Anda di halaman 1dari 10

IJMA’

USHUL FIQIH
Dosen Pengampu :
Dr. H. Shofiyullah MZ, S.Ag, M.Ag
ANGGOTA
KELOMPOK
20105030107 WIGUNA AL-KAHPI
20105030108 BARROH SAHBANU
20105030109 AHMAD ZAHIR K. A.

20105030110 PUTRI NURLAELA


IJMA’
01 PENGERTIAN IJMA’

SYARAT SYARAT
IJMA’ 02

MACAM- MACAM
03 IJMA’

KEMUNGKINAN,
KEHUJJAHAN, dan 04
CONTOH
PENGERTIAN
Ijma’ secara bahasa adalah ‘azm dan ittifaq (kesepakatan). Adapun
secara istilah adalah : “Kesepakatan para mujtahid umat ini
sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai suatu
hukum syar’i.”Kesepakatan, berarti tidak mencakup khilaf
(perbedaan) meskipun hanya dari seorang mujtahid sehingga ijma’
tidak teranggap karenanya. Para mujtahid, berarti tidak mencakup
orang – orang awam dan orang – orang yang bertaqlid.
SYARAT SYARAT

1. Yang bersepakat adalah para mujtahid.


Secara umum mujtahid diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengistimbatkan
hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kita “jam’ul jawami” disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah
orang yang fakih.
2. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid.
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun sedikit, maka menurut jumhur, hal itu
tidak bisa dikatakan ijma’. Karena ijma’ itu harus mencakup keseluruhan mujtahid.
3. Para mujtahid harus umat Muhammad SAW.
4. Dilakukan setelah wafatnya Nabi.
5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan Syariat.’
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syariat, seperti tentang
wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.
MACAM-MACAM

Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:


1. Ijma’ Sharih; Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan
menyampaikan pendapat masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau
perbuatan yan mencerminkan pendapatnya.
2. Ijma’ Sukuti: Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu
peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan
komentar setuju atau tidaknya terhadap pendapat yang telah dikemukakan.
KEMUNGKINAN

ijma’ itu tidak mungkin terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain:
Pertama, sesungguhnya ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur terntang diharuskannya adanya kesepakatan
semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi dua kriteria:
1. Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan mampu untuk mengadakan ijma’.
2. Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang permasalahan tersebut.
Kedua, ijma’ itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qath’I ataupun yang dhanni. Bila berlandaskan
pada dalil qath’I maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila
didasarkan pada dalil yang dzanni, dapat dipastikan para ulama’ akan berbeda pendapat karena masing-
masing mujtahid akan mengeluarkan pendapatnya dengan kemampuan berfikir daya nalar mereka, disertai
berbagai dalil yang menguatkan pendapat mereka.
KEHUJJAHAN

Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu merupakan sendiri, yaitu sharih dan sukuti, agar
lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijma’ akan ditinjau berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri.
1. Kehujjahan ijma’ sharih
Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secar qath’i, wajib mengamalkannya dan
haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka ita menjadi hukum qath’I yang
tidak boleh ditentang, dan menjadi menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi.
2. Kehujjahan ijma’ sukuti
Ijma’ Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak
memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak mengatakan sebagai ijma’. Di antara mereka ialah
pengikut Maliki dan Imam Syafi’I yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya. Mereka
berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau bisa saja tidak
sama sekali.
CONTOH
1. Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang diprakarsai oleh
sahabat Utsman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau.
2. Upaya pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar as
Shiddiq r.a.
3. Menjadikan as Sunah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an.
4. Para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan syariat.
5. Kesepakatan ulama atas keharaman minyak babi yang di-qiyaskan atas keharaman
dagingnya.
SEKIAN
TERIMA KASIH!

Anda mungkin juga menyukai