Anda di halaman 1dari 19

IJMA’ ULAMA SEBAGAI DALIL HUKUM

Ramadhan Novriyanata (21061024)


UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM LAMONGAN
Ramadhannn052@gmail.com

Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan
argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil
pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam
menggali hukum-hukum syara’
Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ itu
sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits, mereka
berijtihad dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an
dan Hadits).
Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk
menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para
sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka
telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan
hukum yang telah disepakati.(1)

Terkait dengan ijma’ ini penulis akan membahas tentang ijma’ dan
dirumuskan dalam rumusan masalah dibawah ini
Rumusan Masalah
a. Pengertian Ijma’, sandaran Ijma’, dan fungsi Ijma
b. Ijma’ Sebagai Dalil Hukum
c. Ketetapan Ijma’, Nasakh Ijma’, dan Mengingkari Hasil Ijma’
d. Pembagian Ijma’ , Macam-macam Ijma’, Dan Kemungkinan Terjadinya
Ijma’

A. Pengertian Ijma’, sandaran Ijma’, dan fungsi Ijma’

1. Pengertian Ijma’
Secara etimologi Ijma’ berarti :
1
Drs. H. Sidur Sahar, SH, CN, Asas-asas Hukum Islam, Penerbit Alumni, Bandung, 1996, hal 74..

1
a. Ittifaq (kesepakatan atau konsensus)2. Pengertian ini dapat dilihat
pada firman Allah dalam surat yusuf ayat 15:

“ Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke


dasar sumur ( lalu mereka masukan dia), kami wahyukan kepadanya
engkau kelak pasti akan menceritakan perbuatan ini kepada mereka ,
sedang mereka tidak menyadari”.3
b. Al-‘azmu ‘ala asy-syai’ (ketetapan hati untuk melakukan sesuatu)
sesuai dengan firman Allah sebagai berikut :

“....karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-


sekutumu (untuk membinasakan ku )...”(QS. Yunus, 10:71).4

Adapun pengertian ijma’ dalam istilah teknis hukum atau istilah syar’i
terdapat perbedaan rumusan, Perbedaan itu terletak pada segi siapa yang melakukan
kesepakatanitu. Perbedaan rumusan itu dapat dilihat dalam beberapa rumusan atau
definisi ijma’ sebagai berikut :

a. Menurut Imam al-Ghazali, kesepakatan umat Muhammad SAW secara


khusus tentang suatu masalah agama5. Walaupun dalam istilah ini
dikhususkan kepada umat nabi Muhammad, namun mencakup jumlah
yang luas yaitu seluruh umat nabi Muhammad atau umat Islam.
Pandangan Imam al-Ghazali ini mengikuti pandangan Imam Syafi’i yang
menetapkan ijma’ itu sebagai kesepakatan umat.

b. Menurut Imam al-Amidi yang juga pengikut Syafi’iyah merumuskan


ijma’ sebagai kesepakatan sekelompok ahlul halli wal ‘aqd (para ulama

2
. Ahmad Hassan Munawir, al-Munawir kamus Arab Indonesia , Surabaya, Pustaka Progresif, 1997, hal 210.
3
. Depag RI, al-Qur’an dan terjemahannya (Semarang, CV Toha Putra , 1989, hal 350.
4
. Ibid, hal 317
5
. Abu Hamid, Al-Ghazali, al-Musthafa fi Ulum al-Ushul , Beirut: Daral-Khutb al-Ilmiyyah, 2000, hal 137.

2
yang membimbing kehidupan keagamaan umat islam) umat Muhammad
SAW pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu peristiwa.6.
Kelihatannya Imam al-Amidi membatasi kesepakatan orang-orang
tertentu dari umat nabi Muhammad, yaitu orang yang berfungsi sebagai
pengungkai atau pengikat atau para ulama yang membimbing kehidupan
keagamaan umat Islam. Dalam hal ini orang awam tidak diperhitungkan
kesepakatannya, namun lebih lanjut terlihat, al-Amidi masih memberikan
kemungkinan masuknya orang awam dalam penetapan ijma’ dengan
ketentuan telah mampu berbuat hukum.(7)

