Dosen pengampu:
Disusun oleh:
2023/2024
A. Ijma’
1. Pengertian Ijma’
Ijma’ ) (االجماعsecara bahasa dari kata ajma’-ayujmi’-ijma’an
اجماعا-يجمع-(اجمع yang memiliki arti sepakat, setuju,
mengumpulkan, menghimpun, dan tekad yang bulat. 1 Sementara,
menurut Imam Al-Amisi dalam kitabnya al-hikam fi ushul al-
ahkam, menyatakan bahwa ijma’ ) (االجماعmemiliki dua arti, yaitu
pertama, tekad ) (علي الشيءالعزمterhadap sesuatu dan kedua,
kesepakatan )(االتفاق.2
Ijma’ menurut istilah dalam perspektif ulama ushul
didefinisikan dalam beragam perspektif, sebagai berikut:
Abdul Hamid Hakim
“Secara istilah, Ijma’ adalah kesepakatan umat nabi
Muhammad SAW. Setelah wafatnya pada suatu masa terhadap suatu
masalah”.3
Dari definisi diatas, dapat difahami, bahwa yang dimaksud
dengan ijma’ adalah:
a. Kesepakatan seluruh mujtahid islam.
b. Kesepakatan itu terjadi pada suatu masa sesudah
wafatnya Rasulullah SAW.
c. Kesepakatan itu atas suatu hukum syara’ tentang suatu
kasus (peristiwa).
Mujtahid adalah orang yang berkompeten untuk
merumuskan hukum, sedangkan hukum syara’ adalah hukum yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani hukum).
2. Rukun Ijma’
1
Shafwan Bin Adnan Dawudi, Qowaid ushul al-fiqh wa tathbiqatuha, (TT:Dar al-Ashimah linasr
wa-tauzi’,tth), hlm. 661.
2
Abu al-hasan Sayid al-Din Ali bin Abi Ali Bin Muhammad bin salim al-Tsa’labiy Al-Amidiy, al-
Ihkam fi ushul al-Ahkam, ditahqiq oleh Abdurazaq Afifi, (Beirut-Libanon, al-Maktab al-Islamiy,
tth), I: 195.
3 Abdul Hamid Hakim, mabadi’ Awaliyah, hlm. 20.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, dalam kitabnya Al-Wajiz Fi
Ushul Al-Fiqh, bahwa rukun ijma’ ada enam perkara, yaitu:
a. Yang melakukan ijma itu sejumlah mujtahid, tidak
hanya satu orang mujtahid saja. Karena ijma’ berupa
kesepakatan para mujatahid.
b. Adanya kesepakatan semua para mujtahid atas
hukum syara’.
c. Hendaknya kesepakatan itu harus harus dipenuhi
oleh seluruh mujtahid dari berbagai negara islam
pada saat terjadinya peristiwa.
d. Kesepakatan itu dimulai dengan masing-masing
ulama menyampaikan pendapat secara terang terkait
dengan peristiwa hukum itu.
e. Kesepakatan itu terjadi dari kalangan ahli ijtihad
yang memilki sifat adil, terhindar dari bid’ah.
f. Orang-orang yang melakukan kesepakatan itru harus
bersandar pada hukum syara’ dalam ijma’ mereka
baik dari nash ataupun qiyas.4
3. Dasar hukum dan Kehujjahan Ijma’
• Al-Quran
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
RasulNya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika
kamu berlain pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya”. QS An-Nisa’ [4]: 59)
• Hadist
“Rasulullah SAW. Bersabda: segolongan dari umatku
senantiasa berpihak kepada kebenaran, tidak akan
4 Al-Zuhaili , Wahbah, al-Wajiz fi Ushul Fiqh, (Baerut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1999), hlm. 47-48.
membahayakan mereka, orangh yang merendahkan mereka
sampai datangnya keputusan keputusan Alla SWT”.
4. Macam-Macam Ijma’
• Berdasarkan cara ijma’ dilakukan, menurut al-Jizani:
a. Ijma’ Sarih adalah bentuk kesepakatan pendapat
dikalangan para ulama’, diamana para ulama
menyatakan persetujuannya terhadap suatu
persoalan hukum yangb terjadi, yang dinyatakan
secara jelas dengan lisan dan tulisan yang disertai
dengan alasan-alasan yang mendasarinya.
b. Ijma’ Sukuti adalah suatu bentuk ijma’ yang mana
para ulama tidak menyatakan kesepakan secara
keseluruhan terhadap suatu persoalan hukum yang
dibahas atau disepakati.
