Anda di halaman 1dari 9

NO.

6'7/XIll/19971
. . .. . ,.,. '. -�... ,,,,'t. ., . . . ;.,,. ..

Ors. Zakaria Syafe'i

IJMA SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM


(Kajian tentang Kehujjahan Ijma'
dan Pengingkarannya)
I. PENDAHULUAN beradaan Ijma' sebagai sumber
Sebagai sebuah ajaran, Islam hukum Islam, menjadi demikian
memiliki keistimewaan tersendiri penting bahkan kekuatan huj­
dibanding dengan agama lain jahnya satu tingkat di bawah
yang ada di dunia ini. Keistime­ Qur' an dan Hadits.
w.aan itu paling tidak dapat dili­ Ijma' sebagaimana didefinisi­
hat dari fenomena yang terjadi kan oleh sebagian besar ulama
pada masyarakat dunia penghuni Ushul adalah kesepakatan selu­
bumi ini, yaitu suatu realitas akan ruh ulama mujtahid dari kaum
kebenaran Islam sebagai ajaran muslimin pada suatu masa sesu­
yang dapat diterima sepanjang dah wafat Rasulullah SAW atas
zaman dan di tempat manapun suatu hukum syara' pada suatu
]uga. kejadian (lihat Khalaf, 1994 : 64).
Fenomena ini ada, boleh jadi Dari definisi ini kemudian ba­
karena Islam memiliki dua karak­ nyak lahir permasalahan Ijma' ini
ter yang menarik, yaitu orisinil yaitu menyangkut pada perkem­
dalam konsepsi dan kondisional bangan pemikiran tentang ljma',
dalam aplikasi. Hal ini dapat ter­ rukun-rukun, kedudukan, ke­
lihat empat sumber hukum dalam mungkinan terjadinya, macam­
Islam. Yaitu qur'an, Hadits, Ijma' macam serta hukum menging­
dan Qiyas. Yang kesemuanya ba­ karinya. Yang kesemuanya ini
nya:k memberikan kontribusi bagi nanti akan diuraikan.
umat Islam. Sebagian orang memperdebat­
Khusus pada permasalahan kan akan layak tidaknya Ijma'
ljma' yang akan banyak diuraikan dijadikan hujjah bagi permasala­
pada makalah ini, juga memiliki han hul�=- Hal ini didasarkan
fungsi guna memenuhi dua karak­ atas qoth'i atau tidaknya Ijma'
ter Islam di atas. Di mana ke- itu sendiri. Tetapi yang jelas bah-

28
NO. 67/XIIl/19971

wa jumhur ulama berpendapat, ummat (seluruh mujtahidin) atas


keberadaan Ijma' sebagai sumber suatu hukum, maka tidak boleh
hukum Islam setelah Qur'an dan bagi seseorangpun untuk keluar
Hadits tidak diragukan lagi. dari ijma' itu, karena ummat itu
(para mujtahidin) tidaklah
bersepakat dalam kesesatan
II. IJMA' DAN PERMASALAH­
(Hasbi Ash Shiddieqy, 1980: 203).
ANNYA
Dari beberapa pendapat me­
Ijma' adalah salah satu dalil
ngenai definisi ijma', pada prin­
syara' yang memiliki tingkat ke­
sipnya mereka sependapat bahwa:
kuatan argumentatif setingkat di
bawah dalil-dalil nash (al- Qur'an 1. Ijma' dapat terjadi dengan ke­
dan al-Hadits). Ia merupakan dalil sepakatan para mujtahid
pertama setelah al- Qur'an dan 2. Adanya permasalahan yang
al-hadits, yang dapat dijadikan pe­ tidak terdapat dalam nash
doman dalam· menggali hukum­ qoth'i. 3.
hukum syara' (Abu Zahroh, 1994 Terjadi pada masa tertentu.
: 307).
Dengan demikian, Ijma' di-
Ijma' ditinjau dari segi bahasa pandang tidak sah, jika:
berarti sepakat, setuju, sependa­
1. Ada yang tidak menyetujui
pat (Abd. Aziz, 1988 : 28). Adapun
menurut istilah, Ijma' ialah kese­ 2. Hanya ada seorang mujtahid
pakatan seluruh ulama mujtahid 3. Tidak ada kebulatan yang
dari kaum muslimin pada suatu nyata
masa sesudah wafatnya Rasulul­ 4. Sudah jelas terdapat dalam
lah Saw atas suatu hukum syara' nash.
(Az Zuhaili, 1986 ; 490). Tetapi persoalannya sekarang
Menurut Khallaf (1994 : 64) adalah siapakah ulama mujta­
Ijma' adalah kesepakatan semua hidin yang berhak menetapkan
mujtahidin di antara ummat Is­ ijma'. Madzhab Syi'ah berpen­
lam pada suatu masa setelah ke­ dapat bahwa ijma' para imam dan
wafatan Rasulullah SAW atas hu­ mujtahid dari madzhab Syi'ah saja
kum syar'i mengenai suatu ke­ yang dapat dijadikan hujjah/argu­
jadian/kasus. mentasi. Sementara itu menurut
Syaikhul Islam Ibnu Taimi­ pendapat Jumhur Ulama, Ijma'
yah berkata, Ijma' ialah berkum­ yang dapat dijadikan argumentasi
pul segala ulama atas suatu hu- adalah ijma' para ulama jumhur
kum. Apabila telah tsabit ijma' (lihat Az Zuhaili, 1986: 539).

