Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

IJMA’

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

“Pengantar Ilmu Fiqih”

Dosen Pengampu: H.Hairillah M.H

Delia Faradila (2221508047)

Yunita Aulia’il Islamiyah (2221508046)

HK 1 SEMESTER 1

KELOMPOK 6

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS

SAMARINDA

2022
IJMA’

A. Latar Belakang
Dalam agama Islam terdapat sumber hukum yang dijadikan
sebagai panduan dalam menjalani kehidupan di dunia ini, salah satunya
adalah ijma’. Ijma’ adalah dasar-dasar yang digunakan untuk menetapkan
hukum fiqih selain dari Al Qur’an dan Hadist.
Jumhur ulama’ ushul sepakat menjadikan ijma’ sebagai salah satu
dasar atau dalil yang dapat dijadikkah hujjah dalam menetapkan hukum
fiqih, sebab ijma’ merupakan suatu kesepakatan para mujtahid terhadap
suatu permasalahan dalam rangka menetapkan hukumnya.

Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya


ijma’ itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an
dan Hadits saja. Sekalipun jumhur ulama’ ushul sepakat menggunakan
ijma’ sebagai salah satu dasar dalam menetapkan hukum fiqih, juga masih
terdapat para ulama’ yang tidak menyetujuinya dan mergukan adanya.
Ijma’ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan
ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka
hadapi. Contohnya Khalifah Umar Ibnu Khattab RA beliau
mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam
menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia
menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.

B. Pengertian Ijma’
Menurut bahasa ijma’ berarti kesepakatan, kebulatan, suara.
Sedang menurut istilah ushul fiqih ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid
pada suatu masa tertentu setelah Rasulullah saw wafat terhadap
permasalahan hukum syara’ pada suatu peristiwa.
ketika terjadi suatu peristiwa yang memerlukan pemecahan hukum
setelah Rasulullah saw wafat, dan pemecahan tersebut tidak ditemukan
secara jelas dan tegas didalam Al Qur’an dan Hadist, maka para mujtahid
berusaha mencari pemecah hukumya, yang biasa disebut ijma’.
Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia
diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan
khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk
mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula
diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada
permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA
itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan
yang seperti ini dapat dikatakan ijma’.
C. Dasar Hukum
 Al Qur’an.
ُ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوَأ ِطيعُوا ال َّرسُو َل َوُأولِي اَأْل ْم ِر ِم ْن ُك ْم ۖ فَِإ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوه‬
‫سنُ تَْأ ِويلًا‬
َ ْ‫ك َخ ْي ٌر َوَأح‬ َ ِ‫ِإلَى هَّللا ِ َوال َّرسُو ِل ِإ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذل‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An Nisa’ : 59)
Kata ulil amri yang terdapat pada ayat di atas mempunyai arti hal,
keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan
agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau
penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid. Dari ayat di
atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu
ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah
dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin
 Hadits.
Sabda Rasulullah Saw
‫ضاَل لَ ٍة‬
َ ‫اَل تَجْ تَ ِم ُع َعلَى‬
"Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan"(H.R. Ibnu Majah) .
Apabila para mujtahid telah melakukan ijma’ dalam menentukan hukum syara'
dari suatu permasalahan hukum, maka keputusan ijma’ itu hendaklah diikuti,
karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan
kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta.

D. Rukun Ijma’
Rukun ijma ada 4, yaitu:
1. Ketika ada suatu peristiwa atau permasalahan yang solusinya
membutuhkan ijma’, harus ada beberapa orang yang sudah setara
dengan mujtahid. Suatu kesepakatan dalam ijma’ tidak bisa disahkan
apabila tidak sesuai dengan kesepakatan pendapat dari semua mujtahid
yang membuat ijma’. Selain itu, apabila pada suatu waktu dan di sautu
daerah sama sekali tidak ada mujtahid atau hanya ada satu saja, maka
ijma’ tersebut tidak sah atau tidak boleh dipergunakan.
2. Semua mujtahid yang ada pada pembuatan ijma’ harus memiliki
kesepakatan atas hukum dari sebuah masalah tanpa harus memandang
atau melihat suku, ras, kelompok, dan negeri tertentu.
3. Kesepakatan dalam ijma bisa tercapai dan sah jika setiap mujtahid
yang hadir sudah menyampaikan pendapatnya sebagai bentuk dari
hasil usaha ijtihadnya. Adapun bentuk pendapat itu bisa berupa ucapan
mengeluarkan fatwa dalam bentuk tindakan dengan memberikan
keputusan terhadap hukum. Penyampaian pendapat bisa dalam bentuk
perseorangan saja, tetapi hasilnya secara keselurahan semua para
ulama’ dan mujtahid sudah memiliki pendapat yang sama.
4. Kesepakatan hukum yang sudah dicapai saat melakukan ijma berasal
dari hasil kesepakatan para ulama dan mujtahid secara keseluruhan.
Apabila ada beberapa ulama’ atau mujtahid yang tidak setuju dengan
hasil kesepakatan yang sudah ditentukan, maka hal seperti itu tidak
bisa disebut dengan ijma. Jika, terjadi perbedaan pendapat, maka ada
kemungkinan bahwa ijma yang akan dibuat memiliki kesalahan.
Dengan kata lain, walaupun kesepakatan dalam membuat ijma sudah
memiliki suara mayoritas yang setuju, tetapi masih ada sebagai ulama
yang tidak setuju, maka tidak dapat dijadikan sebagai dalil syara’ yang
pasti.

