Anda di halaman 1dari 11

NO.

6'7/XIll/19971
. . .. . ,,. '. -�... ,,,,'t. ., . . . ;.,,. ..

Ors. Zakaria Syafe'i

IJMA SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM


(Kajian tentang Kehujjahan Ijma'
dan Pengingkarannya)
I. PENDAHULUAN
beradaan Ijma' sebagai sumber
Sebagai sebuah ajaran, Islam hukum Islam, menjadi demikian
memiliki keistimewaan tersendiri penting bahkan kekuatan huj
dibanding dengan agama lain jahnya satu tingkat di bawah
yang ada di dunia ini. Keistime Qur'an dan Hadits.
w.aan itu paling tidak dapat dili
Ijma' sebagaimana didefinisi
hat dari fenomena yang terjadi
kan oleh sebagian besar ulama
pada masyarakat dunia penghuni
bumi ini, yaitu suatu realitas akan Ushul adalah kesepakatan selu
kebenaran Islam sebagai ajaran ruh ulama mujtahid dari kaum
yang dapat diterima sepanjang muslimin pada suatu masa sesu
zaman dan di tempat manapun dah wafat Rasulullah SAW atas
]uga. suatu hukum syara' pada suatu
kejadian (lihat Khalaf, 1994 : 64).
Fenomena ini ada, boleh jadi
karena Islam memiliki dua karak Dari definisi ini kemudian ba
ter yang menarik, yaitu orisinil nyak lahir permasalahan Ijma' ini
dalam konsepsi dan kondisional yaitu menyangkut pada perkem
dalam aplikasi. Hal ini dapat ter bangan pemikiran tentang ljma',
lihat empat sumber hukum dalam rukun-rukun, kedudukan, ke
Islam. Yaitu qur'an, Hadits, Ijma' mungkinan terjadinya, macam
dan Qiyas. Yang kesemuanya ba macam serta hukum menging
nya:k memberikan kontribusi bagi karinya. Yang kesemuanya ini
umat Islam. nanti akan diuraikan.
Khusus pada permasalahan Sebagian orang memperdebat
ljma' yang akan banyak diuraikan kan akan layak tidaknya Ijma'
pada makalah ini, juga memiliki dijadikan hujjah bagi permasala
fungsi guna memenuhi dua karak han hul�=- Hal ini didasarkan
ter Islam di atas. Di mana ke- atas qoth'i atau tidaknya Ijma'
itu sendiri. Tetapi yang jelas bah-

28
NO. 67/XIIl/19971

wa jumhur ulama berpendapat, ummat (seluruh mujtahidin) atas


keberadaan Ijma' sebagai sumber suatu hukum, maka tidak boleh
hukum Islam setelah Qur'an dan bagi seseorangpun untuk keluar
Hadits tidak diragukan lagi. dari ijma' itu, karena ummat itu
(para mujtahidin) tidaklah
II. IJMA' DAN PERMASALAH bersepakat dalam kesesatan
ANNYA (Hasbi Ash Shiddieqy, 1980: 203).
Ijma' adalah salah satu dalil Dari beberapa pendapat me
syara' yang memiliki tingkat ke ngenai definisi ijma', pada prin
kuatan argumentatif setingkat di sipnya mereka sependapat bahwa:
bawah dalil-dalil nash (al- Qur'an 1. Ijma' dapat terjadi dengan ke
dan al-Hadits). Ia merupakan dalil sepakatan para mujtahid
pertama setelah al- Qur'an dan al- 2. Adanya permasalahan yang
hadits, yang dapat dijadikan pe tidak terdapat dalam nash
doman dalam· menggali hukum qoth'i. 3.
hukum syara' (Abu Zahroh, 1994 Terjadi pada masa tertentu.
: 307).
Dengan demikian, Ijma' di-
Ijma' ditinjau dari segi bahasa pandang tidak sah, jika:
berarti sepakat, setuju, sependa
1. Ada yang tidak menyetujui
pat (Abd. Aziz, 1988 : 28). Adapun
menurut istilah, Ijma' ialah kese 2. Hanya ada seorang mujtahid
pakatan seluruh ulama mujtahid 3. Tidak ada kebulatan yang
dari kaum muslimin pada suatu nyata
masa sesudah wafatnya Rasulul 4. Sudah jelas terdapat dalam
lah Saw atas suatu hukum syara' nash.
(Az Zuhaili, 1986 ; 490).
Tetapi persoalannya sekarang
Menurut Khallaf (1994 : 64) adalah siapakah ulama mujta
Ijma' adalah kesepakatan semua hidin yang berhak menetapkan
mujtahidin di antara ummat Is ijma'. Madzhab Syi'ah berpen
lam pada suatu masa setelah ke dapat bahwa ijma' para imam dan
wafatan Rasulullah SAW atas hu mujtahid dari madzhab Syi'ah saja
kum syar'i mengenai suatu ke yang dapat dijadikan hujjah/argu
jadian/kasus. mentasi. Sementara itu menurut
Syaikhul Islam Ibnu Taimi pendapat Jumhur Ulama, Ijma'
yah berkata, Ijma' ialah berkum yang dapat dijadikan argumentasi
pul segala ulama atas suatu hu- adalah ijma' para ulama jumhur
kum. Apabila telah tsabit ijma' (lihat Az Zuhaili, 1986: 539).