29
Dalam pada itu, sejak periode Qur'an dan Hadits.
sahabat hingga masa-masa imam 2. Pada masa ijtihad, para imam
mujtahid, pemikiran ijma' telah mujtahid berusaha agar pen­
berkembang melalui periodesasi dapatnya tidak menyimpang
sebagai berikut: dari apa yang telah ditetap­
1. Setelah Rasulullah wafat, kan oleh para fuqoha di neger­
para sahabat melakukan ijti­ inya, sehingga imam mujtahid
had untuk menetapkan hu­ tersebut tidak dipandang me-
kum terhadap nyimpang dalam pola .
masalah-masalah yang mere­ pikirnya.
ka hadapi, Khalifah Umar bin Imam Abu Hanifah misalnya
Khattab misalnya selalu men­ berusaha keras untuk meng­
gump�an para sahabat un­ ilrnti hukum yang telah dise­
tuh. berdiskusi dan bertukar pakati oleh ulama Kufah yang
pikiran dalam menetapkan hidup sebelumnya. Sedang
hukum beberapa masalah Imam Malik menganggap
yang mereka hadapi. Jika me­ bahwa Ijma' ahli Madinah da­
reka telah bersepakat pada pat dijadikan argumentasi.
suatu hukum, maka dia men­ 3. Para fuqoha berusaha keras
jalankan pemerintahannya untuk mengetahui ijma' dari
berdasarkan hukum yang te­ sahabat untuk diikuti, agar
lah disepakati tersebut. Teta­ mereka tidak menyimpang
·pi bila mereka belum dari hukum yang telah dise­
menemu.kan titik temu (kon­ pakati oleh para sahabat.
'Sensus), maka mereka meng­ Bahkan ketika terjadi perbe­
kaji .kembali, hingga mencapai daan pendapat di antara me­
pada hukum yang diputuskan reka, maka mereka berusaha
-0leh kalangan fuqoha di anta­ agar pendapatnya tidak me­
.ra kalangan sahabat itu. De­ nyimpang dari pendapat-pen­
ngan demikian hukum ter­ dapat para sahabat
'Sebut telah disepakati para (Muhammad Abu Zahroh,
mujtahid yang tentunya mem­ 1994 : 309).
punyru kedudukan yang lebih
Dengan kecenderungan demi­
]mat dari pendapat peribadi.
kian, nampak bahwa ijma' dari
Na.mun pada umumnya, hu­
sahabat mempunyai kedudukan
kum-hukum yang disepakati
yang penting dalam ijtihad.
adalah hukum-hukum yang
telah dijelaskan oleh nash al- Suatu hukum dapat ditetap-

