaksanaannya:


1. Wajib muthlaq (tidak terikat waktu)
2. Wajib muqayyad (terikat waktu)
3. Dari segi ketentuan dari syari’
1. Wajib muhaddad (ketentuan yang dibatasi)
2. Wajib ghairu muhaddad (ketentuan yang tidak dibatasi)
3. Dari segi tuntunan penunaiannya
1. Wajib ‘ain (wajib ‘ain)
2. Wajib kifai’ (wajib kifayah)
3. Dari segi sifatnya
1. Wajib mu’ayyan (tertentu)
2. Wajib mukhayyar (pilihan)

1. 2. Saran
Apabila ada suatu kewajiban yang diperintahkan oleh syari’ muslimin diharuskan untuk
melaksanakannya.

Karena dari beberapa aspek wajib terbagi menjadi empat, maka muslimin diharapkan untuk
mengerjakan sesuai dengan pembagian itu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mushaf, Al Qur’an
2. Abdul Wahhab khallaf 2006 M, Ilmu Ushulil Fiqhi, Beirut, Darul Kutubil ‘Ilmiah.
3. Ahmad Warson, 2002. Kamus Al Munawwir. Surabaya. Pustaka Progresif.
4. Hasan Alwi, dkk. 2002. kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
5. Utsaimin, Syekh Muhammad Shalih. 2004 M / 1415 H. Syarh Ushul min Ilmil Ushul. Kairo. Darul
Aqidah.
6. Prof. Dr. Taufik Abdullah, dkk. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
7. Dr. Wahbah Az Zuhaili, 2008 M / 1429 H. Ushulul Fiqhil Islami. Damaskus. Darul Fikr.
SUNNAH

BAB I

PENDAHULUAN

   A.   Latar Belakang

Sunnah sering disamakan dengan hadits, artinya semua perkataan,


perbuatan, dan taqrir yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
menyetujui perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, misalnya Kholid bin
Walid memakan daging biawak, Rasulullah SAW membiarkannya maka hal itu
dikesani bahwa Nabi tidak mengharamkannya.

Sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Dalam kajian


ushul fiqh, as-Sunnah merupakan metode untuk menjelaskan al-Qur’an, oleh
karena itu fungsi as-Sunnah adalah penjelas, penafsir, menguat, penambah, dan
pengkhusus berbagai hukum yang terdapat dalam al-Qur’an yang masih global
atau masih multitafsir dan adapula yang masih mubham.

   B.   Rumusaan Masalah

1.     Apa pengertian Sunnah?


2.     Apa macam-macam Sunnah?
3.     Bagaimana periwayatan Sunnah?
4.     Apa fungsi dari Sunnah?
5.     Bagaimana kedudukan Sunnah sebagai sumber hukum?

   C.   Tujuan Masalah

1.     Untuk mengetahui pengertiaan Sunnah


2.     Untuk mengetahui macam-macam Sunnah
3.     Untuk mengetahui periwayataan Sunnah
4.     Untuk mengetahui fungsi Sunnah
5.     Untuk mengetahui kedudukan Sunnah sebagai sumber hukum

BAB II

PEMBAHASAN

A.   Pengertian sunnah


1.     Secara etimologi
Makna kata sunnah adalah perbuatan yang semula belum pernah dilakukan
kemudian diikuti oleh orang lain, baik perbuatan yang terpuji maupun yang tercela.
Sabda rasulullah SAW :

‫السْ الَ ِم ُس َّن ًة َح َس َن ًة َف َل ُه أَجْ َرهُ َو اَجْ ُر َمنْ َع ِم َل ِب َها ِمنْ َبعْ ِد ِه‬
ِ ‫ َمنْ َسنَّ فِى ا‬.
Artinya: “Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik didalam Islam, maka
ia menerima pahalannya dan pahala orang-orang sesudahnya yang
mengamalkannya”. (H.R. Muslim )
2.     Secara terminologi
Pengertian sunnah bisa dilihat dari tiga disiplin ilmu ;
a.     Ilmu hadits
Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan,
perbuatan, maupun ketetapannya.
b.     Ilmu ushul fiqhi
Segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW berupa perbuatan, perkataan, dan
ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
c.      Ilmu fiqhi
Salah satu hukum takhlifi, yang berarti suatu perbuatan yang akan mendapatkan
pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan.
Para ulama islam mengutip kata Sunnah dari al-Qur’an dan bahasa Arab yang
mereka gunakan dalam artian khusu yaitu: ”cara yang biasa dilakukan dalam
pengamalan agama”.
Kata Sunnah sering disebut dengan kata ”kitab”. Di kala kata sunnah
dirangkaikan dengan kata “kitab”, maka Sunnah berarti: “cara-cara beramal dalam
agama berdasarkan apa yang disarankan dari Nabi Muhammad SAW”; atau “suatu
amaliah agama yang telah dikenal oleh semua orang”. Kata Sunnah dalam artian
ini adalah “bid’ah” yaitu amaliah yang diadakan dalam urusan agama yang belum
pernah dilakukan oleh Nabi.
Sunnah dalam istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan   dari
Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun pengakuan
dan sifat Nabi”. Sedangkan sunnah dalam istilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum
bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang
tidak pasti” dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak
berdosa orang yang tidak melakukannya.
Perbedaan ahli ushul dengan ahli fiqh dalam memberikan arti arti pada Sunnah
sebagaimana disebutkan diatas adalah karena mereka berbeda dalam segi
peninjauannya. Ulama ushul menempatkan Sunnah sebagai salah satu sumber atau
dalil hukum fiqh. Maksutnya adalah “Hukum ini ditetapkan berdasarkan Sunnah”.
Sedangkan ulama fiqh menempatkan Sunnah itu sebagai salah satu dari hukum
syara’.
Kata “Sunnah” sering diidentikkan dengan kata “Hadits”. Kata “Hadits” ini
sering digunakan oleh ahli Hadits dengan maksud yang sama dengan kata
“Sunnah” menurut pengertian yang digunakan kalangan ulama ushul.
Dikalangan ulama ada yang membedakan Sunnah dan Hadits, terutama karena
dari segi etimologi kedua kata itu memang berbeda. Kata Hadits lebih banyak
mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi; sedangkan Sunnah lebih banyak mengarah
kepada perbuatan dan tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi yang hidup dalam
pengamalan agama.

B.   Macam-macam sunnah


1.     Pembagian sunnah dari segi bentuknya:
a.     Sunnah Qauliyyah
Adalah ucapan lisan dari Nabi Muhammad SAW yang didengar oleh sahabat
beliau dan disampaikannya kepada orang lain.
Contoh sunnah qauliyyah:                               

‫ الَ ي ُْؤمِنُ أَ َح ُد ُك ْم َح َّتى ُيحِبَّ أِل َ ِخ ْي ِه َما‬:‫صلَّى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل‬
َ ِّ‫س َعنْ ال َّن ِبي‬ ٍ ‫َعنْ أَ َن‬
‫ُيحِبُّ لِ َن ْفسِ ِه‬
Artinya: Dari Annas ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda:”Belum beriman salah
seorang dari kamu, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai
dirinya”.
b.     Sunnah Fi’liyah
Adalah semua perbuatan dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW yang dilihat
atau diketahui atau diperhatikan oleh sahabat, kemudian disampaikan kepada orang
lain dengan ucapannya.
Contoh sunnah fi’liyah:                                                              
‫صلَّى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َي ْو َم َخ َر َج َيسْ َتسْ قِيي‬
َ َّ‫ْت ال َّن ِبي‬ ُ ‫ْن َت ِمي ٍْم َعنْ َع ِّم ِه َقا َل َرأَي‬ ِ ‫َعنْ َعبَّا ِد ب‬
‫ْن‬ َ ‫اس َظه َْرهُ َواسْ َت ْق َب َل ْال ِق ْب َل َة َي ْدعُو ُث َّم َحوَّ َل ِردَا َءهُ ُت َّم‬
ِ ‫صلَّى َل َنا َر ْك َع َتي‬ ِ ‫ َف َح َّو َل إِ َلى ال َّن‬:‫َقا َل‬
‫َج َه َر ِفي ِْه َما ِب ْالق َِرا َء ِة‬
Artinya: Dari ubbad bin tamim, dari pamannya, ia berkata: “Saya melihat Rasullah
SAW pada hari beliau keluar untuk melaksanakan shalat gerhana matahari,
katanya: “Maka beliau membalikkan tubuhnya membelakangi jama’ah menghadap
kiblat dan berdoa, kemudian beliau membalikkan selendangnya, kemudian beliau
shalat bersama kami dua rekaat dengan menjaharkan bacaannya pada kedua rekaat
itu”.  
Sunnah fi’liyyah pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1)    Gerak gerik, perbuatan, dan tingkah laku Rasulullah SAW yang berkaitan dengan
hukum.
Misalnya; tata cara shalat, puasa, haji, transaksi dagang,tata cara makan dll.
Perbuatan ini dapat diketahui dengan adanya petunjuk dari beliau sendiri, atau
karena adanya petunjuk (qarinah) lain, baik dari Al-Qur’an maupun dari sifat
perbuatan Rasulullah SAW.
2)    Perbuatan yang khusus berlaku bagi Rasulullah SAW.
Misalnya; beristri lebih dari 4 orang, wajib melaksanakan shalat tahajjud,
berkurban, shalat witir, dll. Semua perbuatan itu bagi umatnya tidak wajib.
3)    Perbuatan dan tingkah laku Nabi berhubungan dengan penjelasan hukum, seperti:
shalat, puasa, jual beli, utang piutang, dll.
c.      Sunnah Taqririyah
Adalah perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan di hadapan atau
sepengetahuan Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah oleh
Nabi, namun Nabi diam, maka hal ini merupakan pengakuan dari Nabi. Keadaan
diamnya Nabi itu dapat dibedakan pada dua bentuk:
1)    Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi.
Dalam hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa si pelaku berketerusan
melakukan perbuatan yang pernah dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam
bentuk ini tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya.
Diamnyan Nabi dalam bentuk ini menunjukkan pencabutan larangan sebelumnya.
2)    Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula
haramnya. Diamya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah ibahah atau
meniadakan keberatan untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang,
tetapi Nabi mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi
berbuat kesalahan; sedangkan Nabi bersifat ma’shum (terhindar dari kesalahan).
 Contoh sunnah taririyyah:

       ‫َعنْ َخالِ ِد ب ِْن ْال َولِ ْي ِد َقا َل أُت َِي ال َّن ِبيُّ َصلَّى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم ِب َضبٍّ َم ْش ِويٍّ َفأَهْ َوى‬
ُ‫ك َيدَ هُ َف َقا َل َخالِ ٌد أَ َح َرا ٌم ه َُو َقا َل الَ َو َل ِك َّن ُه الَ َي ُكنون‬ َ ‫إِ َل ْي ِه لِ َيأْ ُك َل َف ِق ْي َل َل ُه إِ َّن ُه‬
َ ‫ضبٌّ َفأَمْ َس‬
‫ظ ُر‬ُ ‫ص َلى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َي ْن‬ ِ ‫ض َق ْومِي َفأ َ ِج ُدنِي أَ َعافُ ُه َفأ َ َك َل َخالِ ٌد َو َرسُو ُل‬
َ ‫هللا‬ ِ ْ‫ِبأَر‬
Artinya: Dari Khalid bin Walid ra katanya: “Kepada Nabi SAW dihidangkan
makanan dhabb (sejenis biawak) yang dipanggang untuk dimakan beliau.
Kemudian ada yang berkata kepada beliau: “Itu adalah dhabb”, maka beliau
menahan tangannya, maka Khalid berkata: “Apakah haram memakannya?”  Beliau
menjawab: “Tidak,tetapi binatang jenis itu tidak biasa ditemukan didaerah saya,
maka saya tidak suka dan menghindarinya”. Maka Khalid memakannya, sedang
Rasulullah memandanginya.

C.   Periwayatan Sunnah


Ketiga macam Sunnah tersebut (qauliyah, fi’liyah dan taqririyah) disampaikan
dan disebarluaskan oleh yang melihat, mendengar, menerima dan yang
mengalaminya dari Nabi secara beranting melalui pemberitaan atau khabar, hingga
sampai kepada orang yang mengumpulkan, menuliskan dan yang membukukannya
sekitar abad ketiga Hijriah.
   Kekuatan suatu khabar ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
berkesinambungannya khabar itu dari yang menerimannya dari nabi sampai kepada
orang yang mengumpulkan dan membukukannya; kuantitas oran yang membawa
khabar itu untuk setiap sambungan; dan faktor kualitas pembawa khabar dari segi
kuat dan setia ingatannya, juga dari segi kejujuran dan keadilannya.
   Dari segi jumlah pembawa khabar, ulama membawa khabar itu kepada tiga
tingkatan:
1.     Khabar mutawatir, yaitu khabar yang disampaikan secara berkesinambungan oleh
orang banyak kepada orang banyak yang kuantitasnya untuk setiap sambungan
mencapai jumlah tertentu yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk
berbohong.
2.     Khabar masyhur, yaitu khabar yang diterima dari Nabi oleh beberapa orang
sahabat kemudian disampaikan kepada orang banyak yang untuk selanjutnya
disampaikan pula kepada orang banyak yang jumlahnya mencapai ukuran batas
khabar mutawatir.
3.     Khabar ahad, yaitu khabar yang disampaikan dan diterima dari nabi secara
perorangan dan dilanjutkan periwayatannya samapai kepada perawi akhir secara
perorangan pula.

Perbedaan yang jelas diantara ketiganya adalah:

1.     Khabar mutawatir diterima dan disampaiakan dari pangkal sampai keujung secara
mutawatir.
2.     Khabar masyhur yaitu khabar yang diterima dan disampaikan pada tingkat awal
secara perseorangan, kemudian dilanjutkan sampai ke ujungnya secara mutawatir.
3.     Khabar ahad diterima dan disampaikan kemudian secara beranting sampai ke
ujungnya secara perorangan.

Tingkat kebenarannya yang paling tinggi adalah khabar mutawatir, khabar


masyhur, lalu barulah khabar ahad.

D.   Kebenaran khabar dari segi Ibarat yang Digunakan Pembawa berita dalam
menyampaikan berita
Sebagaimana telah diuraikan bahwa kebenaran suatu Sunnah Nabi tergantung
pada kebenaran berita yang disampaikan pembawa berita tentang Sunnah itu.
Tingkat kebenaran berita dapat diketahui dari kuantitas pembawa berita, juga dari
ibarat yang digunakan pembawa berita itu.
   Dalam hal ini terdapat beberapa tingkat kebenaran:
1.     Tingkat yang terkuat, bila pembawa berita mengatakan, “Saya mendengar bahwa
Nabi bersabda” atau “Nabi memeberitakan kepada saya” atau, “Nabi berbicara
dengan saya”.
Bentuk penyampaian seperti ini menunjukkan suatu seperti tentang adanya ucapan
nabi dan tidak ada kemungkinan lain.
2.     Penyampaian berita berkata, “Rasul Allah berkata.” Bentuk seperti ini, dan yang
biasa ditemui dalam periwayatan, menurut zhahirnya memang berbentuk penukilan
berita, tetapi tidak menunjukkan secara jelas dan pasti bahwa ia menerima sendiri
secara langsung ucapan Nabi itu.
3.     Bila pembawa berita mengatakan, “Nabi menyuruh kami berbuat ini”, atau “Nabi
melaran kami mengerjakan itu”. Kelemahan periwayatan seperti ini karena
ditemukan ada dua kemungkinan dalam ucapannya itu. Pertama dalam hal
pendengarnya terhadap ucapan Nabi. Kedua tentang adanya “suruhan”, karena
seorang pendengar kadang menganggap sesuatu seperti suruhan tetapi sebenernya
bukan suruhan.
4.     Pembawa berita berkata, “Adalah nabi Muhammad SAW menyuruh begini atau
melarang begitu”. Pemberitaan dalam bentuk ini lebih lemah dibandingkan dengan
tiga bentuk sebelumnya karena adanya kemungkinan-kemungkinan sebagaimana
terdapat pada tingkat sebelumnya, juga ada kemungkinan yang menyuruh atau
melarang bukan Nabi secara langsung.
5.     Si pembawa berita berkata bahwa ia melakukansesuatu kemudian ia meng-
hubungkan kepada suatu masa dengan Nabi dan tidak ada reaksi dari Nabi tentang
itu. Hal tersebut menjadi dalil kebolehan berbuat sesuatu itu.

E.   Fungsi Sunnah


Dalam uraian tentang al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat
hukum dalam al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah
belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari Sunnah. Dengan demikian  fungsi
Sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan al-Qur’an.
Dengan demikian bila al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh,
maka Sunnah disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam
hubungannya dengan al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
1.     Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an atau
disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Sunnah hanya seperti
mengulangi apa-apa yang tersebut dalam al-Qur’an.
Umpamanya firman Allah dalam surat al-baqarah (2): 110:

‫ َو أَقيموا الصالة واتوا الز كاة‬....


Dan diriknlah shalat dan tunaikanlah zakat....
2.     Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al-Qur’an dalam hal:
a.     Menjelaskan arti yang masih samar dalam al-Qur’an
b.     Merinci apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara garis besar
c.      Membatasi apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara umum
d.     Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an
3.     Menetapkan sesuatu hukum dalam Sunnah yang secara jelas tidak terdapat dalam
al-Qur’an.  Dengan demikian kelihatan bahwa Sunnah menetapkan sendiri hukum
yang tidak ditetapkan dalam al-Qur’an. Fungsi Sunnah dalam bentuk ini disebut
“itsbat” atau “insya”.
Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang
ditetapkan Sunnah itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang
disinggung al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan al-Qur’an secara
terbatas.

F.      Penjelasaan Sunnah terhadap Hukum dalam Al-Qur’an.


Pada dasarnya Sunnah Nabi berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam al-
Qur’an dalam segala bentuknya. Allah SWT menetapkan hukum dalam al-Qur’an
adalah untuk diamalkan, karena dalam pengamalan itulah terletak tujuan yang
digariskan. Tetapi pengamalan hukum Allah itu dalam bentuk tertentu tidak akan
terlaksana menurut apa adanya sebelum diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan
demikian penjelasan Nabi itu bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan
Allah dalam al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.
Penjelasan Nabi terhadap hukum dalam al-Qur’an memiliki beberapa bentuk:
1.     Nabi memberi penjelasan dengan cara dan bahasa yang mudah ditangkap oleh
umat sesuai dengan kemampuan akal mereka pada waktu itu. Cara seperti ini
sesuai dengan pesan Allah. Karena umat Islam yang menerima penjelasan waktu
itu masih sederhana cara berfikirnya, maka penjelasan Nabi terlihat begitu
sederhana sehingga mudah dipahami dan cepat dilaksanakan oleh umat.
2.     Nabi memberikan penjelasan dengan cara-cara dan contoh-contoh yang secara
nyata terdapat disekitar lingkungan kehidupan waktu itu.
Dengan demikian hukum yang ditetapkan dalam al-Qur’an mudah diterima dan
dijalankan oleh umat. Penjelasan yang melampaui dari hal itu atau yang tidak ada
pada waktu itu tentu tidak akan dapat dipahami oleh umat.  

G.  Sunnah Berdaya Hukum


Dari satu segi Sunnah adalah segala apa yang dikatakan Nabi, diperbuat Nabi atau
yang diakui Nabi. Di sisi lain umat dituntut untuk mengikuti semua Sunnah Nabi
itu. Di antara Sunnah itu ada yang tidak mesti diikuti oleh umat, bahkan ada yang
dilarang umat melakukannya. Dalam hal ini ulama mengelompokkan Sunnah
menjadi dua kelompok:
1.     Sunnah bukan tasyri atau Sunnah yang tidak berdaya hukum, yaitu Sunnah yang
tidak harus diikuti dan oleh karenanya tidak mengikat.
Sunnah yang tidak berdaya hukum itu ada tiga macam:
a.     Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari hajat insani dalam kehidupan
keseharian Nabi dalam pergaulan, seperti: makan, tidur, kunjungan, sopan dalam
bertamu , cara berpakaian dan lain ucapan serta perbuatan Nabi sebagai seorang
manusia biasa.
b.     Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari pengalaman pribadi, kebiasaan dalam
pergaulan, seperti: urusan pertanian dan kesehatan badan, cara berjual beli dan
memelihara ternak.
c.      Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari tindakan pribadi dalam keadaan dan
lingkungan tertentu, seperti penempatan pasukan, pengaturan barisaan dan
penentuan tempat dalam peperangan.
Semua yang dinukil dari Nabi dalam tiga bentuk tersebut tidak mempunyai daya
hukum mengikat yang mengandung tuntutan atau larangan. Umat dapat saja
mengikuti apa yang dilakukan Nabi itu kerena ia adalah Sunnah, namun sifatnya
tidak mengikat.

2.     Sunnah tasyri atau Sunnah yang berdaya hukum yang mengikat untuk diikuti.
Sunnah dalam bentuk ni ada tiga macam:
a.       Ucapan dan perbuatan yang muncul dari Nabi dalam bentuk penyampaian risalah
dan penjelasan terhadap Al-Qur’an; seperti menjelaskan apa-apa yang dalam Al-
Qur’an masih bersifat belum jelas, membatasi yang umum, memberi qayid yang
masih bersifat mutlak, menjelaskan bentuk ibadat, halal dan haram, ‘aqidah dan
akhlak. Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kapasitasnya sebagai seorang Rasul
termasuk Sunnah berdaya hukum.
Tasyri’ dalam bentuk ini berlaku secara umum sampai hari kiamat dan dalam
pelaksanaannya tidak tergantung kepada sesuatu selain pengetahuan akan adanya
sunnah itu.
b.     Ucapan dan perbuatan yang timbul dari Nabi dalam kedudukannya sebagai imam
dan pemimpin umat Islam, seperti mengirim pasukan untuk jihad, membagi harta
rampasan, menggunakan bait al-maal, mengikat perjanjian dan tindakan lain dalam
sifatnya sebagai pemimpin.
Sunnah tasyri’ dalam bentuk ini tidak berlaku secara umum untuk semua orang
dan dalam pelaksanaannya tergantung kepada izin atau persetujuan imam atau
pemimpin.
c.      Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kedudukannya sebagai hakim atau qadhi yang
menyelesaikan persengketaan di antara umat Islam. Daya hukum dalam bentuk ini,
seperti halnya dalam bentuk yang sebelumnya, tidak bersifat umum dan dapat
dilakukan oleh perorangan dengan penunjukan dari imam atau penguasa.
Sunnah berdaya hukum sebagaimana disebutkan di atas secara garis besarnya
mengandung beberapa bidang sebagai berikut:
a)    Aqidah
Sunnah tidak dapat menetapkan dasar aqidah karena aqidah itu menimbulkan
kepercayaan, sedangkan kepercayaan itu berarti keyakinan yang pasti. Tidak ada
yang mungkin menghasilkan keyakinan yangpasti itu kecuali yang pasti pula.
Sunnah atau qath’i ialah sunnah yang baik dari segi lafadznya, atau wurudnya
maupun dari segi dilalahnya adalah qath’i atau pasti.
b)    Akhlaq
Dalam sunnah atau hadits banyak sekali disampaikan Nabi hikmah-hikmah, adab
sopan santun dalam pergaulan, nasihat-nasihat, baik secara langsung maupun
dalam bentuk pujian terhadap keadilan, kebenaran, menepati janji; atau celaan
terhadap perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan umat. Sunnah tersebut
menuntut munculnya manusia sempurna yang juga dikehendaki oleh rasa yang dan
pandangan yang wajar.
c)     Hukum-hukum Amaliyah
Hal ini berhubungan dengan penetapan bentuk-bentuk ibadat, pengaturan
mu’amalat antar manusia; memisahkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban;
menyelesaikan persengketaan diantara umat secara adil. Hukum-hukum yang
diperoleh dari sunnah (dalam bentuk ini) disebut Fiqh Sunnah;sedangkan
haditsnya sendiri disebut  Hadits Ahkam.hadits-hadits dalam bentuk inilah yang
dijadikan sumber hukum oleh para ahli fiqh sesudah Al-Qur’an.

