Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan
argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil
pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam
menggali hukum-hukum syara’
Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ itu
sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits, mereka
berijtihad dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an
dan Hadits).
Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk
menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para
sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka
telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan
hukum yang telah disepakati.(1)
Terkait dengan ijma’ ini penulis akan membahas tentang ijma’ dan
dirumuskan dalam rumusan masalah dibawah ini
Rumusan Masalah
a. Pengertian Ijma’, sandaran Ijma’, dan fungsi Ijma
b. Ijma’ Sebagai Dalil Hukum
c. Ketetapan Ijma’, Nasakh Ijma’, dan Mengingkari Hasil Ijma’
d. Pembagian Ijma’ , Macam-macam Ijma’, Dan Kemungkinan Terjadinya
Ijma’
1. Pengertian Ijma’
Secara etimologi Ijma’ berarti :
1
Drs. H. Sidur Sahar, SH, CN, Asas-asas Hukum Islam, Penerbit Alumni, Bandung, 1996, hal 74..
1
a. Ittifaq (kesepakatan atau konsensus)2. Pengertian ini dapat dilihat
pada firman Allah dalam surat yusuf ayat 15:
Adapun pengertian ijma’ dalam istilah teknis hukum atau istilah syar’i
terdapat perbedaan rumusan, Perbedaan itu terletak pada segi siapa yang melakukan
kesepakatanitu. Perbedaan rumusan itu dapat dilihat dalam beberapa rumusan atau
definisi ijma’ sebagai berikut :
2
. Ahmad Hassan Munawir, al-Munawir kamus Arab Indonesia , Surabaya, Pustaka Progresif, 1997, hal 210.
3
. Depag RI, al-Qur’an dan terjemahannya (Semarang, CV Toha Putra , 1989, hal 350.
4
. Ibid, hal 317
5
. Abu Hamid, Al-Ghazali, al-Musthafa fi Ulum al-Ushul , Beirut: Daral-Khutb al-Ilmiyyah, 2000, hal 137.
2
yang membimbing kehidupan keagamaan umat islam) umat Muhammad
SAW pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu peristiwa.6.
Kelihatannya Imam al-Amidi membatasi kesepakatan orang-orang
tertentu dari umat nabi Muhammad, yaitu orang yang berfungsi sebagai
pengungkai atau pengikat atau para ulama yang membimbing kehidupan
keagamaan umat Islam. Dalam hal ini orang awam tidak diperhitungkan
kesepakatannya, namun lebih lanjut terlihat, al-Amidi masih memberikan
kemungkinan masuknya orang awam dalam penetapan ijma’ dengan
ketentuan telah mampu berbuat hukum.(7)
6
. Saif al-Din , Al-Amidi , al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1983, hal 168.
7
. Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 1, Jakarta, Kencana Prenada media Group, 2011, hal 133
8
. Abd. Al-Rahman ibn M. Qasim al-Asimy al- Najdiyal Ahmad ibn al-Aziz Ali Sa’ud, Majmu’ fatawa al-Islam
Ahmad Ibn Taimiyah, selanjutnya disebut Ali Saud, Beirut: Dar al-Fikr, jilid I hal 486.
9
. Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul....op cit hal 135.
3
semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasulullaah SAW wafat
atas suatu hukum syara’ mengenai suatu kasus’.10
Dari definisi diatas terlihat unsur pokok yang merupakan hakikat dari suatu
ijma’ yang sekaligus merupakan rukun ijma’, yaitu :
Bila telah tercapai rukun-rukun di atas yaitu telah berkumpul dan bertemu
semua mujtahid muslim dari berbagai negeri, bangsa dan golongan dalam satu masa
sesudah wafatnya Nabi, dihadapkan kepada mereka suatu kasus yang memerlukan
putusan hukum. Kemudian setiap mujtahid mengemukakan pendapat secara terang-
terangan baik dengan ucapan atau perbuatan, secara bersama-sama atau terpisah,
10
. Ibid
11
. Ibid
12
. Ibid
13
. Ibid hal 136.
