Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

HUKUM WADH’I, TAKLIFI, DAN TAKHYIRI

“Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh”

Dosen Pengampu:

Dr. Umi Chaidaroh, SH. MHI.

Disusun Oleh:

1. M. Aditya Firmansyah (2201012503)


2. Alisa Habibatul Muyasaroh (2201012504)
3. Ananda Putri Arifia (2201012936)

UNIVERSITAS KH. ABDUL WAHAB HASBULLOH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2022/2023
A. Hukum Wadh’i
1. Pengertian Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah perintah Allah yang berkaitan dengan
penetapan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi yang lain.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa hukum wadh’i adalah hukum yang
berkaitan dengan dua hal, yaitu sebab yang disebabkan. Seperti orang
yang junub menyebabkan orang tersebut harus mandi, dan adanya orang
yang memiliki harta yang sudah mencapai Nisab menyebabkan orang
tersebut harus berzakat.
2. Macam-macam hukum Wadh’i.
Hukum ini terbagi menjadi lima bagian, yaitu sebab, syarat, penghalang,
kewajiban asli dan keringanan, serta sahih dan tidak sahih.
a. Sebab
Disini sebab dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: sebab yang
menyebabkan suatu pembebanan terjadi, sebab yang menjadikan
sebuah kepemilikan, pemindahan kepemilikan maupun
pindahnya kepemilikan, dan sebab yang menjadikan kadar
perbuatan makallaf. Contoh sebab diantaranya: masuknya waktu
sholat maghrib adalah sebeb diwajibkannya sholat maghrib, atau
datangnya bulan Ramadhan menjadi sebab diwajibkannya
puasa.
b. Syarat
Syarat adalah penentu suatu pekerjaan itu benar atau tidak.
Bedanya dengan rukun, syarat bukan bagian dari pekerjaan itu
sendiri. Syarat dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu: syarat dari
syariat dan syarat buatan mukallaf. Contoh syarat diantaranya:
Syarat sahnya mendirikan sholat adalah adanya wudhu, namun
adanya wudhu tidak berarti harus sholat.
c. Penghalang
Penghalang (Mani’) adalah sesuatu yang dari segi hukum
keberadaannya meniadakan tujuan dimaksud dari sebab dan
hukum. Meski sebab maupun syarat sudah terpenuhi, namun jika
ada penghalang (Mani’) ini, maka pekerjaan tersebut tetap tidak
ada hukumnya. Contohnya: masuknya waktu sholat seharusnya
menjadi sebab kewajiban mendirikan sholat bagi siapapun, akan
tetapi Wanita yang sedang haid tidak boleh mendirikan sholat.
Maka dalam hal ini haidnya seoarang Wanita menjadi
penghalang kewajiban sholat.
d. Kewajiban asli dan keringanan
Keringan disini diberikan oleh Alloh kepada mukallaf pada suatu
kondisi tertentu saja. Maksudnya adalah keringanan dari
menjalankan kewajiban asli. Contohnya: Ketika sedang sakit
yang tidak memungkinkan untuk berdiri, maka dapat
mengerjkan sholat dengan cara duduk.
e. Sah dan tidak sah
Perkara yang sah berarti berlaku hukum-hukumnya. Sebaliknya,
jika perkara itu tidak sah, maka tidak berlaku hukum apa-apa.
Ketidaksahan ini dapat diakibatkan dari tidak terpenuhinya
syarat atau sebab yang sesuai dengan syariat. Contohnya: sholat
tanpa wudhu tidaklah sah.