H.  Kedudukan Sunnah sebagai Sumber Hukum


Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam
Al-Qur’an. Dalam kedudukannya sebagai penjelas, Sunnah kadang-kadang
memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa
yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an.
Kedudukan sunnah terhadap Al-Qur’an sekurang-kurangnya ada 3 hal, yaitu:
1)    Sunnah sebagai Ta’kid (penguat) Al-Qur’an
Hukum Islam disandarkan kepada dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Tidak
heran kalau banyak sekali sunnah yang menerangkan tentang kewajiban shalat,
zakat, puasa, larangan musyrik, dan lain-lain.
2)    Sunnah sebagai Penjelas Al-Qur’an
Sunnah adalah penjelas (bayanu tasyri’) sesuai dengan firman Allah surat An-Nahl
ayat 44:
‫اس َما نُ ِّز َل إِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكر ُْو َن‬ َ ‫ َو أَ ْن َز َل إِلَي‬.
ِ َّ‫ْك ال ِّذ ْك َر لِتُبَي َِّن للن‬
Artinya:
“Telah Kami turunkan kitab kepadamu untuk memberikan penjelasan tentang apa-
apa yang diturunkan kepada mereka, supaya mereka berfikir.(Q.S. An-Nahl:44)
Penjelasan sunah terhadap Al-Qur’an dapat dikategorikan menjadi 3 bagian:
a.     Penjelasan terhadap hal yang global.
Seperti diperintahkannya shalat dalam Al-Qur’an tidak diiringi penjelasan
mengenai rukun, syarat dan ketentuan-ketentuan shalat lainnya. Maka hal itu
dijelaskan oleh sunah sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

َ ُ‫صلُّوا َك َما َرأَ ْيتُ ُم ْونِى أ‬


‫صلِّى‬ َ .               
Artinya:
“Shalatlah kamu semua, sebagaimana kamu telah melihat saya shalat.”
b.     Penguat secara mutlaq. Sunnah merupakan penguat terhadap dalil-dalil umum
yang ada dalam Al-Qur’an.
c.      Sunnah sebagai takhsis terhadap dalil-dalil Al-Qur’an yang masih umum.
3)    Sebagai Musyar’i (pembuat syari’at)
Sunnah tidak diragukan lagi merupakan pembuat syari’at dari yang tidak ada
dalam Al-Qur’an, misalnya diwajibkannya zakat fitrah, disunahkan aqiqah, dan
lain-lain. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat:
a.     Sunnah itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam Al-Qur’an.
b.     Sunnah tidak memuat hal-hal baru yang tidak dalam Al-Qur’an, tetapi hanya
memuat hal-hal yang ada landasannya dalam Al-Qur’an.

  

BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:

Sunnah adalah perbuatan yang semula belum pernah dilakukan kemudian


diikuti oleh orang lain, baik perbuatan yang terpuji maupun yang tercela. Sunnah
dibagi menjadi 3 bagian:

   1.     Sunnah Qauliyah

   2.     Sunnah Fi’liyyah

   3.     Sunnah Taqririyyah

Ketiga macam Sunnah tersebut (qauliyah, fi’liyah dan taqririyah) disampaikan


dan disebarluaskan oleh yang melihat, mendengar, menerima dan yang
mengalaminya dari Nabi secara beranting melalui pemberitaan atau khabar, hingga
sampai kepada orang yang mengumpulkan, menuliskan dan yang membukukannya
sekitar abad ketiga Hijriah.
     Kekuatan suatu khabar ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
berkesinambungannya khabar itu dari yang menerimannya dari nabi sampai kepada
orang yang mengumpulkan dan membukukannya; kuantitas oran yang membawa
khabar itu untuk setiap sambungan; dan faktor kualitas pembawa khabar dari segi
kuat dan setia ingatannya, juga dari segi kejujuran dan keadilannya.

Fungsi sunnah adalah Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang


tersebut dalam al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Memberikan
penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam al-Qur’an.

Kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur’an adalah sebagai penguat Al-Qur’an,


sebagai penjelas Al-Qur’an, dan sebagai musyar’i.

  

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, 2010, Jakarta: Amzah.

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 2008, Jakarta: Kencana.

Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, 2008, Bandung: Pustaka Setia.

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, 2010, Bandung: Pustaka Setia.

Saeful Hadi, Ushul Fiqih,2009, Yogyakarta: Sabda Media


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Syara’
Secara etimologi, hukum (‫ )الحكم‬berarti man’u (‫ )المنع‬yakni “mencegah” seperti, ‫حكمت عليه‬
‫ من خالفه‬Š‫ بكذا إذا منعته‬mengandung pengertian bahwa engkau mencegah melakukan sesuatu yang
berlawanan dengan itu.[1]Hukum Dapat juga diartikan :
‫إثبات شيء أونفيه عنه‬
Artinya : Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya.[2]
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum ialah bekasan dari titah Allah atau sabda
Rasul. Apabila disebut hukum syara’, maka yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan
perbuatan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ushul fiqh, bukan hukum yang berpautan
dengan aqidah dan akhlaq.
Menurut istilah ahli ushul fiqh, hukum adalah :
‫خطاب هللا المتعلق بأفعال الفكلفين طلبا اوتخييراأووضعا‬
Artinya : Titah Allah (sabda Rasul) mengenai pekerjaan mukallaf (orang yang telah baligh dan
berakal), baik titah itu mengandung tuntutan, suruhan, larangan, atau semata-mata menerangkan
kebolehan, atau menjadikan sesuatu itu sebab, syarat atau penghalang bagi sesuatu hukum.[3]
Hukum syara’ menurut istilah pakar ushul fiqih diatas adalah seruan (khithab) Syâri’ yang
berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia), berupa tuntutan (al-iqtidla), penetapan (al-wadl’i)
dan pemberian pilihan (at-takhyir). Dalam definisi tersebut dikatakan as-Syâri’, tidak dikatakan
Allah agar bisa mencakup juga Sunnah dan Ijma’, sehingga tidak ada dugaan bahwa yang
dimaksud dengan khithab itu hanya al-Qur’an saja.Disebutkan pula (dalam definisi) yang
berkaitan dengan aktivitas hamba (manusia),
tidak menggunakan kata mukallaf; agar bisa mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan
anak kecil dan orang gila. Seperti hukum tentang zakat atas harta yang dimiliki anak kecil dan
orang gila.
Jadi, hukum syara’ ialah : Khithab Syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-
orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau ketetapan.[4]
B.     Pembagian Hukum Syara’
Kebanyakan ulama’ membagi hukum menjadi dua macam saja yaitu taklify dan hukum
wadh’i.
1.      Hukum Taklify
Hukum Taklify ialah tuntutan Allah yang berkaitan dengan Perintah untuk berbuat  atau
perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan.
Hukum taklify menurut jumhur ulama Ushul Fiqh dibagi menjadi lima yaitu :
a.       Ijab
Yaitu tuntutan secara pasti dari syari’ untuk dilaksanakan dan tidak boleh ditinggalkan,
karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman.Misalnya dalam surat Al-baqarah, 2:110,
Allah berfirman :
‫أقيموااصالة واتواالزكاة‬
“....Dirikanlah olehmu shalat dan tunaikanlah zakat.....”
b.      Nadb
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu tidak secara pasti.
Seseorang tidak dilarang meninggalkannya, karena orang yang meninggalkannya tidak dikenai
hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan itu
disebut nadb.
Contoh dalam surat Albaqarah, 2:282 :
‫فان امن بعضكم بعضا فليؤدى الذى ائتمن امانته‬
“ Hai orang-orang  yang beriman, apabila kamu bermuammalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”
c.       Ibahah
yaitu khitab Allah yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat. Akibat
dari khitab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut
mubah.
Contoh dalam surat al-jum’ah, 62: 10:
‫فإذا قضيت الصالة فانتشروا في األرض وابتغوا من فضل هللا‬
“ Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia
Allah ”
d.      Karahah
Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan
melalui redaksi yang tidak pasti. Seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk
ditinggalkan itu, tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan seperti ini disebut juga karahah dan
perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu disebut makruh. Misalnya sabda Rasulullah SAW
:
‫ابعض الحالل عند هللا الطالق‬
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (H.R. Abu dawud, Ibn majah, Al-
Baihaqi dan hakim)
e.       Tahrim
Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah, dan perbuatan yang dituntut itu disebut haram.
Misalnya, firman Allah dalam surat Al-An’am, 6:151 :
‫ال تقتلوا النفس التى حزم هللا‬
“Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah...”
2.      Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i terbagi kepada lima bagian, karena berdasarkan penelitian diperoleh
ketetapan, bahwasanya hukum wadh’i adakalanya menghendaki untuk menjadikan sesuatu
menjadi sebab bagi  sesuatu yang lain, atau menjadi syarat, atau mejadi penghalang, atau
menjadi pemboleh adanya rukhshah (keringanan hukum) sebagai ganti ‘azimah, atau sah atau
tidak sah.
a.       Sebab
Yaitu sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai tanda atas musababnya dan mengaitkan
keberadaan musabab dengan keberadaannya dan ketiadaan musabab dengan ketiadaannya.
Misalnya, perbuatan zina menyebabkan seseorang dikenai hukuman dera 100 kali. Apabila
perzinaan tidak dilakukan, maka hukuman dera tidak dikenakan.
b.      Syarat
Yaitu sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan
dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut. Yang dimaksud adalah
keberadaanya secara Syara’, yang menimbulkan efeknya. Misalnya, wudhu adalah syarat bagi
keabsahan menidirikan shalat. Apabila tidak ada wudhu, maka mendirikan shalat tidak sah,
namun keberadaan wudhu tidak memastikan pendirian shalat.
c.       Mani’
Yaitu sesuatu yang keberadaanya menetapkan ketiadaan hukum, atau batalnya
sebab.Menurut para ahli ushul fiqh mani’ adalah suatu hal yang ditemukan bersama keberadaan
sebab dan terpenuhinya sarat-saratnya, namun ia mencegah timbulnya musabab pada sebabnya.
Ketiadaan syarat tidaklah disebut mani’ dalam peristilahan mereka, meskipun ia menghalangi
munculnya musabab pada sebabnya.Misalnya, hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan
menyebabkan terciptanya hubungan kewarisan (waris-mewarisi). Apabila ayah wafat, maka istri
dan anak mendapatkan pembagian warisan dari harta suami atau ayah yang wafat, sesuai dengan
pembagian masing-masing. Akan tetapi hak mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau istri
yang membunuh suami atau ayah yang wafat tersebut (H.R. al-Bukhari dan Muslim). Perbuatan
pembunuhan itu merupakan mani’ (penghalang) untuk mendapatkan pembagian warisan dari
orang yang dibunuh.
d.      Rukhshah dan ‘Azimah
Sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah dari berbagai hukum untuk maksud memberikan
keringanan kepada mukallaf dalam berbagai situasi dan kondisi khusus yang menghendaki
keringanan ini. Adapun ‘Azimah adalah hukum-hukum umum yang disyari’atkan sejak semula
oleh Allah, yang tidak tertentu pada satu keadaan saja bukan keadaan lainnya, bukan pula khusus
seorang mukallaf, dan tidak mukallaf lainnya.Misalnya, jumlah rakaat shalat zhuhur adalah
empat rakaat. Jumlah rakaat ini ditetapkan Allah sejak semula, dimana sebelumnya tidak ada
hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat shalat zhuhur. Hukum tentang rakaat shalat zhuhur
itu adalah empat rekaat, disebut dengan ‘azimah. Apabila ada dalil lain yang menunjukkan
bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakaan shalat zhuhur dua rakaat seperti orang musafir,
maka hukum itu disebut rukhshah.
e.       Shah dan Batal
Pengertian shahnya menurut syara’ ialah timbulnya berbagai konsekuensinya secara
syar’iyyah atas perbuatan itu. Jika sesuatu yang dilakukan oleh mukallaf merupakan perbuatan
yang wajib, seperti shalat, zakat, puasa dan haji, sedangkan pelaksanaan mukallaf tersebut
memenuhi semua rukun dan syaratnya, maka kewajiban telah gugur darinya, tanggungannya dari
kewajiban itu telah lepas, dan ia tidak mendapatkan hukuman di dunia, serta mendapatkan pahala
di akhirat.Sedangkan pengertian ketidak-sahannya ialah tidak timbulnya konsekuensinya yang
bersifat syara’.
C.    Hakim
Secara etimologi, hakim (‫ )حاكم‬mempunyai dua pengertian, yaitu:
a.         ‫واضع االحكام ومثبتها ومنشئها ومصدرها‬
Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.
b.         ‫الذي يدرك اآلحكام ويظهر ها ويعرفها ويكشف عنها‬
Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkap hukum.
Hakim merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqh, karena berkaitan dengan “siapa
pembuat hukum sebenarnya dalam syari’at islam”; siapakah yang menentukan hukum syara’,
yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu; apakah
akal sebelum datangnya wahyu mampu menetukan baik buruknya sesuatu, sehingga orang yang
berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat burukdikenakan sanksi”. Dalam ilmu ushul
fiqh, hakim disebut juga dengan syar’i.
Dari pengertian pertama di atas, hakim adalah Allah swt. Dia-lah pembuat hukum dan
satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf. Oleh sebab itu, tidak ada
syariat dalam islam kecuali dari Allah swt, baik berkaitan dengan hukum-hukum taklifi maupun
yang berkaitan dengan hukum wadh’i. Semua hukum ini menurut kesepakatan para ulama,
bersumber dari Allah. Dengan demikian, sumber hukum secara hakikat adalah Allah swt, baik
hukum itu diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW melalui wahyu, maupun hasil ijtihad
para mujtahid melalui berbagai teori istinbat. Sunnah, ijma’, dan metode istinbat hukum lainnya
merupakan alat untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah swt. Dalam hubungan inilah
para ulama ushul fiqh menetapkan sebuah kaidah yang berbunyi:
‫ال حكم إأل هلل‬
Tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah.
Jadi, hakim yaitu dzat yang mengeluarkan hukum.
D.    Mahkum Fih dan Syarat-Syaratnya
Para ulama’ ushul fiqh menyatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah
objek hukum, yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah syar’i (Allah dan Rasul-
Nya), yang bersifat tuntutan mengerjakan tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu
pekerjaan,dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.[5]
Pekerjaan yang ditaklifkan kepada mukallaf melaksanakannya diperlukan beberapa
syarat:
a.       Perbuatan atau pekerjaan itu mungkin terjadinya karena mustahil suatu perintah disangkutkan
dengan yang mustahil, seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan. Tegasnya, tidak
diperintahkan sesuatu melainkan sesuatu itu belum ada dan mungkin akan terwujudnya.
b.      Dapat diusahakan oleh hamba, dan pekerjaan itu menurut ukuran biasa sanggup dilakukan oleh
orang yang menerima khitab itu.
c.       Diketahui bahwa perbuatan itu dapat dibedakan oleh orang yang diberi tugas, baik secara pribadi
atau orang lain dengan jelas.
d.      Mungkin dapat diketahui oleh orang yang diberi tugas, bahwa pekerjaan itu perintah Allah,
sehingga ia mengerjakannya mengikuti sebagaimana yang diperintahkan. Yang dimaksud dengan
diketahui di sini ialah ada kemungkinan untuk dapat diketahui dengan jalan memperhatikan
dalil- dalil dan menggunakan nazhar.
e.       Dapat dikerjakan dengan ketaatan yakni bahwa pekerjaan itu dilakukan untuk menunjukkan
sikap taat. Kebanyakan ibadah masuk golongan ini, kecuali dua perkara, yaitu:
1). Nazhar yang menyampaikan kita kepada suatu kewajiban yang tidak mungkin dikerjakan
dengan qasad taat, karena tidak diketahui wajibnya sebelum dikerjakan.
2).Pokok dari iradat taat dan ikhlas. Bagi yang taat dan ikhlas bagi iradat mendapat pahala
karena kalau memeng dikehendaki niscaya terlaksana juga iradat itu.

E. Pengertian Mahkum ‘alaih, bentuknya, Pembagian Kecakapan dan Pengahalangnya.


Mahkum ‘alaih yaitu perbuatan mukallaf yang menyangkutkan hukum syar’i. dan
disyaratkan si muklaf itu untuk mensyahkan taklifnya menurut syari’at atas dua syarat yakni:
Pertama, hendaklah dia mampumemahami dalil taklif bahwa dia mampu memahami
undang-undang yang dipaksakan kepadanya itu dari Al-qur’an dan Sunnah itu sendiri atau
dengan perantaraan. Orang yang tidak sanggup memahami dalil taklif itu maka tidak mungkin
dia melaksanakan apa yang dipaksakan kepadanya itu dan tidak akan berhasil apa yang
dimaksudkannya itu. Kemampuan memahami dalil taklif itu hanya dapat dengan
mempergunakan nash-nash yang disusun oleh ahli-ahli fikir, yaitu dengan mempergunakan akal
mereka.
Kedua, dia ahli tentang tanggung jawab yang dipikulkan kepadanya itu. Ahli menurut
bahasa yaitu baik tindakannya. Dikatakan bahwa si fulan itu Ahli untuk melihat pendirian.
Artinya baik penglihatannya itu.
Syarat-Syarat Taklif :
1.      Orang itu telah mampu memahami kitab syari’ (tuntunan syara’) yang terkandung dalam Al-
qur’an dan Sunnah, baik secara langsung maupun melalui oranglain.
2.      Seseorang harus cakap bertindak hukum, yang dalam ushul fiqih disebut dengan ahliyyah.
Artinya apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak hukum, maka seluruh perbuatan
yang ia lakukan belum atau tidak bisa dipertanggungjawabkan.
AHLIYYAH
Dari segi etimologi ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu urusan.
Misalnyaseseorang dikatakan ahli untuk menduduki suatu jabatan atau posisi berarti ia
mempunyai kemampuan pribadi untuk itu.Secara terminology para ahli ushul fiqih
mendefinisikan ahliyyah dengan suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh
syar’i untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.[6](ushul fiqih 1 besar hal
308)
Maksudnya ahliyyah adalah sifat yang menunjukan seseorang itu telah sempurna jasmani
dan akalnya sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’.
Pembagiannya:
Para ulama ushul fiqih membagi ahliyyah kepada dua bentuk yaitu:
1.      Ahliyyah ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap sempurna
untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya baik yang bersifat positif maupun negatif
2.      Ahliyyahal-wujub adalah sifat kecakapan seseorang  untuk menerima hak-hak yang menjadi
haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya apabila seseorang
menghibahkan hartanya kepada orang yang memiliki ahliyyah al-wujub maka yang disebut
terakhir ini telah cakap menerimna hibbah tersebut apabila harta bendanya dirusak orang lain,
maka ia dianggap cakap untuk menerima ganti rugi.
Halangan Ahliyyah
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa penentuan cakap atau tidaknya seseorang dalam
bertindak hukum dilihat dari segi akalnya. Akan tetapi mereka juga sepakat bahwa sesuai dengan
hukum biologis akal seseorang bisa berubah dan perubahan ini disebabkan oleh :
1.      ‘Awaridh al-samawiyah, maksudnya halangan yang datangnya dari Allah bukan disebabkan
perbuatan manusia seperti gila, dungu, perbudakan, maut dan lupa.
2.      ‘Awaridh al-muktasabah, maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan manusia seperti
mabuk, terpaksa, tersalah berada dibawah pengampunan dan bodoh.
3.      Menurut ulama ushul fiqh perubahan kecakapan bertindak hukum itu adakalanya bersifat
menghilangkan sama sekali, mengurangi, atau mengubahnya. Karenanya mereka membagi
halangan bertindak hukum itu dilihat dari segi objeknya ada tiga bentuk:
1. Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertindak hukum secara sempurna
atau ahliyyah al-‘ada hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa dan terpaksa. Dalam kondisi
seperti ini seluruh tindakan hukum mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini
Rasulullah bersabda yang artinya “Diangkatkan (pembebanan hukum) dari umatku yang tersalah,
terlupa, dan terpaksa. (HR. Ibnu Majjah dan Ath-Thabrani)
2. Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al’ada seperti orang dungu. Apabila seseorang
terkena penyakit dungu, maka ahliyyah al-ada’nya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa
membatasi sifat kecakapan bertindak hukumnya. Oleh sebab itu, dalam tindakan hukum yang
sifatnya bermanfaat bagi dirinya dinyatakan syah, sedangkan tindakan hukum yang merugikan
dirinya dianggap batal.
3. Halangan yang sifatnya dapat mengubah sebagian tindakan hukum seseorang, seperti orang
yang berhutang, pailit, di bawah pengampuan, orang yang lalai dan tolol. Sifat-sifat seperti ini
sebenarya tidak mengubah ahliyyah ada’ seseorang, tetapi beberapa tindakan hukumnya berubah.
Misalnya, orang yang berada di bawah pengampuan, tindakan hukumnya dalam masalah harta
dibatasi demikemaslahatan dirinya dan hak-hak orang yang membayar hutang.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hukum syara’ adalah seruan Syâri’ yang berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia),
baik berupa iqtidla (tuntutan), takhyir (pilihan) ataupun wadl’i. Hukum syara’ terbagi dua bagian
: Pertama, Seruan Syâri’ yang berkaitan dengan penjelasan hukum atas perbuatan manusia;
berupa tuntutan dan pemberian pilihan. Ini disebut dengan khithab taklifi, yaitu seruan yang
berarti tuntutan, baik tuntutannya pasti (jazm) atau tidak pasti (ghair jazm), atau yang
dimaksudkan seruannya berupa pilihan antara megerjakan atau tidak. Kedua, Seruan Syâri’ yang
menjelaskan perkara-perkara yang dituntut oleh hukum atas perbuatan manusia, yaitu perkara–
perkara yang menentukan terwujudnya suatu hukum atau kesempurnaannya. Ini disebut dengan
khithab wadl’i.
Hakim adalah Allah swt. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang
dititahkan kepada seluruh mukallaf. Oleh sebab itu, tidak ada syariat dalam islam kecuali dari
Allah swt, baik berkaitan dengan hukum-hukum taklifi maupun yang berkaitan dengan hukum
wadh’i.
Mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan
titah syar’i (Allah dan Rasul-Nya). Sedangkan mahkum ‘alaih yaitu perbuatan mukallaf yang
menyangkutkan hukum syar’i,  dengan syarat-syarat taklif : Orang itu telah mampu memahami
kitab syari’ (tuntunan syara’) yang terkandung dalam Al-qur’an dan Sunnah, baik secara
langsung maupun melalui orang lain.Seseorang harus cakap bertindak hukum, yang dalam ushul
fiqih disebut dengan ahliyyah. Artinya apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak
hukum, maka seluruh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa dipertanggungjawabkan.
B.     Saran
Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami perlukan demi perbaikan makalah ini.
Kepada para pembaca semoga tidak merasa cukup atas makalah yang kami buat akan tetapi kami
harapkan agar pembaca terus menggali ilmu mengenai perihal hukum syara’
MAKALAH USHUL FIQH IJMA’

BAB I

PENDAHULUAN

           

A.      Latar Belakang


Dalam kehidupan sehari- hari kita selalu melakukan kegiatan- kegiatan yang tidak lepas dari peranan
syari’at atau hukum- hukum seperti shalat, puasa, jual beli dan lain sebagainya. Semua itu
membutuhkan hukum agar kita tidak salah arah dalam landasan agama. Untuk mengetahui hukum -
hukum syariat agama, para ulama telah berjihad untuk mengetahui hukum yang telah dijelaskan
didalam Al- Qur’an dan hadist agar jelas dan tidak subhat. Dalam era sekarang, banyak kita jumpai hal-
hal yang pada zaman rasul tidak terjadi, untuk mengetahui bagaimanya hukumnya hal tersebut, maka
dibutuhkan kesepakatan para ulama ( ijma’), maka dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian
ijma’, macam- macam ijma’, kedudukan ijma’ dalam hukum islam, dan disertai pula contoh ijma’dan
Syarat ijma’.