4
ternyata pendapat mereka sama tentang hukumnya, maka hukum yang disepakati itu
merupakan hukum syara’ yang wajib diikuti dan mengikat seluruh umat Islam. (14)
2. Sandaran Ijma’
Yang dimaksud dengan sandaran ijma’ adalah dalil yang kuat dalam
bentuk nash al-Qur’an atau sunnah, baik secara langsung maupun tidak. Dalil itu
dapat dijadikan rujukan bagi keputusan ijma’ , kemudian mengenai adanya sandaran
atau dalil merupakan syarat bagi kekuatan ijma’ , ada perbedaan pendapat dalam
kalangan ulama sebagai berikut (15 ):
a. Hampir semua ulama berpendapat bahwa ijma’ itu harus merujuk pada suatu
sandaran yang kuat, bukan berdasar taufik dari Allah SWT, alasan mereka :
1) Dalam keadaan tidak ada rujukan atau sandaran, tidak mungkin seseorang
akan sampai kepada kebenaran.
2) Nabi muhammad SAW tidak pernah berkata atau menetapkan hukum
kecuali bila sandaran berupa wahyu sebagaimana dijelaskan dalam al-
Qur’an.
3) Seandainya para mujthid itu dapat menetapkan hukum tanpa sandaran
berarti masing-masing mujtahid secara perseorangan dapat menetapkan
hukum tanpa sandaran.
4) Mengemukakan pendapat dalam hal agama tanpa dalil atau petunjuk
adalah tindakan yang salah.
5) Produk hukum syar’i bila tidak disandarkan kepada dalil, tidak dapat
diketahui hubungannya dengan hukum syara’.
b. Sebagian kecil ulama tidak mensyaratkan adanya sandaran ijma’, mereka
berpendapat bahwa dapat saja ijma’ itu terjadi karena adanya taufik dari
Allah, mereka beralasan sebagai berikut(16 ):
1) Seandainya kekuatan suatu ijma’ membutuhkan suatu dalil sebagai
sandaran, maka sebenarnya kekuatan hujah terletak pada dalil yang
menjadi sandaran itu, bukan pada ijma’ itu sendiri . Dengan demikian
ijma’ itu tidak ada artinya dalam kedudukannya sebagai dalil syara’ yang
berdiri sendiri.
14
. Ibid
15
. Ibid hal 154
16
. Ibid hal 155
5
2) Seandainya ijma’ itu memerlukan sandaran, maka tidak akan terlaksana
ijma’ tanpa ada sandaran, diantara ijma’ yang tanpa sandaran contohnya
ijma’ ulama tentang pengambilan sewa pemandian umum, penetapan
kharaj, dan sebagainya.
3. Fungsi Ijma’
Yang dimaksud dengan fungsi ijma’ adalah kedudukannya dihubungkan
dengan dalil lain, berupa nash atau bukan. Memang pada dasarnya ijma’ itu menurut
ulama ahl al-sunah, mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum dengan
sendirinya. Tetapi dalam pandangan ulama syi’ah ijma’ itu hanya untuk
menyingkapkan adanya ucapan seseorang yang ma’shum. Dalam hal ini terlihat ada
dua pandangan yang berbeda mengenai kedudukan dan fungsi ijma’. Dalam
pandangan ulama yang berpendapat bahwa kekuatan suatu ijma’ tidak diperlukan
sandaran atau rujukan kepada suatu dalil yang kuat, ijma’ itu berfungsi menetapkan
hukum atas dasar taufik Allah yang telah dianugerahkan kepada ulama yang
melakukan ijma’ tersebut. Dalam pandangan ini tampak bahwa kedudukan dan
fungsi ijma’ itu bersifat mandiri.(17)
Dalam pandangan ulama yang mengharuskan adanya sandaran untuk
suatu ijma’, dalam bentuk nash atau qiyas, maka ijma’itu berfungsi untuk
meningkatkan kwalitas yang dijadikan sandaran itu. Melalui ijma’ dalil yang asalnya
lemah atau zhanni menjadi dalil yang kuat atau qath’i, contoh ijma’ yang
menguatkan dalil sunnah yang dijadikan sandarannya adalah mengenai hak
kewarisan nenek dari harta peninggalan cucunya. Hal ini bermula dari sebuah hadis
yang lemah, namun akhirnya menjadi ijma’ yang kuat.
17
. Ibid hal 157
6
“ Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu
dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-
buruk tempat kembali”.