30
kan berdasarkan ijma', dan kehu­ suatu keputusan (lihat Az Zahaili,
jjahannya dapat dipandang sah, 1986 : 537).
manaka1a ijma' itu telah meme­
nuhi rukun-rukunnya, sebagai
III. IJMA' SEBAGAI SUMBER
berikut:
HUKUM ISLAM
Pertama, pada saat terjadinya
Apabila rukun ijma' yang em­
peristiwa itu, mujtahid itu jum­
pat itu telah terealisir maka hu­
lahnya lebih dari seorang. Seluruh
kum yang telah disepakati itu
pendapat itu setuju terhadap ke­
menjadi undang-undang syara
putusan yang diambil itu. Artinya
yang harus diikuti dan tidak boleh
jika hanya seorang mujtahid saja
ditentang. Ia merupakan hujjah
yang mengambil keputusan, maka
atau dalil dalam pembinaan hu­
hal itu tidak dapat disebut ijma'.
kum Islam. Bagi mujtahid ber­
Kedua, kesepakatan ulama ikutnya tidak boleh menjadikan
atas suatu hukum itu dapat di­ keputusan itu sebagai objek ijti­
realisasikan. Terjadinya kesepa­ hadnya, karena hukum yang telah
katan sebagian besar ulama, ti­ ditetapkan mengenai suatu ke­
daklah berarti ijma' itu terjadi. jadian dengan ijma' adalah hukum
Ketiga, adanya kesepakatan syara secara pasti, tidak ada jalan
seinua mujtahid ummat Islam untuk menentangnya atau meng­
atas suatu hukum syar'i tentang hapusnya.
suatu peristiwa pada waktu ter­
jadinya, tanpa memandang negeri
Bukti kehujjahan ijma' adalah:
mereka, kebangsaannya atau ke­
lompoknya. Maka jika ada kese­ Pertama, dalam al�Qur'an Su­
pakatan ulama Makkah saja atau rat an-Nisa ayat 59 Allah nieme­
Madinah saja, atau Irak saja, atau rintahkan untuk taat kepada ulil
dan lain-lain, maka tidaklah di­ amri. Lafadz Amri adalah hal-hal
katakan ijma' menurut syara'. keadaan dan ia adalah umum.
Keempat, adanya kesepa-,
Ulil Aron duniawi adalah para
raja, pemimpin dan penguasa. Se­
katan mereka itu dengan menam­
dang Ulil Amri agamawi adalah
pilkan pendapat masing-masing
para mujtahid atau ahli fatwa
· mereka secara transparan dan je­
agama. Ibnu Abbas menafsiri ulil
las mengenai suatu kejadian, baik amri dengan ulama. Yang jelas
dalam bentuk ucapan misalnya
Ijma' memiliki kekuatan hukum.
dengan memberi fatwa, atau da­ Artinya ayat di atas menunjukkan
lam bentuk perbuatan misalnya
wajib mematuhi hukum yang di-

31
AL-QAIAM

sepakati oleh seluruh ulama mu­ masing-masing mujtahid dapat


jtahid atau masa. memperhatikan pendapatnya de­
Kedua, bahwasanya suatu hu­ ngan sesuatu yang dapat diper­
kum yang telah disepakati oleh tanggung jawabkan, maka perso­
pendapat semua mujtahid ummat alannya adalah apa yang dapat
Islam, pada hakekatnya hukum menjamin bahwa mujtahid yang
ummat Islam. Hal ini sebagai­ menampilkan pendapatnya itu
mana had.its nabi sebagai berikut akan tetap berpegang pada pen­
dapatnya itu sampai diambil pen­
�Lb,:.� �I �--J dapat-pendapat yang lain? Pada­
hal mutlak diperlukan dalam me­
Artinya: "Tidaklah berkumpul ummatku
untuk melakukkan kesalahan". wujudkan ijma, ketetapan kata
mufakat para mujtahidin semua­
� 0 �-1 c,i) Lo' nya, pada suatu waktu atas satu
hukum mengenai suatu peristiwa.
� J11.>.-s- � Ringkasnya, bahwa ijma' tidak
Artinya: "Apa-apa yang menurut penda­ mungkin diwujudkan.
pat kaum muslimin baik, maka ia baik
(pula) di sisi Allah". (lihat Az Zahaili, 1986 Jika ijma' itu diwujudkan,
: 542-543). maka ia harus disandarkan kepa­
da dalil. Dan bila dalil yang men­
jadi sandaran itu qoth'i, maka hal
Menurut adat, merealisasikan
yang mustahil menurut adat, jika
rukun-rukun ijma' seperti yang
dalil itu disembunyikan. Karena
telah diuraikan di atas, nampak­ bagi ummat Islam tidaklah
nya ijma' tersebut sulit untuk di­
tersembunyi bagi mereka dalil
wujudkan, karena tidak adanya
syar'i yang qoth'i sampai mereka
ukuran, m.isalnya karena perbe­
memerlukan kembali kepada mu­
daan bangsa atau marga. Artinya,
jtahid. Dan jika ijma'nya adalah
jika ijma' didefinisikan dengan
berupa dalil dzonni, tentu musta­
"kesepakatan para mujtahid da-
hil menurut adat (kebiasaan)
lam setiap masa terhadap hukum­
hukum .syara'", maka ijma' terse­ Ijma', karena dalil dzonni ti­
but tidak akan terjadi. Karena dak bisa tidak, tentu menjadi ob­
para mujtahid berdomisili di ber­ jek pertentangan. Imam Ahmad
bagai negara dan kota yang tidak bin Hanbal mengatakan: Siapa
mungkin semua dipertemukan da­ yang mengaku adanya ijma', dia
lam suatu tempat. itu adalah pendusta (lihat Khalaf,
1994 : 70-71).
Kalaupun memang terjadi
Tetapi jika yang dimaksud