c. Menurut Ibnu Taimiyah adalah kesepakatan ulama-ulama Islam tentang


suatu hukum (Islam).8

d. Definisi yang berbeda secara substansial adalah apa yang dikemukakan


oleh ulama Syi’ah. Mereka tidak menitik beratkan kepada kata “semua”
tetapi cukup pada kelompok atau beberapa orang asalkan kelompok itu
mempunyai wewenang dalam menetapkan hukum. Untuk itu ulama
Syi’ah merumuskan definisi ijma’ “ Kesepakatan suatu komunitas yang
kesepakatan mereka memiliki kekuatan dalam menetapkan hukum syara’.
Ulama Syi’ah tidak mengharuskan kesepakatan menyeluruh dan
mencukupkan dengan kesepakatan kelompok, karena menurut mereka
kesepakatan kelompok bukanlah untuk menetapkan hukum tersendiri
diluar apa yag telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan sunnah, bagi mereka
ijma’ itu hanya untuk menemukan adanya Sunnah, yatu ucapan atau
perbuatan seseorang yang dianggap ma’shum atau terbebas dari dosa
yang dalam hal ini menurut mereka adalah nabi muhammad atau ahlul
bait (Keturunan nabi dan Fatimah serta Hasan dan Husin).(9)
e. Menurut jumhur ulama ushul fiqh, sebagaimana yang dikutip oleh
Wahbah al-Zuhaili dan Muhammad Abu Zahrah adalah : kesepakatan

6
. Saif al-Din , Al-Amidi , al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah, 1983, hal 168.
7
. Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 1, Jakarta, Kencana Prenada media Group, 2011, hal 133
8
. Abd. Al-Rahman ibn M. Qasim al-Asimy al- Najdiyal Ahmad ibn al-Aziz Ali Sa’ud, Majmu’ fatawa al-Islam
Ahmad Ibn Taimiyah, selanjutnya disebut Ali Saud, Beirut: Dar al-Fikr, jilid I hal 486.
9
. Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul....op cit hal 135.

3
semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasulullaah SAW wafat
atas suatu hukum syara’ mengenai suatu kasus’.10

Dari definisi diatas terlihat unsur pokok yang merupakan hakikat dari suatu
ijma’ yang sekaligus merupakan rukun ijma’, yaitu :

- Saat berlangsungnya kejadian yang memerlukan adanya ijma’ terdapat


sejumlah orang yang berkwalitas mujtahid, karena kesepakatan itu tidak
berarti bila yang sepakat itu hanya seorang. (11)

- Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah, tanpa


memandang negeri asal, jenis dan golongan mujtahid. Kalau yang
mencapai kesepakatan itu hanya sebagian mujtahid, atau mujtahid
kelompok tertentu, wilayah tertentu atau bangsa tertentu, maka
kesepakatan itu tidak dapat disebut ijma’, karena ijma’ itu hanya tercapai
dalam kesepakatan menyeluruh. (12 )

- Kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masing-masing mujtahid


mengemukakan pendapatnya sebagai hasil dari usaha ijtihadnya secara
terang-terangan, baik ucapannya itu dikemukakan dalam bentuk ucapan
dengan mengemukakan fatwa tentang hukum kejadian itu, atau dalam
bentuk perbuatan memutuskan hukum dalam pengadilan dalam
kedudukannya sebagai hakim.(13I).

Bila telah tercapai rukun-rukun di atas yaitu telah berkumpul dan bertemu
semua mujtahid muslim dari berbagai negeri, bangsa dan golongan dalam satu masa
sesudah wafatnya Nabi, dihadapkan kepada mereka suatu kasus yang memerlukan
putusan hukum. Kemudian setiap mujtahid mengemukakan pendapat secara terang-
terangan baik dengan ucapan atau perbuatan, secara bersama-sama atau terpisah,

10
. Ibid
11
. Ibid
12
. Ibid
13
. Ibid hal 136.

4
ternyata pendapat mereka sama tentang hukumnya, maka hukum yang disepakati itu
merupakan hukum syara’ yang wajib diikuti dan mengikat seluruh umat Islam. (14)
2. Sandaran Ijma’
Yang dimaksud dengan sandaran ijma’ adalah dalil yang kuat dalam
bentuk nash al-Qur’an atau sunnah, baik secara langsung maupun tidak. Dalil itu
dapat dijadikan rujukan bagi keputusan ijma’ , kemudian mengenai adanya sandaran
atau dalil merupakan syarat bagi kekuatan ijma’ , ada perbedaan pendapat dalam
kalangan ulama sebagai berikut (15 ):
a. Hampir semua ulama berpendapat bahwa ijma’ itu harus merujuk pada suatu
sandaran yang kuat, bukan berdasar taufik dari Allah SWT, alasan mereka :
1) Dalam keadaan tidak ada rujukan atau sandaran, tidak mungkin seseorang
akan sampai kepada kebenaran.
2) Nabi muhammad SAW tidak pernah berkata atau menetapkan hukum
kecuali bila sandaran berupa wahyu sebagaimana dijelaskan dalam al-
Qur’an.
3) Seandainya para mujthid itu dapat menetapkan hukum tanpa sandaran
berarti masing-masing mujtahid secara perseorangan dapat menetapkan
hukum tanpa sandaran.
4) Mengemukakan pendapat dalam hal agama tanpa dalil atau petunjuk
adalah tindakan yang salah.
5) Produk hukum syar’i bila tidak disandarkan kepada dalil, tidak dapat
diketahui hubungannya dengan hukum syara’.
b. Sebagian kecil ulama tidak mensyaratkan adanya sandaran ijma’, mereka
berpendapat bahwa dapat saja ijma’ itu terjadi karena adanya taufik dari
Allah, mereka beralasan sebagai berikut(16 ):
1) Seandainya kekuatan suatu ijma’ membutuhkan suatu dalil sebagai
sandaran, maka sebenarnya kekuatan hujah terletak pada dalil yang
menjadi sandaran itu, bukan pada ijma’ itu sendiri . Dengan demikian
ijma’ itu tidak ada artinya dalam kedudukannya sebagai dalil syara’ yang
berdiri sendiri.

