A. PENDAHULUAN
Pada masa Rasulullah Saw, permasalahan yang timbul selalu bisa ditangani dengan baik
dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an dan Rasulullah Saw. Dan apa bila ada
suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal tersebut dapat
ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah beliau Rasulullah Saw
wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan dalam memutuskan permasalahan-permasalahan yang
terjadi yang dalilnya tidak ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Padahal
permasalahan yang muncul semakin kompleks, oleh karena itu muncullah Ijma’ dan Qiyas.
Dari uraian tersebut di atas dapat kita munculkan rumusan masalah sebagi berikut:
1. Definisi Ijma’ dan bagaimanakah kehujjahan dari Ijma’?
2. Apakah saat ini masih mungin terjadi Ijma’?
3. Definisi Qiyas dan kehujjahan Qiyas?
B. PEMBAHASAN
1. Pengertan Ijma’
Ijma’ secara etimonologi adalah sepakat.[1] Adapun Ijma’ secara istilah kesepakatan
mujtahid setelah wafatnya Rasulullah Saw.[2]
2. Dalil-dalil yang menunjukkan pada kehujjahan Ijma’ akan kita paparkan sebagai berikut
:
a. Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi :
مارأه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن
Artinya : “Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut pandangan
Allah juga baik”.
b. Sabda Rasulullah Saw
ال تجمع امتى على ضاللة
Artinya : “UmatKu tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat”.
c. Demikian juga sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dari sahabat Umar
bin Khatab R.A :
اال فمن سره بحجة الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الفذ وهو من االثنين ابعد
Artinya : “Ingatlah barang siapa yang ingin menempati surga, maka bergabunglah
(ikutilah) jammah. Karena syaithan bersama orang-orang yang menyendiri. Ia akan lebih jauh
dari 2 orang dari pada orang yang menyendiri”.
Firman Allah Swt :
( ومن يشاقف الرسول من بعد ما تبين الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وسأت مصيرا
النساء:115 )
Artinya : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenarannya baginya
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia k edalam neraka jahanam dan
jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
Nash di atas menjelaskan bahwa yang bukan jalannya orang mukmin adalah harom.
Karena berarti dia telah menentang Allah dan Rasul-Nya dengan ancaman neraka jahanam.
Dengan demikian mengikuti jalan orang mukmin adalah wajib. Jika jama’ah orang mukmin
mengatakan “ini halal” jika ada orang yang menyatakan hal tersebut sebagai suatu yang “haram”
maka dia tidak mengikuti jalan orang mukmin.
Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwasannya mengikuti pendapat orang-orang mukmin berati
suatu hal yang ditetapkan berdasarkan Ijma’. Dengan demikian Ijma’ dapat dijadikan hujjahyang
harus dipergunakan untuk menggali hukum syara’ (istinbath) dari nash-nash Syara’.
3. Syarat-syarat Ijma’[3]
a. Yang bersepakat adalah para mujtahid
b. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
c. Para mujtahid harus umat Muhammad Saw
d. Dilakukan setelah wafatnya Nabi
e. Kesepakatan mereka harus berupa syariat.
Dalam hal persyaratan Ijma’ ada ulama yang mengatakan bahwasannya zaman/masa
sebagai syarat Ijma’.
4. Tingkatan Ijma’
Ijma’ memiliki beberapa tingkatan yaitu sebagai berikut :[4]
a. Ijma’ sharih
Dimana setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima pendapat yang disepakati
tersebut.
b. Ijma’ Sukuti
Dimana suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid, kemudian pendapat itu
diketahui oleh mujtahid yang hidup semasa dengan mujtahid atas, tidak ada seorangpun
mengingkarinya dan/mengiyakannya. Dalam hal ini Imam Syafi’i tidak memasukkan Ijma’
Sukutidalam kategori Ijma’ yang dapat dijadikan hujjah.
Ulama-ulama yang berpendapat tentang ijma’ sukuti :
1) Tidak memasukkan ijma’ sukuti ini dalam kategori ijma’ (oleh imam Syafi’i)
2) Memasukan ijma’ sukuti dalam kategori ijma’, hanyasaja tingkat kekuatanya di bawah ijma’
sharih. (oleh fuqoha selain Syafi’i dan Hanafi)
3) Ijma’ sukuti dapat dijadikan argumentasi (hujjah) tapi bukan termasuk kategori ijma’. (Madzhab
Hanafi)
Dari 3 golongan tersebut masing-masing memiliki alasan masing-masing. Adapun
organisasi ulama yang menganggap bahwa ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan hujjah
sariyyah adalah sebagai berikut :[5]
1) Orang diam tidakdapat dipandang sebagai orang berpendapat. Karena apa? Jika dianggap
sebagai ijma’ ini diam dapat dianggap sebagai pembicaraan yang dinisbatkan pada seorang
mujtahid.
2) Diam tidakdapat di pandang sebagai setuju. Karena diamnya seorang mujtahid mungkin
setuju/tidak, mungkin berijtihad dengan masalah tersebut/mungkin sudah tetapi belum
memperoleh hasil yang mantap dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain. Segala
kemungkinan tersebut di atas, maka diam tidak dapat dijadikan sebagai hujjah untuk menerima
pendapat seorang mujtahid.
Sedang yang ke 2 memiliki alasan sebagai sebagai berikut :
1) Pada dasarnya diam tidak bisa dikategorikan hujjah kecuali sesudah merenung dan berfikir.
2) Pada umumnya tidak semua pemberi fatwa memberikan keterangan pada suatu masalah.
3) Diamnya seorang mujtahid setelah merenung dan berfikir terhadap hasil ijtihad orang lain yang
bertentangan dengan hukum yang benar menurut ijtihadnya adalah haram.
ال تجمع امتى على الضاللة
Artinya : “Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan sesat”
6. Pengertian Qiyas
Qiyas secara bahasa adalah[8]
تقدير الشئ بأخر ليعلم المساوات بينهما
C. KESIMPULAN
Dan uraian makalah di atas kita dapat mengetahui bahwasannya ijma’ yang
disepkati/disetujui oleh ulama adalah hanya ijma’nya shahabat. Dan pada masa sekarang ini
ijma’ sudah tidak terjadi, tetapi ijma’ berlaku sebagai dalil syara’ satu tingkat di bawah As-
sunnah.
Kalau untuk qiyas, untuk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku sebagai metode
ijtihad ulama dalam pengambilan hukum.
[1] Kitab Mabadiul Awaliyah, karangan Syeh Abdul hamid Hakim, hal 17
[2] Kitab Mabadiul Awaliyah, karangan Syeh Abdul hamid Hakim, hal 17
[3] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), hal. 70.
[4] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007), hal. 317.
[5] Ibid., hal. 318.
[6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007), hal. 311.
[7] Ibid.,
[8] Kitab Mabadiul Awaliyah, karangan Syeh Abdul hamid Hakim, hal 18.
[9] Kitab Mabadiul Awaliyah, karangan Syeh Abdul hamid Hakim, hal 18.
[10] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007), hal. 336.
[11] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang : Dina Setia), hal. 71