32
ijma' adalah kesepakatan para jauhan, sehingga mereka ti­
mujtahid terhadap hukum-hukum dak mungkin dipertemukan.
syara' yang telah ditetapkan ber­ 2. Terjadinya perbedaan penda­
dasarkan dalil nash yang qoth'i, pat di antara para fuqoha
maka hal itu mungkin terjadi. yang tersebar di berbagai dae­
Bahkan dalam hal ini, yang men­ rah.
jadi hujjah bukan ijma', melain­
3. Tidak ada kesepakatan ulama
kan dalil- dalil nash yang qoth'i.
tentang orang-orang yang di­
terima ijma'nya.
Adapun mengenai kriteria
4. Tidak adanya kesepakatan
mujtahid, Imam Syafe'i membuka
para ulama tentang kriteria
dialog dalam kitab Jima'ul Ilmi
ulama yang berhak untuk ber­
sebagai berikut: Siapakah di an­
pendapat dalam masalah-ma­
tara ulama yang ijma'nya dapat
salah fiqih.
dijadikan hujjah ialah orang-orang
yang diakui (diangkat) oleh pen­ Meskipun Imam Syafe'i cen­
duduk suatu negara sebagai ahli derung menolak kemurigkinan ter�
fiqih yang fatwa-fatwanya dapat jadinya ijma', akan tetapi dalam
diterima oleh penduduk tersebut kitab Ar-Risalah dia telah mene­
dengan senang hati (Abu Zahroh, tapkan bahwa ijma' dapat terjadi
1994: 310). dalam masalah-masalah yang
diperde-batkan (Abu Zahroh, 1994:
Kemudian pada bagian yang
311-312).
lain, Abu Zahroh (1994: 311) men­
gatakan, bahwa pendapat seorang Jumhur· ulama berpendapat
mujtahid di suatu tempat tidak bahwa ijma' itu bisa wujud me­
menutup kemungkinan untuk ter­ nurut adat. Mereka berkata: Se­
jadinya kritik dan penolakan dari sungguhnya pendapat yang dinya­
sebagian penduduknya. Setiap takan orang penentang akan ke­
pendapat para ulama pasti mungkinan terjadinya ijma' ada­
memiliki cacat yang menjadi ba­ lah merupakan hal yang nyata.
han kritik bagi ulama lain Sekalipun dikemukakan dalil atas
senegaranya; kemungkinan terjadinya. Contoh
ijma' menurut mereka adalah kek­
Imam Syafe'i cenderung me­ halifahan Abu Bakar, keharaman
nolak terjadinya ijma' dengan
lemak babi, bagian warisan
alasan- alasan sebagai berikut: seperenam bagi anak perempuan,
I. Para Fuqoha berdomisili di tertutupnya ibnul ibni dari pewar-·
berbagai tempat yang her- isan sebab adanya ibni, dan lain

