Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Metodologi Istinbath Hukum Keluarga Islam

“Ijma’ Dan Qiyas “

Disusun Oleh:

YUSRI YANCE (232061022)

RAHMAD HIDAYAT ( )

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Amir Syarifuddin

Dr. Nofialdi, M.Ag

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

PASCASARJANA

1
UNIVERSITAS ISLAM MAHMUD YUNUS BATUSANGKAR

TAHUN 2023/2024

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT dapat menyelesaikan


makalah yang berjudul “Ijma’ Dan Qiyas “ ini tepat pada waktunya. Shalawat
beriringan salam penulis do’akan kepada Allah SWT agar dikirimkan kepada
junjungan umat yakni Nabi Muhammad Saw yang telah mewariskan pedoman
hidup bagi umat manusia yaitu Al-Qur’an dan sunnah.

Tema ini diberikan sebagai penyajian dalam bentuk makalah untuk


menjelaskan tentang paradigma penelitian didalam makalah ini juga terdapat
point-point penting lainnya untuk menambah ilmu pengetahuan. Mengingat segala
keterbatasan dan kemampuan, penulis menyadari masih adanya kekurangan pada
makalah ini, akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua,
khususnya bagi penulis.

Batusangkar, September 2023

Penulis
A. PENDAHULUAN

Pada masa Rasulullah Saw, permasalahan yang timbul selalu bisa


ditangani dengan baik dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an dan
Rasulullah Saw. Dan apa bila ada suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti
oleh para sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda
Rasulullah Saw. Akan tetapi, setelah beliau Rasulullah Saw wafat, para sahabat
agak sedikit kesulitan dalam memutuskan permasalahan-permasalahan yang
terjadi yang dalilnya tidak ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist.
Padahal permasalahan yang muncul semakin kompleks, oleh karena itu muncullah
Ijma’ dan Qiyas.

Dari uraian tersebut di atas dapat kita munculkan rumusan masalah sebagi berikut:

1. Definisi Ijma’ dan bagaimanakah kehujjahan dari Ijma’?

2. Apakah saat ini masih mungin terjadi Ijma’?

3. Definisi Qiyas dan kehujjahan Qiyas?


B. PEMBAHASAN

1. Pengertan Ijma’

Ijma’ secara etimonologi adalah sepakat. Adapun Ijma’ secara


istilah kesepakatan mujtahid setelah wafatnya Rasulullah Saw.

2. Dalil-dalil yang menunjukkan pada kehujjahan Ijma’ akan kita paparkan


sebagai berikut :

a. Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi :

‫مارأه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن‬

Artinya : “Apa yang dipandang oleh kaum muslimin baik, maka menurut
pandangan Allah juga baik”.

b. Sabda Rasulullah Saw

‫ال تجمع امتى على ضاللة‬

Artinya : “UmatKu tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat”.

c. Demikian juga sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam


Syafi’i dari sahabat Umar bin Khatab R.A :

‫اال فمن سره بحجة الجنة فليلزم الجماعة فإن الشيطان مع الفذ وهو من االثنين ابعد‬

Artinya : “Ingatlah barang siapa yang ingin menempati surga, maka


bergabunglah (ikutilah) jammah. Karena syaithan bersama orang-orang yang
menyendiri. Ia akan lebih jauh dari 2 orang dari pada orang yang menyendiri”.

Firman Allah Swt :

‫ومن يشاقف الرسول من بعد ما تبين الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وسأت‬
) 115: ‫مصيرا ( النساء‬

Artinya : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas


kebenarannya baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan kami masukkan ia k edalam neraka jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk
tempat kembali”.

Nash di atas menjelaskan bahwa yang bukan jalannya orang mukmin


adalah harom. Karena berarti dia telah menentang Allah dan Rasul-Nya dengan
ancaman neraka jahanam. Dengan demikian mengikuti jalan orang mukmin
adalah wajib. Jika jama’ah orang mukmin mengatakan “ini halal” jika ada orang
yang menyatakan hal tersebut sebagai suatu yang “haram” maka dia tidak
mengikuti jalan orang mukmin.

Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwasannya mengikuti pendapat orang-


orang mukmin berati suatu hal yang ditetapkan berdasarkan Ijma’. Dengan
demikian Ijma’ dapat dijadikan hujjahyang harus dipergunakan untuk menggali
hukum syara’ (istinbath) dari nash-nash Syara’.

3. Syarat-syarat Ijma’

a. Yang bersepakat adalah para mujtahid

b. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid

c. Para mujtahid harus umat Muhammad Saw

d. Dilakukan setelah wafatnya Nabi

e. Kesepakatan mereka harus berupa syariat.

Dalam hal persyaratan Ijma’ ada ulama yang mengatakan bahwasannya


zaman/masa sebagai syarat Ijma’.

4. Tingkatan Ijma’

Ijma’ memiliki beberapa tingkatan yaitu sebagai berikut :

a. Ijma’ sharih
Dimana setiap mujtahid menyatakan bahwa mereka menerima pendapat
yang disepakati tersebut.

b. Ijma’ Sukuti

Dimana suatu pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid,


kemudian pendapat itu diketahui oleh mujtahid yang hidup semasa dengan
mujtahid atas, tidak ada seorangpun mengingkarinya dan/mengiyakannya. Dalam
hal ini Imam Syafi’i tidak memasukkan Ijma’ Sukutidalam kategori Ijma’ yang
dapat dijadikan hujjah.

Ulama-ulama yang berpendapat tentang ijma’ sukuti :

1) Tidak memasukkan ijma’ sukuti ini dalam kategori ijma’ (oleh imam
Syafi’i)
2) Memasukan ijma’ sukuti dalam kategori ijma’, hanyasaja tingkat
kekuatanya di bawah ijma’ sharih. (oleh fuqoha selain Syafi’i dan Hanafi)
3) Ijma’ sukuti dapat dijadikan argumentasi (hujjah) tapi bukan termasuk
kategori ijma’. (Madzhab Hanafi)

Dari 3 golongan tersebut masing-masing memiliki alasan masing-masing.


Adapun organisasi ulama yang menganggap bahwa ijma’ sukuti tidak dapat
dijadikan hujjah sariyyah adalah sebagai berikut :

1) Orang diam tidakdapat dipandang sebagai orang berpendapat. Karena apa?


Jika dianggap sebagai ijma’ ini diam dapat dianggap sebagai pembicaraan
yang dinisbatkan pada seorang mujtahid.
2) Diam tidakdapat di pandang sebagai setuju. Karena diamnya
seorang mujtahid mungkin setuju/tidak, mungkin berijtihad dengan
masalah tersebut/mungkin sudah tetapi belum memperoleh hasil yang
mantap dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain. Segala
kemungkinan tersebut di atas, maka diam tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah untuk menerima pendapat seorang mujtahid.

Sedang yang ke 2 memiliki alasan sebagai sebagai berikut :


1) Pada dasarnya diam tidak bisa dikategorikan hujjah kecuali sesudah
merenung dan berfikir.
2) Pada umumnya tidak semua pemberi fatwa memberikan keterangan pada
suatu masalah.
3) Diamnya seorang mujtahid setelah merenung dan berfikir terhadap
hasil ijtihad orang lain yang bertentangan dengan hukum yang benar
menurut ijtihadnya adalah haram.

‫ال تجمع امتى على الضاللة‬

Artinya : “Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan sesat”

5. Kemungkinan terjadi Ijma’

Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan terjadinya ijma’ dan


nilai argumentasinya. Mengapa? Karena terjadinya perbedan pendapat dalam
mengartikan ijma’. Diantaranya berpendapat bahwa : Ijma’ adalah kesepakatan
para Mujtahid pada setiap masa terhadap hukum syara’ jika demikian maka ijma’
tersebut tidak mungkin terjadi.

Tetapi jika yang dimaksud ijma’ adalah kesepakatan


para mujtahid terhadap hukum-hukum syara tetap ditetapkan berdasarkan dalil
nash yang qoth’i.