B.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka terdapat beberapa
permasalahan pokok dalam penulisan makalah ini, yaitu:

1. Bagaimana Pengertian Ijma’ dan Macam- Macamnya?

2. Bagaimana Kedudukan Ijma’ dalam Hukum Islam?

3. Bagaimana Contoh- Contoh Kasus Hukum yang Didasari Ijma’ dan syarat-syarat ijma’?

C.   Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka terdapat beberapa tujuan penulisan:

1.      Untuk mengetahui pengertian Ijma’ dan macam- macamnya.


2.      Untuk mengetahui kedudukan ijma’ dalam hukum islam.

3.      Untuk mengetahui contoh- contoh kasus hukum yang didasari ijma’ dan syarat- syarat ijma’.

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Pengertian Ijma’ dan Macam- Macamnya

       Arti Ijma’ menurut bahasa adalah sepakat, setuju, atau sependapat dan  definisi Ijma’ menurut
bahasa terbagi dalam dua arti:

1.     Bermaksud atau berniat, sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat Yunus ayat 71

ِ ‫ال لَِقو ِم ِه يا َقوِم إِ ْن َكا َن َكبر علَي ُكم م َق ِامي وتَ ْذكِ ِريي بِآي‬
‫ات اللَّ ِه‬ ِ ٍ ُ‫واتْل َعلَْي ِهم َنبأَ ن‬
َ َ َ ْ ْ َ َُ ْ َ ْ َ َ‫وح إ ْذ ق‬ َ ْ ُ َ
ِ
ُ ْ‫ت فَأَمْجِ عُوا أ َْمَر ُك ْم َو ُشَر َكاءَ ُك ْم مُثَّ اَل يَ ُك ْن أ َْم ُر ُك ْم َعلَْي ُك ْم غُ َّمةً مُثَّ اق‬
َّ‫ضوا إِيَل‬ ُ ‫َف َعلَى اللَّه َت َو َّك ْل‬
ِ ‫واَل ُتْن ِظر‬
‫ون‬ ُ َ
Artinya:Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada
kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu)
dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu
dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian janganlah keputusanmu itu
dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.[1]

Maksudnya, semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temannya harus mengikuti jalan beliau
tempu. Dan hadis Rasulullah SAW. Yang artiny, “barang siapa yang belum berniat untuk berpuasa
sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.[2]
2.     Kesepakatan terhadap, sesuatu. kaum dikatakan telah berijma bila mereka sepakat terhadap sesuatu.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat Yusuf ayat 15, yang menerangkan keadaan saudara-
saudara a.s.:

‫َّه ْم بِأ َْم ِر ِه ْم َٰه َذا َو ُه ْم اَل يَ ْشعُُرو َن‬ ِ


ُ ‫ب ۚ َوأ َْو َحْينَا إِلَْيه لَُتنَبَِّئن‬
ِ ‫َفلَ َّما َذهبوا بِِه وأَمْج عوا أَ ْن جَي علُوه يِف َغياب‬
ِّ ُ‫ت اجْل‬ َ َ ُ َْ َُ َ َُ

Artinya: Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka
masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya
kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi."[3]

                                                                                                                         

yakni mereka bersepakat terhadap perencana tersebut  adapun perbedaan antara kedua arti
diatas adalah: yang pertama bisa dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua
hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan
dirinya.[4]

Sedangkan menurut istilah para ahli ushul  fiqih dirumuskan sebagai berikut :               

‫رعىّ فى‬KK‫ ش‬ ‫اجماع هو ا ّتاق مجتهدين فى عصر من العصور وفاة الرسول الى حكم‬
‫الواقعة‬
“  Ijma’ ialah kesepakatan ( konsensus ) seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu stelah wafatnya
rosul terhadap suatu hukum syara’ untuk suatu peristiwa
  (kejadian )”.[5]

            Dari pengertian ijma’ sebagaimana disebutkan diatas, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.        Kesepakatan adalah kesamaan pendapat atau kebulatan pendapat para mujtahid pada suatu masa baik
secara lisan maupun tertulis atau dengan beramal sesuai dengan hukum yang disepakati itu.  
b.        Seluruh mujtahid berarti masing – masing mujtahid menyatakan kesepakatannya. Jika ada seorang saja
yang tidak menyetujuinya maka tidaklah terjadi ijma’. Dan apabila pada suatu masa hanya ada seorang
mujtahuid saja, maka tidak terjadi ijma’, sebab tidak terjadi kesepakatan.
c.         Ijma’ hanya terjadi pada masalah yang berhubungan dengan syara’ dan harus berdasarkan pada Al –
Qur’an dan Hadits mutawwatir, tidak sah jika didasarkan pada yang lainnya.[6]
Dari definisi diatas pengertian Ijma’ itu sendiri adalah kesepakatan antara para ulama-ulama
atau mujtahid untuk membahas suatu masalah didalam kehidupan dalam  masalah-masalah sosial yang
tidak ada didalam Al-quran dan as-sunnah.

            Ijma’ dilihat dari segi caranya ada dua macam, yaitu sebagai berikut :
1.Ijma’ Qauli = Ijma’ Qath’i
Ijma’ yang qoth’i dalalahnya atas hukum ( yang dihasilkan),yaitu ijma shorikh, dengan artian
bahwa hukumnya telah dipastikan dan tidak ada jalan mengeluarkan hukum lain yang bertentangan.
Tidak pula diperkenankan mengadakan ijtihad mengenai suatu kejadian setelah terjadinya Ijma Shorikh
atas hukum syara’ mengenai kejadian itu.[7]
2.Ijma’ Sukuti = Ijma’ Zanni
Yaitu ijma’ dimana para mujathid berdiam diri tanpa mengeluarkan pendapatnya atas mujtahid
lain. Dan diamnya itu bukan karena malu atau takut. Sebab diam atau tidak memberi tanggapan itu
dipandang telah menyetujui terhadap hukum yang sudah ditetapkan. Hal ini sesuai dengan pendapat
ulama ushul fiqh yang menyatakan :
“ diam ketika suatu penjelasan diperlukan, dianggap sebagai penjelasan”. [8]
Sedang dari segi waktu dan tempat ijma’ ada beberapa macam antara lain sebagai berikut :
1.Ijma’ Sahaby, yaitu kesepakatan semua ulama sahabat dalam suatu masalah pada masa tertentu.
2. Ijma’ Ahli Madinah, yaitu persesuaian paham ulama – ulama madinah terhadap sesuatu urusan hukum.
3. Ijma’ Ulama Kuffah, yaitu kesepakatan ulam – ulama kuffah dalam  suatu masalah.

4. Ijma’  Khulafaur Rasyidin, yaitu :            

ّ ‫اتفاق الخلفء االربعة على امر من االمور ال‬


  ‫شرعّة‬

“Persesuaian paham khalifah yang empat terhadap sesuatu soal yang diambil dalam satu masa atas
suatu hukum.”[9]
5. Ijma’ Ahlul Bait ( Keluarga Nabi ), yaitu kesepakatan keluarga Nabi dalam suatu masalah.

B.  Kedudukan Ijma’ dalam Pembinaan Hukum Islam


Jumhur ulama’ berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau dalil
hukum sesudah Al-Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan
wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunnah.[10]
Ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu hukum
dan menjadi sumber hukum islam yang qathi. Jika sudah terjadi ijma ( kesepakatan ) diantara para
mujtahid terhadap ketetapan hukum suatu masalah atau peristiwa, maka umat islam wajib menaati dan
mengamalkannya.
Alasan jumhur ulama ushul fiqh bahwa ijma’ merupakan hujjah yang qathi’sebagai sumber hukum
Islam adalah sebagai berikut :
a. Firman Allah SWT :

‫ االمر منكم (النساء‬K‫ واولى‬K‫ امنو اطيعوهّللا واطيعواالرّ سول‬K‫يا ايهاالذذين‬    


Artinya :“ wahai orang – orang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul ( Muhammad ) dan Ulil amri
( Pemegang kejuasaan ) diantara kamu.” ( Q.S. an – Nisa’ 59 )

Maksud Ulil ‘Amri itu ada dua penafsiran yaitu Ulil ‘Amri Fiddunnya adalah penguasa dan Ulil
‘Amri fiddin adalah mujtahid atau para ulama’, sehingga dari ayat ini berarti juga memerintahkan untuk
taat kepada para ulama mengenai suatu keputusan hukum yang disepakati mereka.

b. Hadist RasulullahSAW                                    

) ‫ امذتي ال تجمع على ضاللة ( رواه ابن حاجه‬  ّ‫ان‬


Artinya :” Sesungguhnya umatKu tidak akan bersepakat atas kesesatan.”

‫مارءاه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن‬


Artinya : “ apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan Allah juga baik.[11]

Dalam hadist ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat yang sama – sama
sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma’ itu terpelihara dari kesalahan, sehingga
putusannya merupakan hukum yang mengikat umat islam.
Pandangan ulama’ mengenai Ijma’ sukuti :

Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan
hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid belum tentu menandakan setuju, bisa jadi
takut dengan penguasa atau sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat karena
dianggap senior.

Hanafiyah dan Hanabilah Ijma’ sukuti syah jika digunakan sebagai landasan hukum, karena diamnya
mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru
mereka harus tegas menentangnya. Jika tidak menentang dengan tegas, berarti mereka setuju.

Hanafiyah dan Malikiyah  mengatakan jika diamnya sebagian ulama’ mujtahid tidak dapat dikatakan
telah terjadi ijma’.  Dan pendapat ini dianggap lebih kuat daripada pendapat perorangan.[12]

C.  Contoh- Contoh Hukum yang Didasari Ijma’


a. Pengangkatan Abu Bakar As-  Shiddiq sebagai khalifah menggantikan Rasulullah SAW.
b. Pembukuan Al- Qur’an yang dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar r.a.
c. Menentukan awal bulan ramdhan dan bulan syawal..
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan
demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah
disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal.
[13]
Bukti komplit diatas bahwa contoh hukum Ijma’ yaitu didalam pengangkatan Abu Bakar as yaitu
mengantikan Rasulullah SAW, menjadi Khalifa untuk menetapkan  dasar-dasar hukum sesudah Nabi
Muhammad.

D.  Syarat Ijma’


Jumhur Ulama ushul fiqh, mengemukakan pula syarat-syarat ijma’, yaitu:
a.Yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
b. Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap agamanya).
c.Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.

       Ketiga syarat ini disepakati oleh seluruh ulama ushul fiqh. Ada juga syarat lain, tetapi tidak disepakati
para ulama, diantaranya:

a. Para mujtahid itu adalah sahabat. 


b. Mujtahid itu kerabat Rasulullah, apabila memenuhi dua syarat ini, para ulama ushul fiqh menyebutnya
dengan ijma’ shahabat.
c. Mujtahid itu adalah ulama Madinah.
d. Hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya seluruh mujtahid yang
menyepakatinya.

Tidak terdapat hukum ijma’ sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang sama.[14]

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan bahwapengertian Ijma’ itu sendiri adalah
kesepakatan antara para ulama-ulama atau mujtahid untuk membahas suatu masalah didalam
kehidupan dalam  masalah-masalah sosial yang tidak ada didalam Al-quran dan as-sunnah.

Kedudukan Ijma’ itu menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al-Qur’an dan
Sunnah. Dan Ijma’dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada
ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun sunnah.
Syarat-syarat Ijma’  itu harus memenuhi persyaratan ijtihad dan Kesepakatan dalam suatu masalah
untuk menyelesaikannya harus  muncul pendapat-pendapat  dari para mujtahid-mujtahid yang bersifat
adil dan paham agama dan Para mujtahid itu harus berusaha  dan menghindari dari perbuatan-
perbuatan  bid’ah.

Dari keterangan diatas dapat juga di pahami bahwa ijma harus menyandar kepada dalil yang ada
yaitu kitab, sunah, atau yang mempunyai kaitan kepadanya baik langsung maupun tidak dan tidak
mungkin terlepas sama sekali dari kaitan tersebut.
Dari beberapa macam Ijma’dapat kami simpulkan bahwa dari semua macam Ijma’ itu  yang
pertama Ijma’ qoth’i , Ijma’ Sukuti, Ijma’Sahaby,Ijma’ Ahli Madinah, Ijma’ Ulama Kuffah, Ijma’  Khulafaur
Rasyidin.
                                                                         
B.     Saran
Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan
baik dalam penyusunan maupun penyampaian dalam makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya. Kepada Dosen
pengajar ( Bapak Drs. H. Henderi Kusmidi, M. H. I ) diharapkan bimbingan lebih untuk mengingatkan
mutu dan kwalitas mahasiswa PAI pada khususnya didalam mengembangkan ilmutafsir demi
terwujudnya hubungan mahasiswa dengan masyarakat. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua. Aamiin.

CATATAN KAKI

[1]Departemen Agama, Al-Quran Terjemah Asbabun Nuzul, ( Surakarta: PT. Indiva Media Kreasi, 2011). Hlm, 217

[2]Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung,: CV Pustaka Setia, 2010). Hlm, 68

[3]Departemen Agama, op cit, Hal, 237

[4]Rachmat Syafe’I, op cit, Hal: 69

[5]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih,  (Jakarta:PustakaFirdaus 2003), hlm. 308


[6]Suratno, Modul Siap Un Kemenag, ( Semarang: Dina Utama, 2011 ), hlm 131

[7]Abdul Wahhab Khallaf, kaidah-Kaidah Hukum Islam, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Hlm. 73

[8]Suratno, op cit, Hal: 132

[9]Totok Jumantoro,  Samsul Munir, Kamus ilmu Ushul fiqh, (Jakarta:Bumi Aksara  2009), hlm. 106

[10]Amir S, Ushul Fiqh.( Jakarta: Fajar Interpratama , 2009 ), hlm. 138

[11]Suratno, op cit, hlm: 133

[12]Satria M. Zein, Ushul fiqh, ( Jakart: Fajar Interpratama Offset, 2005), Hlm, 56

[13]Suratno, op cit, Hlm:134      

[14]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997). Hlm.53-54Makalah Ushul Fiqh Oleh: Tri Nopika (Tarbiyah PAI-Fiqh) UIN Raden
Fatah Palembang

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya lah sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam tak lupa juga kita curahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, karena beliaulah yang telah menghantarkan kita dari

zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh berkah. Adapun judul makalah kami “ IJMA’ ”.

Kami sangat berharap semoga dengan adanya makalah ini, kami dapat memberikan sedikit
gambaran dan memperluas wawasan ilmu yang kami miliki dan dapat bermanfaat bagi pembaca . Kami
ucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing Bapak Drs. H. HENDERI KUSMIDI, M. H. I selaku
Dosen Pengampu mata kuliah USHUL FIQH, yang telah memberikan ilmu dan arahan pada tugas
makalah ini. Dan tanpa bimbingan beliau mungkin tugas ini tidak dapat terselesaikan dengan tepat.
Tentunya masih banyak kesalahan pada tugas makalah ini yang mungkin tidak kami sadari, oleh
karena itu kritik dan saran bagi pembaca sangat kami harapkan guna perbaikan tugas makalah- makalah
selanjutnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bengkulu, 14 Oktober 2017

                                                                                    Penulis

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. 2003. UshulFiqh.Jakarta: PustakaFirdaus.

Efendi, Satria. 2005. UshulFiqh. Jakarta: Fajar Interpratama Offset.

Jumant Haroen,Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.


Jumantoro, Totok. 2005.KamusIlmuUshulFiqh. Jakarta: BumiAksara.

Suratno, dkk. 2011. ModulSiap Un Kemenag. Semarang: Dina utama.

Syafe’I Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

Amir, Syarifuddin.2009.UshulFiqh.Jakarta: Fajar Interpratama.

Wahhab Abdul Khalaf. 2000. Kaidah- KaidahHukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Qiyas

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ………………………………………………………………..      2

Daftar Isi …………………………………………………………………………      3

BAB I   PENDAHULUAN ……………………………………………………………..   4

1. Latar Belakang Masalah ………………………………………….       4


2. Perumusan Masalah ……………………………………………….        7
3. Tujuan Penulisan ……………………………………………………        7

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………………  8

1. Pengertian Qiyas ………………………………………………………….    8


2. Qiyas Sebagai Metodologi Penetapan Hukum Islam ………….  11
3. Ruang Lingkup Qiyas …………………………………………..      11
4. Rukun dan Syarat Qiyas ………………………………………..     12
5. Macam-macam Qiyas …………………………………………..      15
6. Kedudukan Qiyas dalam Hukum Islam ………………………….    20
7. Qiyas sebagai sumber hukum Islam ………………………….     20
8. Qiyas sebagai metode penggalian hukum (Ijtihad) ………   20
9. Pembagian ‘Illat ………………………………………………….        26
10. Kehujjahan Qiyas sebagai metodologi hukum Islam …..     31

BAB III KESIMPULAN ………………………………………………………………      41

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………        43

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Islam yang dibawa oleh Nabi Saw. adalah sebagai agama yang lurus, diturunkan  langsung dari
Sang Pencipta alam semesta ini termasuk menciptakan  manusia. Dialah yang memerintahkan
manusia agar menyembbah beribadah semata kepada-Nya, berhukum dengan hukum-hukum-
Nya dan  mengembalikan segala urusan kepada Allah dan Rasul-Nya. 

‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ ِطيعُوا هَّللا َ َوأَ ِطيعُوا ال َّرسُو َل َوأُولِي اأْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم ۖ فَإ ِ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوهُ ِإلَى هَّللا ِ َوال َّرسُو ِل إِ ْن ُك ْنتُ ْم‬
َ ِ‫ تُ ْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذل‬ 
‫ك َخ ْي ٌر َوأَحْ َسنُ تَأْ ِوياًل‬
Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS 4:59)

Dengan demikian sebagai sebuah keniscayaan bagi orang-orang yang beriman melaksanakan
dan  mengembalikan segala urusannya kepada al-Quran dan as-Sunah dalam seluruh aspek
kehidupan yaitu baik aspek ekonomi, sosial, pollitik, budaya dan lain sebagainya.

Sebagai agama yang sempurna yang dibawa oleh nabi terakhir, setelah nabi tutup usia, Islam
kelanjutannya  diemban oleh para sahabat dan generasi setelahnya.  Maka setiap persoalan yang
datang mereka berhukum pada al-Quran dan Hadis Nabi juga melalui  ijma shahabat begitu juga
melalui ijtihad sahabat karena hal ini seiring dengan perjalanan waktu dan kemajuan teknologi
maka muncul pula permasalahan-permasalah baru di tengah-tengah masyarakat.  Seiring dengan
munculnya permasalahan-permasalahan baru,  Islam memberikan cara atau petunjuk  kepada
para mujtahid untuk menginterprestasikan hukum-hukum yang bersifat global sehingga dapat
diterapkan pada permasalahan-permasalahan dimasanya.

Rasulullah Saw. telah mengisyaratkan kepada sahabat, akan pentingnya mengembalikan


persoalan yang apabila tidak secara langsung diputuskan oleh al-Quran maupun al-Hadits.

Sebagamana ketika Rasulullah mengutus (Muadz bin Jabal) ke Negeri Yaman.

.‫ اقضى بما قضى به رسول هللا‬: ‫ فان لم تجد فى كتاب هللا ؟ قال‬: ‫ قال‬.‫ بما فى كتاب هللا‬: ‫ بما تقضى ؟ قال‬: ‫قال رسول هللا لمعاد‬
‫ الحمد هلل الذي وفق رسول رسوله‬: ‫ قال‬.‫ اجتهد برايي‬: ‫ فان لم تجد فيما قضى به رسول هللا ؟ قال‬: ‫قال‬

Artinya:

“Beliau bertanya, “Dengan apa engkau memutskan suatu hukum ketika dihadapkan suatu
masalah kepadamu ?”. Muadz berkata, “Aku putuskan dengan kitab Allah, al-Quran, bila tidak
kutemukan maka dengan sunnah Rasululah, bila tidak kutemukan maka aku berijtihad dengan
pendapatku, dan aku tidak akan condong”. Maka Rasulullah saw menepuk dadanya dan
bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusan Rasulullah
atas apa yang ia relakan”.(HR Tirmizi)[1]

Maksud hadits di atas adalah karena Rasul menyetujui kepada Muadz untuk berijtihad dalam
memutuskan hukum yang tidak ditemukan nashnya dalam al-Quran  dan as-sunnah. Adapun
ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan suatu hukum, termasuk diantaranya
adalah qiyas.

Berbagai ketetapan Rasulullah Saw, mengenai hukum menjadi acuan bagi para sahabat, seakan-
akan selama itu beliau melatih mereka mengembangkan syari’at.  Lebih-lebih dilihat redaksi
sejumlah hadis benar-benar berupa redaksi kaidah dan sebagian lainnya berupa jumlah
syarthiyyah (terdiri atas syarat dan jawabnya) dan yang menyerupainya.[2]
Setelah sumber hukum al-Qur’an, Hadits  dan Ijma sahabat maka yang terakhir adalah Qiyas. 
Maka qiyas adalah salah satu yang menjadi rujukan dalam memproduksi hukum, karena sebagai
sumber hukum.

