Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Melihat semakin kompleksnya masalah-masalah yang dihadapi manusia pada era


perkembangan zaman, Ushul Fiqh muncul dengan beberapa hukum Syara’ yang
berguna untuk menjawab berbagai masalah yang di hadapi manusia pada
perkembangan zaman.

Dalam pembagian hukum syara’, Ushul Fiqh membagi hukum syara’ menjadi dua,
yaitu hukum taklif’i dan hukum wad’i.Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang
hukum wadh’i beserta macam-macamnya.

Untuk memahami hal tersebut kami memiliki beberapa penjelasan mengenai


perkembangan manusia yang tersusun dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain:

1. Apakah pengertian dari hukum wadh’i?

2. Apa macam-macam hukum wadh’i?


BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HUKUM WADH’I

Hukum Wadh’i ialah hokum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab
untuk sesuatu atau syarat baginya atau syarat baginya atau penghalang terhadap
sesuatu.

Hukum wadh’i merupakan hokum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf


yang mengandung persyaratan, sebab atau mani’.

Hukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara
dua sebab (sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati
(masyrut), antara penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara
hukum yang sah dan hukum yang tidak sah.

Hukum ini dinamakan hukum wadh’i karena dalam hukum tersebut terdapat dua
hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat,
syarat, dan lain-lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wad’i
adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-
sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai
sesuatu yang sah (shahîh), rusak atau batal (fasid), ‘azimah atau rukhshah.

Jadi, Hukum wadh’i adalah Hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
yang berkaitan dengan sebab akibat, syarat, mani’, shah dan batal, sekaligus
azimah dan rukhsah.
B. MACAM-MACAM HUKUM WADH’I

Hukum Wadh’i terbagi menjadi lima macam yaitu sebab, syarat, mani, rukhsah
dan azimah, sah dan batal.

1) Sebab (As-Sabab)

Sabab yang dalam bahasa Indonesia disebut “sebab”, secara etimologis, artinya
adalah “sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan. “dari
kata inilah dinamakan “jalan”, itu sebagai sabab, karena “jalan” bisa
menyampaikan seseorang kepada tujuan.

Semua tanda yang melahirkan hukum dan apabila hubungan antara tanda dan
ketentuan hukum nampak jelas tanda itu memang cocok dijadikan sebab lahirnya
hukum yang dinamakan ”illat”. Tetapi apabila hubungan antara tanda dan
ketentuan hukum kurang jelas dan kurang cocok yang seperti ini dinamakan
sebab.

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwasanya sebab adalah sesuatu yang
keberadaannya dijadikan Syari’ sebagai pertanda keberadaan suatu hokum dan
ketiadaan sebab sebagai pertanda tidak adanya hukum.

Sebab yang diterangkan di atas garis besarnya ada dua macam, sebab yang tidak
termasuk perbuatan mukallaf dan yang berasal dari perbuatan mukallaf.

Sebab yang berasal dari bukan perbuatan mukallaf seperti tibanya waktu shalat
dan menimbulkan wajib shalat cukup nisab yang menimbulkan wajib
mengeluarkan zakat,timbul bulan awal Ramadhan yang menyebabkan wajib
puasa, syirik yang menyebabkan haram kawin, sakit yang menyebabkan buka
puasa pada bulan Ramadhan, keluarga yang menjadi sebab lahirnya hak waris,
perkawinan yang menjadi sebab kebolehan talak dan balig yang menjadi sebab
sahnya tindakan.

Sebab dari perbuatan mukallaf seperti pembunuhan berencana yang


menyebabkan lahirnya perikatan dari kedua belah pihak.
Ditetapkan sebab tentunya akan melahirkan musabab, karena itu tidak diterima
akal kalau ditetapkan sebab tanpa melahirkan musabab. Setiap ketentuan hukum
syara’ bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dan
menyingkirkan manusia dari kerusakan, inilah yang menjadi sebab utama lahirnya
berbagai ketentuan hukum.

Dilihat dari segi pengaruh yang ditimbulkan, maka al-sabab dapat dibagi menjadi
dua macam, yaitu:

1. Al-Sabab al waqti. Sebagai contoh, masuknya waktu salat yang dijadikan Syari’
sebagai al-sabab adanya kewajiban salat. Allah SWT berfirman:

Artinya:

“Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir”. (QS. Al-Isra`: 78)

2. Sabab al- ma’nawi, seperti mabuk sebagai penyebab keharaman khamr,


sebagaimana sabda Rasul:

Artinya:

“Setiap yang memabukkan itu adalah haram” (H.R Muslim, Ahmad Ibnu Hambal
dan Ashhab Al-Sunan)

2) Syarat

Yang dimaksud dengan syarat ialah apa yang tergantung adanya hukum dengan
adanya syarat dan dengan tidak adanya syarat maka hukum tidak ada. Syarat
letaknya di luar hakikat sesuatu maka apabila ia tidak ada maka masyrut pun tidak
ada tetapi tidak mesti dengan adanya ada juga masyrut.