29
Dalam pada itu, sejak periode
Qur'an dan Hadits.
sahabat hingga masa-masa imam
mujtahid, pemikiran ijma' telah 2. Pada masa ijtihad, para imam
berkembang melalui periodesasi mujtahid berusaha agar pen
sebagai berikut: dapatnya tidak menyimpang
1. Setelah Rasulullah wafat, dari apa yang telah ditetap kan
para sahabat melakukan ijti oleh para fuqoha di neger inya,
had untuk menetapkan hu sehingga imam mujtahid
kum tersebut tidak dipandang me-
nyimpang dalam pola .
terhadap pikirnya.
masalah-masalah yang mere Imam Abu Hanifah misalnya
ka hadapi, Khalifah Umar bin berusaha keras untuk meng
Khattab misalnya selalu men ilrnti hukum yang telah dise
gump�an para sahabat un pakati oleh ulama Kufah yang
tuh. berdiskusi dan bertukar hidup sebelumnya. Sedang
pikiran dalam menetapkan Imam Malik menganggap
hukum beberapa masalah bahwa Ijma' ahli Madinah da
yang mereka hadapi. Jika me pat dijadikan argumentasi.
reka telah bersepakat pada 3. Para fuqoha berusaha keras
suatu hukum, maka dia men untuk mengetahui ijma' dari
jalankan pemerintahannya sahabat untuk diikuti, agar
berdasarkan hukum yang te mereka tidak menyimpang
lah disepakati tersebut. Teta dari hukum yang telah dise
·pi bila mereka belum pakati oleh para sahabat.
menemu.kan titik temu (kon Bahkan ketika terjadi perbe
'Sensus), maka mereka meng daan pendapat di antara me
kaji kembali, hingga mencapai reka, maka mereka berusaha
pada hukum yang diputuskan agar pendapatnya tidak me
-0leh kalangan fuqoha di anta nyimpang dari pendapat-pen
.ra kalangan sahabat itu. De dapat para sahabat
ngan demikian hukum ter (Muhammad Abu Zahroh,
'Sebut telah disepakati para 1994 : 309).
mujtahid yang tentunya Dengan kecenderungan demi
mem punyru kedudukan yang kian, nampak bahwa ijma' dari
lebih sahabat mempunyai kedudukan
]mat dari pendapat peribadi. yang penting dalam ijtihad.
Na.mun pada umumnya, hu Suatu hukum dapat ditetap-
kum-hukum yang disepakati
adalah hukum-hukum yang
telah dijelaskan oleh nash al-
30
kan berdasarkan ijma', dan kehu
suatu keputusan (lihat Az Zahaili,
jjahannya dapat dipandang sah,
1986 : 537).
manaka1a ijma' itu telah meme
nuhi rukun-rukunnya, sebagai
berikut: III. IJMA' SEBAGAI SUMBER
Pertama, pada saat terjadinya HUKUM ISLAM
peristiwa itu, mujtahid itu jum Apabila rukun ijma' yang em
lahnya lebih dari seorang. Seluruh pat itu telah terealisir maka hu
pendapat itu setuju terhadap ke kum yang telah disepakati itu
putusan yang diambil itu. Artinya menjadi undang-undang syara
jika hanya seorang mujtahid saja yang harus diikuti dan tidak boleh
yang mengambil keputusan, maka ditentang. Ia merupakan hujjah
hal itu tidak dapat disebut ijma'. atau dalil dalam pembinaan hu
Kedua, kesepakatan ulama kum Islam. Bagi mujtahid ber
atas suatu hukum itu dapat di ikutnya tidak boleh menjadikan
realisasikan. Terjadinya kesepa keputusan itu sebagai objek ijti
katan sebagian besar ulama, ti hadnya, karena hukum yang telah
daklah berarti ijma' itu terjadi. ditetapkan mengenai suatu ke
jadian dengan ijma' adalah hukum
Ketiga, adanya kesepakatan
seinua mujtahid ummat Islam syara secara pasti, tidak ada jalan
atas suatu hukum syar'i tentang untuk menentangnya atau meng
suatu peristiwa pada waktu ter hapusnya.
jadinya, tanpa memandang negeri
mereka, kebangsaannya atau ke Bukti kehujjahan ijma' adalah:
lompoknya. Maka jika ada kese Pertama, dalam al�Qur'an Su
pakatan ulama Makkah saja atau rat an-Nisa ayat 59 Allah nieme
Madinah saja, atau Irak saja, atau rintahkan untuk taat kepada ulil
dan lain-lain, maka tidaklah di amri. Lafadz Amri adalah hal-hal
katakan ijma' menurut syara'. keadaan dan ia adalah umum.
Keempat, adanya kesepa-, Ulil Aron duniawi adalah para
katan mereka itu dengan menam raja, pemimpin dan penguasa. Se
pilkan pendapat masing-masing dang Ulil Amri agamawi adalah
· mereka secara transparan dan je para mujtahid atau ahli fatwa
las mengenai suatu kejadian, baik agama. Ibnu Abbas menafsiri ulil
dalam bentuk ucapan misalnya amri dengan ulama. Yang jelas
dengan memberi fatwa, atau da Ijma' memiliki kekuatan hukum.
lam bentuk perbuatan misalnya Artinya ayat di atas menunjukkan
wajib mematuhi hukum yang di-