14
. Ibid
15
. Ibid hal 154
16
. Ibid hal 155

5
2) Seandainya ijma’ itu memerlukan sandaran, maka tidak akan terlaksana
ijma’ tanpa ada sandaran, diantara ijma’ yang tanpa sandaran contohnya
ijma’ ulama tentang pengambilan sewa pemandian umum, penetapan
kharaj, dan sebagainya.

3. Fungsi Ijma’
Yang dimaksud dengan fungsi ijma’ adalah kedudukannya dihubungkan
dengan dalil lain, berupa nash atau bukan. Memang pada dasarnya ijma’ itu menurut
ulama ahl al-sunah, mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum dengan
sendirinya. Tetapi dalam pandangan ulama syi’ah ijma’ itu hanya untuk
menyingkapkan adanya ucapan seseorang yang ma’shum. Dalam hal ini terlihat ada
dua pandangan yang berbeda mengenai kedudukan dan fungsi ijma’. Dalam
pandangan ulama yang berpendapat bahwa kekuatan suatu ijma’ tidak diperlukan
sandaran atau rujukan kepada suatu dalil yang kuat, ijma’ itu berfungsi menetapkan
hukum atas dasar taufik Allah yang telah dianugerahkan kepada ulama yang
melakukan ijma’ tersebut. Dalam pandangan ini tampak bahwa kedudukan dan
fungsi ijma’ itu bersifat mandiri.(17)
Dalam pandangan ulama yang mengharuskan adanya sandaran untuk
suatu ijma’, dalam bentuk nash atau qiyas, maka ijma’itu berfungsi untuk
meningkatkan kwalitas yang dijadikan sandaran itu. Melalui ijma’ dalil yang asalnya
lemah atau zhanni menjadi dalil yang kuat atau qath’i, contoh ijma’ yang
menguatkan dalil sunnah yang dijadikan sandarannya adalah mengenai hak
kewarisan nenek dari harta peninggalan cucunya. Hal ini bermula dari sebuah hadis
yang lemah, namun akhirnya menjadi ijma’ yang kuat.

B. Ijma’ Sebagai Dalil Hukum


Para ulama ushul fiqih mendasarkan kesimpulan mereka bahwa ijma’
adalah sah dijadikan sebagai landasan hukum kepada berbagai argumentasi antara
lain:
a. Qs.annisa: 115

17
. Ibid hal 157

6
“ Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu
dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-
buruk tempat kembali”.

Ayat tersebut mengancam golongan yang menentang Rasulullah dan


mengikuti jalan orang-orang yang bukan mukmin. Dari ayat tersebut dipahami, kata
muhammad abu zahrah, bahwa wajib hukumnya mengikuti jalan orang-orang yang
mukmin yaitu mengikuti kesepakatan mereka.
b. Qs. Albaqarah; 143

"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam),


umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia." (QS. Al-Baqoroh : 143)
Ayat ini mensifati umat Islam dengan “wasath”, yang berarti adil.
Ayat ini memandang umat Islam itu adil dan dijadikan hujjah yang mengikat
terhadap manusia untuk menerima pendapat mereka sebagaimana ucapan Rasul
menjadi hujjah terhadap kita untuk menerima ucapan yang ditujukan kepada kita.
Ijma’ berkedudukan sebagai hujjah tidak lain artinya kecuali bahwa pendapat mereka
itu menjadi hujjah terhadap yang lain.
c. Qs. Annisa: 59