Syarat yang ditetapkan mungkin sebagai pelengkap sebab hukum seperti


pembunuhan itu dilakukan dengan berencana. Akad nikah dijadikan syarat
halalnya pergaulan suami istri, namun agar akad nikah itu sah disyaratkan dihadiri
oleh dua orang saksi. Demikianlah dalam semua perjanjian dan tindakan baru
dianggap sah dan mengikat kedua belah pihak apabila terpenuhi syarat-syaratnya.
Syarat-syarat dalam kegiatan hukum kadang-kadang ditetapkan syara’ yang
seperti ini dinamakan syarat syar’i dan kadang-kadang ditetapkan oleh mukallaf
sendiri yang dinamakan syarat ja’li. Contoh syarat syar’i seperti syarat yang
ditetapkan sahnya akad nikah yang dihadiri oleh dua orang saksi dan contoh
syarat ja’li seperti jatuhnya talak apabila kedua belah pihak mempunyai ikatan
perkawinan.

Syarat syar’i dapat dibagi menjadi 2 macam:

a) Syarat yang terkandung dalam khitab taklifi yang kadang-kadang dalam bentuk
tuntutan untuk memperbuatnya seperti wudhu dalam shalat. Dan kadang-kadang
dalam bentuk tuntutan untuk tidak memperbuatnya seperti akad nikah tahlil,
ialah nikah yang dilakukan sebagai syarat untuk memperbolehkan suami pertama
menikahi kembali istrinya yang ditalak tiga.

b) Syarat yang terkandung dalam kitab wadh’i. Contohnya haul bagi yang memiliki
harta kekayaan yang cukup nisab menjadi syarat wajib mengeluarkan zakat.

Syarat ja’li dapat dibagi menjadi 3 macam:

a) Syarat yang ditetapkan untuk menyempurnakan hikmah sesuatu perbuatan


hukum dan tidak bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu.

b) Syarat yang ditetapkan tidak cocok dengan maksud perbuatan hukum yang
dimaksud bahkan bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu.

c) Syarat yang tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan hikmah perbuatan
hukum. Syarat yang seperti ini kalau terjadi dalam bidang ibadah tidak berlaku
karena tidak ada seorang juapun yang berhak menetapkan syarat dalam ibadah.
Namun, kalau terjadi dalam bidang muamalah dapat diterima.

3) Mani’

Yang dimaksud dengan mani’ menurut para ahli ialah:

“ Mani’ialah apa yang memastikan adanya tidak ada hukum atau batal sebab
hukum sekalipun menurut syara’ telah terpenuhi syarat dan rukunnya tetapi
karena adanya mani’ (yang mencegah) berlakunya hukum atasnya”.
Atau dengan kata lain apabila terdapat, hukum tidak akan ada atau sebab hukum
menjadi batal sekalipun memenuhi syarat dan rukunnya.

Contohnya seorang ayah yang membunuh anaknya karena yang membunuh itu
adalah ayah yang menjadi mani’ sehingga kepadanya tidak dapat dilaksanakan
hukuman qisas sekalipun sebab lahirnya ketentuan hukum seperti pembunuhan
telah tercapai.

Para ulama dalam kalangan mazab Hanafi membagi mani’ menjadi 5 macam:

a) Mani’ yang menghalangi sahnya sebab hukum seperti menjual orang yang
merdeka. Tidak boleh memperjualbelikan orang yang merdeka, karena orang
yang merdeka bukan termasuk barang yang boleh diperjualbelikan sedang
membeli menjadi sebab berpindahnya hak mi,ik dan membeli menjadi sebab
kebolehan menguasai dan mengambil manfaat dari barang yang dibeli.

b) Mani’ yang menjadi penghalang kesempurnaan sebab lahirnya hukum bagi


orang yang tidak ikut serta melakukan perjanjian dan menjadi penghalang sebab
bagi orang yang mengikat perjanjian. Seperti menjual barang bukan miliknya,
penjual yang seperti ini tidak sah karena terdapat mani’ ialah barang yang dijuala
adalah milik orang lain. Namun apabila pemilik barang yang dijual menyetujui
penjualan itu, maka perjanjian itu menjadi sah.

c) Mani’ yang menjadi penghalang berlaku hukum seperti khiyar syarat dari
pihak penjualan yang menghalangi pembelian mempergunakan haknya terhadap
barang yang diberinya selama masa khiyar syarat berlaku. Umpamanya di A tidak
boleh dan si B bahwa barang yang dijualnya kepada si B tidak boleh dipergunakan
selama tiga hari karena si A masih pikir-pikir lagi pada masa yang ditetapkan itu
dan kalau pendiriannya berubah dalam masa itu penjualan dibatalkan. Sebelum
syarat berakhir pembeli haknya terhadap barang yang dibelinya.

d) Mani’ yang hanya menghalangi sempurna hukum seperti khiyar ru’yah.