Seperti: Kesepakatan mereka tentang wajibnya mereka shalat menghadapi


qiblat, kewajiban puasa, zakat, ibadah haji dan lain-lain. Maka hal tersebut
mungkin terjadi. Dalam hal ini yang menjadi argumentasi (hujjah) bukan ijma’,
melainkan dalil-dalil nash qoth’i. Dengan demikian ijma’ tidak memiliki peran
apa-apa karena ijma’ bisa di katakan berfungsi jika ia mampu meningkatkan
hukum yang bersifat dhonny menuju Qoth’i. Hukum-hukum seperti disebutkan di
atas seperti wajibnya shalat, puasa dan sebagainya pada dasarnya sudah
bersifatqoth’i. Kemudian siapakah orang-orang yang ijma’nya bisa diterima? Dan
bagaimana kriteria mujtahid yang ijma’nya dapat diterima? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini beliau imam Syafi’i membuka dialog dalam
kitab Jima’ul Ilmu : “Siapakah diantara ulama ijma’nya dapat
dijadikan hujjah ialah orang-orang yang diakui (diangkat) oleh penduduk suatu
Negara sebgai ahli fiqih yang fatwa-fatwanya dapat diterima oleh penduduk
tersebut dengan senang hati. Akan tetapi jawaban tersebut diangkat oleh imam
Syafi’i, karena tidak ada ulama’ yang memiliki sifat-sifat diatas walaupun ada ahli
fiqh yang diakui sebagian penduduk dalam suatu negara namun dianggap orang
bodoh yang tidak berhak memberikan fatwa oleh sebagian penduduk lain. Apalagi
ulama’ yang fatwanya diterima secara bulat oleh seluruh penduduk antar Negara.

Dengan adanya pernyataan-pernyataan diatas beliau Imam Syafi’i cenderung


menolak ijma’ dengan alasan-alasan sebagai berikut :

1) Para Fuqoha berdomisili di berbagai tempat yang saling berjauhan,


sehingga mereka tidak mungkin dapat bertemu.
2) Terjadinya perbedaan pendapat diantara para fuqoha yang tersebar
diberbagai daerah diseluruh Negara-negara Islam.

Tidak ada kesepakatan ulama’ tentang orang-orang yang


diterima ijma’nya. Dengan demikian ijma’ yang dapat dijadikan argumentasi
(Hujjah) hanyalah ijma’ para sahabat. Karena pada masa itu mereka masih
berdomisili dalam suatu jazirah dan belum berpencar di berbagai negara
sehingga memungkinkan terjadinya ijma’. Akan tetapi pada masa tabi’in
berhubung sudah berpencar di berbagai negara hingga sulit mengadakan
pertemuan diantara mereka. Maka benarlah sesungguhnya jika ulama
mengatakan bahwa tidak ada ijma’ yang dispakati dan diterima oleh semua
ulama, kecuali ijma’nya para sahabat. Dan dapat disimpulkan bahwa masa
sekarang ini tidak mungkin terjadinya ijma’.

6. Pengertian Qiyas

Qiyas secara bahasa adalah

‫تقدير الشئ بأخر ليعلم المساوات بينهما‬


Qiyas secara istilah adalah

‫رد الفرع الى االصل بعلة تجمعها فى الحكم‬

Qiyas juga bisa berarti menyamakan sesuatu yang tidak ada nash
hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena ada persamaan illat
hukum. Karena dengan qiyas ini berarti para mujtahid telah mengembalikan
ketentuan hukum kepada sumbernya al-quran dan hadits. Sebab dalam hukum
Islam kadang tersurat jelas dalam al-quran dan hadits, tapi kadang juga
bersifat implicit-analogik (tersirat) yang terkandung dalam nash. Beliau Imam
Syafi’i mengatakan “Setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat Islam
wajib melaksanakannya”. Namun jika tidak ada ketentuan hukum yang pasti,
maka haruslah dicari dengan cara ijtihad. Dan ijtihad itu adalah qiyas.