Dengan kata lain kita mengenal pokok-pokok yang dijadikan landasan atau sumber hukum. 
Selain al-Qur’an, sunnah dan ijma’, ada pula qiyas (analogi).  Sebuah mekanisme untuk
mengetahui sebuah hukum dengan cara menganalisis terlebih dahulu permasalahan baru yang
timbul dan mengkaitkan permasalahan tersebut dengan dalil-dalil hukum Islam yang ada yaitu
al-Qur’an, sunnah dan ijma’.  Apabila tidak ditemukan kejelasan hukumnya, barulah metode
qiyas ini digunakan, yakni menerapkan hukum atas permasalahan yang sudah jelas nash hanya
pada masalah baru tersebut setelah diyakini adanya kesamaan dalam ‘illat hukumnya.  Kajian ini
menjadi penting dan akan lebih menarik ketika muncul masalah-masalah baru (kontemporer)
yang secara eksplisit tidak ditemukan jawabannya pada kitab-kitab hukum Islam yang disusun
oleh para ulama terdahulu.

Makalah ini sedikit banyak akan memberikan gambaran seputar trik-trik qiyas dan dasar-dasar
yang menjadikan qiyas dapat dijadikan sebagai landasan, dalil atau metode dalam upaya
menyelesaikan masalah-masalah baru yang timbul yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan
Sunnah.

Maka melalui makalah ini, penulis ingin mengupas lebih mendalam lagi mengenai qiyas sebagai
metodologi penetapan hukum Islam.

 Perumusan Masalah
 Apa yang dimaksud dengan qiyas?
 Bagaimana  qiyas dijadikan sebagai sumber hukum Islam?.
 Bagaimana qiyas sebagai metodologi hukum Islam?

 Tujuan Penulisan
 Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Qiyas.
 Untuk mengetahui Qiyas dijadikan sebagai sumber hukum Islam
 Untuk mengetahui qiyas sebagai metodologi hukum Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Qiyas

    Secara etimologis kata “qiyas” berarti ‫قدر‬, artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan
yang semisalnya, misalnya dalam bahasa arab ada ungkapan:   

‫قست الثوب بالذراع‬           

Artinya: “saya mengukur pakaian itu dengan hasta”.


Sementara pengertian qiyas menurut istilah hukum (terminology) terdapat beberapa definisi yang
berbeda yang saling berdekatan artinya[3]. Namun apabila diperhatikan unsur-unsur pokok di
dalam qiyas yaitu: ashal, cabang, hukum ashal dan illat.[4]

Imam Syafi’i mengatakan tentang qiyas sebagai berikut:

‫وكل ما نزل بمسلم ففيه حكم الزم وعليه اذا كان بعينه اتباعه واذا لم يكن فيه بعينه يطلب الداللة على سبيل الحق باالجتهاد‬
‫واالجتحاد هو القياس‬

Artinya:

“Setiap kejadian/peristiwa yang terjadi pada seorang muslim pasti ada hukumnya. Dan ia wajib
mengikuti nash, apabila ada nashnya. Dan apabila tidak ada nashnya dicari dari permasalahannya
(dilalah-nya) diatas jalan yang benar dengan ijtihad, dan ijtihad itu adalah qiyas”.

Al-Ghazali dalam al-Mustashfa memberi definisi qiyas sebagai berikut:

‫حمل معلوم على معلوم فى اثبات حكم لهما او نفيه عنهما بامر جامع بينهما من اثبات حكم او نفيه عنهما‬

Artinya:

“Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan
hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.

Menurut Qadhi Abu Bakar mendefinisikan qiyas hampir sama dengan apa yang disampaikan al-
Ghazali dan disetujui oleh kebanyakan ulama, yaitu:

‫حمل معلوم على معلوم فى اثبات حكم لهما او نفيه عنهما بأمر جامع بينهما‬

Artinya:

“Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan
hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya”.

Menurut Ibnu Subki dalam kitabnya Jam’u al-jawami’ memberikan definisi  qiyas sebagai
berikut:

‫حمل معلوم على معلوم لمساواته فى علة حكمه عند الحامل‬

Artinya:

“Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaannya
dalam illat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan (mujtahid)”.
Menurut Abu Hasan al-Bashri qiyas adalah:

‫تحصيل الحكم األصل فى الفرع الشتباههما فى علة الحكم عند المجتهد‬

Artinya:

“Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada furu’ karena keduanya sama dalam ‘illat hukum
menurut mujtahid”.

Sementara Al-Baidhawi mendefinisikan qiyas sebagai berikut:

‫اثبات مثل حكم معلوم في معلوم اخر الشتراكهما فى علة الحكم عند المثبت‬

Artinya:

“Menetapkan semisal hukum yang diketahui pada sesuatu lain yang diketahui, karena keduanya
berserikat dalam ‘illat hukum menurut pandangan ulama yang menetapkan”.

 Al-Amidi mendefinisikan qiyas sebagai berikut:

‫عبارة عن األستواء بين الفرع واألصل فى العلة المستنبطة من حكم األصل‬

Artinya:

“Ibarat dari kesamaan antara furu’ dengan ashal dalam ‘illat yang di-isthinbath-kan dari hukum
ashal”.

 Dan Abu Zahrah memberikan definisi qiyas sebagai berikut:

‫ألحاق أمر غير منصوص على حكمه بأمر أخر منصوص على حكمه الشتراكها فى علة الحكم‬

Artinya:

“Menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada nash tentang hukumnya kepada perkara lain
yang ada nash hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum”.

     Dalam pandangan ‘Abd al-Jabbar, qiyas berarti:

‫حمل الشئ على الشي فى بعض أحكامه لضرب من الشبه‬

Artinya:

Membawakan sesuatu kepada sesuatu yang lain dalam sebagian hukum-hukumnya karena ada
sesuatu kesamaan”.
Menurut Prof. Drs. H. A. Djazuly dan Prof. Dr. I. Nurol Aen, MA dalam bukunya Ushul Fiqh,
Metodologi Hukum Islam, menjelaskan bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum sesuatu
kasus yang tidak dinashkan dengan hukum kasus lain yang dinashkan karena persamaan
illat hukum.

 Qiyas Sebagai Metodologi Penetapan Hukum Islam

Khasanah Islam dalam bidang hukum yang merupakan pemecah segala problematika yang
berkaitan dengan perbuatan manusia hingga akhir zaman dimana al-Quran sudah tidak
diturunkan lagi dan Nabi sebagai pembawa risalah telah tiada yang baik al-Quran maupun al-
Hadits sebagai sumber hukum, maka  telah meniscayakan adanya qiyas sebagai salah satu
sumber hukum dalam Islam setelah ijma sahabat.  Qiyas dalam hal ini memiliki nash yang kuat
dalam menjadikan Qiyas sebagai metodologi dalam penetapan hukum dalam Islam. 

Tentu saja dalam menjadikan qiyas sebagaimana yang telah dikemukakan di atas memiliki
kehujahan berdasarkan nash maupun aqli.  Adapun kehujahan qiyas ini dapat dijelaskan
berdasarkan al-Qur’an, Sunah, Ijma sahabat maupun dalil ‘Aqli tentang qiyas.

Adapun dalam makalah ini, penulis akan membahas qiyas sebagai metodologi penetapan hukum
Islam yang meliputi ruang lingkup Qiyas yang terdiri dari :

1. Ruang Lingkup Qiyas


2. Rukun dan Syarat Qiyas
3. Macam-macam Qiyas

1. Ruang lingkup Qiyas

Para ulama ushul fiqh menggunakan metoda qiyas ini hanya dalam hal urusan mu’amalah seperti
bagaimana hukumnya memukul ibu atau bapak, atau bagaimana hukumnya membakar harta anak
yatim, atau bagaimana hukumnya meminum nabidz dan bagaimana hukumnya bunga bank.
Semuanya dilakukan dengan menggunakan metoda qiyas untuk menentukan hukum-hukum
tersebut. Qiyas tidak digunakan dalam ruang lingkup ibadah seperti dijelaskan dalam kaidah:

‫ال قياس فى العبادة‬

Artinya:

“Tidak ada qiyas dalam ibadah.”

            Artinya bahwa dalam hal ibadah yang satu tidak bisa diqiyaskan kedalam bentuk ibadah
yang lain, seperti ibadah shalat lima waktu sudah ditentukan baik lafadz-lafadznya maupun
gerakan-gerakannya, begitu juga bentuk ibadah yang lain seperti shaum, haji atau ibadah lainnya.

 Rukun dan Syarat Qiyas

Rukun atau unsur yang harus ada dalam qiyas ada empat[5]:
1. Ashal

Ashal (asal) yaitu sesuatu yang di-nash-kan hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat
menyerupakan/meng-qiyas-kan di dalam istilah ushul disebut ashal (‫ )االصل‬atau maqis ‘alaih (
‫ )المقيس عليه‬atau musyabbah bih (‫)المشبه به‬

Ashal sebagai rukun qiyas menurut sebagian ahli ushul adalah nash-nash baik dari Al-Quran
maupun al-sunnah bahkan al-ijma’ karena berbicara qiyas adalah berbicara tentang sumber
pokok. Maka syarat ashal dalam qiyas adalah harus berasal dari nash al-Qur’an, al-Sunnah dan
al-Ijma’.

 Far’u

Far’ (cabang) yaitu sesuatu yang tidak di-nash-kan hukumnya yang diserupakan atau di-qiyas-
kan. Di dalam istilah ushul disebut al-far’ (‫ )الفرع‬atau al-maqis (‫ )المقيس‬atau al-musyabbah (
‫)المشبه‬.

Di dalam far’un (cabang) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Cabang  tidak mempunyai hukum yang tersendiri.


2. ‘Illat yang ada pada cabang harus sama dengan ‘illat yang ada pada Ashal.
3. Cabang tidak lebih dahulu ada daripada ashal.
4. Hukum cabang harus sama dengan hukum ashal.

 Hukum Ashal (‫)حكم االصل‬

Hukum ashal yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi
hukum pula bagi cabang. Syarat dari hukum ashal adalah sebagai berikut:

1. Hukum ashal harus merupakan hukum syara’ yang amaliyah


2. Hukum ashal harus ma’qul al-ma’na dalam arti pensyariatannya rasional.
3. Hukum ashal bukan hukum yang khusus, sesuatu hukum ashal bisa merupakan hukum
khusus dalam dua keadaan.

Pertama: Bila ‘illat hukum tidak terdapat/tergambarkan selain pada ashal seperti ma shul
huffain/mengusap sepatu dibolehkannya adalah ma’qul al-ma’na, karena untuk menghilangkan
kesempitan (raf’ul haraj) tetapi ‘illatnya memakai sepatu tidak dapat terbayang selain dengan
cara memakai sepatu tadi.

Kedua: Ada dalil khusus yang menentukan hukum tersebut, seperti ketidak bolehan nikah
dengan bekas isteri-isteri Nabi.

Hukum ashal harus tetap ada (tidak Mansukh), Kalau Ashal sudah di-mansukh misalnya, maka
tidak mungkin melakukan qiyas dengan  hukum ashal yang sudah dimansukh.

 ‘Illat (‫)العلة‬
Yaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya, maka berbicara tentang qiyas akan
lebih banyak berbicara tentang ‘illat hukum ini.

‘Illat adalah sesuatu/sifat yang ada pada ashal yang menjadi landasan/sebab adanya hukum pada
cabang-cabang, atau dengan kata lain ‘illat adalah sesuatu sifat yang nyata dan tertentu yang
bertalian (munasabah) dengan ada atau tidak ada hukum”, maka syarat ‘illat adalah sebagai
berikut:

1. Harus merupakan sesuatu yang nyata dalam arti dapat diamati; tanpa diketahui adanya
‘illat kita tidak bisa meng-qiyas-kan. Misalnya memabukkan yang dapat diketahui
dengan panca indera pada khamar dapat diketahui pula dengan panca indera pada barang
lain yang memabukkan.
2. Harus merupakan sifat yang tegas dan tertentu, dalam arti tidak berbeda karena
perbedaan orang di dalam keadaan lingkungannya, seperti pembunuhan sengaja yang
dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya mengakibatkan terhapusnya hak waris.
Demikian halnya pembunuhan sengaja yang dilakukan oleh penerima wasiat terhadap
pemberi wasiat mengakibatkan terhapusnya hak wasiat.
3. Harus ada kaitannya (munasabah) dengan hikmah dalam arti ada hubungannya antara
hukum dengan ‘illat tadi dalam rangka menerapkan maqashid al-syari’ah, karena motif
yang hakiki dari pen-syari’at-an hukum dan tujuan yang dimaksud adalah hikmah hukum
tersebut. Jika hikmah hukum tersebut nyata, tegas dan tertentu pasti itulah illat
hukumnya, karena dia motif hukum, akan tetapi karena hikmah ini tidak nyata dan
tertentu pada sebagian hukum maka fungsinya digantikan oleh munasabah tadi. Seperti
memabukkan itu munasabah dengan keharaman khamar, karena keharaman khamar
hikmahnya dalam rangka memelihara dan mengembangkan akal. Oleh karena tidak tepat
memberi ‘illat dengan sifat-sifat yang tidak munasabah dengan hukum dan hikmahnya,
seperti keharaman khamar dengan ‘illat warna khamar misalnya.
4. Bukan sifat yang hanya terdapat pada ashal, sebab jika ‘illat itu hanya terdapat pada
ashal, maka tidak bisa dianalogikan/di-qiyas-kan, sebab qiyas hanya bisa dilakukan
apabila sifat-sifat yang sama pada dua waqi’ah atau lebih. Seperti kekhususan-
kekhususan Rasulullah tidak bisa diqiyaskan kepada orang lain. Misalnya kekhususan
bagi Nabi menikahi wanita lebih dari empat orang.
5. Tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan, maka nash-lah yang harus
didahulukan, karena kemashlahatan sudah seharusnya tidak bertentangan dengan nash
atau dalil qath’iy, karena itu tidaklah tepat member sanksi kepada raja yang membatalkan
puasa di bulan Ramadhan karena hubungan biologis dengan isterinya, dengan
mewajibkan puasa dua bulan berturut-turut karena dianggap mashlahat. Sanksi tentang
hal ini adalah bertahap yaitu; pertama, membebaskan budak, kalau tidak mampu diganti
dengan puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak kuat baru kemudian memberi makan
60 orang miskin.

 Macam-macam Qiyas

            Macam-macam/pembagian qiyas dapat diurai berdasarkan hal-hal berikut ini[6]:


1. Pembagian qiyas dilihat dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’ yang
dibandingkan pada ‘illat yang terdapat pada ashal, menjadi tiga bagian:
2. Qiyas awlawi (‫ ;)قياس اولوى‬yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari
pemberlakuan hukum pada ashal karena kakuatan ‘illat pada furu’.

Contoh

Mengqiyaskan kasus pacaran yang tidak ada nashnya dengan mendekati perbuatan zina yang ada
nashnya pada ayat wa laa taqribzzinaa sebagaimana firman Allah Swt. :

Ÿwur (#qç/tø)s? #’oTÌh“9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$y™ur Wx‹Î6y™ ÇÌËÈ  

Artinya :

“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
dan suatu jalan yang buruk”

Dari ayat di atas terdapat kalimat janganlah mendekati perbuatan zina, dengan demikian kalimat
mendekati perbuatan zina yang sebelumnya ada indikasi yang bersifat larangan, berarti  adanya
larangan untuk mendekati perbuatan zina.  Dengan demikian hukum mendekati perbuatan zina
adalah haram berdasarkan nash.  Selanjutnya kasus kekinian semisal pacaran adalah dapat
diqiyaskan kepada mendekati perbuatan zina. oleh karena kasus pacaran yang tidak ada nashnya
dapat diterapkan  kepada kasus mendekati perbuatan zina.  Hal tersebut karana memiliki
persamaan qiyas.  Karena hukum  perbuatan zina berdasarkan nash adalah haram, maka pacaran
dapat diqiyaskan  kepada mendekati perbuatan zina yaitu memiliki  qiyas yang sama yaitu sama-
sama mendekati perbuatan zina.  Karena perbuatan zina hukumnya haram maka pacaran
memiliki hukum haram karena memiliki persamaan  dengan mendekati perbuatan zina.

Contoh lain mengqiyas-kan keharaman memukul orang tua kepada ucapan “ufa’’ (berkata kasar)
terhadap orang tua dengan ‘illat “menyakiti”. Hal itu ditegaskan Allah Swt dalam surat al-Isra
(17) : 23

ْ‫ك ْال ِكبَ َر أَ َح ُدهُ َما أَوْ ِكاَل هُ َما فَاَل تَقُلْ لَهُ َما أُفٍّ َواَل تَ ْنهَرْ هُ َما َوقُل‬
َ ‫ض ٰى َربُّكَ أَاَّل تَ ْعبُدُوا إِاَّل إِيَّاهُ َوبِ ْال َوالِ َد ْي ِن إِحْ َسانًا ۚ إِ َّما يَ ْبلُغ ََّن ِع ْن َد‬
َ َ‫َوق‬
َ ‫اًل‬ َ
‫لهُ َما قوْ ك ِري ًما‬ َ

Referensi: https://tafsirweb.com/4627-surat-al-isra-ayat-23.html

Artinya:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah
kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara
keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia” (QS 17:23)
Mengucapkan kata “Ah” kepada orang tua tidak dibolehkan oleh agama apalagi mengucapkan
kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.

Keharaman memukul kepada orang tua lebih kuat dari keharaman mengucapkan “uf” karena
sifat menyakiti pada memukul lebih kuat dari pada yang terdapat pada ucapan “uf”

 Qiyas Musawi (‫ ;)قياس مساوى‬yaitu qiyas yang kekuatan hukum pada furu’ sama dengan
kekuatan hukum pada ashal dikarenakan kekuatan ‘illat-nya sama.

Contoh

Mengqiyaskan membakar harta anak yatim dengan memakannya dengan tidak sepatutnya dalam
hal sama-sama keharamannya. QS an-Nisa (4): 10

Artinya:

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka).

Karena tindakan tersebut sama-sama melenyapkan harta anak yatim.

Contoh lain

Masalah zakat unta dengan kerbau merupakan  qiyas musawi, unta adalah sebagai binatang yang
masuk ke dalam kategori yang wajib dikeluarkan zakatnya.  Maka kerbau karena memiliki
kesamaan yaitu masuk ke dalam qiyas musawi, sehingga kerbau berdasarkan qiyas musawi
tersebut dapat pula dikategorikan binatang yang masuk dalam kategori yang wajib dikeluarkan
zakatnya. 

 Qiyas al-adna, yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih rendah
bobotnya dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat dalam ashal (pokok). Misalnya, sifat
yang memabukan yang ada dalam minuman keras bir umpanya lebih rendah dari sifat
memabukan yang terdapat pada minuman keras khamar yang diharamkan dalat al-Quran
surat al-Maiddah ayat 90. 

َ‫صابُ َواأْل َ ْزاَل ُم ِرجْ سٌ ِم ْن َع َم ِل ال َّش ْيطَا ِن فَاجْ تَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬
َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِنَّ َما ْال َخ ْم ُر َو ْال َم ْي ِس ُر َواأْل َ ْن‬

Referensi: https://tafsirweb.com/37706-surat-al-maidah-ayat-90-91.html

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

Meskipun pada ashal dan fur’u (cabang) sama-sama terdapat sifat memabukan sehingga dapat
diberlakukan qiyas

 Pembagian  qiyas dari segi kejelasan ‘illat-nya.

Qiyas dari segi kejelasan illatnya terbagi kedalam dua macam:

1. Qiyas jali (‫ ;)قياس جلي‬yaitu qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan
penetapan hukum ashal; atau tidak ditetapkan ‘illat itu dalam nash namun titik perbedaan
antara ashal dengan furu’ dipastikan tidak ada pengaruhnya. Misalnya meng-qiyas-kan
perempuan kepada laki-laki dalam kebolehan meng-qashar shalat di perjalanan,
meskipun terdapat perbedaan jenis kelamin tetapi perbedaan tersebut dapat
dikesampingkan.
2. Qiyas khafi (‫ ;)قياس خفي‬yaitu qiyas yang ‘illat-nya tidak disebutkan dalam nash,
maksudnya adalah dengan di-istinbath-kan dari hukum ashal yang memungkinkan
kedudukan ‘illat-nya bersifat zhanni. Misalnya meng-qiyas-kan pembunuhan dengan
benda berat kepada pembunuhan dengan benda atau senjata tajam dalam penetapan
hukum qishash dengan ‘illat pembunuhan disengaja dalam bentuk permusuhan.
Kedudukan ‘illat ini dalam ashal lebih jelas dibandingkan dengan kedudukannya dalam
furu’.

 Pembagian qiyas dari segi keserasian ‘illatnya dengan hukum;

Berdasarkan keserasian ‘illat-nya dengan hukum qiyas terbagi kedalam dua bagian:

1. Qiyas muatstsir (‫ ;)قياس مؤثر‬yaitu qiyas yang ‘illat penghubung antara ashal dan furu’
ditetapkan dengan nash yang sharih atau ijma’, atau qiyas yang ain sifat (sifat itu sendiri)
yang menghubungkan ashal dengan furu’ berpengaruh terhadap ain hukum.

Misalnya meng-qiyas-kan kewalian nikah anak di bawah umur kepada kewalian atas hartanya
dengan ‘illat belum dewasa, ‘illat ini ditetapkan berdasarkan ijma’.

Atau meng-qiyas-kan minuman keras yang dibuat selain dari anggur kepada khamar dengan
‘illat memabukkan, hal ini termasuk pada ‘illat yang hubungannya dengan hukum haram adalah
berbentuk qiyas muatstsir.

 Qiyas mulaim (‫ ;)قياس مالئم‬yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashal dalam hubungannya
dengan hukum haram adalah dalam bentuk munasib mulaim. Seperti qiyas pembunuhan
dengan benda berat kepada pembunuhan dengan senjata tajam yang ‘illat-nya pada ashal
dalam hubungannya dengan hukum pada ashal adalah dalam bentuk munasib mulaim.
 Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu, terbagi
tiga:
 Qiyas ma’na (‫ )قياس معنى‬atau qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun ‘illat-
nya tidak dijelaskan dalam qiyas, namun antara ashal dengan furu’ tidak dapat
dibedakan, sehingga furu’ tersebut seolah-olah ashal itu sendiri. Umpamanya membakar
harta anak yatim di-qiyas-kan dengan memakannya dengan tidak patut dengan ‘illat
merusak harta anak yatim itu, dengan adanya kesamaan itu furu’ seolah-olah ashal itu
sendiri.
 Qiyas ‘illat (‫)قياس علة‬, yaitu qiyas yang ‘illat-nya dijelaskan dan ‘illat tersebut merupakan
pendorong bagi berlakunya hukum ashal. Seperti meng-qiyas-kan nabiz kepada khamar 
dengan ‘illat rangsangan yang kuat yang jelas terdapat dalam ashal dan furu’.
 Qiyas dilalah (‫)قياس الداللة‬, adalah qiyas yang ‘illat-nya bukan pendorong bagi penetapan
hukum itu sendiri, namun ia merupakan keharusan bagi ‘illat yang memberi petunjuk
akan adanya ‘illat. Misalkan meng-qiyas-kan nabiz kepada khamar dengan menggunakan
alasan bau yang menyengat, yang merupakan akibat yang lazim dari rangsangan kuat
dalam sifat memabukkan.
 Pembagian qiyas dari segi metode (masalik) yang digunakan dalam ashal dan furu’,
hal ini terbagi kepada 4 macam, yaitu:
 Qiyas ikhalah (‫ )قياس االخالة‬yaitu qiyas yang ‘illat hukumnya ditetapkan melalui metode
munasabah dan ikhalah.
 Qiyas syabah   (‫ )قياس الشبه‬yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashal-nya ditetapkan melalui
metode syabah.
 Qiyas sabru (‫ )قياس السبر‬yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashal-nya ditetapkan melalui 
metode sabru wa taqsim.
 Qiyas thard (‫ )قياس الطرد‬yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashal-nya ditetapkan melalui
metode thard.