Khiyar ru’yah tidak menghalangi lahirnya hak milik, namun hak milik itu dianggap
belum sempurna sebelum pembeli melihat barang itu sudah berada ditangan
pembeli. Kalau pembeli sudah melihat barang yang dibelinya ia boleh meneruskan
pembelian selama barang yang dibelinya cocok sifatnya dengan apa yang
ditetapkan tetapi dalam hal barang yang dijual belikan tidak cocok dengan
persyaratan yang ditetapkan pembeli dapat membatalkan tanpa menunggu
persetujuan penjual dan tanpa melalui peradilan.

e) Mani’ yang menghalangi berlakunya hukum seperti ‘aib. Si A sebagai


pembeli sesuatu barang yang memang belum tahu keadaan barang yang dibelinya
kemudian ternyata cacat, pembeli berhak memilih antara meneruskan perjanjian
atau mengembalikan barang yang dibelinya. Hanya haknya mengembalikan
barang itu sesudah mendapat persetujuan dari penjual atau melalui peradilan dan
lamanya hak mengembalikan tidak lebih dari tiga hari.

4) Azimah dan Rukhsah

Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan azimah ialah:

“ Hukum yang disyriatkan Allah semenjak semula bersifat umum yang bukan
tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan pula berlaku hanya
kepada mukallaf tertentu”.

Jadi azimah merupakan hukum yang ditetapkan semenjak semula tidak berlaku
hanya untuk keadaan atau kasus atau orang tertentu dan bukan pula untuk
tempat dan waktu tertentu. Umpamanya shalat lima waktu diwajibkan setiap
orang, diwajibkan pada semua keadaan asal saja mukallaf dipandang cakap
melakukannya.

Dan yang dimaksud dengan rukhsah ialah:

“ hukum yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan bagi mukhalaf


pada keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan”.

Rukhsah seperti yang telah diuraikan diatas mempunyai empat macam:

a) Rukhsah yang menjadi pengecualian hukum umum dikarenakan terdapat


kesulitan dalam melaksanakan ketentuan umum. Bentuk rukhsah yang seperti ini
seperti kebolehan utang piutang perjanjian silm, diat yang dibebankan kepada
seluruh anggota keluarga yang membunuh.
b) Rukhsah karena adanya taklif yang berat kepada umat yang diisyaratkan
Allah dalam firman-Nya:

“. . . Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. . .” (Q.S. Al
Baqarah: 286)

c) Rukhsah yang ditetapkan untuk memberikan keluasan dalam ibadah


sehingga terdapat kemudahan dan orang yang dapat melaksanakan ibadah lebih
banyak.

d) Rukhsah menurut pengertian yang diberikan para ahli ushul ialah hukum
pengecualian dari ketentuan hukum umum.

5) Sah dan Batal

Lafal ‘sah’ dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban didunia
serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat dikatakan sah karena
telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’ dan perbuatan itu
akan mendatangkan pahala diakhirat. Sebaliknya, lafal ‘batal’ yang dapat diartikan
tidak melepas tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban didunia dan di
akhirat tidak memperoleh pahala.

Secara umum bahwasanya sah adalah perbuatan yang dilakukan mukalaf dengan
memenuhi rukun dan syaratnya, dengan tata cara yang yang di tetapkan syara’,
tanpa ada halangan, dan tujuan dari perbuatan yang ditentukan syara’ tercapai.
Apabila perbuatan tersebut tidak tercapai maka dianggap bathil.

BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN

Hukum Wadh’i ialah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab
untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu.

Hukum Wadh’i terbagi menjadi lima macam yaitu sebab, syarat, mani’, rukhsah
dan azimah, sah dan batal.

B. SARAN

Dengan riwayat yang diatas telah menunjukkan betapa pentingnya mengetahui


Pengertian hukum wadh’i dan macam-macamnya.Banyak hal yang belum
terselesaikan dalam makalah ini. Kami menyadari akan keterbatasan dan
kekurangan baik dalam penulisan, pemahaman, dan sumber rujukan.

Pebandingan Hukum Syara’


(Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i)

1. Pengertian hukum syara’(hukum taklifi dan wadh’i)

Hukum syara’ merupakan kata majemuk dari kata “hukum” dan “syara”. Hukum
secara etimologi(bahasa) berarti “memutuskan, menetapkan, dan
menyelesaikan”. Secara istilah hukum merupakan ‘seperangkat peraturan tentang
tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh suatu negara atau
sekelompok masyarakat,berlaku dan bersifat mengikat untuk seluruh anggota
masyarakatnya.

Kata syara’ secara etimologi berarti “jalan,jalan yang bisa dilalui air”. Maksudnya
adalah jalan yang dilalui manusia menuju Allah SWT, dengan cara beribadah
kepada Nya.

Bila kata hukum di padukan dengan kata syara’ yaitu “hukum Syara’” akan berarti
‘seperangkat peraturan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang
diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama
islam”.