E. Macam-Macam Ijma’
Ditinjau dari segi caranya, ijma’ itu ada dua macam, yakni:
1. Ijma’ Qouli. Yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas
hukum suatu persitiwa dengan menampilkan pendapat masing-masing
secara jelas, baik melalui lisan, perbuatan atau tulisan. Ijma’ ini juga
disebut dengan Ijma’ Shorikh atau Ijma Qath’i
2. Ijma’ Sukuti. Yakni secara diam-diam. Artinya sebagian para mujtahid
suatu masa menyampaikan pendapatnya secara jelas mengenai suatu
peristiwa dengan sistem fatwa dan Qadla’ (memberi keputusan),
sedangkan sebagian mujtahid lainnya tidak memberikan tanggapan
terhadap pendapat tersebut mengenai persetujuan atau perbedaannya.

Berdasarkan kejelasan perkara yang disepakati, ijma’ terbagi dua:

1. Ijma’ qath’i, yaitu yang berupa perkara maklum dan jamak diketahui
oleh seluruh kalangan dari umat islam, tidak ada yang tak
mengetahuinya dalam kondisi wajar, dan tidak ada uzur untuk tidak
mengetahuinya. Seperti ijma’ tentang wajibnya salat lima waktu dan
haramnya minuman keras.   
2. Ijma’ dzanni, yaitu ijma’ yang tidaklah diketahui kecuali oleh para
ulama. Karena diperlukan pencarian dan pembedahan terhadap teks-
teks kitab klasik dan ucapan-ucapan ulama terdahulu.
F. Kehujjahan Ijma’

Hujjah berarti argumentasi yang kokoh. Ada juga dalil yang


menjadi dasar ijma’. Salah satunya Alquran surat An Nisa ayat 59:

‫‹ر ِم ْن ُك ۚ ْم فَ‹ا ِ ْن تَنَ‹‹ا َز ْعتُ ْم فِ ْي َش‹ ْي ٍء‬


ِ ‹‫َّس‹وْ َل َواُولِى ااْل َ ْم‬ ُ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا هّٰللا َ َواَ ِط ْيعُوا الر‬
َ ِ‫فَ ُر ُّدوْ هُ اِلَى هّٰللا ِ َوال َّرسُوْ ِل اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَوْ ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذل‬
‫ك َخ ْي ٌر َّواَحْ َسنُ تَْأ ِو ْي ًل‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Mengutip dari jurnal Kedudukan Ijma Sebagai Dalil Hukum


Terhadap Fatwa Ekonomi Islam Kontemporer karya Agil Bahsoan,
perintah mentaati ulil amri setelah Allah dan Rasul berarti sama artinya
dengan mematuhi ijma. Sebab ulil amri adalah orang-orang yang
mengurus kehidupan umat, yaitu ulama.

Selain Alquran, hadits Rasulullah saw juga dijadikan landasan kehujjahan


ijma. Dari Umar bin Al-Khattab, Rasulullah bersabda:

“Siapa saja yang ingin mendapatkan pertengahan Surga, maka ikutilah


Jamaah (ummat Islam). Karena syaithan itu lebih suka bersama orang
yang sendiri, dan dia lebih jauh ketika bersama dua orang.”
G. KESIMPULAN

Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa tertentu setelah
Rasulullah SAW wafat terhadap permasalahan hukum syara’ pada suatu
peristiwa. Ijma’ merupakan dasar-dasar yang digunakan untuk menetapkan
hukum fiqih selain dari Al Qur’an dan Hadist. Ijma’ juga salah satu dasar atau
dalil yang dapat dijadikkah hujjah dalam menetapkan hukum fiqih, sebab
ijma’ merupakan suatu kesepakatan para mujtahid terhadap suatu
permasalahan dalam rangka menetapkan hukumnya.

Dalam Al Qur’an ada ayat yang menjadi dasar hukum ijma’ yaitu QS An-
Nisa:59 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya." Dan ada juga dasar hadist yang diriwayatkan ibnu majah yang
isinya "Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan".

Rukun ijma’ ada 4 yaitu: Harus ada beberapa orang yang setara dengan
mujtahid, Semua mujtahid harus memiliki kesepakatan hukum, Kesepakatan
dalam ijma bisa tercapai dan sah jika setiap mujtahid yang hadir sudah
menyampaikan pendapatnya sebagai bentuk dari hasil usaha ijtihadnya,
Kesepakatan hukum yang sudah dicapai saat melakukan ijma berasal dari hasil
kesepakatan para ulama dan mujtahid secara keseluruhan.

Macam-macam ijma’ ditinjau dari segi caranya ada dua yaitu ijma’ qauli
dan ijma’ sukuti, sedangkan dari kejelasan perkara yang disepakati ada dua
yaitu ijma’ qath’i dan ijma’ dzanni.
DAFTAR PUSTAKA

Munawwir. A. W., Al-Munawwir (kamus Arab-Indonesia ). Jogjakarta progresif.

Khallaf . A. W., Ilmu Ushul Fiqih, Darul Kalam.

https://muslim.or.id/19712-mengenal-ijma-sebagai-dasar-hukum-
agama.html#Macam-Macam_Ijma

https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-ijma-dan-qiyas/#Rukun_Ijma

https://www.hadits.id/seorang-wanita-tidak-boleh-dimadu-dengan-
bibinya---.BkSbBOg0ztM

https://suduthukum.com/2015/01/macam-macam-ijma.html

Anda mungkin juga menyukai