31
AL-QAIAM

sepakati oleh seluruh ulama mu masing-masing mujtahid dapat


jtahid atau masa.
memperhatikan pendapatnya de
Kedua, bahwasanya suatu hu ngan sesuatu yang dapat diper
kum yang telah disepakati oleh tanggung jawabkan, maka perso
pendapat semua mujtahid ummat alannya adalah apa yang dapat
Islam, pada hakekatnya hukum menjamin bahwa mujtahid yang
ummat Islam. Hal ini sebagai menampilkan pendapatnya itu
mana had.its nabi sebagai berikut akan tetap berpegang pada pen
dapatnya itu sampai diambil pen
dapat-pendapat yang lain? Pada
Artinya: "Tidaklah berkumpul ummatku hal mutlak diperlukan dalam me
untuk melakukkan kesalahan". wujudkan ijma, ketetapan kata
mufakat para mujtahidin semua
� 0�-1
nya, pada suatu waktu atas satu
c,i) Lo'
� J11.>.-s- � hukum mengenai suatu peristiwa.
Ringkasnya, bahwa ijma' tidak
Artinya: "Apa-apa yang menurut penda
pat kaum muslimin baik, maka ia baik mungkin diwujudkan.
(pula) di sisi Allah". (lihat Az Zahaili, 1986 Jika ijma' itu diwujudkan,
: 542-543).
maka ia harus disandarkan kepa
da dalil. Dan bila dalil yang men
Menurut adat, merealisasikan jadi sandaran itu qoth'i, maka hal
rukun-rukun ijma' seperti yang yang mustahil menurut adat, jika
telah diuraikan di atas, nampak dalil itu disembunyikan. Karena
nya ijma' tersebut sulit untuk di bagi ummat Islam tidaklah
wujudkan, karena tidak adanya tersembunyi bagi mereka dalil
ukuran, m.isalnya karena perbe syar'i yang qoth'i sampai mereka
daan bangsa atau marga. Artinya, memerlukan kembali kepada mu
jika ijma' didefinisikan dengan jtahid. Dan jika ijma'nya adalah
"kesepakatan para mujtahid da- berupa dalil dzonni, tentu musta
lam setiap masa terhadap hukum hil menurut adat (kebiasaan)
hukum .syara'", maka ijma' terse Ijma', karena dalil dzonni ti
but tidak akan terjadi. Karena dak bisa tidak, tentu menjadi ob
para mujtahid berdomisili di ber jek pertentangan. Imam Ahmad
bagai negara dan kota yang tidak bin Hanbal mengatakan: Siapa
mungkin semua dipertemukan da yang mengaku adanya ijma', dia
lam suatu tempat. itu adalah pendusta (lihat Khalaf,
Kalaupun memang terjadi 1994 : 70-71).
Tetapi jika yang dimaksud
32
ijma' adalah kesepakatan para
jauhan, sehingga mereka ti
mujtahid terhadap hukum-hukum
dak mungkin dipertemukan.
syara' yang telah ditetapkan ber
dasarkan dalil nash yang qoth'i, 2. Terjadinya perbedaan penda
maka hal itu mungkin terjadi. pat di antara para fuqoha
Bahkan dalam hal ini, yang men yang tersebar di berbagai dae
jadi hujjah bukan ijma', melain rah.
kan dalil- dalil nash yang qoth'i. Tidak ada kesepakatan ulama
tentang orang-orang yang di
Adapun mengenai kriteria terima ijma'nya.
mujtahid, Imam Syafe'i membuka 4. Tidak adanya kesepakatan
dialog dalam kitab Jima'ul Ilmi para ulama tentang kriteria
sebagai berikut: Siapakah di an ulama yang berhak untuk ber
tara ulama yang ijma'nya dapat pendapat dalam masalah-ma
dijadikan hujjah ialah orang- salah fiqih.
orang yang diakui (diangkat) oleh Meskipun Imam Syafe'i cen
pen duduk suatu negara sebagai derung menolak kemurigkinan ter�
ahli fiqih yang fatwa-fatwanya jadinya ijma', akan tetapi dalam
dapat diterima oleh penduduk kitab Ar-Risalah dia telah mene
tersebut dengan senang hati (Abu tapkan bahwa ijma' dapat terjadi
Zahroh, 1994: 310). dalam masalah-masalah yang
Kemudian pada bagian yang diperde-batkan (Abu Zahroh, 1994:
lain, Abu Zahroh (1994: 311) men 311-312).
gatakan, bahwa pendapat seorang Jumhur· ulama berpendapat
mujtahid di suatu tempat tidak bahwa ijma' itu bisa wujud me
menutup kemungkinan untuk ter nurut adat. Mereka berkata: Se
jadinya kritik dan penolakan dari
sungguhnya pendapat yang dinya
sebagian penduduknya. Setiap takan orang penentang akan ke
pendapat para ulama pasti mungkinan terjadinya ijma' ada
memiliki cacat yang menjadi ba lah merupakan hal yang nyata.
han kritik bagi ulama lain Sekalipun dikemukakan dalil atas
senegaranya; kemungkinan terjadinya. Contoh
Imam Syafe'i cenderung me ijma' menurut mereka adalah kek
nolak terjadinya ijma' dengan halifahan Abu Bakar, keharaman
alasan- alasan sebagai berikut: lemak babi, bagian warisan
I. Para Fuqoha berdomisili di seperenam bagi anak perempuan,
berbagai tempat yang her- tertutupnya ibnul ibni dari pewar-·
isan sebab adanya ibni, dan lain