B. Hukum Taklifi
1. Pengertian Hukum Taklifi
hukum taklifi adalah hukum yang mengatur perbuatan seseorang dalam
islam. Ini termasuk perintah dan larangan yang menentukan apa yang
wajib, dianjurkan, dibiarkan, makruh, atau haram dalam islam.
2. Macam-macam Hukum Taklifi
a. Wajib, adalah suatu perkara yang harus dilaksanakan, dimana akan
mendapat pahala jika melaksanakannya dan akan berdosa jika
meningalkannya.
b. Sunnah, perkara yang jika dikerjakan mendapat pahala dan jika
ditinggalkan tidak berdosa.
c. Haram, adalah suatu perkara yang harus ditinggalkan, dimana akan
mendapat dosa jika mel;akukannya.
d. Makruh, adalah suatu perkara yang dianjurkan syariat untuk
ditinggalkan, akan tetapi anjuran tersebut sifatnya tidak memaksa
seperti halnya hukum haram.
e. Mubah atau boleh
Pada hukum ini, syariat memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada mukallaf untuk memilih perkara yang mereka inginkan, baik
dia ingin melakukannya atau meninggalkannya.
3. Sumber hukum
Ilmu ushul fiqh taklifi membahas sumber-sumber hukum dalam islam
yang digunakan untuk menentukan hukum taklifi. Sumber-sumber ini
meliputi Al-Qur’an, Hadits (sunnah), Ijma (Konsensus), Qiyas
(analogi), dan istihsan (penyimpangan dari Qiyas.
4. Konsep Prinsip-prinsip Ushul Fiqh Taklifi
a. Ijma (Konsensus), Prinsip ini mengacu pada kesepakatan para
cendekiawan Islam dalam suatu masalah hukum.
b. Qiyas (Analogi), Prinsip ini menggambarkan Penggunaan analogi
untuk menentukan hukum dalam situasi dimana hukum langsung
dari Al-Qur’an atau hadits tidak ada.
c. Istihsan (penyimpangan dari Qiyas)
Prinsip ini memungkinkan seorang mujtahid (cendekiawan) untuk
meninggalkan Qiyas dan mengambil hukum yang dianggap lebih
maslahat (menguntungkan)
5. Metode penentuan hukum taklifi
Dalam ushul fiqh taklifi, para cemdekiawan islam menggunakan
metode-metode tertentu untuk menentukan hukum. Ini termasuk ijtihad
(usaha intelektual) yang dilakukan oleh mujtahid, yaitu individu yang
mampu mengambil hukum dari sumber-sumber hukum.

C. Hukum Takhyiri
1. Pengertian Hukum Takhyiri
Takhyir menurut Bahasa adalah pilihan atau memberi kebebasan
memilih. Sedangkan menurut istilah, merupakan perbuatan yang
diperintah Alloh SWT dan Rosul-Nya untuk memilih antara melakukan
atau tidak. Jadi hukum yang ditujukan dalam bentuk takhyir adalah halal
atau boleh dilakukan dalam arti tidak berpahala jika dilakukan dan tidak
berdosa jika ditinggalkan.
2. Kaidah-kaidah Takhyir
a. Menyatakan bahwa perbuatan itu halal dilakukan.
Seperti pada Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 187 yang dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri
kamu.
b. Pembolehan dengan menafikan dosa dari suatu perbuatan.
Dalam QS Al-Baqarah ayat 173 dijelaskan bahwa Ketika seorang
dalam keadaan terpaksa dan bahaya, maka diperbolehkan untuk
mengkonsumsi bangkai, darah, daging babi yang dalam keadaan
biasa diharamkan.
c. Pembolehan dengan menafikan kesalahan dari melakukan suatu
perbuatan.
Seperti QS Al-Baqarah ayat 235 yang menjelaskan membolehkan
meminang Wanita dalam idah wafat tetapi dengan sindiran bukan
dengan terus terang.
d. Tidak ada nash syara’ yang mengharamkannya.
Ketika tidak ada nash syara’ yang mengharamkannya maka
ketentuannya dikembalikan kepada hukum aslinya. Selama tidak
ada titah yang mengharamkannya maka hukumnya mubah.
DAFTAR PUSTAKA

Sadzali Ahmad, Pengantar Belajar Ushul Fiqh (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum
Islam (PSHI), 2017), Hal. 25-29
Miswanto Agus, Ushul Fiqh Metode Istinbath Hukum Islam (Yogyakarta: Magnum
Pustaka Utama, 2019), Hal. 78-80

Anda mungkin juga menyukai