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka


kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),

7
Perintah menaati ulil amri sesudah mematuhi Allah dan Rasul berarti
peritah untuk mematuhi Ijma’, karena ulil amri itu berarti orang-orang yang
mengurusi kehidupan umat, baik dalam urusan dunia maupun urusan agama, dalam
hal ini adalah ulama. Kepatuhan akan ulama adalah bila mereka sepakat tentang
suatu hukum, Inilah yang disebut ijma’.(18)
4. Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu
peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak
mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan
dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

"umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan, umatku tidak


akan sepakat melalkukan kesesatan" (HR. Abu Daud dan Tirmidzi) .
Di dalam hadis ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat
yang sama-sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma’ itu
terpelihara dari kesalahan, sehingga putusannya itu merupakan hukum yang
mengikat umat islam. Ulama syi’ah tidak mendudukkan ijma’ itu sebagaimana yang
dilakukan oleh ulama ahl al-sunah. Memang ulama syi’ah mengakui adanya ijma’
menurut definisi yang mereka gunakan dan mengakui ijma’ sebagai salah satu dalil
syara’, namun dalam arti ijma’ itu menunjukkan jalan untuk mengetahui adanya
hukum syara’, ijma’ sama sekali bukan lembaga yang dapat menetapkan hukum
syara’, sebagaimana yang dianggap oleh ulama ahl al-sunah.
C. Ketetapan Ijma’, Nasakh Ijma’, dan Mengingkari Hasil Ijma’
1. Ketetapan Ijma’
Bila telah berlangsung suatu ijma’ maka ia mempunyai kekuatan hukum atau
hujjah untuk umat pada masa berlangsungnya ijma’ dan umat sesudahnya. Tentang
bagaimana caranya kaum Muslimin mengetahui bahwa ijma’ tentang suatu hukum
telah berlaku dan telah mengikat untuk mereka, adalah melalui periwayatan dari

18
. Ibid hal 140

8
satu orang kepada orang lain, dan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dengan
demikian ijma’ itu ditetapkan melalui kabar atau periwayatan. (19)
Ijma’ adalah dalil hukum yang bersifat qath’i atau meyakinkan
kebenarannya, oleh karena itu penukilan dan penyebarluasannya pun harus dengan
cara meyakinkan pula, yaitu melalui kabar mutawatir, agar sifat qath’i pada asal
hukumnya dapat diimbangi dengan qath’i dalam segi sanad (materi hukum) dan
periwayatannya.
Tentang penukilan ijma’ melalui kabar ahad terdapat perbedaan ulama.
Sebagian ulama Syafiiyah, Hanafiyah dan ulama Hambali berpendapat bolehnya
menukilkan ijma’ dengan kabar ahad. Sedangkan kelompok ulama Hanafiyah dan
sebagian ulama Syafiiyah seperti al-Ghazali berpendapat tidak boleh menukilkan
ijma’ dengan kabar ahad. Kedua ulama yang berbeda pendapat ini sepakat
menyatakan ijma’ yang dinukilkan melalui kabar ahad, kekuatan hukumnya bersifat
zhanni, meskipun ia bersifat qath’i.(20)
Kelompok ulama yang berpendapat membolehkan penukilan ijma’ dengan
kabar ahad menggunakan alasan dengan nash dan qiyas, adapun alasaan nash adalah
sabda nabi :

“Kami menetapkan hukum berdasarkan yang zahir, sedangkan Allah


menyukai yang tersembunyi”

Dalam hadis itu kata “lahir” disebutkan dengan alif- lam jinsiyah yang
menunjukkan keumumannya, termasuk di dalamnya ijma’ yang ditetapkan dengan
kabar ahad karena ia lahir dan zhanni. Itulah yang dapat dicapai oleh usaha manusia,
sedangkan yang lebih dari itu diserahkan kepada Allah.
Adapun dalil qiyas yang mereka kemukakan ialah kabar ahad tentang
adanya ijma’ menimbulkan zhan (dugaan kuat), karenanya mengandung hujjah
sebagaimana kabar ahad yang berasal dari hadis nabi yang diakui kehujjahannya.
Kelompok ulama yang menolak penetapan ijma’ melalui kabar ahad
beralasan bahwa ijma’ yang dinukilkan berdasarkan lisan yang ahad merupakan