33
AL•QALMI
NO. 67/XIll/19971

sebagainya dari hukum-hukum


suatu masa atas hukum suatu
juz'iyah dan kulliyah (Khalaf,
peristiwa dengan menampilkan
1994: 72).
pendapat masing-masing secara
Adapun Khalaf (1994: 72) me jelas dengan sistem fatwa atau
nyatakan pendapatnya bahwa qodho' (memberi putusan). Artinya
ijma' tidak akan terwujud secara setiap mujtahid menyampaikan
adat tanpa campur tangan peme ucapan atau perbuatan yang men
rintah Islam. Artinya setiap pe gungkapkan secara jelas tentang
merintahan Islam bisa menentu pendapatnya.
kan syarat- syarat seorang mu
Ijma' ini termasuk katagori
jtahid. Dan hukum yang telah
haqiqi, ijma' yang dijadikan hujah
disepakati menjadi hukum syara'
syar'iyah menurut madzhab jum
yang harus diikuti oleh ummat
hur.
Islam seluruhnya. Adapun ijma'
secara realitas sekarang ini tidak Kedua; Ijma' Sukuti, yaitu se
lah terjadi yang ada hanyalah ke bahagian mujtahid suatu masa
sepakatan para ilmuwan atau hu menampilkan pendapatnya secara
kum yang dihasilkan dari musy jelas mengenai suatu peristiwa de
awarah jama'ah. ngan sistem fatwa atau qodho',
Terlepas dari hal itu semua, sedang sebahagian mujtahid tidak
memberikan tanggapan terhadap
maka pada hakekatnya benarlah
pendapat tersebut mengenai ke
pendapat ulama yang men
cocokannya atau perbedaannya.
gatakan, bahwa tidak ada ijma'
yang disepakati dan diterima oleh Ijma' mi termasuk pada
semua ulama, kecuali ijma'nya sa katagori ijma' i'tibari (dianggap
habat. Di dalam mengomentari ada ijma'), karena seorang mujta
masalah-masalah yang dianggap hid yang diam belum tentu setuju.
telah terjadi ijma', Imam Ahmad Oleh karenanya kehujjahannya
bin Hanbal menyatakan, "kami dipertentangkan, ia hanya penda
tidak melihat pertentangan ulama pat sebagian mujtahid. Sedang
dalam masalah tersebut" (Abu Za ulama Hanafiyah menilai ijma'
hroh : 1994 : 314). sukuti adalah sebagai hujjah.
Diam menurut Hanafiyah berarti
Adapun ijma' ditinjau dari
setuju (lihat Az Zuhaili, 1986: 552-
sudut cara menghasilkannya, ada
553 ). Sedangkan Khalaf (1994
dua macam yaitu: 75) menyatakan, bahwa pendapat
Pertama; Ijma' Shorih, yaitu yang saya anggap utama adalah
kesepakatan para mujtahid pada pendapat jumhur.

34

NO. G7/XIII)I997

