IJMA’
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen Pengumpu:
Disusun Oleh:
Nim: (202208195)
FAKULTAS USHULUDDIN
Puji syukur marilah kita panjatkan atas kehadiran Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas
makalah dalam mata kuliah USHUL FIQIH yang dibimbing oleh ibu SITI
UMAMAH M.H
Semoga makalah ini dapat membawa manfaat baik dalam proses belajar
mengajar maupun bagi para pembaca yang ingin menambah wawasan. Aaamiin.
Tebing Suluh,Lempuing,
01 Oktober 2023
Penulis.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
B.Rumusan Masalah
C.Tujuan penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian ijma’
B.Syarat-syarat ijma’
C.Macam-macam ijma’
D.Kedudukan ijma’
E.Kehujjahan Ijma’
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
B.Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Ijma’ merupakan salah satu istilah kunci dalam Hukum Islam. Ia merupakan
salah satu dalil yang sangat kuat dalam struktur bangunan Hukum Islam. Oleh
karena itu setiap ahli Hukum Islam pasti memahaminya dengan baik.
Pada kesempatan kali ini, kami akan menyampaikan definisi, contoh, syarat-
syarat, macam-macam dan kedudukan ijma’. Semoga Allah Swt. memberikan
kemudahan.
B.Rumusan Masalah
C.Tujuan Penyelesaian
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijma’
Secara istilah, ijma’ adalah kesepakatan para ulama dari umat Nabi
Muhammad Saw. dalam suatu kasus, setelah wafatnya Nabi Muhamad Saw. pada
suatu masa.
بع@د وف@اة،اجتماع العلماء والمجتهدين من ُأّم ة محّم د صّلى هللا عليه وسلم على أمٍر من األمور واّتفاقهم علي@ه
في عصٍر من العصور،الّنبّي عليه الّصالة والّسالم
“Ijma’ adalah kesepakatan para ulama dari umat Nabi Muhammad Saw. dalam
suatu kasus, setelah wafatnya Nabi Muhamad Saw. pada suatu masa.”
Contoh Ijma’:
– Allah itu bersifat Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Pengampun, tidak
beranak, tidak diperanakkan.
– Al-Qur’an merupakan kalam Allah, bukan hasil karya Nabi Muhammad Saw.
B. Rukun Ijma’
Ijma’ itu dilakukan oleh para mujtahid. Bukan orang awam. Bukan pula orang
yang masih sedang belajar.
Bila ada satu saja dari para mujtahid itu berbeda pandangan, berbeda
pendapat. Maka ijma’ itu dianggap tidak sah. Ijma’ hanya bisa terjadi apabila
seluruh ulama berpendapat sama. Satu pendapat.
Bila masalah ijma’ itu berkaitan dengan bahasa, maka hanya mujtahid dalam
bidang bahasa yang bisa diterima.
Bila masalah ijma’ itu berkaitan dengan ushul fiqih, maka hanya mujtahid
dalam bidang ushul fiqih yang diperhitungkan.
Dengan demikian. Dalam masalah fiqih, seorang ahli bahasa hendaknya tidak
turut campur. Karena masalah ini di luar kapasitasnnya.
6. Memiliki dalil
Setiap ijma’ harus berdasarkan dalil. Baik berupa ayat al-Qur’an, hadits,
maupun qiyas. Tidak boleh hanya mengandalkan akal atau logika semata. Karena
keputusan agama harus berdasarkan dalil.
C. Macam-macam Ijma’
Ijma’ itu ada dua macam. Yaitu: ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Berikut penjelasan
masing-masing ijma’ tersebut:
1. Ijma’ Sharih
Ijma’ sharih adalah kesepakatan seluruh para mujtahid dalam suatu masalah.
Di mana masing-masing mujtahid itu menyampaikan pendapatnya secara terbuka.
Dan pendapat mereka adalah sama. Tidak berbeda antara satu dengan yang lain.
Para shahabat pada zaman Khalifah Umar bin Khatthab sepakat, bahwa seorang
pezina yang bodoh dan dungu. Sehingga dia tidak tahu bahwa zina itu haram.
Maka dia tidak dihukum dengan hukuman hadd.
Hadd perzinahan yaitu hukuman rajam apabila dia sudah menikah. Atau hukuman
cambuk seratus kali apabila dia belum menikah.
2. Ijma’ Sukuti
Dalam hal kedudukan ijma’ sukuti ini ada tiga pendapat sebagai berikut:
Para ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa ijma’ sukuti itu
merupakan dalil. Karena diamnya sebagian para mujtahid yang lain itu dianggap
setuju dengan para mujtahid yang sudah menyatakan pendapatnya. Hal ini
diqiyaskan pada diamnya seorang perempuan yang dilamar oleh seorang laki-laki.
Bila perempuan itu diam, maka dianggap setuju.
