6'7/XIll/19971
. . .. . ,.,. '. -�... ,,,,'t. ., . . . ;.,,. ..
28
NO. 67/XIIl/19971
29
Dalam pada itu, sejak periode Qur'an dan Hadits.
sahabat hingga masa-masa imam 2. Pada masa ijtihad, para imam
mujtahid, pemikiran ijma' telah mujtahid berusaha agar pen
berkembang melalui periodesasi dapatnya tidak menyimpang
sebagai berikut: dari apa yang telah ditetap
1. Setelah Rasulullah wafat, kan oleh para fuqoha di neger
para sahabat melakukan ijti inya, sehingga imam mujtahid
had untuk menetapkan hu tersebut tidak dipandang me-
kum terhadap nyimpang dalam pola .
masalah-masalah yang mere pikirnya.
ka hadapi, Khalifah Umar bin Imam Abu Hanifah misalnya
Khattab misalnya selalu men berusaha keras untuk meng
gump�an para sahabat un ilrnti hukum yang telah dise
tuh. berdiskusi dan bertukar pakati oleh ulama Kufah yang
pikiran dalam menetapkan hidup sebelumnya. Sedang
hukum beberapa masalah Imam Malik menganggap
yang mereka hadapi. Jika me bahwa Ijma' ahli Madinah da
reka telah bersepakat pada pat dijadikan argumentasi.
suatu hukum, maka dia men 3. Para fuqoha berusaha keras
jalankan pemerintahannya untuk mengetahui ijma' dari
berdasarkan hukum yang te sahabat untuk diikuti, agar
lah disepakati tersebut. Teta mereka tidak menyimpang
·pi bila mereka belum dari hukum yang telah dise
menemu.kan titik temu (kon pakati oleh para sahabat.
'Sensus), maka mereka meng Bahkan ketika terjadi perbe
kaji .kembali, hingga mencapai daan pendapat di antara me
pada hukum yang diputuskan reka, maka mereka berusaha
-0leh kalangan fuqoha di anta agar pendapatnya tidak me
.ra kalangan sahabat itu. De nyimpang dari pendapat-pen
ngan demikian hukum ter dapat para sahabat
'Sebut telah disepakati para (Muhammad Abu Zahroh,
mujtahid yang tentunya mem 1994 : 309).
punyru kedudukan yang lebih
Dengan kecenderungan demi
]mat dari pendapat peribadi.
kian, nampak bahwa ijma' dari
Na.mun pada umumnya, hu
sahabat mempunyai kedudukan
kum-hukum yang disepakati
yang penting dalam ijtihad.
adalah hukum-hukum yang
telah dijelaskan oleh nash al- Suatu hukum dapat ditetap-
30
kan berdasarkan ijma', dan kehu suatu keputusan (lihat Az Zahaili,
jjahannya dapat dipandang sah, 1986 : 537).
manaka1a ijma' itu telah meme
nuhi rukun-rukunnya, sebagai
III. IJMA' SEBAGAI SUMBER
berikut:
HUKUM ISLAM
Pertama, pada saat terjadinya
Apabila rukun ijma' yang em
peristiwa itu, mujtahid itu jum
pat itu telah terealisir maka hu
lahnya lebih dari seorang. Seluruh
kum yang telah disepakati itu
pendapat itu setuju terhadap ke
menjadi undang-undang syara
putusan yang diambil itu. Artinya
yang harus diikuti dan tidak boleh
jika hanya seorang mujtahid saja
ditentang. Ia merupakan hujjah
yang mengambil keputusan, maka
atau dalil dalam pembinaan hu
hal itu tidak dapat disebut ijma'.
kum Islam. Bagi mujtahid ber
Kedua, kesepakatan ulama ikutnya tidak boleh menjadikan
atas suatu hukum itu dapat di keputusan itu sebagai objek ijti
realisasikan. Terjadinya kesepa hadnya, karena hukum yang telah
katan sebagian besar ulama, ti ditetapkan mengenai suatu ke
daklah berarti ijma' itu terjadi. jadian dengan ijma' adalah hukum
Ketiga, adanya kesepakatan syara secara pasti, tidak ada jalan
seinua mujtahid ummat Islam untuk menentangnya atau meng
atas suatu hukum syar'i tentang hapusnya.
suatu peristiwa pada waktu ter
jadinya, tanpa memandang negeri
Bukti kehujjahan ijma' adalah:
mereka, kebangsaannya atau ke
lompoknya. Maka jika ada kese Pertama, dalam al�Qur'an Su
pakatan ulama Makkah saja atau rat an-Nisa ayat 59 Allah nieme
Madinah saja, atau Irak saja, atau rintahkan untuk taat kepada ulil
dan lain-lain, maka tidaklah di amri. Lafadz Amri adalah hal-hal
katakan ijma' menurut syara'. keadaan dan ia adalah umum.