• Ijma’ dilihat berdasarkan pesertanya, menurut al-Jizani:
a. Ijma’ Umum adalah ijma’ kaum muslimin secara umum
terhadap apa yang diketahui dari agama ini secara
darurat. Seperti ijma’ terhadap kewajiban sholat, puasa
dan haji. Dan ini adalah qath’I yang tidak boleh
diperdepatkan lagi.5
b. Ima’ Khusus adalah apa yang disepakati oleh para
ulama, seperti kesepakatan mereka bahwa hubungan
seksual itu membatalkan puasa. Dan jenis ijma’ ini
kadang Qath’i dan kadang tidak Qath’i, oleh karena itu
wajib bersandar pada karakter ijma’ ini atas suatu
hukum terhadapnya6
• Ijma’ berdasarkan waktunya, menurut al-Jazani:
a. Ijma’ Sahabat adalah kesepakatan dikalangan dahabat
nabi tentang suatu peristiwa hukum saat itu.
5 Muhammad bin Husain bin Hasan al-Jazani, Ma’lim ushul al-fiqh, hlm. 158.
6 Muhammad bin Husain bin Hasan al-Jazani, Ma’lim ushul al-fiqh, hlm. 158.
b. Ijma’ Non-Sahabat adalah kesepakatan orang-orang
paska sahabat Nabi SAW. Dan para ahli ilmu (lama)
berbeda pendapat terkait kemungkinan terjadinya dan
kemungkinan untuk mengetahuinya.
• Ijma’ dilihat dari cara sampainya kepada kita. Menurut al-
Jizani7:
a. Ijma’ yang mutawatir adalah ijma’ yang diriwayatkan
sampai kepada kita dengan jalan mutawatir
b. Ijma’ yang ahad adalah ijma’ yang dari sisi periwayatan
disampaikan oleh orang yang sedikit jumlahnya.
• Ijma’ dilihat dari sisi kekuatan sebagai hujjah, menurut al-
Jizani
a. Ijma’ Qathi’I adalah ijma’ yang secara pasti dijadikan
sebagai hujjah.
b. Ijma’ Dzanni adalah ijma’ dari sisi hujjah menempati
posisi dzanni.
B. Qiyas
1. Pengertian Qiyas
Secara Bahasa qiyas adalah mengukur, menyamakan dan
menghimpun atau ukuran skala, bandingan dan analogi. 8 Secara
istilah menurut Syaikh Utsaimin qiyas adalah menyamakan cabang
(faru) denga nasal dalam suatu hukum karena adanya ilat (alasan
hukum) yang menghimpun diantara keduanya. 9
Menurut Shadr al-Syari’ah, Qiyas adalah memberlakukan
hukum asal pada hukum cabang disebabkan kesatuan ‘Illat yang
tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.10
Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa ulama klasik
dan kontemporer sepakar bahwa penetapan hukum melalui Qiyas
bukanlah penetapan hukum dari awal sebagaimana nash, melain-
7 Muhammad bin Husain bin Hasan al-Jazani, Ma’lim ushul al-fiqh, hlm. 158.
8 Syaikh al-Utsaimin, al-Ushul min ilm al-ushul, hlm.
9 Syaikh al-Utsaimin, al-Ushul min ilm al-ushul, hlm.
10 Suwarjin, Ushul Fiqih,hlm. 75.
kan hanya menyingkap dan menjelaskan hukum saja (Karyf wa
izhar al-bukm). Penyingkapan dimaksud dilakukan melalui
penelitian terhadap 'illat yang terdapat pada ashl dan cabang.
Misalnya, untuk mengetahui hukum meminum bir atau wisky,
dapat dilakukan melalui penelitian terhadap kandungannya. Kalau
ternyata terdapat zat yang memabukkan, maka hukum meminum
bir dan wisky tersebut disamakan dengan hukum meminum
khamer, yaitu haram, sebab terdapat kesamaan 'illat di antara
keduanya, yaitu memabukkan. 11
2. Rukun-Rukun Qiyas
Dari definisi Qiyas yang dikemukakan di atas, diketahui
bahwa rukun Qiyas itu ada empar, yaitu:12
a. Ashal atau pokok, yaitu suatu kasus yang sudah ada
ketetapan hukumnya berdasarkan nash Alquran atau
Sunnah. Ashl biasa disebut juga Magis ‘alaih atau
Musyabbah bih atau Mahmul ‘alaih.
b. Far’un atau cabang, yaitu suatu hukum yang belum
ada ketetapan hukumnya berdasarkan nash Alquran
dan Sunnah yang ingin disamakan hukumnya
dengan ashl. Far’un disebut juga Magis atau
Musyabbah atau Mahmul ilaih.
c. Hukum Ashal, yaitu hukum syara' yang ditetapkan
oleh nash pada ashl dan ingin ditetapkan juga pada
far'un.
d. Illat Hukum, yaitu sifat yang menjadi dasar
penetapan hukum pada ashl dan oleh karena sifat
tersebut juga terdapat pada far’un, maka far’un
disamakan hukumnya dengan ashl.
3. Macam-Macam Qiyas
Bahrudin, Moh. 2019. Ilmu Ushul Fiqh. Bandar Lampung : CV. Anugrah Utama
Raharja.
Suwarjin. 2012. Ushul Fiqh. Yogyakarta : Penerbit Teras.