Proses pengqiyasan dilakukan dengan cara menganalogikan sesuatu yang


serupa karena prinsip persamaan‘illat akan melahirkan hukum yang sama. Asas
qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan
sebab dan sifatnya. Apabila pendekatan tersebut menemukan titik persamaan
maka konsekuensi hukumnya harus sama pula dengan hukum yang ditetapkan.
A1-Qur’an menjelaskan perbedaan hukum karena tidak adanya persamaan sifat
dan perbuatan yaitu firman Allah :

‫افلم يسيروا فى االرض فينظروا ليف كان عاقبة الذين من قبلهم دمر هللا عليهم وللكافرين امثالهم‬

Artinya : Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi ini
sehingga mereka dapat melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum
mereka. Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir
akan menerima akibat-akibat seperti itu.

Yang kedua adalah analogi beda sifat, beda hukum.

‫ام حسب الذين احترجوا السيأت ان تجعلهم كا الذين أمنوا وعملوا الصالحات سواء محياهم ومماتهم سأ ما‬
)21 : ‫يحكمون (الجاثية‬
Artinya : Apakah orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa
kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal sholeh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka?
Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.

Dan Firman Allah yang berbunyi.

)28 : ‫ام نجعل الذين امنوا وعملوا الصالحات كا المفسدين فى االرض ام نجعل المتقين كا الفجار (الصاد‬

Artinya : Patutkah kami menganggap orang-orang yang beriman dan


mengerjakan amal sho!eh samadengan orang-orang yang berbuat kerusakan di
muka bumi? Patutkah kami menganggap orang-orang yang bertaqwa sama dengan
orang-orang yang berbuat maksiat?

Dengan ketiga dalil Al-Qur’an tersebut di atas sangat sesuai dengan


prinsip berfikir rasional yaitu menyamakan sesuatu karena adanya persamaan dan
membedakan sesuatu karena adanya faktor perbedaan. Menurut pendapat Imam
Al-Muzani seorang sahabat Imam Syafi’i menyimpulkan pandangan beliau
tentang qiyas yaitu : Para ahli hukum dan masa Rasulullah hingga sekarang selalu
mempergunakannya dalam setiap masalah agama. Sesuatu yang setara dengan hak
adalah hak dan yang dengan setara bathil ya bathil pula. Ibnu Qoyyim sependapat
dengan hal tersebut.

Karena qiyas merupakan aktivitas akal, maka ada ulama yang berbeda
pendapat dengan jumhur ulamatentang tentang digunakannya/tidak digunakannya
qiyas. Dalam hal ini terdapat tiga kelompok besar yaitu :

1) Kelompok Jumhur : Mempergunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-


hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al-Qur’an/Al-hadist pendapat
shahabat/ijma’ ulama tapi hal tersebut dilakukan dengan tidak berlebihan
dan melampaui batas.
2) Madzab Dhohiriyah dan Syiah Imamiyah : Samasekali tidak memakai
qiyas, hanya terpaku pada teks.
3) Akhor/kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas. Terkadang
dalam kondisi/masalah tertentu kelompok ini menerapkan qiyas
sebagai pentaskhih dan keumuman Al-Qur’an dan Al Hadist.

7. Dalil Kehujjahan Qiyas

Tidak diragukan lagi bahwa aliran jumhur adalah aliran yang tepat dan paling
kuat. Mengapa? Dikarenakan argumentasinya berdasarkan atas prinsip berpikir
logis disamping tetap berpegang pada Al-Aqur’an dan petunjuk Rasulullah. Dalil
Al-qur’annya adalah sebagai berikut:

‫ياايها الذين امنوا اطيعوا هللا واطيعوا الرسول واول االمر منكم فإن تنازعتم فى سيء فردواه الى هللا‬
‫والرسول ان كنتم تؤمنون باهلل واليوم االخر‬.

(59 : ‫)النساء‬

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman. Taatilah Allah dan Rasul-Nya


dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepada Allah (Al-Qur ‘an) dan rasul (sunnah) jika
kamu benar-bear beriman kepada Allah dan hari kemudian.

