Anda di halaman 1dari 4

Nama : Adib Firdaus

NPM : 22101053009

ARTIKEL FITRAH BERAGAMA


BAB.9 (IJMA’)

Selain al-Qur’an dan Hadits, ijma’ yang berarti persetujuan para Mujtahid mengenai
status hukum suatu masalah dalam masa tertentu juga merupakan sumber hukum dalam Islam
yang disepakati oleh Jumhur Ulama. Hanya saja, kesepakatan tersebut tidak dapat
dikategorikan sebagai Ijma‟ jika belum memenuhi beberapa rukun dan syarat.

Pengertian Ijma’
a. Aspek Etimologis
Ijma’ secara Bahasa berarti keinginan yang kuat terhadap sesuatu, seperti firman
Allah SWT dalam QS Yunus ayat 71,

ُ ‫فَ َعلَى هّٰللا ِ تَ َو َّك ْل‬


َّ َ‫ت فَاَجْ ِمع ُْٓوا اَ ْم َر ُك ْم َو ُش َر َك ۤا َء ُك ْم ثُ َّم اَل يَ ُك ْن اَ ْم ُر ُك ْم َعلَ ْي ُك ْم ُغ َّمةً ثُ َّم ا ْقض ُْٓوا اِل‬
‫ي َواَل‬
‫تُ ْن ِظرُوْ ِن‬

“Maka kepada Allah-lah aku bertawakkal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan
(kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku)”

b. Aspek Terminologis
Adapun secara istilah, Ijma’ berarti: kesepakatan para Mujtahid dalam satu masa
mengenai status hukum suatu masalah Syar’i setelah wafatnya Rasulullah SAW.

Rukun dan Syarat Ijma’

a. Yang melakukan Ijma’ adalah seluruh Mujtahid. Jika suatu masalah hanya
disepakati oleh satu atau dua orang Mujtahid saja, ,maka kesepakatan tersebut
tidak disebut Ijma’.
b. Harus disepakati oleh seluruh Mujtahid yang ada dalam satu negara. Jika sebuah
permasalahan hanya disepakati oleh Sebagian Mujtahid saja, sedang yang lain
tidak menyepakatinya, maka kesepakatan tersebut tidak bisa dikatakan Ijma’.
c. Kesepakatan tersebut juga harus disepakati oleh seluruh Mujtahid di negara-
negara Islam yang lain. Jika kesepakatan tersebut hanya diambil oleh para
Mujtahid berpaham Sunni di sebuah negara sementara para Mujtahid berpaham
Syi’ah di sebuah negara yang lain tidak menyepakatinya, maka kesepakatan
tersebut tidak pula disebut Ijma’.
d. Kesepakatan tersebut harus dinyatakan secara terang-terangan baik secara tertulis
maupun dalam bentuk tindakan, dan juga secara kolektif maupun personal.
e. Kesepakatan tersebut juga harus bersumber dari al-Qur’an, hadits atau Qiyas,
karena produk hukum harus didasarkan pada dalil.
Macam-Macam Ijma’

Macam-macam Ijma’ menurut cara menyepakatinya terbagi menjadi dua:


a. Ijma’ Shorih
Ijma’ Shorih adalah kesepakatan para Mujtahid mengenai status hukum suatu
masalah yang diungkapkan secara lisan atau perbuatan. Ijma’ dalam bentuk
seperti ini dapat terjadi jika seluruh Mujtahid berkumpul dalam satu tempat,
kemudian masing-masing menyampaikan pendapatnya secara langsung,jelas, dan
memiliki kesamaan isi antara satu dengan yang lain. Ijma’ dalam bentuk seperti
ini juga dapat terjadi tanpa harus melakukan pertemuan
b. Ijma’ Sukuti
Adapun Ijma‟ Sukuti adalah sebuah pandangan hukum yang disampaikan oleh
sebagian Mujtahid dalam satu masa, sedangkan Mujtahid yang lain mengambil
sikap diam dan tidak menolak setelah mengkajinya.

Menyikapi kedua bentuk Ijma‟ tersebut, seluruh Ulama bersepakat untuk


menerima bentuk Ijma‟ yang pertama yaitu Ijma‟ Shorih sebagai hujjah yang
mengikat dan wajib diamalkan. Sedangkan untuk bentuk Ijma‟ yang kedua yaitu
Ijma‟ Sukuti, para Imam Mujtahid empat berbeda pendapat. Imam Maliki dan
Imam Syafi‟i berpendapat bahwa Ijma‟ Sukuti bukanlah Ijma‟ sehingga tidak
dapat dijadikan Hujjah. Hal tersebut disebabkan karena diamnya seorang Mujtahid
setelah membaca pandangan hukum Mujtahid yang lain tidak berarti
menyepakatinya. Sedangkan Imam Hanafi dan Imam Hambali berpendapat bahwa
Ijma’ Sukuti adalah Ijma‟ dan karenanya dapat dijadikan Hujjah dengan
memperhatikan beberapa syarat berikut, yaitu:

A. Pendapat tersebut disampaikan secara tertulis dan para pembacanya memilih


sikap diam
B. Pendapat tersebut disampaikan oleh Mujtahid yang dianggap lebih senior,
sehingga para Mujtahid lainnya diindikasikan akan mengikuti pendapat
tersebut.