19
. Ibid hal 166
20
. Ibid hal 167

9
salah satu sumber fiqh seperti qiyas dan kabar ahad dari rasul. Tidak ada ijma’ qath’i
yang menunjukkan kebolehan berhujjah dengannya yang tidak didukung oleh nash
yang qath’i dari Al-Qur’an dan sunnah.
2. Nasakh Ijma’
Yang dimaksud nasakh ijma’ disini adalah munculnya ijma’ ulama yang
menyatakan bahwa keputusan ijma’ sebelumnya tidak berlaku lagi , atau muncul
pendapat ulama secara perseorangan, atau muncul ijma’ atas suatu hukum yang
berbeda dengan apa yang sebelumnya disepakati ulama terdahulu. Memang pada
dasarnya nasakh (pembatalan) itu tidak itu tidak berlaku kecuali dalam hukum-
hukum yang ditetapkan dengan nash, baik nash Al-Qur’an maupun nash hadis,
karena nasakh itu hanya berlaku semasa Nabi masih hidup dan tidak berlaku
sesudahnya. Karenanya tidak mungkin terjadi nasakh dalam hukum-hukum yang
ditetapkan berdasarkan ra’yu meskipun ra’yu yang merujuk kepada nash.(21)
Pembicaraan tentang nasakh ijma’ in bukanlah dalam arti sebenarnya,
akan tetapi berupa kemungkinan munculnya ijma’ yang menasakh atau mengakhiri
berlakunya hasil ijma’ yang lalu. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dalam
kalangan ulama :
a. Jumhur ulama berpendapat nasakh tidak berlaku dalam ijma’, artinya
apa yang telah ditetapkan dengan ijma’ tidak mungkin dibatalkan dengan nash,
dengan ijma’ lagi atau dengan qiyas, alasannya ialah bahwa yang akan
menaskhkannya tentulah nash, ijma’ atau qiyas, namun menasakh ijma’ dengan salah
satu diantaranya tidaklah mungkin.
b. Sebagian kecil ulama, diantaranya ulama Mu’tazilah dan fahrur Razi
berpendapat bahwa ijma’ dapat dinasakh oleh ijma’ yang datang kemudian, karena
tidak ada bagi ijma’ untuk dinasakhkan. Alasannya sebab diantara sandaran ijma’
yang pertama itu adalah qiyas yang illatnya adalah sifat yang dilihat oleh ulama yang
mencetuskan ijma’ yang pertama itu sebagai maslahat, tetapi kemudian maslahat itu
berubah pada mas berikutnya, dan pada masa itu para ulama menggunakan qiyas
yang merujuk pada sifat yang lain (berbeda), keadaan yang telah berubah ini
menghendaki hukum yang berbeda dengan ijma’ yang pertama. (22)

21
. Ibid hal 164
22
. Ibid hal 165

10
Pendapat di atas dikuatkan oleh Khudary Bey, ia mengemukakan contoh
ijma’ yang menasakhkan nash baik Al-qur’an maupun sunnah. Umpamanya ijma’
yang menasakhkan menetapkan tidak berhaknya muallaf atas zakat, yang dengan
sendirinya menghapuskan hukum yang menetapkan hak muallaf atas zakat
sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an surat at-Taubah (9): 60.
3. Mengingkari Hasil Ijma’
Seseorang disebut mengingkari hasil Ijma’ bila ia mengetahui adanya
ijma’ ulama yang menetapkan hulum atas suatu kasus , namun ia secara sadar
berbuat yang berbeda mengenai kasus itu dengan apa yang telah ditetapkan oleh
ijma’. Pengingkaran terhadap hasil ijma’ ini disebabkan hal-hal sebagai berikut :
a. Ia secara prinsip tidak mengakui ijma’ sebagai salah satu dalil hukum
yang mengika , karena memang tidak ada dalil sharih dengan dilalah
yang qath’i tentang kehujjahan ijma’ tersebut.
b. Ia mengakui ijma’ sebagai hujah syar’iyah secara prinsip, namun ia
menolak menerima ijma’ tertentu, karena menurut keyakinannya cara
penukilan ijma’ itu tidak meyakinkan, atau ia tidak yakin telah terjadi
ijma’ tentang suatu masalah.
c. Ia menerima ijma’ secara prinsip dan meyakini secara pasti bahwa
ijma’ telah berlangsung namun ia tetap tidak mengindahkannya.
Dalam hal pengingkaran terhadap ijma’ ini terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa mengingkari
hukum yang telah ditetapkan ijma’ adalah kafir. Ulama lain menolak mengkafirkan
orang yang mengingkari ijma’. Mereka juga sepakat tentang tidak kafirnya orang
yang mengingkari ijma’ yang zhanni.
Para ulama yang menyatakan kafir orang yang mengingkari ijma’
yang qath’i berpendapat bahwa keingkaran akan hukum ijma’ mengandung arti
mengingkari dalil qath’i, berarti pula mengingkari kebenaran risalah yang dibawa
nabi, sikap demikian hukumnya kafir sebagaimana mengingkari Al-Qur’an dan
sunnah nabi.
Ulama yang tidak mengkafirkan orang yang mengingkari ijma’
beralasan bahwa dalil tentang kehujaan ijma’ berdasarkan dalil yang tidak qath’i
tetapi hanya zhanni. Karenanya tidak menimbulkan hukum yang meyakinkan,