 Kedudukan Qiyas dalam Hukum Islam


 Qiyas sebagai sumber hukum Islam

Berdasarkan pada beberapa pengertian tentang qiyas dalam pembahasan sebelumnya dapat
diambil benang merahnya bahwa pada dasarnya qiyas adalah penarikan kesimpulan atau
inferensi dari suatu masalah hukum yang telah di tentukan hukumnya oleh nash (al-Quran dan
atau al-Sunnah) untuk suatu masalah hukum yang belum ditentukan hukumnya oleh nash karena
di antara dua masalah hukum tersebut terdapat makna homonim yang disebut ‘illat[7].

            Menurut Abu al-Husayn al-Bashriy, penerapan hukum yang terdapat dalam ashal kepada
far’ (cabang), yang belum terdapat di dalamnya hukum, dapat dilaksanakan apabila di dalam
ashal dan far’ itu terdapat kesamaan ‘illat hukum bagi seorang mujtahid,[8] yang akan men-
istinbath hukum.

            Qiyas dalam pengertian di atas merupakan salah satu metode hukum islam. Kesimpulan
hukum yang diperoleh dengan metode qiyas menjadi sumber hukum dan ajaran islam. Oleh
karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian ulama menjadikan qiyas[9] sebagai sumber
hukum ke empat setelah al-Qur’an, al-Sunnah, dan al-Ijma.

 Qiyas sebagai metode penggalian hukum (Ijtihad)


        Menurut Imam Syafi’iy, qiyas sama dengan ijtihad. Qiyas dan ijtihad adalah dua lafzh yang
mempunyai makna yang sama.[10] Berdasarkan pandangan seperti inilah kiranya al-Syafi’i
membentuk istihsan, al maslahah al mursalah dan lain sebagainya.

Dalam hal yang berkaitan dengan masalah syari’ah, yang tidak dapat diketahui akal, seperti
bagaimana mengetahui analogi dari rincian cara berterima kasih kepada Tuhan, ijtihad
diperlukan dalam rangka mencari hal-hal yang mengandung kemaslahatan (al-shalah) bagi
manusia, atas dasar dugaan yang kuat (ghalib al-zhann) dari pemahaman seorang mujtahid atas
dalil al-sam’i. Yang dimaksud dengan kemaslahatan di sini adalah semua hal yang akan
membawa manusia kepada ketaatan dan yang akan menjauhkan manusia dari maksiat.

Berdasarkan hal tersebut, ijtihad dalam pandangan Abd al-Jabbar merupakan kelanjutan dari
pemikiran analogi (al-qiyas) yang tidak mungkin ditutup atau dihentikan karena masyarakat
selalu berkembang dan berubah. Pemikiran Abd al-Jabbar yang demikian sejalan dengan Imam
al-Syafi’i yang berpendapat bahwa ijtihad itu adalah al-qiyas. Dalam berbagai persoalan syariah,
al-qiyas inilah yang banyak digunakan baik oleh Imam al-Syafi’i maupun oleh Abd al-Jabbar,
sebagai metode ijtihad untuk menjawab atau menyelesaikan berbagai persoalan baru yang
muncul di masanya yang secara tegas tidak dinyatakan baik dalam al-Quran maupun dalam al-
Sunnah.

Ijtihad dengan metode al-qiyas dapat menghasilkan berbagai perintah atau taklif  baru, baik itu
perintah untuk melakukan ataupun perintah untuk meninggalkan sesuatu, yang sama hukumnya
seperti terkandung dalam al-Quran atau al-Sunnah[11].

Sebagaimana telah dijelaskan dalam makalah ini bahwa qiyas merupakan salah satu metode
hukum Islam, sehingga qiyas menjadikannya sebagai sumber hukum keempat setelah al-Qur’an,
Sunnah dan Ijma Sahabat.

Adapun bagaimana tata cara proses istinbath hukum berdasarkan  qiyas, dikenal dengan ‘illat
sebagai cara untuk menentukan hukum suatu masalah baru yang tidak ada dalam nash.

‘Illat qiyasi adalah ‘illat yang digunakan untuk mengetahui apakah ketentuan hukum yang
berlaku terhadap suatu persoalan yang dijelaskan di dalam nash dapat diberlakukan pada
persoalan lain masalah baru yang tidak dijelaskan oleh nash karena adanya kesamaan ‘illat antara
kedua.[12]

‘Illat sebagai metode qiyas untuk menghasilkan hukum terhadap persoalan baru, dapat diketahui
dengan cara-cara sebagai berikut :

1. ‘Illat dapat diketahui dari petunjuk nash

Contohnya adalah kata  ö  t’s!rߊ bqä3tƒ PŸw ö’s1         

Firman Allah dalam surat al-Hasyr (59) ayat 7 :


َ‫يل َك ْي اَل يَ ُكونَ دُولَةً بَ ْين‬ ِ ِ‫َما أَفَا َء هَّللا ُ َعلَ ٰى َرسُولِ ِه ِم ْن أَ ْه ِل ْالقُ َر ٰى فَلِلَّ ِه َولِل َّرسُو ِل َولِ ِذي ْالقُرْ بَ ٰى َو ْاليَتَا َم ٰى َو ْال َم َسا ِكي ِن َوا ْب ِن ال َّسب‬
ِ ‫د ال ِعقَا‬Šُ ‫اأْل َ ْغنِيَا ِء ِم ْن ُك ْم ۚ َو َما آتَا ُك ُم ال َّرسُو ُل فَ ُخ ُذوهُ َو َما نَهَا ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهُوا ۚ َواتَّقُوا َ ۖ إِ َّن َ َش ِدي‬
‫ب‬ ْ ‫هَّللا‬ ‫هَّللا‬

Artinya:

“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang
berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan
beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu,
Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya”.

Maka ‘illat larangan memonopoli pemilikan harta oleh orang-orang kaya itu agar orang-orang
miskin mendapat bagian harta dari yang dimiliki oleh orang-orang kaya tersebut.

 ‘Illat dapat diketahui dari ‘isyarat al-nash.

Sebagai contoh hadits Nabi Saw.:

  .‫عن ابى قتادة رضي هللا عنه ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال فى الهرة انها ليست بنجس انما هي من الطوافين عليكم‬
‫اخرجه االربعة وصححه الترمذى وابن خزيمة‬.

Artinya:

“Dari Abi Qatadah bahwasannya Rasulullah Saw. telah bersabda tentang kucing : ”Kucing itu
sebenarnya tidak najis, karena ia tergolong pelayan-pelayanmu.”  Diriwayatkan oleh empat
perawi hadis dan disahihkan oleh al-Tirmidziy dan Ibnu Khuzaymah[13]

Huruf ‘illat yang menunjuk kepada ketidak-najisan kucing adalah kalimat  ‫( انما هى‬karena Ia).    

Dibawah ini adalah contoh proses istinbath hukum berdasarkan qiyas  melalui ‘illat :

1. Cara penarikan kesimpulan yaitu dari partikular (juz’iy) ke partikular (juz’iy)  contohnya
meminum nabidz tamar (perasan kurma) merupakan suatu peristiwa yang perlu ditetapkan
hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya.  Peristiwa ini disebut
far’ (cabang).  Untuk menetapkan hukumnya, dicari suatu peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash yang ‘illatnya sama dengan peristiwa pertama.  Peristiwa
kedua ini meminum khamar, disebut ashl (pokok).  Selain itu, peristiwa kedua ini telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash yaitu haram, kemudian disebut hukum al-ashl,
sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Maidah (QS,5:90) 

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.
Persamaan ‘illat antara kedua peristiwa itu ialah sama-sama memabukkan (iskar).  Karena itu,
ditetapkan hukum meminum nabidz tamar (perasan kurma) dengan meminum khamar yaitu
sama-sama haram.  Dari uraian contoh di atas, kiranya dapat diketahui bahwa dalam al-qiyas al-
syari’iy ini diperlukan empat rukun, yaitu far’, ashl, hukm al-ashl, dan ‘illat.[14]

Qiyas yang terdiri dari beberapa ‘illat, maka langkahnya yaitu mentarjih salah satu ‘illat diantara
‘illat-‘illat yang lainnya.  Sebagai contoh dalam hadits dinyatakan bahwa orang tua dapat
mengawinkan  anak perempuannnya tanpa izinnya.  Dalam hadis ini ditemukan dua sifat yang
diduga dapat dijadikan  ‘illat bolehnya hal tersebut, yakni : (1) keadaan anak itu masih gadis dan
(2) keadaannya belum dewasa (kecil). ‘Illat pertama tidak dapat diamalkan karena tidak sesuai
dengan ‘illat yang sama yang telah ditetapkan (ijma’) oleh para ulama.

Dalam ijma’ ditetapkan bahwa ‘illat bagi perwalian seorang bapak terhadap harta anaknya yang
belum dewasa disebabkan keadaan anak tersebut belum dewasa.  Perwalian atas harta benda ini
merupakan sejenis serta sesuai dengan perkawinan.

Oleh karena itu, ‘illat orang tua mempunyai hak untuk mengawinkan karena keadaannya belum
dewasa (kekanak-kanakan), bukan karena kegadisannya.  Dengan demikian, janda yang masih
belum dewasa dapat diqiyaskan kepada gadis yang masih kanak-kanak dalam masalah nikah.[15]

Contoh qiyas bentuk qiyas ekseptik ialah : si Fulan berjalan kaki, maka ia akan menggerakkan
kedua telapak kakinya  akan tetapi, su fulan tidak menggerakkan kedua kakinya, maka (dengan
sendirinya) ia tidak berjalan kaki

Qiyas dalam pengertian di atas merupakan salah satu metode hukum Islam.  Kesimpulan hukum
yang diperoleh dengan metode qiyas menjadi sumber hukum dan ajaran Islam. Oleh karena itu,
tidak mengherankan apabila sebagian ulama menjadikan qiyas sebagai sumber hukum keempat
setelah al-Qur’an, al-Sunnah, dan al-Ijma’.

 Pembagian Illat

            Illat hukum bisa dibagi kepada beberapa bagian sesuai dengan pendekatan yang
dilakukan antara lain[16]:

1. Pembagian illat dilihat dari segi dii’tibarkan atau Tidaknya oleh syari’at/Allah Swt.

Dalam hal ini ada empat macam illat:

1. Al-munasib al-mu’atsir, yaitu munasib yang ditunjukkan oleh syar’i  bahwa itulah illat
hukum adalah atsarnya. Oleh karena itu, disebut al-munasib al-mu’atsir, ini tidak lain
adalah illat yang di-nash-kan seperti ayat al-Qur’an Surat al-Jumu’ah ayat 9:

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari jum’at,
maka bersegeralah kamu kepada pengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”(QS:62:9).
Sighat ayat ini menunjukkan perintah meninggalkan jual beli apabila adzan telah terdengar adzan
untuk shalat jum’at; jadi adzan shalat Jum’at menjadi illat untuk meninggalkan jual-beli karena
ada munasabah antara meninggalkan jual beli dengan adzan Jum’at, yaitu muhafadhah
(memelihara) salat/al-din. Oleh karena itu, terhadap jual beli dapat di-qiyaskan segala muamalah
yang menyebabkan orang lalai melaksanakan shalat Jum’at dan adzan untuk shalat Jum’at
nisbahnya dengan hukum adalah haramnya jual beli pada waktu tersebut.

 Demikian pula dengan wilayah maliyah seperti dinyatakan al-Qur’an:

(#qè=tGö/$#ur 4’yJ»tGuŠø9$# #Ó¨Lym #sŒÎ) (#qäón=t/ yy%s3ÏiZ9$# ÷bÎ*sù Läêó¡nS#uä


öNåk÷]ÏiB #Y‰ô©â‘ (#þqãèsù÷Š$$sù öNÍköŽs9Î) öNçlm;ºuqøBr& ( Ÿwur !$ydqè=ä.ù’s?
$]ù#uóŽ  Î) #·‘#y‰Î/ur br& (#rçŽy9õ3tƒ 4 `tBur tb%x. $|‹ÏYxî ô#Ïÿ÷ètGó¡uŠù=sù ( `tBur tb%x.
#ZÉ)sù
Ž ö@ä.ù’uŠù=sù Å$rá÷èyJø9$$Î/
 4 #sŒÎ*sù öNçF÷èsùyŠ öNÍkös9Î)
Ž öNçlm;ºuqøBr&
(#r߉Íkôr’sù öNÍkön=tæ
Ž 4 4‘xÿx.ur «!$$Î/ $Y7ŠÅ¡ym ÇÏÈ  

Artinya:

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut
pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah pada mereka
harta-hartanya” (al-Nisa:6).

 Al-munasib al-mula’im, ialah munasib yang tidak di’itibarkan syara dengan dzatnya
akan tetapi adal dalil lain baik nash  atau ijma yang menunjukan bahwa munasib tersebut
adalah illat hukum, contoh dalam hal ini seperti hadits Nabi:

‫ال يزوج البكر الصغيرة اال وليها‬

Artinya:

“Tidak boleh menikahkan gadis  yang masih kecil kecuali walinya”.

Disini jelas menetapkan wilayat al-tamyiz terhadap perawan yang masih kecil dalah walinya.
Akan tetapi, tidak jelas betul apakah karena anak tadi perawan atau karena masih anak kecil,
yang keduanya adalah munasabah, yang kedua-duanya bertujuan untuk sama yaitu untuk
menolak kemadharatan terhadap perawan yang masih kecil.

 Munasib mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas lalu menimbulkan persangkaan bahwa hal
tersbut menimbulkan hikmah akan tetapi ternyata ada dalil syara bahwa munasib tersebut
tidak diakui syara dan dilarang syara, seperti mempersamakan hak laki-laki dan anak
perempuan da dalam warisan, secara dhahir ini adalah hal yang munasabah akan tetapi
ditolak oleh syari’at denga firman-Nya:

Artinya:
“Allah mewasiatkan kepadamu tentang anak-anakmu. Bagi anak (seorang) laki laki adalah dua
kali bagian anak (seorang) perempuan”(QS:Nisa:11).

 Al-munasib al-mursal atau al-munasib al-muthalaq, yaitu sesuatu yang jelas bagi
mujtahid bahwa menetapkan hukum azasnya mewujudkan kemashlahatan akan tetapi
tidak ada dalil yang menunjukan secara terperinci bahwa syara melarang atau
membolehkannya, inilah yang dikalangan para ahli ushul disebut dengan al-Mashlahah
al-mursalah, contoh dalam hal ini seperti tidak sah akad nikah pernikahan kecuali apabila
umur si pengantin wanita 16 tahun dan si pengantin pria 18 tahun.

 Pembagian illat dilihat dari segi kemaslahatan

Seperti kita ketahui bahwa syari’at islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin menuju kepada
kemaslahatan bagi manusia di dunia dan di akhirat yang merupakan tujuan dari syari’at; illat
harus mewujudkan kemaslahatan tersebut yang dimaksud tersebut. Berdasarkan penelitian
terhadap berbagai aturan dalam islam membuktikan bahwa kemaslahatan tersebut kemnali
kepada tiga hal, yaitu “mewujudkan hal-hal yang dharuriy, hajiy, dan tahsiniy bagi manusia”.

1. Yang dimaksud dengan dharuriy adalah sesuatu yang harus ada demi kemaslahatan
agama dan dunia, dalam arti apabila hal-hal yang dharuriy ini tidak bisa diwujudkan, tata
kehidupan manusia tidak akan mantap bahkan kacau dan menimbulkan kemafsadatan.
Dengan demikian, hal yang dharuriy ini harus mewujudkan, dipelihara dan dijaga dari
segala hal yang merusaknya.

Hal yang dharuriy ini ada lima:

Memelihara agama, memelihara diri dan meningkatkan nilai-nilai kejiwaan, memelihara akal
dan memberantas kebodohan, memelihara kehormatan keluarga, dan pembinaan generasi,
memelihara harta dan memeratakan kesejahteraan material kepada seluruh umat, serta
memberantas kemiskinan)

Untuk mewujudkan pemeliharaan agama, diwajibkan da’wah beriman, ibadat dan aturann-
aturan yang mengandung sanksi bagi perbuatan-perbuatan yang menuju kepada merusak agama.

Untuk mewujudkan pemeliharaan diri, diberikan aturan yang melarang membunuh diri dan diri
orang lain, dan sanksi-sanksi bagi orang yang melakukan pembunuhan baik sengaja maupun
karena kesalahan yang dalam istilah  fiqih disebut jarimat al-qishash dan diyat; pemeliharaan
kesehatan dan lain sebagai nya.

Untuk memelihara akal diharamkan segala barang yang memabukkan didorang untuk belajar
dan berpikir serta berilmu yang tinggi, mencerdaskan umt dan lain sebagainya.

Untuk memlihara keluarga diberikan aturan-aturan tentang pembentukan keluarga sejahtera


(sakinah), ditentukan kewajiban dan hak suami istri serta diatur hubungan antara orang tua dan
anak. Dilarang berzina dan menuduh zina; anak shaleh yang mendoakan merupakan amal yang
sampai ke alam baqa dan sebagainya.
Untuk memelihara harta didorong unutk kasab (usaha) yang halal, dilarang, mencuri, ghasab,
memakan harta manusia dengan secara batil, disayaratkan kerelaan di dalam pertukaran harta
dan lain sebagainya. Secara praktis di dalam kehidupan manusia kelima hal yang dharuriy ini
akan saling berkaitan saru sama lain.

 Yang dimaksud dengan hajiy adalah mewujudkan segala hal yang memudahkan dan
meringankan manusia di dalam memikul tugas hidupnya, apabila tidak ada yang hajiyat,
menyebabkan kesukaran, kesulitan, dan kesempitan, akan tetapi sampai ke tingkat
kemafsadatan umum. Termasuk hajiyat ini aturan-aturan yang berhubungan dengan
masalah-masalah rukshshah, lupa, kesalahan terpaksa dan dipaksa, bay ‘ al-mu’aththah,
bay’ salam, seperti juga dijelaskan dalam al-Quran:

Artinya:

Dan allah tidak menyempitkan kamu dalam urusan agama (QS al-Hajj 22:78).

3 ߉ƒÌãƒ ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߉ƒÌãƒ ãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#  ÇÊÑÎÈ  

Artinya:

“Allah menghendaki untukmu kelapangan, ia tidak mengehendaki untukmu keseputan dan


kesukarann” (QS.2:185).

 Yang dimaksud dengan kamaliyat atau tahsiniyyat adalah hal-hal yang mewujudkan
kesempurnaan dan kebaikan hidup yang hakikatnya kembali kepada akhlak yang luhur
dan mulia serta kebiasaan-kebiasaan pergaulan yang terpuji. Aturan-aturan yang
berkaitan denga kamaliyat atau tahsiniyyat ini antara lain shalat sunnah dan puasa sunnat,
cara-cara makan dan minum, dilarang melihat, mendengar yang tidak baik, menutup
aurat, adab dan sopan santun pergaulan, hal-hal yang najis, dan lain-lain.
 Adapun mengenai ‘illat yang boleh dicari ‘illatnya adalah hukum-hukum syara’ yang
berkaitan dengan mu’amalat dan ‘uqubat, karena hukum syara’ dalam hal ini didasarkan
pada suatu ‘illat yang melaterbelakangi adanya hukum.  Sudah menjadi kebiasaan umum,
banyak orang mencari ‘illat terhadap seluruh hukum-hukum berdasarkan keuntungan. 
Hal ini bertentangan dengan syariat itu sendiri.  Hukum-hukum syara’ yang berkaitan
dengan ibadah, akhlak, makanan dan pakaian tidak boleh dikaitkan dengan ‘illat sama
sekali.  Sebab, hukum-hukum semacam ini tidak dikaitkan dengan ‘illat sama sekali.

Hukum seperti ini diambil sesuai dengan apa yang terdapat dalam nash saja, tanpa dikaitkan
sama sekali dengan ‘illat, seperti halnya shalat, shaum, haji, zakat, dan yang sejenisnya diambil
secara tuqifi sebagaimana adanya dan diterima dengan penuh kepasrahan tanpa melihat aspek
‘illat nya.  Bahkan, tidak mencari-cari ‘illat-nya.  Begitu pula pengharaman memakan bangkai,
daging babi, dan yang sejenisnya sekali-kali tidak dicari ‘illatnya.  Bahkan termasuk suatu
kesalahan yang berbahaya apabila mencari ‘illat bagi hukum-hukum tadi.  Sebab apabila ada
usaha untuk mencari illat bagi suatu hukum atas perkara-perkara tersebut, tentu implikasinya
adalah apabila hilang ‘illatnya hukumnya pun akan hilang.  Sebagai ‘illat itu senantiasa
mengikuti ma’lulnya, ada atau tidaknya.  Seandainya ‘illat wudlu itu kebersihan, ‘illat shalat
adalah olahraga, ‘illat shaum itu kesehatan dan seterusnya, tentu hal ini akan mengakibatkan
bahwa disaat tidak didapati ‘illat nya maka tidak akan didapati hukumnya.

 Kehujjahan Qiyas sebagai Metodologi Penetapan Hukum Islam

Pada dasarnya di dalam menanggapi soal qiyas ini ada dua pendapat ulama[17] :

1. Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa qiyas adalah hujjah syara’


2. Madzhab Nidhomiyah, Dhohiriyah, dan Syi’ah Imamiyah yang menolak qiyas sebagai
cara untuk menetapkan hukum termasuk juga sebagian Mu’tailah.

Adapun alasan-alasan jumhur ulama antara lain adalah :

1.  Ayat al-Qur’an yang menyatakan sebagai berikut :

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara
kamu. Kemudaian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya)  jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
Hari Kemudian.  Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS: al-
Nisa:59).

Kata- kata farudduuhu (     çnr–Šãsù      ) berarti mengembalikan kepada Allah

dan Rasul-Nya, hal ini meliputi pemgembalian kepada kaidah-kaidah syara’ yang umum dan
mengembalikan hal-hal yang tidak dinashkan kepada yang dinashkan karena ada persamaan
illatnya.  Dalam hal ini cara menetapkan hukum islam berarti menggunakan qiyas.

Di dalam ayat lain dinyatakan

(#rçÉ9tFôã$$sù
Ž ’Í<‘ré’¯»tƒ Ì»|Áö/F{$#
 ÇËÈ  

Artinya:

Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai
wawasan.(QS:59:2)

Dalam ayat ini Allah Swt. telah menyatakan apa yang menimpa Bani Nadhir kemudian
menyatakan  (#rçÉ9tFôã$$sù)
Ž ialah qiyaskanlah dirimu, karena kamu, ayat ini memberi isyarat
yang jelas di dalam penggunaan qiyas.