33
AL•QALMI NO. 67/XIll/19971

sebagainya dari hukum-hukum suatu masa atas hukum suatu


juz'iyah dan kulliyah (Khalaf, peristiwa dengan menampilkan
1994: 72). pendapat masing-masing secara
Adapun Khalaf (1994: 72) me­ jelas dengan sistem fatwa atau
nyatakan pendapatnya bahwa qodho' (memberi putusan). Artinya
ijma' tidak akan terwujud secara setiap mujtahid menyampaikan
adat tanpa campur tangan peme­ ucapan atau perbuatan yang men­
rintah Islam. Artinya setiap pe­ gungkapkan secara jelas tentang
merintahan Islam bisa menentu­ pendapatnya.
kan syarat- syarat seorang mu­ Ijma' ini termasuk katagori
jtahid. Dan hukum yang telah haqiqi, ijma' yang dijadikan hujah
disepakati menjadi hukum syara' syar'iyah menurut madzhab jum­
yang harus diikuti oleh ummat hur.
Islam seluruhnya. Adapun ijma' Kedua; Ijma' Sukuti, yaitu se­
secara realitas sekarang ini tidak­ bahagian mujtahid suatu masa
lah terjadi yang ada hanyalah ke­ menampilkan pendapatnya secara
sepakatan para ilmuwan atau hu­ jelas mengenai suatu peristiwa de­
kum yang dihasilkan dari musy­ ngan sistem fatwa atau qodho',
awarah jama'ah. sedang sebahagian mujtahid tidak
Terlepas dari hal itu semua, memberikan tanggapan terhadap
maka pada hakekatnya benarlah pendapat tersebut mengenai ke­
pendapat ulama yang men­ cocokannya atau perbedaannya.
gatakan, bahwa tidak ada ijma' Ijma' mi termasuk pada
yang disepakati dan diterima oleh katagori ijma' i'tibari (dianggap
semua ulama, kecuali ijma'nya sa­ ada ijma'), karena seorang mujta­
habat. Di dalam mengomentari hid yang diam belum tentu setuju.
masalah-masalah yang dianggap Oleh karenanya kehujjahannya
telah terjadi ijma', Imam Ahmad dipertentangkan, ia hanya penda­
bin Hanbal menyatakan, "kami pat sebagian mujtahid. Sedang
tidak melihat pertentangan ulama ulama Hanafiyah menilai ijma'
dalam masalah tersebut" (Abu Za­ sukuti adalah sebagai hujjah.
hroh : 1994 : 314). Diam menurut Hanafiyah berarti
Adapun ijma' ditinjau dari setuju (lihat Az Zuhaili, 1986: 552-
sudut cara menghasilkannya, ada 553 ). Sedangkan Khalaf (1994
dua macam yaitu: 75) menyatakan, bahwa pendapat
Pertama; Ijma' Shorih, yaitu yang saya anggap utama adalah
kesepakatan para mujtahid pada pendapat jumhur.

34

NO. G7/XIII)I997

ljma' bila ditinjau dari segi ijma' shorih adalah kufur. Misal­
dalalahnya terbagi kepada dua, nya mengingkari ijma' sahabat.
yaitu: Hal ini disebabkan karena ijma'
Pertama, Ijma' yang qoth'i para sahabat terhadap hukum-hu­
dalalahnya atas hukum (yang di­ kum syar'i telah ditetapkan secara
hasilkan), yaitu ijma' shorih, de­ mutawatir. Dengan demikian
ngan artian bahwa hukumnya te­ sanad dari ijma' ini adalah qoth'i,
lah dipastikan, dan tidak ada ja­ sebagaimana hukum yang disepa­
lan mengeluarkan hukum lain kati juga bersifat qoth'i.
yang bertentangan. Tidak pula Imam Fakhrurrozi dan mayo­
diperkenankan mengadakan ijti­ ritas fuqoha berkata: ljma' yang
had mengenai suatu kejadian se­ diriwayatkan secara perseorangan
telah terjadinya ijma' shorih atas (ahad) tidak dapat dijadikan hu­
hukum syara' mengenai kejadian jjah. Sebagai alasan, faktor yang
itu. menyebabkan ijma' dapat dijadi­
Kedua, ijma' yang dhonni kan hujjah adalah terletak pada
dalalahnya atas hukum ( yang sifatnya yang qoth'i, yaitu bahwa
dihasilakan ), yaitu ijma' sukuti, ijma' tersebut disandarkan pada
dengan artian bahwa hukum itu para ulama yang membentuknya.
didugakan menurut dugaan yang Jika ijma' di atas telah kehilangan
kuat, dan tidak bisa dilepas bila sifatnya yang qoth'i, lantaran diri­
kejadian itu terlepas dari usaha wayatkan oleh perseorangan
ijtihad. Karena ia adalah hasil (ahad) sehingga sanadnya menjadi
pencerminan pendapat jama'ah dzonni, maka ia telah kehilangan
mujtahidin yang bukan keselu­ fungsinya. Dengan demikian hu­
ruhan (Khalaf, 1994 : 75-76). kum yang ditetapkan berdasarkan
ijma' tergantung pada nash yang
Berdasarkan uraian di atas,
dijadikan landasan oleh ijma' ter­
menurut golongan Hanafiyah ke­
sebut (Abu Zahroh, 1994 : 327).
dua macam ijma' tersebut adalah
ijma' yang sebenarnya. Sedangkan Oleh karena itu, mengingkari
menurut imam Syafe'i hanya ijma' ijma' berati mengingkari dalil
shorih saja yang disebut ijma' se­ qoth'i dan selanjutnya mengan­
benarnya. dung pengertian mengingkari ke­
benaran Rasulullah Saw, yang de­
Mengenai kedudukan hukum
mikian itu adalah kufur.
orang yang mengingkari hukum
hasil ijma', menurut sebagian Sebagian ulama yang lain ber­
ulama, bahwa mengingkari hasil pendapat, bahwa mengingkari hu­
kum ijma' itu tidaklah kufur, ka-