Dalam ilmu ushul fiqh, hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu:

- Hukum Taklifi

- Hukum Wadh’i

A. Hukum Taklifi

Hukum taklifi menurut pengertian kebahasaan adalah hukum pemberian


bebansedangkan menurut istilah adalah perintah Allah yang berbentuk pilihan
dan tuntutan. Dinamakan hukum taklifi karena perintah ini langsung mengenai
perbuatan seorang mukallaf(balig dan berakal sehat). Disebutkan tuntutan karena
hukum taklifi menuntut seorang mukallaf untuk melakukan dan meninggalkan
suatu perbuatan secara pasti. misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah
Al-Baqarah, 2:110. Artinya: ”Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.”(Q.S. Al-
Baqarah,2:110) Tuntutan Allah SWT untuk meninggalkan suatu perbuatan,
misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’, 17:33. Artinya: ”Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan sesuatu alasan yang benar.”(Q.S. Al-Isra’,17:33) Tuntutan Allah
SWT mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau
meninggalkannya,

Dengan demikian, taklifi dibagi menjadi lima macam, yaitu

1. Wajib ( Tuntutan untuk memperbuat secara pasti )

Yaitu tuntutan untuk memperbuat secara passti dengan arti harus di perbuat
sehingga orang yang memperbuat patut mendapat ganjaran, dan orang yang
meninggalkan patut mendapat ancaman ALLAH SWT . contohnya sholat, puasa
ramadhan , dan sebagainya .

a. Pembagian wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaan.

- Wajib muthlaq

Yaitu kewajiban yang ditentukan waktu pelaksanaannya, dengan arti tidak salah
bila waktu pelaksanaannya ditunda sampai ia mampu melaksanakannya.

Contohnya wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan oleh
syara’

- Wajib muaqqad

Yaitu apabila di mintta oleh syar’i memperbuatnya dengan passti , tidak jelas
waktunya untuk melakukannya . seperti kifarat yang di wajibkan bagi orang yang
bersumpah dan yang melanggar sumpah . untuk berbuat ini tidak di jelaskan
waktunya dan orang yang melanggar sumpah yang di langgar . seperti haji, wajib
bagi yang sanggup , kewajiban hajinya tidak dikerjakan secara detail . dan ada
sebagian ulama yang berpendapat bahwa muthlaq ( bebas ) yang pelaksanaanya
tidak di batasi oleh waktu tertentu , sehingga seandainya di laksanakan oleh
waktu tertentu sehingga seandainya dilaksanakan sampai batas akhir masa
kemampuan untul melaksanakan tidak dosa . seperti mangadakan puasa
ramadhan bagi orang yang tidak berpuasa lantaran ada “ udzur “

Wajib ini di bagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Wajib muwassa’

Yaitu ialah pekerjaan wajib yang diluaskan waktunya yakni waktunya lebih luas
daripada waktu mengerjakannya, contohnya waktu shalat lima waktu, shalat isya
dari petang sampai subuh.

2. Wajib mudhayyaq (yang disempitkan) atau mi’yar

Yaitu pekerjaan yang disempitkan waktunya tidak melebihi kadar pekerjaan.


Contohnya puasa ramadhan waktu mulainya dan berakhirnya sama yaitu dari
terbit fajar sampai maghrib. Contoh lain adalah akhir waktu sholat . dalam wajib
ini kewajiban harus segera dilakukan waktu itu juga .

3. Wajib dzu syahnaini

Yaitu kewajiban yang pelaksanaan nya dalam waktu tertentu dan waktunya
mengandung dua sifat di atas yaitu muwassa’ dan mudhayyaq.yaitu waktu
mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya
ibadah haji. Misalnya waktu haji itu ckup lapang dan sesorang bisa melaksanakan
beberapa amalan haji pada waktu itu berkali – kali , tetapi yang di perhitungkan
syara’ hanya satu amalan saja . oarang itu bisa berulang – ulang melakssanankan
amalan haji , tetapi amalan yang beruang itu tidaklah diperhitungkan syara’
sebagai suatu kewajiban . akan tetapi ulama ‘ syfi’iyah berpendapat bahwa waktu
untuk beribadah haji , termaksud dalam waktu wajib almutlaq , karena seseorang
boleh melaksanakan ibadah haji kaoan saja ia mau selama hidupnya

b. Pembagian wajib dari segi pelaksana.


- Wajib ‘ain

Yaitu sesuatu yang mesti atau harus dikerjakan oleh setiap mukallaf sendiri ,
seperti sholat yang lima waktu , puasa dan sebagainya .

- Wajib kifayah

Yaitu sesuatu yang telah di anggap cukup apabila telah dikerjakan oleh sebagian
dari orang – orang mukallaf . dan berdosalah seluruh jika tidak sesorang pun dari
mereka mengerjakannya, seperti menyolatkan dan menguburkan jenazah.

c. Pembagian wajib dari segi kadar yang dituntut.