Para ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendat, bahwa ijma’ sukuti itu bukan
merupakan dalil. Karena diamnya sebagian dari para mujtahid itu belum tentu
setuju. Karena boleh jadi diamnya sebagian dari para mujtahid karena sebab-
sebab:
Sebagian ulama dari Syafi’iyah berpendapat, bahwa ijma’ sukuti itu merupakan
dalil yang bersifat zhanni. Bisa digunakan sebagai pertimbangan. Tidak harus
diamalkan. Alias boleh berbeda, dan tidak harus sama dengan ijma’ sukuti.
D. Kedudukan Ijma’
Bila suatu kasus sudah dipastikan ijma’ berdasarkan bukti-bukti ilmiah, maka
ijma’ itu wajib untuk digunakan sebagai dalil.
Kedudukan ijma’ merupakan dalil ketiga. Setelah al-Qur’an dan Hadits.
َو َم ْن ُيَش اِقِق الَّرُسوَل ِم ْن َبْع ِد َم ا َتَبَّيَن َلُه اْلُهَدى َو َيَّتِب ْع َغْي َر َس ِبيِل اْلُم ْؤ ِمِنيَن ُنَو ِّل ِه َم ا َت َو َّلى َو ُنْص ِلِه َجَهَّنَم
َو َس اَء ْت َم ِص يرًا
Bila telah dinyatakan bahwa umat Islam tidak mungkin bersepakat dalam
kesesatan. Maka bila umat Islam bersepakat pada sesuatu, maka kesepakatan itu
tidak mungkin merupakan kesesatan. Alias kebenaran.
َو َيُد ِهَّللا َم َع اْلَج َم اَع ِة، ِإَّن َهَّللا اَل َيْج َم ُع ُأَّمِتي َع َلى َض اَل َلٍة
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umat ini dalam kesesatan. Dan
Tangan Allah senantiasa bersama jamaah.”
(HR. Tirmidzi).
3. Pesan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
ف@إن لم،إذا ُسئل أحُدكم عن شيٍء فلينُظْر في كتاِب ِهللا فإن لم يِج ْد ه في كت@اِب ِهللا فلينُظ ْر في س@َّنِة رس@وِل ِهللا
يِج ْد ه في كتاِب ِهللا وال في سَّنِة رسوِل ِهللا فلينُظْر فيما اجتمع عليه المسلمون
E.Kehujjahan ijma’
Kelompok yang menolak Ijma’ bisa berbentuk penolakan Ijma’ sebagai dalil
atau menolak hukum yang tetap berdasarkan Ijma’:
1.Mengingkari Ijma’ sebagai hujjah dan dalil dalam agama, menurut sebagian
ulama hukumnya kafir. Sebagaimana telah ditegaskan penulis kitab Kasyful-
Asrar, ia menegaskan, barang siapa yang mengingkari Ijma’ maka ia telah
membatalkan seluruh agamanya karena kebanyakan landasan usuluddin berasal
pada Ijma’ kaum muslimin. Secara umum, pokok-pokok ajaran agama Islam
bersumber dari Al-Qur`ân dan Sunnah, dan keduanya menunjukkan adanya Ijma’
secara zhanni, tidak qath’i. Sehingga, seorang yang mengingkari Ijma’, ia tidak
dikafirkan, namun bisa dinyatakan sebagai ahli bid’ah atau fasiq.
a).Hukum yang dikenal secara mudah oleh setiap orang, baik dari kalangan para
ulama atau kaum awam, seperti masalah tauhid, Allah paling berhak disembah,
kenabian Muhammad n dan beliau sebagai penutup para nabi, datangnya kiamat,
kebangkitan, alam akhirat, hisab, surga dan neraka. Begitu juga masalah dasar-
dasar syariat, seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Atau haramnya bangkai, darah
dan daging babi.] Barang siapa yang mengingkari dalam masalah ini maka jelas ia
telah kafir.
c).Hukum yang tetap berdasarkan Ijma’ zhanni, seperti Ijma’ Sukuti atau hukum
yang hampir tidak ada yang menyelisihinya kecuali sangat langka. Maka orang
menolak Ijma’ ini divonis sebagai ahli bid’ah atau fasiq; dan ia tidak boleh
dikafirkan lantaran menyelisihi dan menolak dalil yang wajib diamalkan menurut
jumhur ulama, meskipun bobotnya zhanni.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Secara istilah, ijma’ adalah kesepakatan para ulama dari umat Nabi
Muhammad Saw. dalam suatu kasus, setelah wafatnya Nabi Muhamad Saw. pada
suatu masa.
Ijma’ itu ada dua macam. Yaitu: ijma’ sharih dan ijma’ sukuti.
B.Saran
https://almanhaj.or.id/2944-peran-ijma-dalam-penetapan-hukum-islam.html
https://muslim.or.id/19712-mengenal-ijma-sebagai-dasar-hukum-agama.html
https://muslim.or.id/19712-mengenal-ijma-sebagai-dasar-hukum-agama.html