11
mengingkari hukum yang tidak meyakinkan, tidak sampai menjadi kafir. Pendapat
yang tepat dalam hal ini adalah apa yang dikemukakan oleh Muhammad Khudhari
Bey, ia mengatakan bahwa, mengatakan kafir orang yang mengingkari ijma’ tanpa
melihat alasannya adalah tidak benar. Untuk itu ia mengutip pendapat Imama
Haramain yang mengatakan bahwa ucapan yang berkembang di kalangan ulama
yang mengkafirkan orang yang mengikuti ijma’ itu batal secara pasti. Orang yang
mengingkari prinsip ijma’ tidaklah kafir, karena menghukum kafirnya seseorang
tidaklah gampang. Seseorang yang meyakini ijma’ sebagai salah satu hujah syar’iyah
dan mengakui kebenaran orang-orang yang melakukan ijma’ serta kebenaran
penukilannya, kemudian ia secara sadar mengingkari apa-apa yang telah diputuskan
secara ijma’, maka pengingkarannya itu berarti mendustakan kebenaran pembuat
hukum (syari’).(23)

D. Pembagian Ijma’, Macam-macam Ijma’, Dan Kemungkinan Terjadinya


Ijma’
1. Pembagian Ijma’ dan macam-macam Ijma’
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma terdiri atas:
Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma’ terbagi menjadi dua yaitu ijma’ sharih
(jelas) dan ijma’ sukuti (diam/persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian
ulama’).
a. Ijma’ sharih (jelas), yaitu kesepakatan seluruh para mujtahid baik
dengan perkataan atau perbuatan terhadap suata masalah tertentu, setiap para
mujtahid menyampaikan pendapatnya dengan jelas. Ijma’ seperti ini langka terjadi,
apalagi dalam suatu majlis yang dihadiri oleh semua mujtahid pada suatu masa
tertentu, sebagaimana pendapat al-Nazzam bahwa ijma’ seperti ini tidak mungkin
terjadi. Tetapi jumhur ulama’ ushul berpendapat apabila hal ini terjadi dan
menghasilkan suatu kesepakatan maka bisa dijadikan sebagai hujjah syar’iyah
dengan tanpa khilaf dan kekuatan hukumnya bersifat qath’i.
Ijma’ sharih ini sangat langka terjadi, jangankan yang dilakukan dalam
suatu majelis pertemuan, tidak dalam forumpun sulit dilakukan. Karena itu sebagian
ulama berpendapat ijma’ sharih hanya mungkin terjadi pada masa sahabat, karena

23
. Ibid hal 169

12
waktu itu jumlah mujtahid masih terbatas, dan lingkungan domisili mereka masih
berdekatan sehingga tidak sulit untuk berhubungan atau menyampaikan
pendapatnya.
b. Ijma’ sukuti (diam), yaitu kesepakatan sebagian mujtahid dalam suatu
permasalahan dan sebagian mujtahid yang lain tidak berpendapat (diam) dan tidak
mengingkarinya. Ijma’ yang kedua ini, para ulama’ masih berselisih pendapat
apakah termasuk hujjah syar’iyah atau tidak:
Menurut Al-Malikiyah dan Al-Syafi’iyah bukan ijma’ dan bukan hujjah
syar’iyah karena diamnya sebagian mujtahid belum tentu menunjukkan kesepakatan.
Menurut Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah dianggap ijma’ dan hujjah
qot’iyah karena diamnya sebagian mujtahid yang lain menunjukkan taslim dan
sepakat terhadap permasalahan tersebut. Selain itu jika dilogikakan, bahwa ijma’
sharih yang harus disepakati oleh semua mujtahid yang hidup pada masa terjadinya
ijma’ dan masing-masing mengemukakan pendapatnya serta menyetujui hukum yang
ditetapkan, maka hal ini tidak mungkin terjadi karena biasanya ijma’ yang
dikemukakan ulama’ berawal dari pendapat pribadi atau sekelompok mujtahid dan
lainnya diam.
Lebih lanjut Abu Zahra menyatakan alasan yang dikemukakan oleh ulama
Hanafiyah dan Hanabilah: Diamnya (sukut) para ulama tentang suatu hukum hasil
ijtihad adalah setelah mempelajari dan menganalisis hasil ijtihad tersebut, dan
mempelajari hasil ijtihad ulama lain adalah suatu kewajiban bagi para ulama’ dan
jika mereka diam saja maka hal tersebut menunjukkan persetujuannya.
c. Ijma’ Amali yaitu kesepakatan para mujtahid atau ulama dalam
mengamalkan perbuatan tertentu pada suatu masa, amal para ulama
ini menunjukkan terjadinya suatu ijma’ atau kesepakatan.
Kesepakatan ini tidak menunjukkan pada hukum wajib kecuali ada
indikasi yang mendukungnya, misalnya Ubaidah al-Salmaniy
menyatakan “para sahabat nabi SAW sepakat untuk melaukan salat
empat rakaat sebelum zuhur “, dalam ijma’ ini tidak ada indikasi yang