- Wajib muhaddad

Yaitu sesuatu dinyatakan oleh pembuat hukum kewajibannya kadar yang


ditentukan , dengan arti bahwa mukallaf belum terlepas dari tanggungnya
terkecuali bila ia telah melaksanakan sesuai dengan jumlah yang telah di tentukan
pembuat hukum syar’i seperti zakat yang di tentukan adalah zakat fitrah .
kewajiban zakat harta atau zakat fitrah telah di kadarnya , dalam arti jika telah
terpenuhi syarat – syarat wajib , seseorang harus melaksanakan menurut ukuran
yang telah di tentukan . ia belum di anggap melaksanakan kewajiban menurut
ukuran yang di tentukan . ia belum di anggap melaksanakan kewajiban kecuali
kadar yang sudah di tentukan telah di laksanakan.

- Wajib ghairu muhaddad

Yaitu sesuatu kewajiban yang pelaksanaanya tidak di tentukan ukuran pembuat


hukum ( syar’i ) seperti untuk kerabat . nafkah kerabat ini termaksuk kewajiban
yang tidak di tentukkan ukuran kaddarnya untuk diberikan pada kerabat
tersebut . cintoh lain kewajiab menafkahi istri , sebagian ulama berpendapat
bahwa nafkah nafkah istri terhadap suaminya termaksud wajib muhaddad,
walaupun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan kadar yang diberikan
ada yang mengatakan bahwa nafkah itu diberikan kepadda istri , semampu suami
memberikan kepadda istri. Selain pendapat itu ada sebagian ulama yang
menyebutlan bahwa padda dasanya memberi nafkah kepadda istri merupakan
wajib ghairu muhadda , kemudian baru ia menjaddi wajib muhaddad.
d. Pembagian wajib dari segi bentuk perbuatan yang dituntut.

- Wajib mu’ayyan ( kewajiban tertentu )

Yaitu apa ada yang dituntut oleh pembuat hukum sesuai perbuatan yang sudah
tertentu artinya subjek hukum baru dinyatakan telah menunaikan tuntuaan bila
sesuatu yang ditentukan itu telah dilaksanakanya dan tidak ada pilihan untuk
pilihan lainya contohnya adalah membayar hutang yang ahrus dibayar kepada
orang yang dihutanginya atau contoh kedua adalah membaca alfatia dalam
sholat.

- Wajib mukhayyar

Yaitu sesuatu yang dituntut oleh pembuat hukum untuk dilaksanakan dengan
memilih salah satu diantara hal yang telah ditentukan, artinya tanggung jawab
dari yang dituntu baru dinyatakan telah terlaksana bila ia telah melakukan satu
piliha dari beberapa kemungkinan yang di tentukan contohnya pilihan diantaraa
dua hal adalah pilihan pembahassan tawaran dan uang tebusan.sebagaiman telah
di tengan oleh Allah SWT dalam ayat Qs. Muhammad : 4 .

2. Sunah ( Tuntutan untuk memperbuat secara tidak pasti )


Sunah atau mandub dalam fiqh merupakan tuntuan untuk memperbuatkan
secara tidak pasti dengan arti perbuatan itu dituntut untuk dilakssanakan .
terhaddap yang melaksanakan berhak mendapatkan ganjaran akan kepatuhannya
, tetapu bila tuntutan tersebut tidak dilakukan atau ditinggalkan maka tidak apa –
apa . oleh karena itu yang meninggalkan itu tidak patut mendapat ancaman doa.
Tuntutan seperti ini disebut “Nabd” pengatuh tuntuan terhadap perbuatan
disebut Nabd juga sedangkan perbuatan yang dituntu disebut dengan “Mandub”
seperti memberi sumbagan kepanti jompo , shodaqah , berpuasa senin kamis dal
lain – lain. Secara bahasa mandub adalah sseruan untuk sesuatu yang penting .
adapun dalam artian definisi yaitu sesuatu yang di tuntut memperbuatnya secara
hukum syari’i tanpa celaan terhadap orang yang meninggalkan secara mutlhaq.

Mandub(sunah) dibagi menjadi:

- Dari segi selalu dan tidak selalunya nabi melakukan sunah tersebut.sunah
dibagi 2

a. Sunah muakkadah

Yaitu perbuatan yang selalu dilakukan oleh nabi disamping adda keteranga yang
menunjukan bahwa perbuatan ini bukanlah sesuatu yang fardu . misalnya sholat
witir, dua rokaa’at fajar sebelum sholat shubuh. Sebagian ulama menyatakan
bahwa orang yang meninggalkan dicela , tetapi tidak berdosa karena yang
meninggalkan secara sengaja berati menyalahi sunah yang biasa dilakukan nabi.

b. Sunah ghairu muakkadah

Yaitu sunnah yang dilakukan oleh nabi tetapi tidak melazimkan dirinya untuk
berbuat demikain seperti sholat sunah 4 rakaat sebelum dsuhur dan sebelum
ashar . adda yang mengartikan bahwa sunah ini tidak dikerjakan oleh rasul secara
kontinyu.

- Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan, sunah terbagi dua, yaitu

a. Sunah hadyu
Yaitu perbuatan yang di tuntut untuk melakukan karena begitu besar faedah yang
didapt darinya dan orang yang meninggalkan dinyataka sesat dan tercela, bahan
bila satu kelompok kaum sengaja meninggalkan secara terus menerus, maka
kelompok ini harus diperangi . sunah ddalam bentuk ini merupakan kelengkapan
dari kewajiban keagamaan seperti adzan , sholat jamaan , sholat hari raya . jika di
katagorikan sunah ini termaksud kepadda sunaan hari raya. Jika dikatagorika ini
termaksud sunah muakkad karena besar pahalanya

b. Sunah zaidah

Yaitu sunah yang apabila dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik tetapi bila
ditinggalkan, yang meninggalkan tidak mendapat dosa, seperti cara cara yang
biasa dilakukan oleh nabi dalam kehidupan sehari – hari. Sunah zaidah ini
ditempatkannya addalah dibawah derajat sunag ghairul muakkad.

c. Sunah nafal

Yaitu sesuatu perbuatan yang ddituntun sebagai tambahan bagi perbuatam


wajib , seperti shat sunah 2 rakaat yang mengitingi shoalt wajib , sholat tahajud ,
dan lainya dalam istilahnya disebut sunah ghairul muakkad.

3. Haram ( Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti )

Haram secara bahasa berarti sesutau yang lebih banyak kerusakannya.kadang


kadang digunakan dalam arti larangan..dalam istilah hukum haram adalah sesuatu
yang dituntut syar’i(pembuat hukum)untuk tidak memeprbuatnya secara
tuntutan yang pasti.sedangkan istilah haram menurut pendapat ulama jumhur
yang mengartikan haram yaitu larangan Allah yang pasti terhadap suatu
perbuatan,baik ditetapkan dengan dalil yang qathi maupun dalil zhanni.Menurut
mereka dalil dalil zhanni itu dapat dijadikan argumentasi dalam amal perbuatan.

Sedangkan menurut madzhab hanafi ,hukum haram harus didasarkan pada dalil
qathi yang tidak mengandung keraguan sedikitpun.sehingga kita tidak
mempermudah dalam menetapkan hukum haram,sebgaimna Q.s an-nahl ayat
116.Sedangkan abu hanifah,abu yusuf dan muhamad malah menyebutnya
makruh saja,agar tidak dikatakan haram.

Contoh dari hukum haram yaitu makan bangkai kecuali bangkai ikan,minum
khamr,berzina,membunuh seorang yang diharamkan Allah tanpa ada hak.

Atas dasar tersebut hukum haram ini terbagi menjadi dua yaitu :

- Haram li-dzatih

yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah karena bahaya tersebut terdapat
dalam perbuatan itu sendiri.seperti makan bangkai, minum khamr,
berzina,mencuri yang bahayanya berhubungan langsung dengan lima hal yang
harus dijaga yatu badan,keturunan,harta benda,akal dan agama.Perbuatan yang
diharamkan li-dzatihh adalah bersentuhanlangsung dengan salah satu dari lima
tersebut.

- Haram lighairi’aridhi

yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’,dimana adanya larangan tersebut


bukan terletak pada perbuatan itu sendiri,tetapi perbuatan tersebut dapat
menimbulkan haram li’dzatih.seperti jual beli barang secar riba diharamkan
karena dapat menimbulkan riba yang diharamkan karena dzatiyahnya
sendiri.contoh laim membeli barang yag sudah ditawar oleh orang

Perbedaan antar haram lidzatih dengan lighairih adalah bahwa haram lidzatihi
tidak diperbolehkan sama sekali,kecuali dalam keadaan
darurat(terpaksa).alasannya karena haram lidzatih adalah langsung berhubungan
dengan hal hal yang sangat vital,sehingga keharaman tersebut tidakk
dapatdihilangkan,kecuali oleh sebab vital juga.jika meminum khamr diharakan
karena merusak akal fikiran.maka khamr tersebut tidak boleh kecuali orang yang
bersangkutan dikhawatirkan akan mati lantaran dahaga.jadi dharurat yang
memeperbolehkan perbuatan yang diharamkan adalah karena dharurat tersebut
langsung berhubungan dengan masalah yang amat vital.sedangkan haram
lighairih boleh dikerjakan bila ada hajat,meskipun tidak sampai tingkat darurat
(terpaksa).alasannya tidak berhubungan langsung dengan masalah yang
vital.karena itu,bagi seorang dokter yang akan mendiagnose untuk memberikan
terapai pada pasien perempuan, diperbolehkan melihat auratnya apabila untuk
memberikan terapi tersebut memang mengharuskan melihat auratnya.(zahrah
abu,2011:54)