Ayat tersebut menjadi dasar hukum qiyas. Karena didalamnya terdapat


ungkapan “kembali kepada Allah dan Rasulnya” tidak lain dan tidak bukan adalah
perintah supaya menyelidiki tanda-tanda bahwa apa sesungguhnya yang
dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dilakukan dengan jalan mencari illat
hukum yang dinamakan qiyas.

Kemudian dalil Al-qur’annya sebagai berikut:

)111 : ‫لقد كان فى قصصهم عبرة (يوسف‬

Sesungguhnya dalam kisah mereka terdapat pelajaran....

Di dalam lafadz ‘itibar di atas ditafsirkan dengan makna Al-


itt’azh (mengambil pelajaran). Hal itu tidak lain adalah penetapan terhadap firman
Allah dan ciptaan-Nya yaitu bahwa sesuatu yang berlaku bagi contoh, maka ia
berlaku pula pada yang menjadi contohnya.

Analoginya adalah seperti ini: Apabila seorang pegawai dijatuhi hukuman karena
menerima suap, lalu sang kepala berkata kepada teman-teman sekantor
“Sesungguhnya ini adalah suatu pelajaran bagi kamu, maka ambilah sebagai
pelajaran”. Maka dapat dipahami dari kata-kata Sang Kepala tersebut kamu akan
sepertinya, jika kamu melakukan hal yang sama, kamu akan dihukum
sebagaimana hukuman yang menimpanya, dan juga sebuah hadist Rasulullah
SAW:

‫ اقضى بكتاب‬: ‫ قال‬,‫ قال له ليف تقضى اذا عرض له قضاء‬.‫م لما اراد ان يبعثه الى اليمن‬.‫ان رسول هللا ص‬
‫ الحمد هلل الذى وفق رسول هللا لما يرضى رسول هللا‬: ‫م على صدره قال‬.‫هللا فإن لم أجد فبسنة رسول هللا ص‬
‫م‬.‫ص‬

Artinya : “Bahwasannya Rasulullah Saw, ketika hendak mengutus Muadz menuju


negeri Yaman, berkata kepadanya : Bagaimanakah kau memberi putusan? Muadz
menjawab : “Saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah. Jika saya tidak
menemukannya, saya memutuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah Saw,
kemudian jika saya tidak menemukannya, maka saya akan berijtihad dan saya
tidak akan sembrono. Lantas Rasulullah Saw menepuk-nepuk dadanya dan
berkata : “Segala puji adalah bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan
Rasulullah kepada apa yang diridhoi oleh Rasulullah Saw”.

Dari hadist di atas Rasulullah Saw mengakui Muadz untuk berijtihad, bila
dia tidak menemukan nash yang dia gunakan untuk memberi putusan baik Al-
Qur’an ataupun As-Sunnah. Sedang ijtihad adalah mencurahkan segala
kemampuan untuk sampai kepada hukum. Dan Ijtihad juga meliputi qiyas.

Dengan adanya dalil kehujjahan qiyas diatas, dapat kita simpulkan


bahwasannya pada saat sekarangpun qiyas masih terjadi.
C. KESIMPULAN

Dan uraian makalah di atas kita dapat mengetahui bahwasannya ijma’ yang
disepkati/disetujui oleh ulama adalah hanya ijma’nya shahabat. Dan pada masa
sekarang ini ijma’ sudah tidak terjadi, tetapi ijma’ berlaku sebagai dalil syara’ satu
tingkat di bawah As-sunnah.

Kalau untuk qiyas, untuk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku sebagai
metode ijtihad ulama dalam pengambilan hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir dan Totok Jumantoro. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih.
Jakarta: Amzah.
Asnawi. 2011. Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Dahlan, Abd. Rahman. 2014. Ushul Fikih. Jakarta: Amzah.
Djalil, A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih (Satu dan Dua). Jakarta: Kencana.
Effendi, Satria. 2013. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Firdaus. 2017. Ushul Fiqh. Depok: Rajawali Pers.
Ramayulis. 1989. Sejarah dan Pengantar Ushul Fiqh. Jakarta: Kalam Mulia.
Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai