PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pembagian hukum syara’, Ushul Fiqh membagi hukum syara’ menjadi dua,
yaitu hukum taklif’i dan hukum wad’i.Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang
hukum wadh’i beserta macam-macamnya.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
Hukum Wadh’i ialah hokum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab
untuk sesuatu atau syarat baginya atau syarat baginya atau penghalang terhadap
sesuatu.
Hukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara
dua sebab (sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati
(masyrut), antara penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara
hukum yang sah dan hukum yang tidak sah.
Hukum ini dinamakan hukum wadh’i karena dalam hukum tersebut terdapat dua
hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat,
syarat, dan lain-lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wad’i
adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-
sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai
sesuatu yang sah (shahîh), rusak atau batal (fasid), ‘azimah atau rukhshah.
Jadi, Hukum wadh’i adalah Hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
yang berkaitan dengan sebab akibat, syarat, mani’, shah dan batal, sekaligus
azimah dan rukhsah.
B. MACAM-MACAM HUKUM WADH’I
Hukum Wadh’i terbagi menjadi lima macam yaitu sebab, syarat, mani, rukhsah
dan azimah, sah dan batal.
1) Sebab (As-Sabab)
Sabab yang dalam bahasa Indonesia disebut “sebab”, secara etimologis, artinya
adalah “sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan. “dari
kata inilah dinamakan “jalan”, itu sebagai sabab, karena “jalan” bisa
menyampaikan seseorang kepada tujuan.
Semua tanda yang melahirkan hukum dan apabila hubungan antara tanda dan
ketentuan hukum nampak jelas tanda itu memang cocok dijadikan sebab lahirnya
hukum yang dinamakan ”illat”. Tetapi apabila hubungan antara tanda dan
ketentuan hukum kurang jelas dan kurang cocok yang seperti ini dinamakan
sebab.
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwasanya sebab adalah sesuatu yang
keberadaannya dijadikan Syari’ sebagai pertanda keberadaan suatu hokum dan
ketiadaan sebab sebagai pertanda tidak adanya hukum.
Sebab yang diterangkan di atas garis besarnya ada dua macam, sebab yang tidak
termasuk perbuatan mukallaf dan yang berasal dari perbuatan mukallaf.
Sebab yang berasal dari bukan perbuatan mukallaf seperti tibanya waktu shalat
dan menimbulkan wajib shalat cukup nisab yang menimbulkan wajib
mengeluarkan zakat,timbul bulan awal Ramadhan yang menyebabkan wajib
puasa, syirik yang menyebabkan haram kawin, sakit yang menyebabkan buka
puasa pada bulan Ramadhan, keluarga yang menjadi sebab lahirnya hak waris,
perkawinan yang menjadi sebab kebolehan talak dan balig yang menjadi sebab
sahnya tindakan.
Dilihat dari segi pengaruh yang ditimbulkan, maka al-sabab dapat dibagi menjadi
dua macam, yaitu:
1. Al-Sabab al waqti. Sebagai contoh, masuknya waktu salat yang dijadikan Syari’
sebagai al-sabab adanya kewajiban salat. Allah SWT berfirman:
Artinya:
Artinya:
“Setiap yang memabukkan itu adalah haram” (H.R Muslim, Ahmad Ibnu Hambal
dan Ashhab Al-Sunan)
2) Syarat
Yang dimaksud dengan syarat ialah apa yang tergantung adanya hukum dengan
adanya syarat dan dengan tidak adanya syarat maka hukum tidak ada. Syarat
letaknya di luar hakikat sesuatu maka apabila ia tidak ada maka masyrut pun tidak
ada tetapi tidak mesti dengan adanya ada juga masyrut.
a) Syarat yang terkandung dalam khitab taklifi yang kadang-kadang dalam bentuk
tuntutan untuk memperbuatnya seperti wudhu dalam shalat. Dan kadang-kadang
dalam bentuk tuntutan untuk tidak memperbuatnya seperti akad nikah tahlil,
ialah nikah yang dilakukan sebagai syarat untuk memperbolehkan suami pertama
menikahi kembali istrinya yang ditalak tiga.
b) Syarat yang terkandung dalam kitab wadh’i. Contohnya haul bagi yang memiliki
harta kekayaan yang cukup nisab menjadi syarat wajib mengeluarkan zakat.
b) Syarat yang ditetapkan tidak cocok dengan maksud perbuatan hukum yang
dimaksud bahkan bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu.
c) Syarat yang tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan hikmah perbuatan
hukum. Syarat yang seperti ini kalau terjadi dalam bidang ibadah tidak berlaku
karena tidak ada seorang juapun yang berhak menetapkan syarat dalam ibadah.
Namun, kalau terjadi dalam bidang muamalah dapat diterima.
3) Mani’
“ Mani’ialah apa yang memastikan adanya tidak ada hukum atau batal sebab
hukum sekalipun menurut syara’ telah terpenuhi syarat dan rukunnya tetapi
karena adanya mani’ (yang mencegah) berlakunya hukum atasnya”.
Atau dengan kata lain apabila terdapat, hukum tidak akan ada atau sebab hukum
menjadi batal sekalipun memenuhi syarat dan rukunnya.
Contohnya seorang ayah yang membunuh anaknya karena yang membunuh itu
adalah ayah yang menjadi mani’ sehingga kepadanya tidak dapat dilaksanakan
hukuman qisas sekalipun sebab lahirnya ketentuan hukum seperti pembunuhan
telah tercapai.
Para ulama dalam kalangan mazab Hanafi membagi mani’ menjadi 5 macam:
a) Mani’ yang menghalangi sahnya sebab hukum seperti menjual orang yang
merdeka. Tidak boleh memperjualbelikan orang yang merdeka, karena orang
yang merdeka bukan termasuk barang yang boleh diperjualbelikan sedang
membeli menjadi sebab berpindahnya hak mi,ik dan membeli menjadi sebab
kebolehan menguasai dan mengambil manfaat dari barang yang dibeli.
c) Mani’ yang menjadi penghalang berlaku hukum seperti khiyar syarat dari
pihak penjualan yang menghalangi pembelian mempergunakan haknya terhadap
barang yang diberinya selama masa khiyar syarat berlaku. Umpamanya di A tidak
boleh dan si B bahwa barang yang dijualnya kepada si B tidak boleh dipergunakan
selama tiga hari karena si A masih pikir-pikir lagi pada masa yang ditetapkan itu
dan kalau pendiriannya berubah dalam masa itu penjualan dibatalkan. Sebelum
syarat berakhir pembeli haknya terhadap barang yang dibelinya.
“ Hukum yang disyriatkan Allah semenjak semula bersifat umum yang bukan
tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan pula berlaku hanya
kepada mukallaf tertentu”.
Jadi azimah merupakan hukum yang ditetapkan semenjak semula tidak berlaku
hanya untuk keadaan atau kasus atau orang tertentu dan bukan pula untuk
tempat dan waktu tertentu. Umpamanya shalat lima waktu diwajibkan setiap
orang, diwajibkan pada semua keadaan asal saja mukallaf dipandang cakap
melakukannya.
“. . . Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. . .” (Q.S. Al
Baqarah: 286)
d) Rukhsah menurut pengertian yang diberikan para ahli ushul ialah hukum
pengecualian dari ketentuan hukum umum.
Lafal ‘sah’ dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban didunia
serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat dikatakan sah karena
telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’ dan perbuatan itu
akan mendatangkan pahala diakhirat. Sebaliknya, lafal ‘batal’ yang dapat diartikan
tidak melepas tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban didunia dan di
akhirat tidak memperoleh pahala.
Secara umum bahwasanya sah adalah perbuatan yang dilakukan mukalaf dengan
memenuhi rukun dan syaratnya, dengan tata cara yang yang di tetapkan syara’,
tanpa ada halangan, dan tujuan dari perbuatan yang ditentukan syara’ tercapai.
Apabila perbuatan tersebut tidak tercapai maka dianggap bathil.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Hukum Wadh’i ialah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab
untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu.
Hukum Wadh’i terbagi menjadi lima macam yaitu sebab, syarat, mani’, rukhsah
dan azimah, sah dan batal.
B. SARAN
Hukum syara’ merupakan kata majemuk dari kata “hukum” dan “syara”. Hukum
secara etimologi(bahasa) berarti “memutuskan, menetapkan, dan
menyelesaikan”. Secara istilah hukum merupakan ‘seperangkat peraturan tentang
tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh suatu negara atau
sekelompok masyarakat,berlaku dan bersifat mengikat untuk seluruh anggota
masyarakatnya.
Kata syara’ secara etimologi berarti “jalan,jalan yang bisa dilalui air”. Maksudnya
adalah jalan yang dilalui manusia menuju Allah SWT, dengan cara beribadah
kepada Nya.
Bila kata hukum di padukan dengan kata syara’ yaitu “hukum Syara’” akan berarti
‘seperangkat peraturan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang
diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama
islam”.
Dalam ilmu ushul fiqh, hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu:
- Hukum Taklifi
- Hukum Wadh’i
A. Hukum Taklifi
Yaitu tuntutan untuk memperbuat secara passti dengan arti harus di perbuat
sehingga orang yang memperbuat patut mendapat ganjaran, dan orang yang
meninggalkan patut mendapat ancaman ALLAH SWT . contohnya sholat, puasa
ramadhan , dan sebagainya .
- Wajib muthlaq
Yaitu kewajiban yang ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak salah
bila waktu pelaksanaannya ditunda sampai ia mampu melaksanakannya.
Contohnya wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan oleh
syara’
- Wajib muaqqad
Yaitu apabila di mintta oleh syar’i memperbuatnya dengan passti , tidak jelas
waktunya untuk melakukannya . seperti kifarat yang di wajibkan bagi orang yang
bersumpah dan yang melanggar sumpah . untuk berbuat ini tidak di jelaskan
waktunya dan orang yang melanggar sumpah yang di langgar . seperti haji, wajib
bagi yang sanggup , kewajiban hajinya tidak dikerjakan secara detail . dan ada
sebagian ulama yang berpendapat bahwa muthlaq ( bebas ) yang pelaksanaanya
tidak di batasi oleh waktu tertentu , sehingga seandainya di laksanakan oleh
waktu tertentu sehingga seandainya dilaksanakan sampai batas akhir masa
kemampuan untul melaksanakan tidak dosa . seperti mangadakan puasa
ramadhan bagi orang yang tidak berpuasa lantaran ada “ udzur “
1. Wajib muwassa’
Yaitu ialah pekerjaan wajib yang diluaskan waktunya yakni waktunya lebih luas
daripada waktu mengerjakannya, contohnya waktu shalat lima waktu, shalat isya
dari petang sampai subuh.
Yaitu kewajiban yang pelaksanaan nya dalam waktu tertentu dan waktunya
mengandung dua sifat di atas yaitu muwassa’ dan mudhayyaq.yaitu waktu
mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya
ibadah haji. Misalnya waktu haji itu ckup lapang dan sesorang bisa melaksanakan
beberapa amalan haji pada waktu itu berkali – kali , tetapi yang di perhitungkan
syara’ hanya satu amalan saja . oarang itu bisa berulang – ulang melakssanankan
amalan haji , tetapi amalan yang beruang itu tidaklah diperhitungkan syara’
sebagai suatu kewajiban . akan tetapi ulama ‘ syfi’iyah berpendapat bahwa waktu
untuk beribadah haji , termaksud dalam waktu wajib almutlaq , karena seseorang
boleh melaksanakan ibadah haji kaoan saja ia mau selama hidupnya
Yaitu sesuatu yang mesti atau harus dikerjakan oleh setiap mukallaf sendiri ,
seperti sholat yang lima waktu , puasa dan sebagainya .
- Wajib kifayah
Yaitu sesuatu yang telah di anggap cukup apabila telah dikerjakan oleh sebagian
dari orang – orang mukallaf . dan berdosalah seluruh jika tidak sesorang pun dari
mereka mengerjakannya, seperti menyolatkan dan menguburkan jenazah.
- Wajib muhaddad
Yaitu apa ada yang dituntut oleh pembuat hukum sesuai perbuatan yang sudah
tertentu artinya subjek hukum baru dinyatakan telah menunaikan tuntuaan bila
sesuatu yang ditentukan itu telah dilaksanakanya dan tidak ada pilihan untuk
pilihan lainya contohnya adalah membayar hutang yang ahrus dibayar kepada
orang yang dihutanginya atau contoh kedua adalah membaca alfatia dalam
sholat.
- Wajib mukhayyar
Yaitu sesuatu yang dituntut oleh pembuat hukum untuk dilaksanakan dengan
memilih salah satu diantara hal yang telah ditentukan, artinya tanggung jawab
dari yang dituntu baru dinyatakan telah terlaksana bila ia telah melakukan satu
piliha dari beberapa kemungkinan yang di tentukan contohnya pilihan diantaraa
dua hal adalah pilihan pembahassan tawaran dan uang tebusan.sebagaiman telah
di tengan oleh Allah SWT dalam ayat Qs. Muhammad : 4 .
- Dari segi selalu dan tidak selalunya nabi melakukan sunah tersebut.sunah
dibagi 2
a. Sunah muakkadah
Yaitu perbuatan yang selalu dilakukan oleh nabi disamping adda keteranga yang
menunjukan bahwa perbuatan ini bukanlah sesuatu yang fardu . misalnya sholat
witir, dua rokaa’at fajar sebelum sholat shubuh. Sebagian ulama menyatakan
bahwa orang yang meninggalkan dicela , tetapi tidak berdosa karena yang
meninggalkan secara sengaja berati menyalahi sunah yang biasa dilakukan nabi.
Yaitu sunnah yang dilakukan oleh nabi tetapi tidak melazimkan dirinya untuk
berbuat demikain seperti sholat sunah 4 rakaat sebelum dsuhur dan sebelum
ashar . adda yang mengartikan bahwa sunah ini tidak dikerjakan oleh rasul secara
kontinyu.
a. Sunah hadyu
Yaitu perbuatan yang di tuntut untuk melakukan karena begitu besar faedah yang
didapt darinya dan orang yang meninggalkan dinyataka sesat dan tercela, bahan
bila satu kelompok kaum sengaja meninggalkan secara terus menerus, maka
kelompok ini harus diperangi . sunah ddalam bentuk ini merupakan kelengkapan
dari kewajiban keagamaan seperti adzan , sholat jamaan , sholat hari raya . jika di
katagorikan sunah ini termaksud kepadda sunaan hari raya. Jika dikatagorika ini
termaksud sunah muakkad karena besar pahalanya
b. Sunah zaidah
Yaitu sunah yang apabila dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik tetapi bila
ditinggalkan, yang meninggalkan tidak mendapat dosa, seperti cara cara yang
biasa dilakukan oleh nabi dalam kehidupan sehari – hari. Sunah zaidah ini
ditempatkannya addalah dibawah derajat sunag ghairul muakkad.
c. Sunah nafal
Sedangkan menurut madzhab hanafi ,hukum haram harus didasarkan pada dalil
qathi yang tidak mengandung keraguan sedikitpun.sehingga kita tidak
mempermudah dalam menetapkan hukum haram,sebgaimna Q.s an-nahl ayat
116.Sedangkan abu hanifah,abu yusuf dan muhamad malah menyebutnya
makruh saja,agar tidak dikatakan haram.
Contoh dari hukum haram yaitu makan bangkai kecuali bangkai ikan,minum
khamr,berzina,membunuh seorang yang diharamkan Allah tanpa ada hak.
Atas dasar tersebut hukum haram ini terbagi menjadi dua yaitu :
- Haram li-dzatih
yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah karena bahaya tersebut terdapat
dalam perbuatan itu sendiri.seperti makan bangkai, minum khamr,
berzina,mencuri yang bahayanya berhubungan langsung dengan lima hal yang
harus dijaga yatu badan,keturunan,harta benda,akal dan agama.Perbuatan yang
diharamkan li-dzatihh adalah bersentuhanlangsung dengan salah satu dari lima
tersebut.
- Haram lighairi’aridhi
Perbedaan antar haram lidzatih dengan lighairih adalah bahwa haram lidzatihi
tidak diperbolehkan sama sekali,kecuali dalam keadaan
darurat(terpaksa).alasannya karena haram lidzatih adalah langsung berhubungan
dengan hal hal yang sangat vital,sehingga keharaman tersebut tidakk
dapatdihilangkan,kecuali oleh sebab vital juga.jika meminum khamr diharakan
karena merusak akal fikiran.maka khamr tersebut tidak boleh kecuali orang yang
bersangkutan dikhawatirkan akan mati lantaran dahaga.jadi dharurat yang
memeperbolehkan perbuatan yang diharamkan adalah karena dharurat tersebut
langsung berhubungan dengan masalah yang amat vital.sedangkan haram
lighairih boleh dikerjakan bila ada hajat,meskipun tidak sampai tingkat darurat
(terpaksa).alasannya tidak berhubungan langsung dengan masalah yang
vital.karena itu,bagi seorang dokter yang akan mendiagnose untuk memberikan
terapai pada pasien perempuan, diperbolehkan melihat auratnya apabila untuk
memberikan terapi tersebut memang mengharuskan melihat auratnya.(zahrah
abu,2011:54)
Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secar tidak pasti dengan arti masih
mungkin ia tidak meninggalkan larangan itu.Orang yang meninggalkanlarangan
berarti ia telah mematuhi yang melarang.Karenanya ia patut mendapat ganjaran
pahala Tetapi karena tidak pastinyalarangan ini,maka yang tidak meninggalkan
larangan tidak mungkin disebut menyalahi yang melarang.Karenanya ia tidak
berhak mendapat ancaman dosa ,larangan dalam bentuk ini disebut
karahah.Pengaruh larangan tidak pasti terhadap perbuatan yang dilarang secar
tidak pasti disebut makruh.seperti merokok
- Makruh tahrim
Yaitu larangan yang pasti yang didasarkan pada dalil dzanni yang masih
mengandung keraguan,seprti memakai sutera,cincin dari emas dan perak bagi
kaum laki laki,poligami bagi orang yang khawatir tidak dapat berbuat adil.makruh
ahrim ini merupakan lawan dari hukum wajib.
- Makruh tanzih
- Jangan berlebihan
- Jangan membuat perkara baru (bid’ah) dalam agama yang tanpa ada
contoh atau tanpa ada maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi
sarana kemaslahatan yang lain.
- Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.
Jadi, disini tidak terdapat tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. hal ini
tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang. Hukum dalam bentuk ini disebut
“ibahah” sedangkan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu
disebut “mubah”.
B. Hukum Wadh’i
Sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai alasan bagi ada
dan tidak adanya hukum. Seperti masuknya bulan ramadhan menjadi tanda
datangnya bulan ramadhan,dan kewajiban puasa harus dijalankan setiap umat
muslim. Atau keadaan dalam perjalanan menjadi sabab bolehnya mengqashar
shalat.Perjalan dijadikan sebagai sabab bolehnya mengqashar shalat.
Adanya sesuatu menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu
melazimkan tidak adanya hukum
Ulama membagi sebab ini kepada dua bagian yaitu sebagai berikut:
Artinya:” Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam
(dan dirikanlah sholat) subuh, sesungguhnya sholat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat).(Qs. Al-isra: 78).
2. Syarat
Hukum wad'i yang kedua adalah syarat. Syarat ialah sesuatu yang dijadikan syar’i
(Hukum Islam), sebagai pelengkap terhadap perintah syar’i, tidak sah pelaksanaan
suatu perintah syar’i, kecuali dengan adanya syarat tersebut. Atau sesuatu yang
menyebabkan ketiadaan hukum ketika ketiadaannya. Namun, tidak semestinya
wujud hukum ketika kewujudannya.
Syarat berada di luar hukum tetapi ia memainkan peranan yang sangat penting
dalam mempengaruhi sesuatu hukum itu
Misalnya:
- Sampainya nisab pada harta menjadi syarat bagi adanya kewajiban zakat
- Syarat ‘aqli
- Syarat ‘adli
- Syarat syar’i
3. Mani’ (penghalang)
Mani’ adalah suatu keadaan atau peristiwa yang ditetapkan syar’i menjadi
penghalang bagi adanya hukum atau membatalkan hukum. Selain itu, mani juga
disebut tegahan atau halangan yang menyebabkan sesuatu hukum itu tidak dapat
dilaksanakan. Ini bermakna, apabila syarat dan sebab terjadinya hukum taklifi
sudah ada, ia masih lagi belum berlaku sekiranya ada mani'.
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa mani’ itu terbagi kepada dua macam:
Misalnya perbedaan agama antara pewaris dengan yang akan diwarisi adalah
mani’ (penghalang) hukum pusaka-mempusakai sekalipun sebab untuk saling
mempusakai sudah ada, yaitu perkawinan. Begitu juga najis yang terdapat di
tubuh atau di pakaian orang yang sedang shalat. Dalam contoh ini tidak terdapat
salah satu syarat syah shalat, yaitu suci dari najis. Oleh sebab itu, tidak ada hukum
sahnya shalat. Hal ini disebut mani’ hukum
4. Akibat
Termasuk juga kedalam pembahasan hukum wadh’i, hal hal yang menjadi akibat
dari pelaksanaan hukum taklifi. dalam hubungannya dengan hukum wadh’i yaitu:
- Shah , yaitu akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku
padanya sebab, sudah terpenuhi semua syarat syarat yang ditentukan, dan telah
terhindar dari semua mani’.
Misalnya;
Shalat dzuhur yang dilakukan setelah tergelincirnya matahari, dan dilakukan oleh
orang yang telah berwudhu’ serta orang yang tidak dalam keadaan haidh
(berhadast)
- Bathal , yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi
sebab atau syarat, atau terpenuhi kedua duanya,akan tetapi ada mani’ yang
menghalanginya.
Misalnya:
Azimah adalah syariat asal yang berlaku umum. Syariat ini berlaku disaat normal
tidak ada uzur,darurat, dan mampu dilakukan mukalaf.
Contohnya dalam pernikahan jika akad nikah diucapkan oleh si laki laki secara
sempurna,lantang dan lancar tidak ada jeda maka sah dia dalam mengucapkannya
sehingga sah dalam prosesi pernahan itu,dan jika sebaliknya maka akan batal dan
harus mengulang lagi.