13
menunjukkan bahwa salat empat rakaat sebelum zuhur itu hukumnya
wajib, tetapi hanya sunat sesuai kesepakatan mereka.(24)

Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada
(25):

1 .ljma`qath`i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini
benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau
kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada
waktu yang lain;

2. ljma`dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada
kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma'
yang dilakukan pada waktu yang lain.

Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma' yang


dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya.
Ijma`-ijma` itu ialah:

1. Ijma`sahabat, yaitu ijma` yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
2. Ijma`khulafaurrasyidin, yaitu ijma` yang dilakukan oleh Khalifah Abu
Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat
dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah
Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma` tersebut tidak dapat
dilakukan lagi;
3. Ijma`shaikhan, yaitu ijma`yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar
bin Khattab;
4. Ijma`ahli Madinah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah.
Ijma` ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut

24
. Firdaus Kandidat Doktor di Bidang Hukum Islam, Ushul Fiqh, Metode Mengkaji dan Memahami Hukum
Islam Secara Komprehensif, Jakarta, Zikrul Hakim, 2004, hal 50-51 (dikutip dari Abd al-Khalil al-Qaransaawi,
dkk,al-Mujiz fi Ushu al-Fiqh, (tk, Matbah al-Ukhuwah wa al-Aqsa’, 1965), hal 195
25
. Dikutip dari Internet dengan judul “Ijma’ dan Kekuatannya”, pada hari Jum’at tanggal 25 Oktober 2013, jam
14.00

14
Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi`i tidak mengakuinya sebagai salah
satu sumber hukum Islam;
5. Ijma` ulama Kufah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah.
Madzhab Hanafi menjadikan ijma` ulama Kufah sebagai salah satu
sumber hukum Islam.

3. Kemungkinan terjadinya ijma`

Jika diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah SAW


sampai sekarang, dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma', maka ijma'
dapat dibagi atas tiga periode, yaitu:

1. Periode Rasulullah SAW;


2. Periode Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Khalifah Umar bin Khattab;
dan
3. Periode sesudahnya.

Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada
peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur`an yang
telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika
mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung
menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya,
adakalanya menunggu ayat al-Qur’an diturunkan Allah SWT. Karena itu kaum
muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum
suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.(26 )

Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan


tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-
Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan
hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah
berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu
Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama
Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu,
26
. Dikutip dari Internet dengan judul “ Ijma’ sebagai dalil hulum”, pada hari Senin tanggal 28 Oktober 2013,
jam 13.00.

15
belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping
daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau
orang yang dipandang sebagai mujtahid.

Setelah enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak


gejala-gejala perpecahan di kalangan kaum muslimin. Hal ini dimulai dengan
tindakan Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagai penjabat jabatan-jabatan
penting dalam pemerintahan (nepotisme). Setelah Khalifah Utsman terbunuh,
perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara
Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin
Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan
Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya. Demikianlah
perselisihan dan perpecahan itu terjadi pula semasa dinasti Amawiyah, semasa
dinasti Abbasiyah, semasa dinasti Fathimiyah dan sebagainya, sehingga dana dan
tenaga umat Islam terkuras dan habis karenanya.

Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia
Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat
sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena
itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Ijma` tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;


2. Ijma` mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar
bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman.
3. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman
sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma’ sesuai dengan rukun-rukun
yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang
tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.