ljma' bila ditinjau dari segi ijma' shorih adalah kufur. Misal
dalalahnya terbagi kepada dua, nya mengingkari ijma' sahabat.
yaitu: Hal ini disebabkan karena ijma'
Pertama, Ijma' yang qoth'i para sahabat terhadap hukum-hu
dalalahnya atas hukum (yang di kum syar'i telah ditetapkan secara
hasilkan), yaitu ijma' shorih, de mutawatir. Dengan demikian
ngan artian bahwa hukumnya te sanad dari ijma' ini adalah qoth'i,
lah dipastikan, dan tidak ada ja sebagaimana hukum yang disepa
lan mengeluarkan hukum lain kati juga bersifat qoth'i.
yang bertentangan. Tidak pula Imam Fakhrurrozi dan mayo
diperkenankan mengadakan ijti ritas fuqoha berkata: ljma' yang
had mengenai suatu kejadian se diriwayatkan secara perseorangan
telah terjadinya ijma' shorih atas (ahad) tidak dapat dijadikan hu
hukum syara' mengenai kejadian jjah. Sebagai alasan, faktor yang
itu. menyebabkan ijma' dapat dijadi
Kedua, ijma' yang dhonni kan hujjah adalah terletak pada
dalalahnya atas hukum ( yang sifatnya yang qoth'i, yaitu bahwa
dihasilakan ), yaitu ijma' sukuti, ijma' tersebut disandarkan pada
dengan artian bahwa hukum itu para ulama yang membentuknya.
didugakan menurut dugaan yang Jika ijma' di atas telah kehilangan
kuat, dan tidak bisa dilepas bila sifatnya yang qoth'i, lantaran diri
kejadian itu terlepas dari usaha wayatkan oleh perseorangan
ijtihad. Karena ia adalah hasil (ahad) sehingga sanadnya menjadi
pencerminan pendapat jama'ah dzonni, maka ia telah kehilangan
mujtahidin yang bukan keselu ruhan fungsinya. Dengan demikian hu
(Khalaf, 1994 : 75-76). kum yang ditetapkan berdasarkan
ijma' tergantung pada nash yang
Berdasarkan uraian di atas,
dijadikan landasan oleh ijma' ter
menurut golongan Hanafiyah ke
sebut (Abu Zahroh, 1994 : 327).
dua macam ijma' tersebut adalah
ijma' yang sebenarnya. Sedangkan Oleh karena itu, mengingkari
menurut imam Syafe'i hanya ijma' ijma' berati mengingkari dalil
shorih saja yang disebut ijma' se qoth'i dan selanjutnya mengan
benarnya. dung pengertian mengingkari ke
benaran Rasulullah Saw, yang de
Mengenai kedudukan hukum mikian itu adalah kufur.
orang yang mengingkari hukum
hasil ijma', menurut sebagian Sebagian ulama yang lain
ulama, bahwa mengingkari hasil ber pendapat, bahwa mengingkari
hu kum ijma' itu tidaklah kufur,
ka-