4. Makruh ( Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secara tidak pasti )

Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan secar tidak pasti dengan arti masih
mungkin ia tidak meninggalkan larangan itu.Orang yang meninggalkanlarangan
berarti ia telah mematuhi yang melarang.Karenanya ia patut mendapat ganjaran
pahala Tetapi karena tidak pastinyalarangan ini,maka yang tidak meninggalkan
larangan tidak mungkin disebut menyalahi yang melarang.Karenanya ia tidak
berhak mendapat ancaman dosa ,larangan dalam bentuk ini disebut
karahah.Pengaruh larangan tidak pasti terhadap perbuatan yang dilarang secar
tidak pasti disebut makruh.seperti merokok

Makruh dibagi menjadi 2 :

- Makruh tahrim

Yaitu larangan yang pasti yang didasarkan pada dalil dzanni yang masih
mengandung keraguan,seprti memakai sutera,cincin dari emas dan perak bagi
kaum laki laki,poligami bagi orang yang khawatir tidak dapat berbuat adil.makruh
ahrim ini merupakan lawan dari hukum wajib.

- Makruh tanzih

Yaitu suatu larangan syara’ terhadap suatu perbuatan,tetapi larangan tersebut


tidak bersifat pasti,lantaran tidak ada dalil yang menunjukkan atas haramnya
perbuatan tersebut.makruh tanzih ini merupakan lawa dari hukum mandub
sunat.Menueurt jumhur ulama ,pelaku yang berbuat makruh ini tidak
dicela ,sedangkan orang yang meninggalkannya adalah terpuji.menurut pendapat
hanafi,pelaku makruh tahrim tergolong tercela,sedangkan pelaku makruh tanzih
tidak,dan orang yag meninggalkan kedua macammakruh tersebut adalah terpuji.
Catatan untuk perkara yang mubah :

- Jangan berlebihan

- Jangan membuat perkara baru (bid’ah) dalam agama yang tanpa ada
contoh atau tanpa ada maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi
sarana kemaslahatan yang lain.

- Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.

5. Mubah ( Sesuatu yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara


mengerjakan atau meninggalkan )

Jadi, disini tidak terdapat tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan. hal ini
tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang. Hukum dalam bentuk ini disebut
“ibahah” sedangkan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu
disebut “mubah”.

Contohnya: melakukan perburuan setelah melakukan tahallul dalam ibadah haji,


dll.

B. Hukum Wadh’i

Hukum wadh’i merupakan perintah Allah yang berbentuk ketentuan yang


ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur pebuatan mukallaf, tetapi berkaitan
dengan perbuatan mukallaf itu, dengan kata lain Hukum wad’i adalah hukum
yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain atau
sebagai syarat bagi sesuatu yang lain. Bisa juga diartikan hukum wadh’i adalah
hukum yang menjelaskan hukum taklifi atau yang menjadi akibat dari pelaksanaan
hukum taklifi

Hukum wadh’i terbagi kedalam beberapa macam, yaitu:


1. Sebab

Sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai alasan bagi ada
dan tidak adanya hukum. Seperti masuknya bulan ramadhan menjadi tanda
datangnya bulan ramadhan,dan kewajiban puasa harus dijalankan setiap umat
muslim. Atau keadaan dalam perjalanan menjadi sabab bolehnya mengqashar
shalat.Perjalan dijadikan sebagai sabab bolehnya mengqashar shalat.

Adanya sesuatu menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu
melazimkan tidak adanya hukum

Ulama membagi sebab ini kepada dua bagian yaitu sebagai berikut:

- Sebab yang diluar kemampuan mukalaf.

Misalnya, kedaan terpaksa menjadi sebab bolehnya memakan bangkai dan


tergelincir atau tenggelamnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat.
Sebagaimana firman alloh swt.

Artinya:” Dirikanlah sholat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam
(dan dirikanlah sholat) subuh, sesungguhnya sholat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat).(Qs. Al-isra: 78).

- Sebab yang berada dalam kesanggupan mukalaf.

Sebab ini dibagi dua, yaitu sebagai berikut:

a. Hukum taklifi, seperti menyaksikan bulan menjadikan sebab wajib


melaksanakan puasa, di dalam firman alloh SWT.

Artinya: ”Bulan ramadan adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan


alquran,sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan batil). Karena itu, barang siapa
di antara kamu ada dibulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau
dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atau petunjuk-NYA yang
diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.”( Q.s Al-Baqarah : 185).

b. Hukum wad’i, seperti perkawinan menjadi sebabnya hak warisan antara


suami istri dan menjadi sebab haramnya mengawini mertua, dan lain sebagainya.

2. Syarat

Hukum wad'i yang kedua adalah syarat. Syarat ialah sesuatu yang dijadikan syar’i
(Hukum Islam), sebagai pelengkap terhadap perintah syar’i, tidak sah pelaksanaan
suatu perintah syar’i, kecuali dengan adanya syarat tersebut. Atau sesuatu yang
menyebabkan ketiadaan hukum ketika ketiadaannya. Namun, tidak semestinya
wujud hukum ketika kewujudannya.