Keempat, adanya kesepa-,
Ulil Aron duniawi adalah para
raja, pemimpin dan penguasa. Se
katan mereka itu dengan menam
dang Ulil Amri agamawi adalah
pilkan pendapat masing-masing
para mujtahid atau ahli fatwa
· mereka secara transparan dan je
agama. Ibnu Abbas menafsiri ulil
las mengenai suatu kejadian, baik amri dengan ulama. Yang jelas
dalam bentuk ucapan misalnya
Ijma' memiliki kekuatan hukum.
dengan memberi fatwa, atau da Artinya ayat di atas menunjukkan
lam bentuk perbuatan misalnya
wajib mematuhi hukum yang di-
31
AL-QAIAM
32
ijma' adalah kesepakatan para jauhan, sehingga mereka ti
mujtahid terhadap hukum-hukum dak mungkin dipertemukan.
syara' yang telah ditetapkan ber 2. Terjadinya perbedaan penda
dasarkan dalil nash yang qoth'i, pat di antara para fuqoha
maka hal itu mungkin terjadi. yang tersebar di berbagai dae
Bahkan dalam hal ini, yang men rah.
jadi hujjah bukan ijma', melain
3. Tidak ada kesepakatan ulama
kan dalil- dalil nash yang qoth'i.
tentang orang-orang yang di
terima ijma'nya.
Adapun mengenai kriteria
4. Tidak adanya kesepakatan
mujtahid, Imam Syafe'i membuka
para ulama tentang kriteria
dialog dalam kitab Jima'ul Ilmi
ulama yang berhak untuk ber
sebagai berikut: Siapakah di an
pendapat dalam masalah-ma
tara ulama yang ijma'nya dapat
salah fiqih.
dijadikan hujjah ialah orang-orang
yang diakui (diangkat) oleh pen Meskipun Imam Syafe'i cen
duduk suatu negara sebagai ahli derung menolak kemurigkinan ter�
fiqih yang fatwa-fatwanya dapat jadinya ijma', akan tetapi dalam
diterima oleh penduduk tersebut kitab Ar-Risalah dia telah mene
dengan senang hati (Abu Zahroh, tapkan bahwa ijma' dapat terjadi
1994: 310). dalam masalah-masalah yang
diperde-batkan (Abu Zahroh, 1994:
Kemudian pada bagian yang
311-312).
lain, Abu Zahroh (1994: 311) men
gatakan, bahwa pendapat seorang Jumhur· ulama berpendapat
mujtahid di suatu tempat tidak bahwa ijma' itu bisa wujud me
menutup kemungkinan untuk ter nurut adat. Mereka berkata: Se
jadinya kritik dan penolakan dari sungguhnya pendapat yang dinya
sebagian penduduknya. Setiap takan orang penentang akan ke
pendapat para ulama pasti mungkinan terjadinya ijma' ada
memiliki cacat yang menjadi ba lah merupakan hal yang nyata.
han kritik bagi ulama lain Sekalipun dikemukakan dalil atas
senegaranya; kemungkinan terjadinya. Contoh
ijma' menurut mereka adalah kek
Imam Syafe'i cenderung me halifahan Abu Bakar, keharaman
nolak terjadinya ijma' dengan
lemak babi, bagian warisan
alasan- alasan sebagai berikut: seperenam bagi anak perempuan,
I. Para Fuqoha berdomisili di tertutupnya ibnul ibni dari pewar-·
berbagai tempat yang her- isan sebab adanya ibni, dan lain
33
AL•QALMI NO. 67/XIll/19971
34
�
NO. G7/XIII)I997
ljma' bila ditinjau dari segi ijma' shorih adalah kufur. Misal
dalalahnya terbagi kepada dua, nya mengingkari ijma' sahabat.