35
�L-QALAltl .· NO•.67/XIIl/1997i

rena dalil kehujjahan ijma' adalah Ijma' tidak dipandang sah ke


dalil dzonni bukan qoth'i. Kiranya cuali apabila ada sandarannya, se
yang kuat adalah apa yang dika bab ijma' bukan merupakan dalil
takan oleh Muhammad Khudhari yang berdiri sendiri. Fatwa ulama
Beyk (1988 : 288). Mengatakan atau keputusan hukum berda
kafir secara mutlak kepada orang sarkan ijma' tanpa sandaran ada
yang mengingkari hukum hasil lah keliru.
ijma' adalah tidak betul. Imam
Haramain berkata: Telah masyhur Ijma memiliki rukun dan ma
di kalangan ulama fiqih bahwa sih mungkin untuk dilakukan jika
orang yang mengingkari hukum terdapat beberapa faktor pen
hasil ijma' itu kafir, hal itu pasti dukung. Namun demikian umum
tidak benar. Karena mengingkari nya sulit untuk diwujudkan, ke
kehujjahan ijma' saja tidak kafir, cuali ijma' sahabat yang para
mengatakan seseorang itu kafir fuqoha tidak meragukannya lagi.
atau bukan tidak mudah. Adapun hukum orang yang
Adapun mengingkari hukum mengingkari ijma' terdapat dua
hasil ijma' dhonni, para ulama pendapat, yaitu sebagian mengka
sependapat bahwa hal itu tidak firkan dan sebagian lagi tidak
sampai mengakibatkan seseorang menganggap kafir. Hal ini tergan
menjadi kafir. tung daripada kualitas ijma' itu
sendiri.

VI. KESIMPULAN
DAFTAR PUSAKA
Dari uaraian tentang ijma' di Abdul Aziz, I/mu Ushul Fiqih, Bineka Cipta,
atas dapatlah ditarik suatu kesim Jakarta, 1995
pulan bahwa sebagian besar Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Is
ulama sepakat, Ijma' adalah me lam, jld I, Bulan Bintang, Jakarta,
1980.
rupakan sumber hukum Islam
Khudhari Beyk, Ushul Fiqih, Dar el Fikri,
yang ketiga setelah al-Qur'an dan Bairut. 1988.
al-hadits. Eksistensinya dapat di Abu Zahroh, Muhammad, Ushut Fiqih, alih
jadikan hujjah bagi permasalahan bahasa Saifullah Ma'shum, Pustaka
hukum yang tidak terdapat nash Firdaus, Jakarta, 1994.
atau terdapat nash yang nilainya Khalaf, Abdul Wahab, I/mu Ushul Fiqih, alih
bahasa Tholhah Mansur dkk, Kaidah
dzonni, sehingga dengan telah di kaidah Hukum Islam, Rajawali Press,
ijma'kannya, maka berubahlah Jakarta, ·1994.
kedudukkan nash yang dzonni itu Az Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqih /slami, Dar
menjadi qoth'i. el Fikri, Bairut, 1986.

36

Anda mungkin juga menyukai