35
�L-QALAltl .· NO•. 67/XIIl/1997i

rena dalil kehujjahan ijma' adalah Ijma' tidak dipandang sah ke­
dalil dzonni bukan qoth'i. Kiranya cuali apabila ada sandarannya, se­
yang kuat adalah apa yang dika­ bab ijma' bukan merupakan dalil
takan oleh Muhammad Khudhari yang berdiri sendiri. Fatwa ulama
Beyk (1988 : 288). Mengatakan atau keputusan hukum berda­
kafir secara mutlak kepada orang sarkan ijma' tanpa sandaran ada­
yang mengingkari hukum hasil lah keliru.
ijma' adalah tidak betul. Imam Ijma memiliki rukun dan ma­
Haramain berkata: Telah masyhur sih mungkin untuk dilakukan jika
di kalangan ulama fiqih bahwa terdapat beberapa faktor pen­
orang yang mengingkari hukum dukung. Namun demikian umum­
hasil ijma' itu kafir, hal itu pasti nya sulit untuk diwujudkan, ke­
tidak benar. Karena mengingkari cuali ijma' sahabat yang para
kehujjahan ijma' saja tidak kafir, fuqoha tidak meragukannya lagi.
mengatakan seseorang itu kafir
Adapun hukum orang yang
atau bukan tidak mudah.
mengingkari ijma' terdapat dua
Adapun mengingkari hukum pendapat, yaitu sebagian mengka­
hasil ijma' dhonni, para ulama firkan dan sebagian lagi tidak
sependapat bahwa hal itu tidak menganggap kafir. Hal ini tergan­
sampai mengakibatkan seseorang tung daripada kualitas ijma' itu
menjadi kafir. sendiri.

VI. KESIMPULAN DAFTAR PUSAKA


Dari uaraian tentang ijma' di Abdul Aziz, I/mu Ushul Fiqih, Bineka Cipta,
Jakarta, 1995
atas dapatlah ditarik suatu kesim­
Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Is­
pulan bahwa sebagian besar lam, jld I, Bulan Bintang, Jakarta,
ulama sepakat, Ijma' adalah me­ 1980.
rupakan sumber hukum Islam Khudhari Beyk, Ushul Fiqih, Dar el Fikri,
yang ketiga setelah al-Qur'an dan Bairut. 1988.
al-hadits. Eksistensinya dapat di­ Abu Zahroh, Muhammad, Ushut Fiqih, alih
jadikan hujjah bagi permasalahan bahasa Saifullah Ma'shum, Pustaka
Firdaus, Jakarta, 1994.
hukum yang tidak terdapat nash Khalaf, Abdul Wahab, I/mu Ushul Fiqih, alih
atau terdapat nash yang nilainya bahasa Tholhah Mansur dkk, Kaidah­
dzonni, sehingga dengan telah di kaidah Hukum Islam, Rajawali Press,
ijma'kannya, maka berubahlah Jakarta, ·1994.
kedudukkan nash yang dzonni itu Az Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqih /slami, Dar
el Fikri, Bairut, 1986.
menjadi qoth'i.

36

Anda mungkin juga menyukai