 Banyak sunnah yang menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. menggunakan qiyas


diantaranya:

‫كنت نهيتكم عن ادخار لحوم االضاحى الجل الدافة فكلوا وادخروا وتصدقوا‬
Artinya:

“Dulu saya melarang kamu menyimpan daging kurban, karena banyak orang berkumpul. Maka
sekarang boleh makan, menyimpan dan menyedekahkannya” (Hadits Riwayat Al-Nasaiy)

Jadi bila banyak orang yang berkumpul yang membutuhkan daging kurban dilarang menyimpan
daging kurban apabila tidak ada orang berkumpul boleh menyimpan.  Dengan demikian hukum
ada apabila ada illatnya dan hukum tidak ada dalam arti mubah apabila tidak ada illatnya.  Di
dalam kaidah terkenal :

‫الحكم يدور مع علته وجودا وعدما‬

Artinya:

“Hukum tergantung kepada ada atau tidak adanya ‘illat”

Dalam peristiwa lain Umar pernah bertanya kepada Rasulullah Saw tentang qublah pada bulan
Ramadhan, Rasul menjawab :

‫أرأيت لو تمضمضت من الماء وأنت صائم قال عمر قلت ال بأس به قال فمه‬

Artinya:

“Bagaimana pendapatmu, apabila kamu berkumur-kumur dengan air padahal engkau dalam
keadaan puasa.  Umar menjawab :” Tidak apa-apa, lalu Rasulullah Saw. besabda lagi:” Demikian
pula halnya qublah”  (Hadis Riwayat Ahmad dan Abu Dawud).

Disini Rasulullah mengqiyaskan berkumur-kumur dengan air pada bulan Ramadhan dengan
qublah tanpa inzal kedua-duanya sama-sama tidak membatalkan puasa.

 Para sahabat pun mempergunakan qiyas ini seperti Abu Bakar mengqiyaskan kakek
dengan bapak di dalam warisan, juga Umar memerintahkan kepada Abu Musa al-Asy’ari.

‫اعرف االشاه والنظائر ثم قس األمور عند ذلك‬

Artinya:

“Pelajarilah perkara-perkara yang ada persamaan dan perserupaannya, kemudian qiyaskanlah


perkara-perkara tersebut”.

 Qiyas bisa dibuktikan dengan dalil akal pula

Pertama Allah Swt. memberikan hukum demi untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya, apabila
ada persamaan kemaslahatan hamba-hamba-Nya, apabila ada persamaan kasus yang tidak
dinashkan dengan yang dinashkan di dalam illat hukumnya, maka adalah adil dan bijaksana
untuk mempersamakan hukumnya dalam rangka kemaslahatan tadi.
Adalah tidak pada tempatnya apabila khamr dilarang karena memabukkan dalam rangka
memelihara akal dan minuman-minuman lain yang memabukkan dibolehkan karena tidak
dinashkan , padahal kedua-duanya sama memabukkan dan menyebabkan tidak terpeliharanya
akal.

Kedua, nash al-Qur’an dan al-Sunnah jumlahnya terbatas, sedangkan peristiwa dan
perkembangan manusia terus terjadi, maka untuk memecahkan masalah – masalah yang tidak
dinashkan , penggunaan qiyas sangatlah dibutuhkan asal pemecahan tersebut masih dalam ruang
lingkup syari’at menuju kemaslahatan manusia.

Qiyas pada hakikatnya tidak lain adalah pelaksanaan nash-nash di dalam ruang lingkupnya yang
luas, bukan menambah nash tapi menafsirkan nash.

Alasan para penolak qiyas adalah :

1. a. Dari al-Qur’an:

Artinya:

“Dan putuskanlah perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah” (QS:al-
Maidah:49)

Dan ayat-ayat lain yang sama dengan ayat tersebut dengan pengertian bahwa menggunakan qiyas
bukanlah hukum yang ditentukan Allah Swt.

Sesungguhnya ayat-ayat tersebut tidak menunjukkan kepada apa yang mereka artikan sebab (!t!
$#At“Rr& ª$yJÎ/ ) berarti memberikan hukum-hukum

yang ditunjukkan nash-nash.  Dan hukum-hukum itu diistinbathkan dengan berbagai cara yang
ditunjukkan oleh Allah di dalam kitabnya dan perinciannya oleh Rasulullah Saw. di dalam
sunnahnya.

Oleh karena itu, orang-orang yang memberikan hukum dengan langsung dari nash secara tersurat
dia telah memberikan hukum sesuai dengan yang ditentukan oleh Allah dan apabila secara yang
tersurat tidak ada, kemudian memberikan hukum dengan cara mengembalikan yang tidak ada
nashnya kepada yang ada nashnya (qiyas) maka itu pun berarti mengembalikan kepada yang
diturunkan Allah.  Karena Allah memerintahkan untuk menaati Ulil Amri dan mengembalikan
apa yang dipermasalahkan kepada apa yang dinashkan dan qiyas membukakan dan
menampakkan hukum Allah tentang sesuatu yang tidak tegas-tegas dinashkan.

 Ayat-ayat serupa :

Artinya:

“Tidak ada yang Kami tinggalkan sedikit pun dalam al-Kitab” (al-QS:An’am 6:38)
Ayat–ayat semacam ini menunjukkan bahwa tidak perlu kepada qiyas, sebab segala sesuatu telah
ada dalam al-Qur’an.  Menurut penuturan Syaykh Abdul Wahab Khalaf, yang dimaksud dengan
al-Kitab pada ayat pertama dan kedua adalah ilmu Ilahi beserta keluasannya dan
pemeliharaannya sesuai dengan permulaan ayatnya.

$tBur `ÏB 7p/!#yŠ ’Îû ÇÚö‘F{$# Ÿwur 9ȵ¯»sÛ


Ž çÏÜt
Ž ƒ Ïmø‹ym$oYpg¿2 HwÎ) íNtBé&
Nä3ä9$sVøBr& 4 $¨B $uZôÛ§sù ’Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4 ¢OèO 4’n<Î) öNÍkÍh5u‘
šcrçŽ|³øtä† ÇÌÑÈ  

Artinya:

“Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan
kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam
Al-Kitab[472], kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”. (al-QS:An’am 6:38)

 Berdasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hazm dari Abu Hurayrah sebagai
berikut :

‫تفعل هذه االمة برهة بالكتاب وبرهة بالسنة وبرهة بالقياس فاذا فعلوا ذلك فقد ضلوا‬

Artinya:

“Umat ini sewaktu-waktu berpegang kepada al-Kitab, sewaktu-waktu berpegang kepada sunnah,
dan sewaktu-waktu pula berpegang kepada al-Qiyas, maka apabila mereka melakukan perbuatan
tersebut di atas, sesatlah mereka”.

Jadi apabila umat ini melakukan perbuatan atas dasar penggunaan qiyas, maka dia telah sesat.

Sesungguhnya hadis ini tidak bisa dijadikan dalil, karena menurut Ibnu As-Subkiy ada di dalam
sanadnya yang tidak bisa diterima,  disamping itu arti hadis itu adalah umat ini berbuat kadang-
kadang dengan dasar al-Qur’an saja, karena tidak membutuhkan kepada Sunnah dan Qiyas, dan
kadang-kadang dengan sunnah dan mentakwilkan nash-nash kitab dengan sunnah tadi, dan
kadang-kadang dengan qiyas dan mentakwilkan Qur’an dan sunnah dengan qiyas apabila
berbeda dan apabila mereka melakukan yang demikian mereka telah sesat dan sejarah hukum
Islam telah membuktikan ini.  Dengan ini sesungguhnya hadis ini menjadi bukti atas kehujjahan
qiyas karena menyebutnya dengan al-Kitab,  kemudian al-Sunnah di dalam tertib istidlal.

 Ucapan sahabat yang mencela memberikan hukum dengan ra’yu seperti ucapan Abu
Bakar:

‫أى سماء تظللنى وأى أرض تقلنى اذا قلت فى كتاب هللا برأيى‬

Artinya:
“Apabila saya berkata/berpendapat tentang apa yang ada dalam kitabullah dengan pendapatku,
pasti saya tidak akan berbuat demikian, walaupun langit menutupiku dan bumi
menyempitkanku”.

Ucapan Umar ra:

‫اياكم وأصحاب الرأى فانهم أعداء السنن أعينتهم االحاديث ان يحفظوها فقالوا بالرأى‬

Artinya:

“Jauhkanlah dirimu dari ahli ra’yu,  karena mereka itu adalah musuh al-Sunnah.  Menghapal
hadis membuat mereka kepayahan, sehingga mereka berkata menurut pendapat mereka (ra’yu),
oleh karena itu mereka berkata sesat dan menyesatkan “.

‫اياكم والمكايلة قيل وما المكايلة ؟ قال المقايس‬

Artinya:

“Jauhilah al-mukayalah, ditanyakan kepada Umar.  Apa al-Mukayalah itu?  Dijawabnya


pengqiyasan.”

Ibnu Mas’ud berkata :

‫اذا قلتم فى دينكم بالقياس احللتم كثيرا مما حرمه هللا وحرمتم كثيرا مما احله هللا‬

Artinya:

“Apabila kamu sekalian berpendapat dalam urusan agamamu dengan menggunakan al-qiyas,
maka banyak sekali perkara yang kamu halalkan padahal Allah mengharamkannya.  Dan banyak
pula perkara yang kamu haramkan padahal Allah menghalalkannya”.

Dan ucapan lain dari sahabat yang semacam ini, yang mencela ra’yu.  Sesungguhnya ucapan
sahabat ini kalau benar haruslah dihubungkan dengan ucapan-ucapan sahabat lain dan perbuatan-
perbuatannya; dan hasilnya adalah penetapan Rasul terhadap Mu’adz bin Jabal yang berkata:

‫ان لم اجد فى كتاب هللا وفى سنة رسوله اجتهد‬

Artinya:

“Jika tidak saya dapatkan dan Sunnah Rasulullah saya berijtihad menurut pendapatku dengan
tiada mengurangi daya ikhtiarku “ (Hadits riwayat al-Baghawi).

Salah satu ijtihad adalah dengan qiyas.


Disamping itu, kenyataan pada masa Nabi, bahwa sebagian sahabat telah melakukan ijtihad
terhadap beberapa kasus dan kemudian disepakati Rasul hasil ijtihadnya.  Hadis Nabi juga
menyatakan :

‫اذا اجتهد الحاكم فاصاب فله اجران واذا اجتهد فاخطا فله اجر واحد‬

Artinya:

“Apabila hakim berijtihad kemudian benar maka dia mendapat dua pahala.  Dan apabila dia
berijtihad kemudian keliru, maka dia mendapat satu pahala” (Hadis Riwayat Bukhari dan
Muslim).

Oleh karena itu pendapat sahabat tersebut di atas sesungguhnya mencela ra’yu yang didasarkan
kepada hawa nafsu dan hanya kepentingan pribadinya saja.  Ra’yu yang mentakwilkan nash-nash
kitab atau sunnah Rasul, ra’yu yang menghancurkan prinsip-prinsip syara dan ketetapan-
ketetapan nash, dan inilah yang dimaksud oleh ibnu Mas’ud dengan ucapannya, karena memang
qiyas yang menghalalkan yang diharamkan Allah atau mengharamkan yang dihalalkan Allah
adalah qiyas yang bathil.  Karena qiyas hanya digunakan apabila tidak ada nash tentang
hukumnya.

 Qiyas adalah cara ijtihad yang membawa kepada perbedaan pendapat dan pertentangan di
dalam hukum, karena qiyas didasarkan kepada instinbath ‘illat pada pokok ini sangat
tergantung kepada pemahaman akal dan karenanya pasti membawa perbedaan hukum dan
pertentangan, sehingga satu kasus bisa diberikan dua macam hukum yang berbeda. 
Disamping itu, di dalam syari’ah Islamiyah kita dapatkan perbedaan hukum di antara
yang sama dan persamaan hukum diantara yang berbeda; seperti wanita yang sedang
menstruasi, dia tidak boleh shalat dan juga puasa, tetapi untuk puasa, wajib qadla
sedangkan shalatnya tidak wajib diqadla.  Jawaban terhadap alasan ini adalah bahwa
perbedaan pendapat para mujtahid di dalam hukm juz’iyyah far’iyyah yang didasarkan
kepada qiyas tidaklah membawa mafsadah, karena perbedaan tersebut di dalam far’iy
juz’iy yang amalli bukan di dalam pokok (ushul) agama, bukan dalam aqidah;
masalahnya bagaimana menyelesaikan perbedaan pendapat itu agar bisa diambil
manfaatnya menuju kemaslahatan.  Sebab perbedaan pendapat sebagai hasil kreatiivitas
manusia suatu kenyataan bahkan jadi rahmatul ummah.

Apabila dipahami secara logis dan jujur serta tidak mengorbankan prinsip. Adapun di dalam
syari’ah ada yang sama tapi hukumnya berbeda dan ada yang berbeda tapi hukumnya lain,
karena aspek lain misalnya: manusia hukumnya adalah sama apabila ditinjau dari segi
kemanusiaanya, akan tetapi manusia itu berbeda hukumnya apabila ditinjau dari segi jenisnya,
laki-laki dan perempuan dari kemampuan akalnya anak-anak, rusyd dan baligh. Oleh karena itu,
yang nampaknya berbeda tapi hukumnya sama adalah didasarkan kepada persamaan hukum dan
yang nampaknya sama tapi hukumnya berbeda adalah didasarkan kepada perbedaan hukum, Ibn
Qayyim di dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in membahas panjang lebar tentang ini.

Dari paparan tersebut diatas, jelaslah kiranya bahwa alasan-alasan jumhur lebih kuat dan
pendapatnya lebih patut diikuti, mengingat banyaknya masalah-masalah  di dalam kehidupan
manusia yang terus timbul dan berkembang ini yang bisa diselesaikan dan dipecahkan dengan
menggunakan qiyas sehingga dengan demikian hukum Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin yang
kekal dan abadi terus responsif terhadap perkembangan masyarakat.

BAB III

KESIMPULAN

1. Qiyas adalah mempersamakan suatu hukum atau satu peristiwa yang tidak ada nashnya
dengan suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran ada persamaan ‘illaat hukumnya
dari kedua peristiwa tersebut.
2. Qiyas sebagai sumber hukum hal ini dicontohkan dalam ayat yang mengharamkan
khamar dalam surat al-Maidah ayat 90, dalam ayat tersebut al-Qur’an secara langsung
terdapat ‘illat dalam peristiwa khamar tersebut adalah memabukkan.  Dengan demikian
khamar itu hukum asal nya haram.  Selanjutnya pada masa setelahnya terdapat minuman
brandi dan  whisky.  Kedua minuman itu dapat diambil hukumnya dengan berdasarkan
kepada  qiyas dengan ayat al-Qur’an yang mengandung kasus  khamar, karena kedua
minuman itu memiliki ‘illat yang sama yaitu sama-sama memabukkan, maka brandi dan
whisky mengandung hukum yang haram karena kedua kasus tersebut memiliki ‘illat yang
sama yaitu memabukkan.  Dengan demikian qiyas tersebut menjadi sumber hukum bagi
kasus yang sama.   Lebih lanjutnya arak putih dan, tuak  sama-sama memabukkan, karena
sama-sama memabukkan maka dapat menjadikan qiyas sebagai sumber hukum tersebut
dapat diterapkan kepada minuman arak putih dan tuak artinya penetapan hukum tersebut
diqiyaskan kepada whisky karena memiliki qiyas sama yaitu sama-sama memabukkan
sehingga qiyas itu dijadikan sumber hukum, dengan qiyas yang sama- sama memabukkan
sehingga qiyas bisa dijadikan sumber hukum.

Qiyas dalam pengertian di atas merupakan salah satu metode hukum islam. Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila sebagian ulama menjadikan qiyas sebagai sumber hukum ke empat
setelah al-Qur’an, al-Sunnah, dan al-Ijma.

1. Qiyas sebagai Metodologi, ialah  cara menetapkan hukum itu harus berdasarkan rukun
dan syarat qiyas, kalau tidak ada maka tidak bisa diambil hukumnya.  Metodologi sama
dengan turuqul istinbat. Qiyas sebagai metode istinbath al-hukm pada hakikatnya adalah
pencarian dan penetapan ‘’illat. Dengan demikian, pembahasan ‘illat dalam qiyas ini
menjadi sangat penting dalam rangka pewujudan ada atau tidaknya hukum (al-hukm
yadur ma’a ‘illatihi wajudan wa ‘adaman), maka qiyas identik dengan ijtihad.

Qiyas pada dasarnya merupakan penerapan hukum yang terdapat dalam ashal kepada far’un
(cabang), yang belum terdapat di dalamnya sesuatu hukum, qiyas dapat di laksanakan apabila di
dalam ashal dan far’un itu terdapat kesamaan ‘illat.

            Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa proses menetapkan hukum melalui
qiyas bukanlah berarti menetapkan hukum dari awal melainkan hanya menyingkap dan
menjelaskan hukumnya yang ada pada suatu kasus yang belum jelas  hukumnya melalui
pembahasan mendalam dan teliti terhadap ‘illat dari suatu kasus atau kejadian yang dihadapi. 
Jika terdapat kesamaan ‘illat dengan hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum atas
kasus yang dihadapi itu sebenarnya telah ditetapkan oleh nash, hanya saja hukum tersebut baru
ditemukan dengan cara analogi atau qiyas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djazuli, Nurol Aen, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, PT Raja Grafindo

Persada Jakarta, cet. Pertama, Tahun 2000 

Ahmad Hasan, Qiyas, Penalaran Analogis di dalam Hukum islam, Penerbit Pustaka Bandung,
cet. I Tahun 2001

Makalah Ushul Fiqh Tentang ‘Urf

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Ilmu Fiqh merupakan salah satu ilmu yang perlu diketahui oleh seluruh umat muslim karena
yang menyangkut hukum-hukum Islam. Secara keseluruhan, ilmu tersebut tidak mudah
dipahami. Oleh karena itu, mereka perlu sebuah pengantar dari ilmu tersebut sangat penting
karena dapat mengarahkan pemahaman menuju Ilmu Fiqh  yang susungguhnya.

Selain itu, sebagai sebuah disiplin keilmuan, Ilmu Fiqh akan terus dan harus berkembang.
Sekalipun demikian, perubahannya dalam sejarah menunjukkan dinamika. Kadang-kadang ia
berubah sangat pesat. Adakalanya pula terlihat lambat. Bahkan, tidak jarang tampak statis.
Padahal, tuntutan atas perkembangannya merupakan konsekuensi logis dari beban dan tuntutan
perubahan masyarakat dan umat Islam sendiri.

Di makalah ini, akan membahas sesuatu yang berhubungan kehidupan sosial masyarakat yaitu
kebiasaan atau dalam bahasa Ilmu Fiqh “ ‘Urf “.

1. Rumusan masalah

1. Apa pengertian dari ‘Urf?


2. Apa saja macam-macam dari ‘Urf?
3. Bagaimana kedudukan ‘Urf sebagai sumber hukum?
4. Bagaimana kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’?
5. Apa saja syarat-syarat pemakaian ‘urf sebagai sumber hukum?

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian ‘Urf

Dari segi etimologi  al-‘urf  berasal dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra’ dan fa’ yang berarti
kenal. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang dikenal), ta’rif (definisi), kata ma’ruf (yang
dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik).

Adapun dari segi terminologi. Kata ‘urf  mengandung makna:

ْ ِ‫ أَوْ لَ ْفظٌ تَ َعا َرفُوْ ا إ‬، ‫ماَا ْعتَا َدهُ انَّاسُ و َسارُوْ ا َعلَ ْي ِه ِم ْن ُك ِّل فِ ْع ٍل َشا َع بَ ْينَهُ ْم‬
‫طالَقَهُ َعلَى َم ْعنَى خَا صِّ ال تَأَلَّفَهُ اللُّ َغةُ َوال يَتَبَا َد ُر َغي َْرهُ ِع ْن َد‬
‫اع ِه‬ ِ ‫ِس َم‬

Seuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap
perbuatan yang populer di antara mereka, ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan
pengertian tertentu, bukan dlam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka
tidak memahaminya dalam pengertian lain.[1]

Dalam istilah fuqaha ‘urf ialah kebiasaan. Dari pengertian ini kita mengetahui bahwa ‘urf dalam
sesuatu perkara tidak bisa terwujud kecuali apabila ‘urf itu mesti berlaku atau sering-seringnya
berlaku pada perkara tersebut, sehingga masyarakat yang mempunyai ‘urf tersebut selalu
memperhatikan dan menyesuaikan diri dengannya. Jadi unsur pembentukan ‘urf ialah
pembiasaan bersama antara orang banyak, dan hal ini hanya terdapat pada keadaan terus-
menerus atau sering-seiringnya dan kalau tidak demikian, maka disebut perbuatan
perseoranagan.

Sebagai contoh ialah kebiasaan masyarakat Indonesia pada perkawinan ialah bahwa keluarga
dari fihak calon mempelai laki-laki datang ketempat orang tua calon mempelai perempuan untuk
meminangnya.[2] Selain itu, pada adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli
dengan tukar menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Dan juga kebiasaan mereka
untuk tidak mengucapkan kata “daging” sebagai “ikan”.[3]

1. Macam-macam ‘Urf

Para Ulama Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada  tiga macam :

 Dari segi objeknya :

1. Al-‘Urf al-Lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan).

Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam


mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam
pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapi; padahal kata-kata
“daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging,
sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “
saya beli daging 1 kg” pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan
masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.

1. Al-‘urf al-‘amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).

Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah
keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyrakat dalam masalah
kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja
pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus atau
meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakain tertentu dalam
acara-acara khusus.

 Dari segi cakupannya:

1. Al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum).

Adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan  diseluruh daerah.
Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti
kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya
tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap
penumpang pesawat terbang adalah duapuluh kilogram.

1. Al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).

Adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyrakat tertentu. Misalnya dikalangan para
pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk
cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga
kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.

 Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’ :

1. Al-‘urf al-Shahih ( kebiasaan yang dianggap sah)

Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan
nash (ayat atau hadis) tidak menghilangkan kemaslahtan mereka, dan tidak pula membawa
mudarat kepada mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah
kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.

1. Al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).

Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada
dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba,
seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta
rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo,
dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang di raih peminjam,
penambahan utang sebesar 10% tidaklah membertakan, karena keuntungan yang diraih dari
sepuluh juta rupaiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik seperti
ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’, karena
pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan.[4]

1. Kedudukan ‘Urf sebagai Sumber Hukum

Dalam kehidupan sosial dalam masyarakat manusia yang tidak mempunyai undang-undang
(hukum-huum), maka ‘urf lah (kebiasaan) yang menjadi Undang-undang yang mengatur mereka.
Jadi sejak zaman dahulu ‘urf mempunyai fungsi sebagai hukum dalam kehidupan manusia.