Mustanad atau Sandaran Ijma’

Yang dimaksud dengan Mustanad Ijma‟ adalah dalil yang dijadikan landasan oleh
para Mujtahid dalam menyepakati status hukum tertentu. Kebutuhan terhadap dalil tersebut
dikarenakan seorang Mujtahid bukanlah Syari‟ (pembuat hukum) melainkan sebatas penggali
hukum yang diperolehnya dari dalil-dalil yang sudah ada, baik di dalam al-Qur‟an maupun
Hadits. Dalil-dalil tersebut secara umum terbagi menjadi dua, yaitu dalil Qath‟i yang
bersumber dari al-Qur‟an dan Hadits Mutawatir dan dalil Dzanni yang bersumber dari Hadits
Ahad atau Qiyas. Sebagian Ulama juga ada yang berpendapat mengenai kebolehan
menggunakan dalil Mashalih al-Mursalah sebagai landasan Ijma’.
Ijma’ sebagai Sumber Hukum Islam
a. Al-Qur’an
Di dalam al-Qur‟an terdapat beberapa ayat yang menegaskan kehujjahan Ijma‟
sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam, antara lain firman Allah SWT dalam
QS an-Nisa, ayat 115:

‫َو َمنْ ُّي َشاق ِِق الرَّ س ُْو َل ِم ۢنْ َبعْ ِد َما َت َبي ََّن َل ُه ْاله ُٰدى َو َي َّت ِبعْ َغي َْر َس ِبي ِْل ْالمُْؤ ِم ِني َْن ُن َولِّهٖ َما‬
‫ت مَصِ يْرً ا‬ ْ ‫َت َو ٰلّى َو ُنصْ لِهٖ َج َه َّن ۗ َم َو َس ۤا َء‬

“Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”

Ayat tersebut menjelaskan tentang kewajiban mengikuti jalan orangorang muslim


sebagaimana kewajiban mengikuti jalan yang telah digariskan oleh Allah SWT dan
Rasulullah SAW. Dalam kaitan ini, dapat kita pahami bahwa mengikuti jalan orang-
orang mukmin itu berarti mengikuti kesepakatan (Ijma‟) yang telah diambil oleh para
Mujtahid.

Dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman dalam QS an-Nisa, ayat 59:

‫ هّٰللا َ َواَ ِط ْيعُوا ال َّرسُوْ َل َواُولِى ااْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ۚ ْم فَاِ ْن تَنَازَ ْعتُ ْم فِ ْي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوْ هُ اِلَى‬s‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا‬
‫ك َخ ْي ٌر َّواَحْ َسنُ تَْأ ِو ْياًل‬ ࣖ
َ ِ‫م ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذل‬sِ ْ‫هّٰللا ِ َوال َّرسُوْ ِل اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَو‬

“Hai orang-orang yang beriman taatlah engkau kepada Allah dan Rasul dan juga
para pemimpin di antara kalian”

Ayat ini menjelaskan keharusan kita taat kepada para pemimpin. Dalam bidang politik
dan kenegaraan, pemimpin berarti seorang Presiden atau Kepala Negara. Sedangkan
dalam bidang keagamaan, pemimpin itu berarti para Mujtahid dan Ulama. Sehingga
apabila para Mujtahid atau Ulama tersebut bersepakat tentang status hukum suatu
masalah, maka wajib bagi kita sebagai kaum muslimin untuk mengikuti dan
menjalankan kesepakatan tersebut.

b. Hadits
Dalam Hadits juga terdapat beberapa sabda Rasulullah SAW yang menegaskan
kehujjahan Ijma’. Beberapa Hadits tersebut menjelaskan bahwa kesepakatan Mujtahid
dan Ulama harus selalu didasarkan pada kebenaran baik yang bersumber dari al-
Qur‟an maupun Hadits. Andai ada pendapat yang tidak didasarkan pada kebenaran,
tentu mereka tidak akan menyepakati pendapat tersebut. Sehingga apabila
kesepakatan tersebut telah dicapai, maka menjadi keharusan bagi kaum Muslimin
untuk mengikutinya
Fungsi Ijma’
Yang dimaksud dengan fungsi ijma’ adalah kedudukannya dihubungkan
dengan dalil lain, berupa nash atau bukan. Memang pada dasarnya ijma’ itu menurut
ulama ahl al-sunah, mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum dengan
sendirinya. Tetapi dalam pandangan ulama syi’ah ijma’ itu hanya untuk
menyingkapkan adanya ucapan seseorang yang ma’shum. Dalam hal ini terlihat ada
dua pandangan yang berbeda mengenai kedudukan dan fungsi ijma’. Dalam
pandangan ulama yang berpendapat bahwa kekuatan suatu ijma’ tidak diperlukan
sandaran atau rujukan kepada suatu dalil yang kuat, ijma’ itu berfungsi menetapkan
hukum atas dasar taufik Allah yang telah dianugerahkan kepada ulama yang
melakukan ijma’ tersebut. Dalam pandangan ini tampak bahwa kedudukan dan fungsi
ijma’ itu bersifat mandiri.

Dalam pandangan ulama yang mengharuskan adanya sandaran untuk suatu


ijma’, dalam bentuk nash atau qiyas, maka ijma’itu berfungsi untuk meningkatkan
kwalitas yang dijadikan sandaran itu. Melalui ijma’ dalil yang asalnya lemah atau
zhanni menjadi dalil yang kuat atau qath’i, contoh ijma’ yang menguatkan dalil
sunnah yang dijadikan sandarannya adalah mengenai hak kewarisan nenek dari harta
peninggalan cucunya. Hal ini bermula dari sebuah hadisyang lemah, namun akhirnya
menjadi ijma’ yang kuat.

Anda mungkin juga menyukai