7
Perintah menaati ulil amri sesudah mematuhi Allah dan Rasul berarti
peritah untuk mematuhi Ijma’, karena ulil amri itu berarti orang-orang yang
mengurusi kehidupan umat, baik dalam urusan dunia maupun urusan agama, dalam
hal ini adalah ulama. Kepatuhan akan ulama adalah bila mereka sepakat tentang
suatu hukum, Inilah yang disebut ijma’.(18)
4. Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu
peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak
mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan
dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
18
. Ibid hal 140
8
satu orang kepada orang lain, dan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dengan
demikian ijma’ itu ditetapkan melalui kabar atau periwayatan. (19)
Ijma’ adalah dalil hukum yang bersifat qath’i atau meyakinkan
kebenarannya, oleh karena itu penukilan dan penyebarluasannya pun harus dengan
cara meyakinkan pula, yaitu melalui kabar mutawatir, agar sifat qath’i pada asal
hukumnya dapat diimbangi dengan qath’i dalam segi sanad (materi hukum) dan
periwayatannya.
Tentang penukilan ijma’ melalui kabar ahad terdapat perbedaan ulama.
Sebagian ulama Syafiiyah, Hanafiyah dan ulama Hambali berpendapat bolehnya
menukilkan ijma’ dengan kabar ahad. Sedangkan kelompok ulama Hanafiyah dan
sebagian ulama Syafiiyah seperti al-Ghazali berpendapat tidak boleh menukilkan
ijma’ dengan kabar ahad. Kedua ulama yang berbeda pendapat ini sepakat
menyatakan ijma’ yang dinukilkan melalui kabar ahad, kekuatan hukumnya bersifat
zhanni, meskipun ia bersifat qath’i.(20)
Kelompok ulama yang berpendapat membolehkan penukilan ijma’ dengan
kabar ahad menggunakan alasan dengan nash dan qiyas, adapun alasaan nash adalah
sabda nabi :
Dalam hadis itu kata “lahir” disebutkan dengan alif- lam jinsiyah yang
menunjukkan keumumannya, termasuk di dalamnya ijma’ yang ditetapkan dengan
kabar ahad karena ia lahir dan zhanni. Itulah yang dapat dicapai oleh usaha manusia,
sedangkan yang lebih dari itu diserahkan kepada Allah.
Adapun dalil qiyas yang mereka kemukakan ialah kabar ahad tentang
adanya ijma’ menimbulkan zhan (dugaan kuat), karenanya mengandung hujjah
sebagaimana kabar ahad yang berasal dari hadis nabi yang diakui kehujjahannya.
Kelompok ulama yang menolak penetapan ijma’ melalui kabar ahad
beralasan bahwa ijma’ yang dinukilkan berdasarkan lisan yang ahad merupakan
19
. Ibid hal 166
20
. Ibid hal 167
9
salah satu sumber fiqh seperti qiyas dan kabar ahad dari rasul. Tidak ada ijma’ qath’i
yang menunjukkan kebolehan berhujjah dengannya yang tidak didukung oleh nash
yang qath’i dari Al-Qur’an dan sunnah.
2. Nasakh Ijma’
Yang dimaksud nasakh ijma’ disini adalah munculnya ijma’ ulama yang
menyatakan bahwa keputusan ijma’ sebelumnya tidak berlaku lagi , atau muncul
pendapat ulama secara perseorangan, atau muncul ijma’ atas suatu hukum yang
berbeda dengan apa yang sebelumnya disepakati ulama terdahulu. Memang pada
dasarnya nasakh (pembatalan) itu tidak itu tidak berlaku kecuali dalam hukum-
hukum yang ditetapkan dengan nash, baik nash Al-Qur’an maupun nash hadis,
karena nasakh itu hanya berlaku semasa Nabi masih hidup dan tidak berlaku
sesudahnya. Karenanya tidak mungkin terjadi nasakh dalam hukum-hukum yang
ditetapkan berdasarkan ra’yu meskipun ra’yu yang merujuk kepada nash.(21)
Pembicaraan tentang nasakh ijma’ in bukanlah dalam arti sebenarnya,
akan tetapi berupa kemungkinan munculnya ijma’ yang menasakh atau mengakhiri
berlakunya hasil ijma’ yang lalu. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dalam
kalangan ulama :
a. Jumhur ulama berpendapat nasakh tidak berlaku dalam ijma’, artinya
apa yang telah ditetapkan dengan ijma’ tidak mungkin dibatalkan dengan nash,
dengan ijma’ lagi atau dengan qiyas, alasannya ialah bahwa yang akan
menaskhkannya tentulah nash, ijma’ atau qiyas, namun menasakh ijma’ dengan salah
satu diantaranya tidaklah mungkin.