            Sampai sekarang, ‘urf dianggap sebagai salah satu sumbar undang-undang, dimana
unsur-unsurnya banyak diambilkan dari hukum-hukum yang berlaku, kemudian dikeluarkan
dalam bentuk pasal-pasal dalam undang-undang.

            Syari’at Islam datang kemudian banyak mengakui tindakan tindkan dan hak-hak yang
sama-sama dikenal oleh Syari’at Islam dan masyarakat Arab sebelumnya, disamping banyak
memperbaiki dan menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang lain. Selain itu, Syari’at Islam juga
membawa hukum-hukum baru yang mengatur segala segi hubungan manusia satu sama lain
dalam kehidupan sosialnya, atas dasar keperluan dan bimbingan kepada penyelesaian yang
sebaik-baiknya, karena Syari’at-syari’at Tuhan dengan aturan-aturan keperdataannya (segi
keduniaannya) dimaksudkan untuk mengatur kepentingan dan hak-hak manusia. Oleh karena itu
kebiasaan yang telah ada bisa diakui asal dapat mewujudkan tujuan-tujuannya serta sesuai
dengan dasar-dasarnya yang umum.

            Dalam Syari’at Islam dalil yang dijadikan dasar untuk menganggap ‘urf (kebiasaan)
sebagai sumber hukum ialah firman Allah SWT :

óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚ̍ôãr&ur Ç`t㠚úüÎ=Îg»pgø:$#

“dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang
bodoh”.

            Meskipun kata-kata ‘urf disini sebenarnya diartikan menurut arti bahasa, yaitu perkara
yang biasa dikenal dan dianggap baik, namun bisa juga dipakai untuk menguatkan ‘urf menurut
arti istilah, karena apa yang biasa dikenal oleh orang banyak dalam perbuatan-perbuatan dan
hubungannya satu sama lain termasuk perkara yang dianggap baik oleh mereka dan dikenal oleh
pikiran mereka.[5]

1. Kehujjahan ‘Urf Sebagai Dalil Syara’

‘Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada umumnya, urf
ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan
penafsiran beberapa nash. Namun hal ini bukan berarti urf tidak mempunyai dasar hukum
sebagai salah satu sahnya sumber syari’at islam. Mengenai kehujjahan urf menurut pendapat
kalangan ulama ushul fiqh, diantaranya:
 Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa urf adalah hujjah untuk menetapkan
hukum islam. Alasan mereka ialah berdasarkan firman Allah dalam surat al A’rof ayat 199:

َ ‫ض َع ِن ْا‬
َ‫لجا ِهلِيْن‬ ِ ‫خ ِذ ْال َع ْف َو َوأ ُم ْر بِاْل ُع ْر‬.
ْ ‫ف َواَ ْع ِر‬ ُ

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf serta
berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”.

Ayat ini bermaksud bahwa urf ialah kebiasaan manusia dan apa-apa yang sering mereka lakukan
(yang baik). Ayat ini, bersighat ‘am artinya Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengerjakan
suatu hal yang baik, karena merupakan perintah, maka urf dianggap oleh syara’ sebagai dalil
hukum.

Maka dari pernyataan di atas, dapar dikatakan bahwasannya sesuatu yang sudah lumrah
dilakukan manusia di dunia untuk kemaslahatan hidupnya, maka hal itu dianggap benar oleh
syari’at islam meskipun tidak ada dalil yang menyatakannya baik dalam al qur’an ataupun
sunnah.

Selain berdasarkan dalil al qur’an tersebut, ulama Hanafiyah dan Malikiyah juga berhujjah
dengan hadits nabi:

َ ‫سنًا فَ ُه َو ِع ْن َد هللاِ َح‬


ٌ‫سن‬ ْ ‫اراَهُ ْال ُم‬
َ ‫سلِ ُم ْونَ َح‬ َ ‫ َم‬.

“Sesuatu yang dianggap baik oleh umat islam, termasuk suatu hal yang baik pula menurut
Allah”.

Hadits ini mengandung arti bahwa hal yang dipandang baik bagi orang islam berarti hal itu baik
pula di sisi Allah yang di dalamnya termasuk juga urf yang baik. Yang mana berdasarkan dalil-
dalil tersebut, urf yang baik adalah suatu hal yang baik di hadapan Allah.

 Golongan Syafi’iyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap urf sebagai hujjah atau dalil
hukum syar’i. Golongan Imam Syafi’i tidak mengakui adanya istihsan, mereka betul-betul
menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbath hukum dan tidak menggunakannya sebagai
dalil.[6]Maka dengan hal itu, secara otomatis golongan Imam Syafi’ juga menolak menggunakan
urf sebagai sumber hokum islam. Penolakannya itu tercermin dari perkataannya sebagaimana
berikut:

“Barang siapa yang menggunakan istihsan maka sesungguhnya ia telah membuat hukum”.   

Bahkan dalam kitab ‘Risalah’-nya, beliau menyatakan dengan tegas sebagai berikut, yang
artinya:

“ Tidak seorang pun berhak selain Rasulullah menetapkan sesuatu hukutn tanpa alasan (dalil)
dan tidak seorang pun pantas menetapkan berdasarkan apa yang dianggap baik (istihsan).
Sesungguhnya menetapkan hukum dengan istihsan adalah membuat ketentuan baru yang tidak
mempedomani ketentuan yang telah digariskan sebelumnya”.

Berkaitan dengan penolaknnya terhadap istihsan ini, beliau mengemukakan beberapa dalil
(argumen) sebagai dasar dari penolakannya, sebagaimana tercermin dalam kitabnya al-Risalah
dan al-Umm. Ia mengemukakan dalil-dalil dari al-Quran dan hadits, di antaranya:

 Surat al-Maidah (5): 3 yang berbunyi:

ِ ‫اَ ْليَ ْو َم أَ ْك َم ْلتُ لَ ُك ْم ِد ْينَ ُك ْم َوأَ ْت َم ْمتُ َعلَ ْي ُك ْم ِن ْع َمتِ ْي َو َر‬


ْ ‫ضيْتُ لَ ُك ُم ْا ِال‬
‫سالَ َم‬

‫ ِد ْينًا‬.

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu”.

 Surat al-Nahl (16): 89 yang berbunyi:

ً‫َاب تِ ْبيَانًا لِ ُك ِّل ش َْي ٍء َو ُهدًى َو َر ْح َمة‬


َ ‫…ونَ َّز ْلنَا َعلَ ْي َك ْال ِكت‬.
َ

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat”.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka Imam Syafi’i menolak adanya sumber hukum dari urf,
karena beliau menganggap bahwa urf merupakan penetapan suatu hukum yang tidak berdasarkan
dalil yang sudah ditetapkan yakni; Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.[6]

1. Syarat-syarat Pemakaian ‘Urf sebagai Sumber Hukum

Syarat-syarat ‘urf yang bisa diterima oleh hukum Islam :

1. ‘Urf harus berlaku terus menerus atau kebanyakannya berlaku

Yang dimaksud dengan terus menerus berlakunya ‘urf ialah bahwa ‘urf tersebut berlaku untuk
semua peristiwa tanpa kecualinya, sedan yang dimaksud dengan kebanyakan berlakunya ‘urf
ialah bahwa ‘urf tersebut berlaku dalam kebanyakan peristiw. Yang menjadi ukuran kebanyakan
berlakunya menurut hitungan –statistik. Kalau sesuatu perkara sama kekuatannya antara
dibiasakan dengan tidak dibiasakan, maka perkara tersebut dinamai ‘urf-mustarak (‘urf rangkap).
‘Urf semacam ini tidak bisa dijadikan sandaran dan dalil dalam menentukan hak-hak dan
kewajiban karena apabila perbuatan orang banyak pada sesuatu waktu bisa dianggap sebagai
dalil, maka peninggalannya pada waktu yang lain dianggap sebagai penentang dalil tersebut.

2. ‘Urf yang dijadidkan sumber hukum bagi sesuatu tindakan harus terdapat pada waktu
diadaknnya tindakan tersebut
Bagi ‘urf yang timbul dari sesuatu perbuatan tidak bisa dipegangi, dan hal ini adalah untuk
menjaga kestabilan ketentuan sesuatu hukum. Misalnya, kalau kata-kata “Sabilillah” dalam
pembagia harta zakat menurut ‘urf pada suatu  ketika diartikan semua keperluan jihad untuk
agama, atau semua jalan kebaikan dengan mutlak, menurut perbedaan pendapat para ulama
dalam hal ini, atau kata-kata “Ibnus-Sabil” diartikan kepada orang yang kehabisan bekal dalam
perjalanan. Kemudian pengertian yang dibiasakan tersebut berubah, sehingga Sabilillah diartikan
anak pungut yang tidak mempunyai keluarga, maka nas-nas hukum tersebut tetap dirtikan
kepada pengertian ‘urf pertama, yaitu yang berlaku pada waktu kelurnya nas tersebut, karena
pengertian tersebut itulah yang dikehendaki oleh Syara’, sedang pengertian-pengertian yang tibul
sesudah keluarnya nas tidak menjadi pertimbangan. Oleh karena itu Ibnu Nujaim berkata sebagai
berikut :

ِ ‫ُرف الطَّا ِر‬


‫ئ‬ ِ ‫ك قَالُوْ ا الَ ِع ْب َرةَ بِ ْلع‬
َ ِ‫ق ُدوْ نَ ْال ُمتَأ َ ِخ ِر َولِ َذل‬
ُ ِ‫اَ ْلعُرْ فُ الَّ ِذىْ تَ َح َّم َل َعلَ ْي ِه ْاالَ ْلفَاظُ اِنَّ َما هُ َو ْال ُمقَا ِرنُ السَّاب‬

“’Urf yang menjadi dasar kata-kata ialah ‘urf yang menyertai dan mendahului, bukan ‘urf yang
datang kemudian. Oleh karena itu para fuqaha mengatakan: “Tidak ada pertimbangan terhadap
‘urf yang datang kemudian”.

3. Tidak ada penegasan (nas) yang berlawanan dengan ‘urf.

Penetapan hukum berdasarkan ‘urf dalam hal ini termasuk dalam penetapan berdasrkan
kesimpulan (menurut yang tersirat). Akan tetapi apabila penetapan tersebut berlawana dengan
penegasan, maka hapuslah penetapan tersebut. Oleh karena itu sesuatu peminjaman barang
diabatasi oleh oenegasan orang yang meminjamkan, baik mengenai waktu atau tempat atau
besarnya, meskipun penegasan tersebut berlawanan dengan apa yang telah terbiasa. Jadi kalau
sesorang meminjam kendaraan muatan dari orang lain, maka ia dianggap telah diixinkan untuk
memberinya muatan menurut ukurannya yang biasa. Akan tetapi kalau pemiliknya dengan tegas-
tegas meentukan batas-batasnya sendiri, meskipun berlawanan dengan kebiasaan, maka
peminjam tidak boleh melampaui batas-batas yang telah ditentukan itu.

4. Pemakaian ‘urf tidak akan mengakibatkan dikesampingkannya nas yang pasti dari Syari’at, sebab
nas-nas Syara’ harus didahulukan atas ‘urf. Apabila nas Syara’ tersebut bisa digabungkan dengan
‘urf, maka ‘urf tersebut tetap bisa dipakai.[7]

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

‘Urf bisa dikatakan sebagai suatu perkataan dan perbuatan yang menyangkut kebiasaan yang
sering dilakukan. Macam-macam ‘urf yaitu  dari segi objeknya (Al-‘Urf al-Lafzhi  dan Al-‘urf
al-‘amali), dari segi cakupannya (Al-‘urf al-‘am dan Al-‘urf al-khash), dari segi keabsahannya
dari pandangan syara’ (Al-‘urf al-Shahih dan Al-‘urf al-fasid).
‘Urf dianggap sebagai salah satu sumbar undang-undang, dimana unsur-unsurnya banyak
diambilkan dari hukum-hukum yang berlaku, kemudian dikeluarkan dalam bentuk pasal-pasal
dalam undang-undang. Syarat ‘Urf sebagai sumber hukum islam yaitu, ‘urf harus berlaku terus
menerus atau kebanyakannya berlaku, ‘urf yang dijadidkan sumber hukum bagi sesuatu tindakan
harus terdapat pada waktu diadaknnya tindakan tersebut, tidak ada penegasan (nas) yang
berlawanan dengan ‘urf, pemakaian ‘urf tidak akan mengakibatkan dikesampingkannya nas yang
pasti dari Syari’at.

DAFTAR PUSTAKA

 [1] Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta, Sinar Grafika Offset, 2010).

[2] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta, PT Bulan Bintang, 1995).

MATERI ISTIHSAN

Makalah istihsan

BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG

            Sumber hukum islam yang disepakati ulama’ adalah al Qur’an, Hadits, Ijma’. Qiyas.
Jumhur ulama’ menyepakati keempat sumber hukum ini. Namun demikian masih terdapat
beberapa ulama’ yang tidak sepakat terhadap kehujjahan qiyas dengan beberapa alasan.

            Seiring perjalan waktu, perkembangan teknologi dan pengetahuan begitu pesat terjadi,
sehingga muncul banyak permasalahan-permasalahan baru yang terkadang tidak cukup dengan
keempat sumber hukum di atas. Atas dasar demikian muncul setelahnya beberapa
metode istinbath hukum yang pada kelanjutannya diklaim sebagai sumber hukum yang
dipercaya. Kemunculan sumber hukum yang baru tidak serta-merta diterima keabsahannya,
sehingga tidak heran pro dan kontra tetap bermunculan bahkan hingga saat ini. Terlepas dari pro
konta yang terjadi, jika melihat dari situasi dan kondisi masa ini modifikasi terhadap hukum
islam merupakan sebuah keniscayaan.

            Di antara sumber hukum yang baru itu adalah istihsan. Istihsan yang merupakan dalil
syariat yang prinsip dasarnya adalah kebaikan untuk umat, tentunya sangat dibutuhkan untuk
setidaknya meredam permasalahan-permasalahan baru yang terjadi. Karena jika tetap berpegang
pada sumber hukum yang empat dengan fanatisme buta, otomatis agama akan ditinggalkan
karena tidak bisa mewadahi permasalahan-permasalahan baru yang terjadi.

            Metode yang ditawarkan istihsan cukup konflek kendati tetap membutuhkan
pengembangan-pengembangan yang signifikan. Jamal Ma’mur Asmani misalnya memandang
bahwa istihsan merupakan keniscayaan untuk menerapkannya pada masa ini, hal itu mencakup
seluruh bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya) tentunya dengan
modifikasi-modifikasi yang tidak bertentangan dengan syariat agama.

Dalam makalah sederhana ini, penulis akan membahas tentang istihsan, hal itu terkait dengan
definisi dan pro kontra yang terjadi terhadapnya. Tidak ketinggalan pula kita akan mengkaji
tentang pentingnya istihsan dalam kehidupan sekarang ini, yang mana kita temukan banyak
sekali permasalahan-permasalahan kontemporer yang membutuhkan ijtihad hukum yang baru.

            Ternyata tidak semua persoalan yang dijumpai masyarakat islam ketika itu dapat
diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan dengan pemikiran
dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan para sahabat. Inilah
yang kemudian dikenal dengan sunnah Rasul. Memang al-Qur’an hanya memuat perinsip-
perinsip dasar dan tidak menjelaskan segala sesuatu secara rinci. Perinciannya khusus dalam
masalah ibadat, diberikan oleh hadist. Sedangkan dalam bidang muamalat, perinsip-perinsip
dasar itu, yang belum dijelaskan oleh Rasulullah SAW diserahkan kepada ummat untuk
mengaturnya.
            Dengan demikian persoalan yang belum ada nasnya dalam al-Qur’an dan Hadist, para
ulama mencoba memberikan solusi atau di istimbatkan hukumnya dengan berbagi metode,
walaupun metode dalam berijtihad berbeda satu sama lain, ada yang memakai metode misalnya
Istihsan tetapi ulama lain menolaknya. Dalam makalah ini akan dibahas tentang persoalan
metode berijtihad oleh para ulama, namun dalam makalah ini pembahasan cukup difokuskan
pada persoalan berijtihad dengan Istihsan.

B.       RUMUSAN MASALAH


Bertitik tolak dari latar belakang, maka rumusan masalah dari makalah ini yang dapat
dirumuskan ialah:
1.      Apa saja definisi-definisi tentang Istihsan?
2.      Bagaimana bentuk/macam-macam dari istihsan?
3.      Bagaimana kehujjahan Istihsan?
4.      Bagaimana dasar hukum Istihsan?

C.      TUJUAN
Makalah Istihsan ini memiliki beberapa tujuan, yakni:
1.      Untuk menginformasikan kepada Mahasiswa tentang gambaran umum/penjelasan tentang
definisi-definisi istihsan
2.      Untuk memperdalam ilmu Ushl fiqh, maka makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi
sederhana terhadap salah satu bagian dari materi ushl fiqh
3.      Sebagai bahan tinjauan di masa yang akan datang.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN ISTISHAN


1.      Menurut Bahasa artinya menganggap sesuatu itu baik, memperhitungkan sesuatu lebih baik,
mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang lebih baik untuk diikuti,karena memang di
suruh untuk itu.
2.      Menurut Istilah ulama ushul fiqih adalah berpalingnya seseorang mujtahiddari tuntutan qiyas
yang jali (nyata) kepada tuntutan kiyas yang khafi(samar)atau dari hukum kulli (umum) kepada
hukum istitnainy (pengecualian) ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan
memenangkan perpalingan ini
3.      Imam al-bazdawi (400-482 H/1010-1059 M), salah seorang ahli mazhab hanafi menulis: istihsan
adalah berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas
berdasarkan dalil yang labih kuat.
4.      Adapun As-Sarakhsi (1090 M), menyatakan: istihsan itu berarti meninggalkan qiyas dan
mengamalkan yang lebih kuat dari itu karena adanya dalil yang lebih kuat dari itu, karena adanya
dalil yang meng hendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Secara etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu” tidak ada
perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal istihsan. Adapun
pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf

‫ذ‬ŠŠ‫ه ه‬ŠŠ‫ع لدي‬Š‫ه رج‬ŠŠ‫دع فى اقل‬ŠŠ‫نائي انق‬ŠŠ‫اس خفى او عن حكم كلى الى حكم استس‬ŠŠ‫نى قي‬ŠŠ‫اس جلى الى مقتص‬ŠŠ‫هو عدول المجتهد عن قي‬
‫العدول‬

  “Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas)
kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada
ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu
adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.

    Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:

 Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut ulama
Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan
istihsan, tetapi haram menurut qiyas.
-          Qiyas: wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-
sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang Haid haram
membaca Al-Qur’an.

-          Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena itu, wanita
yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu
wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.

 Pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam (pesanan)
berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat melarang jual beli yang
barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada
akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.

            Definisi istihsan Menurut imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum dari
seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang
diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang
menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.

            Definisi istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil
ruksah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain pada
sebagian kasus tertentu.

            Sementara itu, ibnu anbary, ahli fiqih dari madhab Maliky memberi definisi istihsan
bahwa istihsan adalah memilih menggunakan maslahat juziyyah yang berlawanan dengan qiyas
kully .Istihsan merupakan sumber hukum yang banyak dalam terminology dan istinbath hukum
oleh dua imam madhab, yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi pada dasarnya imam
Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas selama masih dipandang tepat .

            Dari berbagai definisi diatas, dapat difahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu adalah
keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara
umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat
diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.

            Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih
cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal
yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya,
persoalan  khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak
memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai
pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.

B.       MACAM MACAM ISTIHSAN


Istihsan dipandang dari berbagai segi banyak macamnya. Hal ini dapat dilihat dari segi
dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya, dan adakalanya dari segi sandaran atau
dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
1)      Dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya istihsan terbagi
kepada tiga:
a)      Berpindah dari apa yang dituntut oleh qiyas zahir (jali) kepada yang dikehendaki oleh
qiyaskhafi. Artinya pentarjihan qiyas Khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jali (nyata) karena ada
suatu dalil.
            Contoh: Fuqaha Hanafiyah menyebutkan, bahwa seorang pewakaf apabila mewakafkan
sebidang tanah pertanian, maka masuk pula secara otomastis hak pengairan (irigasi), hak air
minum, hak lewat ke dalam wakaf, tanpa harus menyebutkannya, berdasarkan istihsan.
            Menurut qiyas, semuanya itu tidak termasuk kecuali bila terdapat nash yang
menyebutkannya sebagaimana jual beli. Segi istihsan ialah: bahwasanya yang menjadi tujuan
dari wakaf adalah pemanfaatan sesuatu yang diwakafkan kepada mereka. Pemanfaatan tanah
pertanian tidak akan ada kecuali dengan meminum airnya, saluran airnya, dan jalannya. Oleh
karena itu, hal-hal tersebut juga termasuk dalam wakaf meskipun tanpa menyebutkannya. Karena
tujuan tersebut tidak akan terealisir kecuali dengan hal-hal itu, sebagaimana sewa menyewa.
            Qiyas yang nyata adalah menyamakan wakaf dengan jual beli, karena masing-masing
dari wakaf dan jual beli merupakan pengeluaran hak milik dari pemiliknya. Sedangkan qiyas
yang khafi  menyamakan wakaf ini dengan sewa-menyewa, karena masing-masing dari
keduanya dimaksudkan untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu pengairan, air minum, dan jalan
masuk di dalam wakaf tanah, tanpa harus menyebutkannya.

b)      Berpindah dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus.
Contoh: tidak memotong tangan pencuri di waktu paceklik, yang menurut pemahaman umum
terhadap ayat al-Qur’an (QS. Al-Maidah: 37) apabila seorang melakukan pencurian dan
memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman potong tangan, maka berlaku baginya hukuman
potong. Namun, bila pencurian itu dilakukan pada masa paceklik, maka hukuman potong tangan
yang bersifat umum itu tidak diberlakukan, karena dalam kasus ini berlaku hukum khusus.
c)      Pengecualian juziyyah (kasuistik) dari suatu hukum kulli (umum) dengan adanya suatu dalil.

Contoh: Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang


sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk
seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kulli. Tetapi syara’ memberikan
rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan
dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara
pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas
perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada salam itu merupakan pengecualian
(istitsna) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz’i, karena keadaan memerlukan dan
telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.