Syarat berada di luar hukum tetapi ia memainkan peranan yang sangat penting
dalam mempengaruhi sesuatu hukum itu

Misalnya:

- Sampainya nisab pada harta menjadi syarat bagi adanya kewajiban zakat

- Adanya perbuatan wudhu’ menjadi syarat adanya perbuatan shalat

Pembagian syarat ada tiga macam, yaitu;

- Syarat ‘aqli

seperti kehidupan menjadi syarat untuk dapat mengetahui. Adanya


pahammenjadi syarat untuk adanya taklif atau beban hukum.

- Syarat ‘adli

artinya berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku, seperti bersentuhnya api


dengan barang yang dapat terbakar menjadi syarat berlangsungnya kebakaran

- Syarat syar’i
3. Mani’ (penghalang)

Mani’ adalah suatu keadaan atau peristiwa yang ditetapkan syar’i menjadi
penghalang bagi adanya hukum atau membatalkan hukum. Selain itu, mani juga
disebut tegahan atau halangan yang menyebabkan sesuatu hukum itu tidak dapat
dilaksanakan. Ini bermakna, apabila syarat dan sebab terjadinya hukum taklifi
sudah ada, ia masih lagi belum berlaku sekiranya ada mani'.

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa mani’ itu terbagi kepada dua macam:

- Mani’ terdapat hukum.

Misalnya perbedaan agama antara pewaris dengan yang akan diwarisi adalah
mani’ (penghalang) hukum pusaka-mempusakai sekalipun sebab untuk saling
mempusakai sudah ada, yaitu perkawinan. Begitu juga najis yang terdapat di
tubuh atau di pakaian orang yang sedang shalat. Dalam contoh ini tidak terdapat
salah satu syarat syah shalat, yaitu suci dari najis. Oleh sebab itu, tidak ada hukum
sahnya shalat. Hal ini disebut mani’ hukum

- Mani’ terhadap sebab hukum

Misalnya,seseorang yang memiliki harta senisab wajib mengeluarkan zakatnya.


Namun, karena ia mempunyai hutang yang jumlahnya sampai mengurangi nisab
zakat ia tidak wajib membayar zakat, karena harta miliknya tidak cukup senisab
lagi. Memiliki harta senisab itu adalah menjadi sebab adanya hukum wajib zakat.
Dengan demikian, mani’ dalam contoh ini adalah menghalangi sebab hukum
zakat. Hal ini disebut mani’ sebab.”

4. Akibat
Termasuk juga kedalam pembahasan hukum wadh’i, hal hal yang menjadi akibat
dari pelaksanaan hukum taklifi. dalam hubungannya dengan hukum wadh’i yaitu:

- Shah , yaitu akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku
padanya sebab, sudah terpenuhi semua syarat syarat yang ditentukan, dan telah
terhindar dari semua mani’.

Misalnya;

Shalat dzuhur yang dilakukan setelah tergelincirnya matahari, dan dilakukan oleh
orang yang telah berwudhu’ serta orang yang tidak dalam keadaan haidh
(berhadast)

- Bathal , yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi
sebab atau syarat, atau terpenuhi kedua duanya,akan tetapi ada mani’ yang
menghalanginya.

Misalnya:

Shalat maghrib sebelum tergelincirnya matahari, atau tidak berwudhu’, atau


sudah keduanya, akan tetapi dilakukan oleh wanita berhaidh.

5. Azimah dan Rukhsah

Rukhsah adalah ketentuan yang disyariatkan allah sebagai keringanan (dispensasi)


terhadap mukalaf karena ada hal-hal khusus. Contohnya jamak dan qosor salat
karena sedang dalam perjalanan jauh.

Macam-macam rukhsah adalah sebagai berikut:

- Diperbolehkannya yang haram karena dalm keadaan darurat. Contohnya


diperbolehkannya memakan bangkai dalam keadaan kelaparan.

- Boleh meninggalkan kewajiban karena ada uzur. Misalnya tidak puasa


karena dalam perjalanan jauh atau sakit.
- Mengubah syariat lama dengan syariat baru. Contoh bertaubat dari dosa
(tobat nasuha) sebagai pengganti bunuh diri yang berlaku pada syariat Nabi Musa
a.s., mencuci pakaian dengan air untuk menghilangkan najis sebagai pengganti
dari memotong/ merobek pakaian untuk menghilangkan najis pada syariat Nabi
Musa a.s.

Azimah adalah syariat asal yang berlaku umum. Syariat ini berlaku disaat normal
tidak ada uzur,darurat, dan mampu dilakukan mukalaf.

Contohnya dalam pernikahan jika akad nikah diucapkan oleh si laki laki secara
sempurna,lantang dan lancar tidak ada jeda maka sah dia dalam mengucapkannya
sehingga sah dalam prosesi pernahan itu,dan jika sebaliknya maka akan batal dan
harus mengulang lagi.

Anda mungkin juga menyukai