b. Sebagian kecil ulama, diantaranya ulama Mu’tazilah dan fahrur Razi
berpendapat bahwa ijma’ dapat dinasakh oleh ijma’ yang datang kemudian, karena
tidak ada bagi ijma’ untuk dinasakhkan. Alasannya sebab diantara sandaran ijma’
yang pertama itu adalah qiyas yang illatnya adalah sifat yang dilihat oleh ulama yang
mencetuskan ijma’ yang pertama itu sebagai maslahat, tetapi kemudian maslahat itu
berubah pada mas berikutnya, dan pada masa itu para ulama menggunakan qiyas
yang merujuk pada sifat yang lain (berbeda), keadaan yang telah berubah ini
menghendaki hukum yang berbeda dengan ijma’ yang pertama. (22)
21
. Ibid hal 164
22
. Ibid hal 165
10
Pendapat di atas dikuatkan oleh Khudary Bey, ia mengemukakan contoh
ijma’ yang menasakhkan nash baik Al-qur’an maupun sunnah. Umpamanya ijma’
yang menasakhkan menetapkan tidak berhaknya muallaf atas zakat, yang dengan
sendirinya menghapuskan hukum yang menetapkan hak muallaf atas zakat
sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an surat at-Taubah (9): 60.
3. Mengingkari Hasil Ijma’
Seseorang disebut mengingkari hasil Ijma’ bila ia mengetahui adanya
ijma’ ulama yang menetapkan hulum atas suatu kasus , namun ia secara sadar
berbuat yang berbeda mengenai kasus itu dengan apa yang telah ditetapkan oleh
ijma’. Pengingkaran terhadap hasil ijma’ ini disebabkan hal-hal sebagai berikut :
a. Ia secara prinsip tidak mengakui ijma’ sebagai salah satu dalil hukum
yang mengika , karena memang tidak ada dalil sharih dengan dilalah
yang qath’i tentang kehujjahan ijma’ tersebut.
b. Ia mengakui ijma’ sebagai hujah syar’iyah secara prinsip, namun ia
menolak menerima ijma’ tertentu, karena menurut keyakinannya cara
penukilan ijma’ itu tidak meyakinkan, atau ia tidak yakin telah terjadi
ijma’ tentang suatu masalah.
c. Ia menerima ijma’ secara prinsip dan meyakini secara pasti bahwa
ijma’ telah berlangsung namun ia tetap tidak mengindahkannya.
Dalam hal pengingkaran terhadap ijma’ ini terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa mengingkari
hukum yang telah ditetapkan ijma’ adalah kafir. Ulama lain menolak mengkafirkan
orang yang mengingkari ijma’. Mereka juga sepakat tentang tidak kafirnya orang
yang mengingkari ijma’ yang zhanni.
Para ulama yang menyatakan kafir orang yang mengingkari ijma’
yang qath’i berpendapat bahwa keingkaran akan hukum ijma’ mengandung arti
mengingkari dalil qath’i, berarti pula mengingkari kebenaran risalah yang dibawa
nabi, sikap demikian hukumnya kafir sebagaimana mengingkari Al-Qur’an dan
sunnah nabi.
Ulama yang tidak mengkafirkan orang yang mengingkari ijma’
beralasan bahwa dalil tentang kehujaan ijma’ berdasarkan dalil yang tidak qath’i
tetapi hanya zhanni. Karenanya tidak menimbulkan hukum yang meyakinkan,
11
mengingkari hukum yang tidak meyakinkan, tidak sampai menjadi kafir. Pendapat
yang tepat dalam hal ini adalah apa yang dikemukakan oleh Muhammad Khudhari
Bey, ia mengatakan bahwa, mengatakan kafir orang yang mengingkari ijma’ tanpa
melihat alasannya adalah tidak benar. Untuk itu ia mengutip pendapat Imama
Haramain yang mengatakan bahwa ucapan yang berkembang di kalangan ulama
yang mengkafirkan orang yang mengikuti ijma’ itu batal secara pasti. Orang yang
mengingkari prinsip ijma’ tidaklah kafir, karena menghukum kafirnya seseorang
tidaklah gampang. Seseorang yang meyakini ijma’ sebagai salah satu hujah syar’iyah
dan mengakui kebenaran orang-orang yang melakukan ijma’ serta kebenaran
penukilannya, kemudian ia secara sadar mengingkari apa-apa yang telah diputuskan
secara ijma’, maka pengingkarannya itu berarti mendustakan kebenaran pembuat
hukum (syari’).(23)
23
. Ibid hal 169
12
waktu itu jumlah mujtahid masih terbatas, dan lingkungan domisili mereka masih
berdekatan sehingga tidak sulit untuk berhubungan atau menyampaikan
pendapatnya.
b. Ijma’ sukuti (diam), yaitu kesepakatan sebagian mujtahid dalam suatu
permasalahan dan sebagian mujtahid yang lain tidak berpendapat (diam) dan tidak
mengingkarinya. Ijma’ yang kedua ini, para ulama’ masih berselisih pendapat
apakah termasuk hujjah syar’iyah atau tidak:
Menurut Al-Malikiyah dan Al-Syafi’iyah bukan ijma’ dan bukan hujjah
syar’iyah karena diamnya sebagian mujtahid belum tentu menunjukkan kesepakatan.
Menurut Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah dianggap ijma’ dan hujjah
qot’iyah karena diamnya sebagian mujtahid yang lain menunjukkan taslim dan
sepakat terhadap permasalahan tersebut. Selain itu jika dilogikakan, bahwa ijma’
sharih yang harus disepakati oleh semua mujtahid yang hidup pada masa terjadinya
ijma’ dan masing-masing mengemukakan pendapatnya serta menyetujui hukum yang
ditetapkan, maka hal ini tidak mungkin terjadi karena biasanya ijma’ yang
dikemukakan ulama’ berawal dari pendapat pribadi atau sekelompok mujtahid dan
lainnya diam.
Lebih lanjut Abu Zahra menyatakan alasan yang dikemukakan oleh ulama
Hanafiyah dan Hanabilah: Diamnya (sukut) para ulama tentang suatu hukum hasil
ijtihad adalah setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad tersebut, dan
mempelajari hasil ijtihad ulama lain adalah suatu kewajiban bagi para ulama’ dan
jika mereka diam saja maka hal tersebut menunjukkan persetujuannya.
c. Ijma’ Amali yaitu kesepakatan para mujtahid atau ulama dalam
mengamalkan perbuatan tertentu pada suatu masa, amal para ulama
ini menunjukkan terjadinya suatu ijma’ atau kesepakatan.
Kesepakatan ini tidak menunjukkan pada hukum wajib kecuali ada
indikasi yang mendukungnya, misalnya Ubaidah al-Salmaniy
menyatakan “para sahabat nabi SAW sepakat untuk melaukan salat
empat rakaat sebelum zuhur “, dalam ijma’ ini tidak ada indikasi yang
13
menunjukkan bahwa salat empat rakaat sebelum zuhur itu hukumnya
wajib, tetapi hanya sunat sesuai kesepakatan mereka.(24)
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada
(25):
1 .ljma`qath`i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini
benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau
kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada
waktu yang lain;
2. ljma`dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma'
yang dilakukan pada waktu yang lain.
1. Ijma`sahabat, yaitu ijma` yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
2. Ijma`khulafaurrasyidin, yaitu ijma` yang dilakukan oleh Khalifah Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat
dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah
Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma` tersebut tidak dapat
dilakukan lagi;
3. Ijma`shaikhan, yaitu ijma`yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar
bin Khattab;
4. Ijma`ahli Madinah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah.
Ijma` ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut
24
. Firdaus Kandidat Doktor di Bidang Hukum Islam, Ushul Fiqh, Metode Mengkaji dan Memahami Hukum
Islam Secara Komprehensif, Jakarta, Zikrul Hakim, 2004, hal 50-51 (dikutip dari Abd al-Khalil al-Qaransaawi,
dkk,al-Mujiz fi Ushu al-Fiqh, (tk, Matbah al-Ukhuwah wa al-Aqsa’, 1965), hal 195
25
. Dikutip dari Internet dengan judul “Ijma’ dan Kekuatannya”, pada hari Jum’at tanggal 25 Oktober 2013, jam
14.00
14
Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi`i tidak mengakuinya sebagai salah
satu sumber hukum Islam;
5. Ijma` ulama Kufah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah.
Madzhab Hanafi menjadikan ijma` ulama Kufah sebagai salah satu
sumber hukum Islam.
Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada
peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur`an yang
telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika
mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung
menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya,
adakalanya menunggu ayat al-Qur’an diturunkan Allah SWT. Karena itu kaum
muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum
suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.(26 )
15
belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping
daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau
orang yang dipandang sebagai mujtahid.
Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia
Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat
sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena
itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.
16
tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau
undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas
penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi
diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang
itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para
mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India
itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa
setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma itu hanya dapat dikatakan
sebagai ijma' lokal.(27)
Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma`, yaitu keputusan hukum yang
diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala
lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri
sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ' atau sebagai ahlul halli wal
`aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau
peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka.
Hal yang demikian dibolehkan dalam agama Islam. Jika agama Islam
membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu
saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama
memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau
peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih
tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.
PENUTUP
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa ijma’ adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif
di bawah dalil-dalil nash (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah
Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum
syara’, namun dalam aplikasinya masih terdapat perbedaan pandangan apakah ijma’
27
. Ibid
17
hanya terjadi pada masa sahabat saja atau apakah ijma’ dapat dilakukan pada masa
sekarang.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam
menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau,
apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.
Adapun dari ijma’ itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar
dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/
sumber hukum (ijma’)
Dan dari ijma’ itu sendiri terdapat beberapa macam. Diantaranya: ijma’
sharih, ijma’ sukuti. Dari dua versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam
pandangan ulama’ mengenai ijma’ itu sendiri.
Seperti ijma’ sukuti misalkan, pengikut Imam Maliki dan Syafi’i memandang
bahwa ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak menganggap sebagai ijma’.
Sedangkan segolongan dari Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal
menyatakan sebaliknya.
Sebagaimana dikatakan oleh Yusuf Qardhawi bahwa seyogyanya dalam
menyelesaikan permasalahan baru yang besar tidak cukup dengan ijtihad individu
(fard) tetapi hendaknya melakukan tranformasi dari ijtihad fard ke ijtihad jama’i
atau yang sekarang dikenal dengan istilah ijtihad kolektif, dimana para ilmuwan
bermusyawarah tentang semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal yang
bercorak umum dan sangat penting bagi mayoritas muslim, karena ijtihad kolektif
lebih mendekati kebenaran daripada pendapat perseorangan. Hanya saja ijtihad
kolektif bukan berarti membunuh ijtihad individu, karena ijtihad kolektif dari hasil
penelitian orisinil yang diajukan oleh setiap mujtahid.(28)
28
. Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya, (Surabaya: Risalah Gusti,
2000), hal 138-139
18
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Saif al-Din, Al-Amidi, Beirut: Dar al-Kutb al-
Ilmiyyah, 1983
Ushul Fiqh jilid 1, Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Kencana Prenada media
Group, Jakarta, 2011.
.
Ushul Fiqh, Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif, Firdaus Kandidat Doktor di Bidang Hukum Islam, Jakarta, Zikrul
Hakim, 2004, (dikutip dari Abd al-Khalil al-Qaransaawi, dkk,al-Mujiz fi Ushu al-
Fiqh, (tk, Matbah al-Ukhuwah wa al-Aqsa’, 1965), hal 195
Ushul Fiqh, Nasrun Haroen, Logos Wacana Ilmu, Jakarta 1997.
Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya, Yusuf
Qardhawi, Risalah Gusti, Surabaya, 2000.
“Ijma’ dan Kekuatannya”, Internet, Jum’at tanggal 25 Oktober 2013, jam
14.00
“ Ijma’ sebagai dalil hulum”, Internet, Senin, tanggal 28 Oktober 2013, jam
13.00.
19