2)      Ditinjau  dari segi sandaran atau dalil yang menjadi dasar dalam peralihan dari qiyas, maka
istihsan ada enam macam:
a)      Itihsan yang sandarannya nash. Dalam bentuk ini ketentuan umum dan qiyas tidak digunakan
dan untuk selanjutnya yang digunakan adalah nash yang mengatur pengecualian itu. Seperti,
menghukumkan tetap sah puasa orang yang makan atau minum karena terlupa. Hal ini
berlandaskan kepada hadits Nabi saw: “Siapa saja yang makan atau minum karena lupa, maka
janganlah ia berbuka, karena itu merupakan rizki yang dianugerahkan Allah.” Imam Abu
Hanifah berkomentar terhadap kasus ini:  “Andaikata tiada nash yang tidak membatalkan puasa
lantaran makan dan minum karena lupa, tentulah saya memandang batal puasa itu karena sudah
rusak satu rukunnya yaitu menahan diri dari segala yang merusak puasa”.
b)      Istihsan yang sandarannya Ijma’. Yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu
persoalan karena ada ijma’. Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang
berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam
dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia, yang sebenarnya berlawanan dengan dasar-dasar
pokok yang ditetapkan. Misalnya, ketetapan ijma’ tentang sahnya akad istihshna’( pesanan ).
Menurut qiyas semestinya akad itu batal sebab barang yang diakadkan belum ada. Akan tatapi,
masyarakat seluruhnya telah melakukannya, maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau urf am
(tradisi) yang dapat mengalahkan dalil qiyas.
c)      Itihsan yang sandarannya adalah urf (adat). Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan
dengan ketentuan qiyas, karena adanya urf yang sudah yang sudah dipraktikkan dan dikenal baik
dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan
kaedah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas berapa lama seseorang mandi dan berapa
jumlah air yang dipakai, akan tetapi apabila hal ini dilakukan maka akan menyulitkan orang
banyak. Oleh sebab itu secara istihsan boleh mempergunakan jasa pemandian umum sekalipun
tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang dipakainya, karena sudah berlaku umum
dalam masyarakat.
d)     Istihsan karena darurat. Yaitu istihsan yang disebabkan karena adanya dlarurat (terpaksa) karena
adanya suatu masalah yang mendorong mujtahid untuk meninggalakan dalil qiyas. Seperti
apabila saksi-saksi yang telah meninggal atau yang jauh dari tempat atau karena tidak sanggup
menghadiri sidang majlis, padahal menurut asal hukum kesaksian itu harus yang melihat dengan
mata kepala sendiri, dibolehkan menggunakan kesaksian orang lain.
e)      Istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi, yang pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih
tinggi dibanding qiyas jali. Contoh:   sisa minum burung elang, gagak, dan sebagainya adalah
suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan melalui sitihsan. Menurut qiyas jali sisa minum
binatang buas seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa
minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu karena langsung meminum dengan
mulutnya diqiyaskan kepada dagingnya. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda
mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut biantang buas terdiri dari daging yang haram
dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri dari tulang atau zat tanduk,
dan tulang dan zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak
bertemu dengan daging dan air liurnya karena diantarai oleh paruhnya.
f)       Istihsan yang sandarannya maslahah. Misalnya, kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam
proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi,
dalam keadaan tertentu seorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya. Maka
untuk kemaslahatan orang tersebut, menurut kaidah istihan seorang dokter dibolehkan melihat
aurat wanita yang berobat kepadanya.
3)      Ulama ushul dari kalangan malikiyah dikenal pula istihsan yang dalam prakteknya dinamai
dengan istislah. Dari hal ini mereka membagi istihsan kepada tiga macam:
a)      Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan urf (kebiasaan). Misalnya,
seseorang bersumpah tidak akan memakan daging, lalu ia memakan daging ikan, maka ia tidak
dinamakan melanggar sumpah meskipun ikan itu dalam al-Qur’an termasuk dalam daging. hal
ini terlihat dalam firman Allah: ‫( ومن كل تأكلون لحما طريا‬dan dari semua yang kamu makan berupa
daging yang lembut). Alasannya adalah karena dalam urf yang berlaku dalam ucapan sehari-hari,
ikan tidak termasuk daging.
b)      Meninggalkan dalil yang biasa digunakan, dan beramal dengan cara lain karena pertimbangan
kemaslahatan manusia. Misalnya, tanggungjawab mitra dari tukang yang membantu
memperbaiki suatu barang yang diperbaikinya itu rusak di tangannya. Berdasarkan qiyas, ia tidak
perlu mengganti karena kerusakan barang itu di waktu ia membantu bekerja. Namun berdasarkan
istihsan ia harus mengganti barang tersebut demi menjaga kemaslahatan, yaitu memelihara dan
menjaga harta orang laian.
c)      Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan memberi
kemudahan kepada umat. Misalnya, adanya sedikit kelebihan dalam menakar sesuatu dalam
ukuran yang bnayak. Tindakan ini dibenarkan meskipun menurut ketentuan yang berlaku kalau
menakar itu harus tepat (pas) sesuai standar takaran yang berlaku. 

C.      DASAR HUKUM ISTIHSAN


            Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah
yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan)
seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18
‫ واولئك هم اولو االلبابز‬. ‫اولئك الذين هدهم هللا‬. ‫الذين يستمعون القول فيتبعون احسنه‬
Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka
Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)
            Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih
dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu
yang disyariatkan oleh Allah.
‫واتبعوا احسن ما انزل اليكم من ربكم‬
Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar :55)
            Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik,
dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah
hujjah.
Hadits Nabi saw:
.ٌ‫فَ َما َرأَى ْال ُم ْسلِ ُمونَ َح َسنًا فَهُ َو ِع ْن َد هَّللا ِ َح َس ٌن َو َما َرأَوْ ا َسيِّئًا فَهُ َو ِع ْن َد هَّللا ِ َسيِّئ‬
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi
Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah
adalah buruk pula”.

            Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan
akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
           
D.      KEHUJJAHAN ISTIHSAN
Ada tiga golongan ulama dalam menanggapi istihsan ini apakah merupakan dalil hukum
syara’ atau tidak:
Pertama, jumhur ulama ushul Fiqh dari mazhab Maliki, Hanafi, dan sebagian besar
Hanbali menyatakan bahwa istihan adalah salah satu dalil syara’ yang menetapkan suatu hukum
yang berlawanan dengan apa yang diwajibkan oleh qiyas, atau umunya nash.Terutama
Hanafiyah sangat mengutamakan istihsan yang dianggap lebih kuat dan memiliki dalil, serta
meninggalkan qiyas. Hal ini terlihat dalam ungkapan Abu Hanifah: ‫ وندع القيـــاس‬،‫( نستحسن هذا‬kami
memakai istihsan untuk hal ini, dan meninggalkan qiyas). Ucapan Abu Hanifah ini diperkuat
oleh Abu Al-Khattab dengan ungkapannya : “Saya menolak istihsan tanpa delil, dan
menerimanya apabila ada dalil yang jelas dan meninggalkan qiyas”.Abu Hanifah banyak
menetapkan hukum dengan istihsan, tetapi ia tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan
dari istihsan yang dilakukannya itu. Oleh karena itu dia dikatakan menetapkan hukum hanya
menurut kemauannya saja tanpa memakai metode. Asal sudah dipandang baik sudah bisa
menjadi dasar penetapan hukum, karena demikianlah arti yang ditunjukkan oleh kata  isthsan itu.
Banyak fuqaha yang tidak mengetahui hakikat  istihsan  yang dipraktekkan oleh Abu Hanifah,
dan karena itu menurut Husain Hamid Hassan, berpegangnya Abu Hanifah kepada isthsan
menjadi sumber kritikan terhadapnya. Malah sampai kepada mencelanya sebagai orang yang
tidak mengetahui fiqh dan meragukan kewarakannya.
Setelah timbul kritikan-kritikan itu, maka para sahabat dan murid Abu Hanifah berusaha
menjelaskan pengertian dan rumusan istihsan yang banyak dilakukan oleh imam mereka. Di
antara mereka adalah Imam As-Syarkhasi,  yang mengarang sebuah kitab terkenal yang menjadi
rujukan bagi pengikut mazhab Hanafi, bernama “Ushul al-Syarkhasi”. Mereka berusaha
menjelaskan bahwa sesungguhnya isthsan itu tidak keluar dari dalil-dalil syarak. mereka
mengatakan bahwa hakikat istihsan adalah dua macam qiyas. Pertama, qiyas jaly tapi lemah
pengaruhnya, inilah yang dinamakan dengan qiyas. Kedua, qiyas khafi tapi pengaruhnya kuat,
inilah yang dinamakan dengan istihsan, oleh karena itu dalam dua hal ini yang dipandang adalah
pengaruhnya, bukan jelas atau tidaknya qiyas. Pengaruh yang lebih kuat itulah yang
menyebabkan Hanafiyah, Malikiyah dan sebagain Hanabilah lebih mengutamakan istihsan
daripada qiyas. Atau dengan perkataan lain, pengutamaan istihsan daripada qiyas semata-mata
didasarkan kepada pengaruh hukumnya, bukan didasarkan pada khafi atau jali-nya bentuk qiyas.
Bagi Hanafiyah dan Malikiyah pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang
berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya
berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan qiyas yang jelas, karena adanya beberapa
faktor yang memenangkannya yang membuat tenang hati si Mujtahid. Sedangkan bentuk yang
kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang pengecualian kasuistis dari
hukum kulli (umum), dan ini juga disebut dengan segi istihsan.
Adapun dalil yang dipegang oleh ulama yang meyakini istihsan sebagai dalil hukum
adalah:
....ُ‫ي الَّ ِذ ْينَ يَ ْستَ ِمعُوْ نَ ْالقَوْ َل فَيَتَّبِعُوْ نَ أَحْ َسنَه‬
َ ‫ فَبَ ِّشرْ ِعبا َ ِد‬       -
”Berilah kabar gembira kepada hamba-hambaKu yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti
apa yang paling baik di antaranya....” (QS. Az-Zumar: 18)
.....‫ وأمر قومك يأخذوا بأحسنـــــها‬        -
“Suruhlah kaummu (Musa) berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-
baiknya...”(QS. Al-A’raaf: 145)
..‫ يريد هللا بكم اليسر وال يريد بكم العسر‬        -
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...”(Qs.
Albaqarah: 185)
‫ ما رآه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن‬       -
“ Sesuatu yang di pandang baik oleh umat islam, maka ia dihadapan allah juga baik” (HR.
Ahmad ibn Hanbal)
Kedua, kelompok yang menolak istihsan sebagai dalil syara’ dan menyatakan bahwa
istihsan adalah menetapkan hukum dengan keinginan hawa nafsu semata. Kelompok yang
menolak istihsan sebagai dalil hukum ini adalah Imam Syafi’i dan pengikutnya, kelompok
zahiriyah, Mu’tazilah, dan Ulama Syi’ah qathibah. Imam Syafi’i  merupakan ulama yang sangat
keras mengeritik isthsan tersebut. Kritikannya ini terlihat jelas dalam ungkapannya: ‫من استحسن فقد‬
‫“شرع‬Siapa yang memakai istihsan maka telah membuat sendiri hukum syara’..”. Oleh karena itu
bagi Syafi’i memakai istihsan dalam istinbath hukum adalah haram apabila dia bertentangan
dengan khabar yang ada di dalam al-Qur’an dan hadits.  Dalam buku Risalah Ushuliyah
karangan Imam Syafi’i dinyatakan: “perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti
orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut sitihsan bahwa arah
itu adalah arah ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah
ka’bah itu.” Setelah Imam Syafi’i mengkritik Hanafi dan pengikutnya, lalu diikuti oleh Ulama
dari ahli Theologi, mereka mengatakan bahwa bahwa istihsan adalah dalil yang rusak  dan tidak
bisa digunakan sebagai metode mengistinbathkan hukum.

Adapun landasan mereka mengkritik dan menolak dalil istihsan adalah:

a.       Tidak boleh membuat sebuah hukum kecuali dengan nash atau dengan yang diqiyaskan dengan
nash, karena hal terebut berarti membuat hukum syara’ dengan keinginan hawa nafsu. Allah Swt
berfirman: ‫وائهم‬ŠŠ‫ع أه‬ŠŠ‫زل هللا وال تتب‬ŠŠ‫ا أن‬ŠŠ‫( وأن احكم بينهم بم‬dan hendaklah kamu memutuskan perkara di
antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka...(QS. Al-Maidah: 49).
b.      Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. tidak pernah berfatwa dengan menggunakan istihsan, akan
tetapi dia menunggu hingga wahyu turun, walaupun sekiranya dia beristihsan itu adalah benar,
karena dia berbicara bukan karena kehendak hawa nafsu.
c.       Istihsan itu dasarnya adalah akal, akal itu ada yang pintar ada yang bodoh, kalau sekiranya
seseorang boleh beristihsan, berarti setiap orang boleh menetapkan hukum syara’ yang baru
untuk dirinya sendiri.
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian
istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat mazhab
Hanafi  berbeda dari istihsan menurut pendapat mazhab Syafi’i dan dan lainnya. Menurut
mazhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan
berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut mazhab Syafi’i dan dan yang lainnya istihsan itu
timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.

Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian


yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu Al-Syathibi dalam
bukunya Al-Muwaafaqaat menengahi kedua kubu ini dalam ungkapannya: “Orang yang
menetapkan hukum berdasarkn istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata,
akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan
Allah swt. menciptakan syara’ dan sesuai  pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum.”

kelompok ketiga, menyatakan bahwa istihsan memang merupakan dalil hukum syara’,
akan tetapi dia bukan dalil yang berdiri sendiri, akan tetapi dia menopang kepada dalil syara’
yang lain, karena kerjanya adalah menguatkan qiyas yang ada atau beramal dengan urf, atau
dengan maslahah. Pendapat ini dipegang oleh Al-Syaukani. Hal ini terlihat dalam ungkapannya:
“Istihsan merupakan dalil syara’ yang tidak berdiri sendiri, yang pada dasarnya tidak memiliki
manfaat, karena dia hanya menegaskan dalil yara’ yang telah ada sebelumya, ketika dia keluar
dari dalil syara’ yang ada itu maka dia tidak bisa dijadikan dalil hukum lagi.”
Menurut hemat penulis walaupun istihsan bukan suatu dalil yang berdiri sendiri, namun
ia menyingkapkan jalan yang ditempuh sebagian ulama mujtahid dalam menetapkan dalil-dalil
syara’ dan kaedah-kaedahnya ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan kenyataan yang
berkembang dalam masyarakat. Hal ini untuk menghindari kesulitan dan kemudaratan serta
menghasilkan kemanfaatan dengan cara menetapkan dasar-dasar syariat dan sunber-sumbernya.

E.    Relevansi Istihsan di Masa Kini dan Mendatang


Seperti yang telah dijelaskan bahwa istihsan itu digunakan oleh sekelompok ulama
karena dalam menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu merasa kurang puas jika
menggunakan pendekatan yang berlaku secara konvesional, seperti dengan menggunakan qiyas
jali atau dalil umum menurut cara-cara biasa dilakukan. Dengan cara konvesional itu, ketentuan
hukum yang dihasilkan kurang (tidak) mendatangkan kemaslahatan yang diharapkan dari
penetapan hukum. Dalam keadaan demikian, si mujtahid menggunakan dalil atau pendekatan
yang konvesional tersebut. Pendekatan yang mereka lakukan adalah dalam bentuk ijtihad yang
mereka lakukan adalah dalam bentuk ijtihad yang disebut istihsan.
Istihsan adalah suatu dalil yang terkuat menunjukkan bahwa hukum-hukum Islam adalah
suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat yang diistilahkan sebagai fiqh waq’i bukan
suatu fiqh khayali yang merupakan fiqh bayangan sebagai yang digambarkan oleh sebagian
oarang yang tidak mengetahui hakikat fiqh Islam atau ingin menjauhkan manusia daripadanya.
Dewasa ini dan lebih-lebih lagi pada masa yang akan datang permasalahan kehidupan
manusia akan semakin berkembang dan semakin komplek, permasalahan itu harus dihadapi umat
islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari segi hukum islam. Kalau hanya
semata mengandalkan pendekatan dengan cara atau metode lama (konvesional) yang digunakan
oleh ulama terdahulu untuk menghadapinya, mungkin tidak akan mampu menyelesaikan semua
permasalahan tersebut dengan baik (tepat). Karena itu, si mujtahid harus mampu menemukan
pendekatan atau dalil alternatif di luar pendekatan lama. Oleh karena itu kecendrungan untuk
menggunakan istihsan akan semakin kuat karena kuatnya dorongan dari tantangan persoalan
hukum yang berkembang dalam kehidupan manusia yang semakin cepat berkembang dan
semakin kompleks. Dengan menggunakan dasar istihsan, kita dapat menghadapi masalah
perbankan yang telah menjadi masalah yang sangat penting dalam masalah ekonomi.
Permasalahannya ialah Jika seseorang mendepositokan uangnya di bank, bolehkah ia
menerima bunga depositonya? Apakah bunga deposito itu sama. dengan riba? Ketika kita
bertanya kepada ulama yang, dari golongan apa saja. Ada tiga kemungkinan jawaban: boleh,
tidak boleh, tidak tahu. Anehnya bila golongan yang ditanya --Muhammadiyah, Persis, NU
jawabannya satu. Semua golongan itu sepakat (ijma') untuk menyimpan uangnya di bank dan
memanfaatkan bunganya, tentu saja bagi kepentingan umat Islam. Bila diminta fatwa lisan atau
tulisan, verba non acta, sekali lagi jawabannya akan beragam. Kebanyakan di antara umat Islam
masih belum mendapat jawaban yang tegas dan memuaskan.
Ulama yang ditanya itu memang mengalami kesulitan dalam menetapkan status
hukumnya. Deposito dan bunganya tidak dikenal di zaman Rasulullah saw. Mereka tidak
menemukan nash --teks al-Qur'an atau Hadits-- yang menerangkan ketentuan hukum untuk
deposito. Ada memang ketentuan tentang riba, tapi apakah riba sama dengan bunga deposito?
Kesulitan seperti itu telah dihadapi para ulama sepanjang sejarah. Yang kita sebut syari'at pada
mulanya hanya menyangkut masalah keluarga, perdagangan yang sederhana dan hukum pidana.
Ketika Islam bertemu dengan peradaban-peradaban lain, apa yang tercakup dalam syari'at
menjadi lebih luas. Permasalahan lain yang yang membutuhkan istihsan pada saat ini seperti
Arisan, Koperasi, Transaksi lewat ATM, menanam investasi, Demokrasi dan sebagainya.

F.     ALASAN ULAMA SYAFI’IYAH DAN SEPAHAMNYA YANG MENOLAK ISTIHSAN


SEBAGAI DALIL
Ulama Syafi’iyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai istihsan. Menururt Imam
Syafi’i dengan qaulnya yang mashur, bahwa” barang siapa yng berhujjah dengan istihsan maka
ia telah membuat sendiri hukum syara”.
Imam syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan istihsan, berarti telah menentukan syariat
baru, sedangkan yang berhak membuat syariat itu hanyalah Allah SWT.dari sinilah terlihat
bahwa Imam Syafi’i beserta pengikutnya cukup keras dalam menolak masalah istihsan ini.
Alasan alasan Syafi'i menolak istihsan:
Mengambil Istihsan sebagai hujjah agama artinya tidak berhukum dengan nash. Orang yang
melakukan istihsan berarti dalam keadaan "suda", yaitu menetapkan hukum dengan menyalahi al
Qur'an dan sunnah.
a.       Melakukan istihsan berarti menentang ayat ayat al Qur'an yang memerintahkan agar mengikuti
wahyu dan menetapkan hukum sesuai dengan kebenaran (al haq) yang diturunkan Allah dan
mengikuti hawa nafsu.
b.      Rosulullah mengingkari hukum yang diterapkan shohabat yang mendasarkan dengan istihsan,
yaitu mereka membunuh laki laki yang melekat pada pohon.
c.       Istihsan adalah menetapkan hukum berdasar maslahah. Jika maslahah itu sesuai dalam nash
dibolehkan, tetapi maslahah yang dijadikan pedoman dalam istihsan adalan maslahah menurut
para ulama'.
d.      Rosulullah SAW ketika menghukumi persoalan yang belum ada dalam al Qur'an tidak
menggunakan istihsan, melainkan menunggu turunnya wahyu.

G.      RELEVANSI ISTIHSAN DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM


            Pembaharuan hukum Islam merupakan usaha menetapkan hukum yang mampu
menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan cara menjadikan perkembangan baru itu sebagai
pertimbangan hukum agar hukum tersebut betul-betul mampu merealisasi tujuan syariat dan
selalu berpedoman pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar yang dibawa al-Qur‟an dan Hadits.
Jadi pembaharuan hukum Islam bukan berarti menetapkan hukum Islam yang mampu menjawab
permasalahan dan perkembangan baru secara sembarangan tanpa pedoman dan batasan.
            Istihsan meskipun bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, namun dia menyingkap
jalan yang ditempuh sebagian mujtahidin dalam menerapkan dalil-dalil syara‟ dan kaidah-
kaidahnya ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan kenyataan yang berkembang di dalam
masyarakat. Hal ini untuk menghilangkan kesulitan dan kemudharatan serta menghasilkan
kemanfaatan dengan jalan menerapkan dasar-dasar syariat dan sumber-sumbernya.
            Istihsan pada hakikatnya dapat merombak hukum lama yang ditetapkan dengan qiyas,
atau dengan kata lain, hukum yang ditetapkan dengan istihsan berbeda dengan hukum lama yang
ditetapkan oleh Qiyas. Dari segi inilah istihsan merupakan suatu metode istinbat hukum yang
sangat relevan dengan pembaharuan hukum Islam. Karena istihsan berupaya melepaskan diri
dari kekakuan hukum yang dihasilkan Qiyas.
            Salah satu contoh kasus kontemporer yang dapat diangkat yaitu masalah transplantasi
organ tubuh untuk kepentingan pengobatan. Meskipun ada ketentuan umum yang melarang
menyakiti tubuh seseorang, termasuk jenazah, namun dalil yang menyuruh manusia untuk
berobat rasanya lebih baik untuk diikuti. Dalam hal inipun pendekatan istihsan rasanya lebih
tepat untuk dilaksanakan.
BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN

1.      Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum
tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih
menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya, persoalan  khusus yang
seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan
tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan
umum atau ketentuan yang sudah jelas.
2.      Istihsan dipandang dari berbagai segi banyak macamnya. Hal ini dapat dilihat dari segi dalil
yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya, dan adakalanya dari segi sandaran atau
dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
a.       Dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya istihsan.
b.      Ditinjau  dari segi sandaran atau dalil yang menjadi dasar dalam peralihan dari qiyas
c.       Ulama ushul dari kalangan malikiyah dikenal pula istihsan yang dalam prakteknya dinamai
dengan istislah
3.      Hadits Nabi saw:
.ٌ‫فَ َما َرأَى ْال ُم ْسلِ ُمونَ َح َسنًا فَهُ َو ِع ْن َد هَّللا ِ َح َس ٌن َو َما َرأَوْ ا َسيِّئًا فَهُ َو ِع ْن َد هَّللا ِ َسيِّئ‬
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi
Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah
adalah buruk pula”.

      Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-
sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku :
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Pustak Firdaus :Jakarta, 1999
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, : Jakarta: Logos, 2001
Abdul Wahab Khalaf, “Ilmu Ushul al-fikih ,Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah, cetakan VIII,thn
1991
Akses Internet :
http://ilmupengetahuancoy.blogspot.com/2013/05/al-istihsan-sebagai-dalil-hukum.html
http://nashihuddinyatamu.wordpress.com/2012/12/09/makalah-istihsan-istishab-dan-maslahah-
mursalah/
http://al-badar.net/pengertian-dan-kedudukan-istihsan-sebagai-hukum/

Anda mungkin juga menyukai