Pada masa sekarang telah banyak berdiri negara-negara Islam yang


berdaulat atau suatu negara yang bukan negara Islam tetapi penduduknya mayoritas
beragama Islam atau minoritas penduduknya beragama Islam. Pada negara-negara

16
tersebut sekalipun penduduknya minoritas beragama Islam, tetapi ada peraturan atau
undang-undang yang khusus bagi umat Islam. Misalnya India, mayoritas
penduduknya beragama Hindu, hanya sebagian kecil yang beragama Islam. Tetapi
diberlakukan undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang
itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para
mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India
itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa
setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma itu hanya dapat dikatakan
sebagai ijma' lokal.(27)

Jika demikian dapat ditetapkan definisi ijma`, yaitu keputusan hukum yang
diambil oleh wakil-wakil umat Islam atau para mujtahid yang mewakili segala
lapisan masyarakat umat Islam. Karena dapat dikatakan sebagai ulil amri
sebagaimana yang tersebut pada ayat 59 surat an-Nisâ' atau sebagai ahlul halli wal
`aqdi. Mereka diberi hak oleh agama Islam untuk membuat undang-undang atau
peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan rakyat mereka.

Hal yang demikian dibolehkan dalam agama Islam. Jika agama Islam
membolehkan seorang yang memenuhi syarat-syarat mujtahid untuk berijtihad, tentu
saja beberapa orang mujtahid dalam suatu negara boleh pula bersama-sama
memecahkan permasalahan kaum muslimin kemudian menetapkan suatu hukum atau
peraturan. Pendapat sebagai hasil usaha yang dilakukan orang banyak tentu lebih
tinggi nilainya dari pendapat yang dilakukan oleh orang seorang.

PENUTUP
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa ijma’ adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif
di bawah dalil-dalil nash (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil pertama setelah
Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum
syara’, namun dalam aplikasinya masih terdapat perbedaan pandangan apakah ijma’

27
. Ibid

17
hanya terjadi pada masa sahabat saja atau apakah ijma’ dapat dilakukan pada masa
sekarang.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam
menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau,
apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.
Adapun dari ijma’ itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar
dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/
sumber hukum (ijma’)
Dan dari ijma’ itu sendiri terdapat beberapa macam. Diantaranya: ijma’
sharih, ijma’ sukuti. Dari dua versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam
pandangan ulama’ mengenai ijma’ itu sendiri.
Seperti ijma’ sukuti misalkan, pengikut Imam Maliki dan Syafi’i memandang
bahwa ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak menganggap sebagai ijma’.
Sedangkan segolongan dari Imam Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal
menyatakan sebaliknya.
Sebagaimana dikatakan oleh Yusuf Qardhawi bahwa seyogyanya dalam
menyelesaikan permasalahan baru yang besar tidak cukup dengan ijtihad individu
(fard) tetapi hendaknya melakukan tranformasi dari ijtihad fard ke ijtihad jama’i
atau yang sekarang dikenal dengan istilah ijtihad kolektif, dimana para ilmuwan
bermusyawarah tentang semua persoalan yang terjadi, terutama hal-hal yang
bercorak umum dan sangat penting bagi mayoritas muslim, karena ijtihad kolektif
lebih mendekati kebenaran daripada pendapat perseorangan. Hanya saja ijtihad
kolektif bukan berarti membunuh ijtihad individu, karena ijtihad kolektif dari hasil
penelitian orisinil yang diajukan oleh setiap mujtahid.(28)

28
. Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya, (Surabaya: Risalah Gusti,
2000), hal 138-139

18
DAFTAR PUSTAKA

Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, Ahmad Hasan Munawir, Pustaka


Progresis, Surabaya, 1997.

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Depag RI, CV Toha Putra, Semarang, 1989.

Al-Musthafa fi Ulum al-Ushul, Abu Hamid, Al-Ghzali, Beirut: Dar al-Kutb


al Ilmiyyah, 2000

Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Saif al-Din, Al-Amidi, Beirut: Dar al-Kutb al-
Ilmiyyah, 1983

Ushul Fiqh jilid 1, Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Kencana Prenada media
Group, Jakarta, 2011.
.
Ushul Fiqh, Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif, Firdaus Kandidat Doktor di Bidang Hukum Islam, Jakarta, Zikrul
Hakim, 2004, (dikutip dari Abd al-Khalil al-Qaransaawi, dkk,al-Mujiz fi Ushu al-
Fiqh, (tk, Matbah al-Ukhuwah wa al-Aqsa’, 1965), hal 195
Ushul Fiqh, Nasrun Haroen, Logos Wacana Ilmu, Jakarta 1997.
Ijtihad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyimpangannya, Yusuf
Qardhawi, Risalah Gusti, Surabaya, 2000.
“Ijma’ dan Kekuatannya”, Internet, Jum’at tanggal 25 Oktober 2013, jam
14.00

“ Ijma’ sebagai dalil hulum”, Internet, Senin, tanggal 28 Oktober 2013, jam
13.00.

19

Anda mungkin juga menyukai