yaitu: Hal ini disebabkan karena ijma'
Pertama, Ijma' yang qoth'i para sahabat terhadap hukum-hu
dalalahnya atas hukum (yang di kum syar'i telah ditetapkan secara
hasilkan), yaitu ijma' shorih, de mutawatir. Dengan demikian
ngan artian bahwa hukumnya te sanad dari ijma' ini adalah qoth'i,
lah dipastikan, dan tidak ada ja sebagaimana hukum yang disepa
lan mengeluarkan hukum lain kati juga bersifat qoth'i.
yang bertentangan. Tidak pula Imam Fakhrurrozi dan mayo
diperkenankan mengadakan ijti ritas fuqoha berkata: ljma' yang
had mengenai suatu kejadian se diriwayatkan secara perseorangan
telah terjadinya ijma' shorih atas (ahad) tidak dapat dijadikan hu
hukum syara' mengenai kejadian jjah. Sebagai alasan, faktor yang
itu. menyebabkan ijma' dapat dijadi
Kedua, ijma' yang dhonni kan hujjah adalah terletak pada
dalalahnya atas hukum ( yang sifatnya yang qoth'i, yaitu bahwa
dihasilakan ), yaitu ijma' sukuti, ijma' tersebut disandarkan pada
dengan artian bahwa hukum itu para ulama yang membentuknya.
didugakan menurut dugaan yang Jika ijma' di atas telah kehilangan
kuat, dan tidak bisa dilepas bila sifatnya yang qoth'i, lantaran diri
kejadian itu terlepas dari usaha wayatkan oleh perseorangan
ijtihad. Karena ia adalah hasil (ahad) sehingga sanadnya menjadi
pencerminan pendapat jama'ah dzonni, maka ia telah kehilangan
mujtahidin yang bukan keselu fungsinya. Dengan demikian hu
ruhan (Khalaf, 1994 : 75-76). kum yang ditetapkan berdasarkan
ijma' tergantung pada nash yang
Berdasarkan uraian di atas,
dijadikan landasan oleh ijma' ter
menurut golongan Hanafiyah ke
sebut (Abu Zahroh, 1994 : 327).
dua macam ijma' tersebut adalah
ijma' yang sebenarnya. Sedangkan Oleh karena itu, mengingkari
menurut imam Syafe'i hanya ijma' ijma' berati mengingkari dalil
shorih saja yang disebut ijma' se qoth'i dan selanjutnya mengan
benarnya. dung pengertian mengingkari ke
benaran Rasulullah Saw, yang de
Mengenai kedudukan hukum
mikian itu adalah kufur.
orang yang mengingkari hukum
hasil ijma', menurut sebagian Sebagian ulama yang lain ber
ulama, bahwa mengingkari hasil pendapat, bahwa mengingkari hu
kum ijma' itu tidaklah kufur, ka-
35
�L-QALAltl .· NO•. 67/XIIl/1997i
rena dalil kehujjahan ijma' adalah Ijma' tidak dipandang sah ke
dalil dzonni bukan qoth'i. Kiranya cuali apabila ada sandarannya, se
yang kuat adalah apa yang dika bab ijma' bukan merupakan dalil
takan oleh Muhammad Khudhari yang berdiri sendiri. Fatwa ulama
Beyk (1988 : 288). Mengatakan atau keputusan hukum berda
kafir secara mutlak kepada orang sarkan ijma' tanpa sandaran ada
yang mengingkari hukum hasil lah keliru.
ijma' adalah tidak betul. Imam Ijma memiliki rukun dan ma
Haramain berkata: Telah masyhur sih mungkin untuk dilakukan jika
di kalangan ulama fiqih bahwa terdapat beberapa faktor pen
orang yang mengingkari hukum dukung. Namun demikian umum
hasil ijma' itu kafir, hal itu pasti nya sulit untuk diwujudkan, ke
tidak benar. Karena mengingkari cuali ijma' sahabat yang para
kehujjahan ijma' saja tidak kafir, fuqoha tidak meragukannya lagi.
mengatakan seseorang itu kafir
Adapun hukum orang yang
atau bukan tidak mudah.
mengingkari ijma' terdapat dua
Adapun mengingkari hukum pendapat, yaitu sebagian mengka
hasil ijma' dhonni, para ulama firkan dan sebagian lagi tidak
sependapat bahwa hal itu tidak menganggap kafir. Hal ini tergan
sampai mengakibatkan seseorang tung daripada kualitas ijma' itu
menjadi kafir. sendiri.
36