Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT kerena taufik dan hidayah Nya, sehingga penulis dapat
menyeleseikan makalah ini dengan baik. sholawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan kita
Nabi Besar Muhammad SAW, selanjut nya para penyusun ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:

1. H. Hasan Anshori, M.A yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga tugas ini dapat
terseleseikan.

2. Bpk dan ibu dirumah yang telah memberikan dukungan dan do’a.

3. Dan kepada seluruh pihak yang telah membantu terselesainya makalah ini.

Semoga penulisan ini bermanfaat dalam memelihara nilai-nilai lama yang baik dan menggali nilai-nilai
baru yang lebih baik atau yang terbaik khususnya bagi penulis, kritik dan saran sangat kami harapkan
demi perbaikan makalah ini.

Metro, April 2013

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Ijma’

a. Ijma’ menurut Bahasa

b. Ijma’ Menurut Istilah Ulama Ushul

2. Macam-macam Ijma’

a. Ijma’ Sharih

b. Ijma’ Sukuti

3. Kehujjahan Ijma’ Menurut Pandangan Para Ulama

4. Kedudukan Ijma’ Sebagai Hukum Islam

5. Sebab-sebab Dilakukan Ijma’

BAB III KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

Ijma’ menurut istilah ushul adalah sepakat para mujtahid muslim memutuskan suatu masalah sesudah
wafat Rosulallah terhadap hukum Syar’i, pada suatu peristiwa. Ijma’ para mujtahid adalah suatu i’tibar
terhadap suatu hukum. Menurut mereka hukum ini adalah dalil terhadap suatu masalah. Definisi ini
adanya yaitu setelah wafatnya Nabi SAW. Karena selagi Rosul masih hidup, maka dia sendiri yang
menjadi sumber Syar’i, tidak ada penggambaran perbedaan pendapat dalam syar’i dan tidak ada
kesepakatan. Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena nabi senantiasa menyepakati
perbuatan-perbungan para sahabat yang dipandang baik, dan itu tidak sebagai syari’at. Maksudnya,
kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syari’at, seperti tentang wajib,
sunah, makruh, haram, dan lain-lain.

Hal itu sesuai dengan pendapat Imam Al-Gazali yang menyatakan bahwa kesepakatan tersebut
dikhususkan pada masalah-masalah agama, juga sesuai dengan pendapat Al-Juwaini dalam kitab Al-
Warakat, Safiudin dalam Qawaidul usul, Kamal bin Hamal dalam kitab Tahrir, dan lain-lain.

Adapun mengenai masa atau zaman, para ulama ada yang memasukkannya sebagai syarat ijma’. Sedang
Al-Athar dalam kitab Hasiyah Jam’ul Jawami’ mengartikan zaman dalam definisi ijma’ di atas dengan
zaman mana saja.

Ijma’ menurut hukum Islam adalah kesepakatan pendapat para mujtahid umat nabi Muhammad SAW
setelah beliau wafat pada suatu masa tertentu tentang masalah tertentu.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Ijma’

a. Menurut bahasa

Ijma dilihat dari segi bahasa, ijma’ berarti berkumpul, sepakat, setuju atau sependapat.

Definisi ijma’ menurut bahasa juga terbagi dalam dua arti:

1. Bermaksud atau niat, sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat sebagaimana firman Allah
dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 71:

Artinya:

“Dan bacakanlah kepada mereka berita tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya, “Hai
kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadaku) dengan ayat-ayat
Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah)
sekutu-sekutumu (untuk membinasakanya). Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan. Lalu
lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepaku.”(QS. Yunus: 71)

Maksudnya, semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temannya harus mengikuti jalan yang beliau tempuh.
Dan hadits Rasulullah SAW. Yang artinya, “Barang siapa yang belum siap untuk berpuasa sebelum fajar,
maka puasanya tidak sah.”

2. Kesepakatan terhadap sesuatu, suatu kaum dikatakan telah ber-Ijma’ bila mereka bersepakat
terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 15, yang menerangkan
keadaan saudara-saudara Yusuf a.s :

Artinya:
“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka
memasukkan dia), dan (di waktu dia sudah ada di dalam sumur) kami wahyukan kepada Yusuf,
“sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada
ingat lagi.” (QS. Yusuf: 15)

Yakni mereka bersepakat terhadap rencana tersebut.

Adapun perbedaan antara kedua arti diatas adalah: yang pertama bisa dilakukan oleh satu orang atau
banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak
mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya. [1]

Sedangkan ijma’ menurut hukum islam adalah kesepakatan pendapat para mujtahid umat nabi
Muhammad SAW setelah beliau wafat pada suatu masa tertentu tentang masalah tertentu.

Ijma’ menurut istilah ushul adalah sepakat para mujtahid muslim memutuskan suatu masalah sesudah
wafat Rosulallah terhadap hukum Syar’i, pada suatu peristiwa. Ijma’ para mujtahid adalah suatu i’tibar
terhadap suatu hukum. Menurut mereka hukum ini adalah dalil terhadap suatu masalah. Definisi ini
adanya yaitu setelah wafatnya Nabi SAW. Karena selagi Rosul masih hidup, maka dia sendiri yang
menjadi sumber tasyri’, tidak ada penggambaran perbedaan pendapat dalam syar’i dan tidak ada
kesepakatan.[2]

b. Ijma’ Menurut Istilah Ulama Ushul

Para ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma’ menurut istilah, diantaranya:

a. Pengarang kitab Fushulul Bada’i berpendapat bahwa Ijma’ itu adalah kesepakatan semua mujtahid
dari ijma’ untuk Muhammad SAW. Dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’

b. Pengarang kitab tahrir al-Kamal Bin Haman berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan
mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. Terhadap masalah syara’. (Al. Ghifari)[3]

Dapat disimpulkan bahwa Ijma’ adalah kesepakatan para Mujtahid muslim memutuskan suatu masalah
sesudah wafatnya Rasulullah SAW terhadap hukum syar’i, karena selagi Rasul masih hidup maka dia
sendiri yang menjadi sumber syar’i.

2. Macam-macam Ijma’

Ditinjau dari sudut cara menghasilkan hukum itu, maka ijma’ ini ada dua macam:

a. Ijma’ Sharih (bersih atau murni)

Maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati


salah satunya.
Hal itu bisa terjadi bila semua mujtahid berkumpul disuatu tempat, kemudian masing-masing
mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang ingin diketahui ketetapan hukumnya. Setelah itu,
mereka menyepakati salah satu dari barbagai pendapat yang mereka keluarkan tersebut.

Selain itu, bisa juga pada suatu masa timbul suatu kejadian, kemudian seorang mujtahid memberikan
fatwa tentang kejadian itu, mujtahid kedua berfatwa seperti fatwanya mujtahid pertama. Dan mujtahid
ketiga mangamalkan apa yang telah difatwakan tersebut, begitu seterusnya sehingga mujtahid
menyepakati pendapat tersebut.

b. Ijma’ Sukuti

Ijma’ Sukuti adalah sebagian mujtahid terang-terangan menyatakan pendapatnya itu dengan fatwa, atau
memutuskan suatu perkara, dan sebagian lagi hanya berdiam diri. Hal ini berarti dia menyetujui atau
berbeda pendapat terhadap yang di kemukakan di dalam mengupas suatu masalah. Ijma’ Sukuti yaitu
ijma’ i’tibari. Karena orang yang berdiam diri itu belum tentu menyetujui, belum pasti dia membenarkan
dan meyakini kesepakatan tentang sidang ijma’ itu untuk di jadikan hujah maka hal ini berbeda-beda
pendapat ulama. Jumhur berpendapat bahwa ini tidak boleh dijadikan hujah. Karena tidak keluar dari
pendapat beberapa orang mujtahid.

Sedangkan ulama Hanafi berpendapat, boleh dijadikan hujah, bila mujtahid itu tetap berdiam diri, tidak
berbicara dan tidak mengeluarkan pendapat. Berdiam diri disini tidak dapat disamakan dengan berdiam
diri karena takut, atau berolok-olok. Karena berdiam diri di tempat barfatwa itu menyatakan sesuatu
atau atau membuat peraturan atau undang-undang. Disamping itu dia menafikan (meniadakan)
terhadap apa yang menjadi halangan baginya mengemukakan pendapat sekalipun berbeda. Kalau
memang ternyata berbeda maka disini sikap berdiam diri itu akan dipertajam.[4]

Adapun ditinjau dari pihak ini maka Ijma’ itu ada yang qathi dan ada yang dzan.

1. Ijma’ Qathi

Ijma’ qathi yaitu ijma’ syarih, dengan pengertian bahwa hukumnya itu di qathi’kan olehnya. Tidak ada
jalan bagi hukum terhadap suatu peristiwa, dengan adanya khilaf ( perbedaan pendapat). Bukan lagi
lapangan ijtihad mengenai suatu peristiwa setelah diadakan Ijma’ Sharih terhadap hukum syar’i.

2. Ijma’ dzanni

Yang menunjukkan atas hukumnya, yaitu ijma’ dzanni dengan pengertian bahwa hukumnya itu masih
diragukan. Dzan itu juga kuat, tidak boleh mengeluarkan peristiwa dari lapangan yang dibentuk oleh
ijtihad. Karena merupakan jalan pemikiran dari jemaah mujtahid. Bukan keseluruhannya.[5]

Ditinjau dari ruang lingkup para mujtahid yang berijma’, maka ijma’ bisa dibagi kepada beberapa bagian:

1. Ijma’ al- Ummat, ijma’ inilah yang dimaksud dengan dermisi pada awal pembahasa ini.
2. Ijmaush Sahabat yaitu persesuaian paham segala ulama sahabat terhadap sesuatu urusan.

3. Ijma’ Ahl al-Madinah yaitu persesuaian paham ulama-ulama ahli madinah terhadap suatu kasus.
Ijma’ ini bagi Imam Malik adalah hujjah.

4. Ijma’ Ahl al-Kufah, Ijma’ ini dianggap hujjah oleh Imam Hanafi.

5. Ijma’ al-Khulafa’ al-Arba’ah, ijma’ ini oleh sebagian ulama dianggap hujjah atas dasar hadits :

‘ kamu wajib mengikuti sunahku dan sunnah Khulafah Rasyidin sesudahku ( H.R. Ahmad Abu Daud, At-
Turmudzi)”

6. Ijma’ al-Syaykhayni yaitu persesuaian paham Abu Bakar dan Umar dalam suatu hukum, ijma’ ini
oleh sebagian ulama dianggap hujjah atas dasar hadits yang diriwayatkan oleh At-Turmudzi.

“ Ikutlah atau teladanilah kedua orang ini sesudahku, yaitu Abu Bakar dan Umar”.

7. Ijma’ al-Itrah yaitu persesuaian paham ulama-ulama Ahli Bait.[6]

3. Kehujjahan Ijma’ Menurut Pandangan Para Ulama

Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma’ , misalnya, apakah ijma’ itu syar’i?
Apakah ijma’ itu merupakan landasan ushul fiqh atau bukan? Bolehkah kita menafikan atau mengingkari
ijma’?

Untuk menjawab pertanyaann-pertanyaan tersebut, para ulama berbeda pendapat. Al-Bardawi


berpendapat bahwa orang-orang Hawa tidak menjadikan ijma’ itu sebagai hujjah, bahkan dalam syarah-
nya dia mengatakan bahwa ijma’ itu bukan hujjah secara mutlak.

Menurut Al-Amidi, para ulama telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah yang wajib diamalkan.
Pendapat tersebut bertentangan dengan Syi’ah Khawarij dan Nizam dari golongan Mu’tazilah.

Al-Hajib berkata bahwa ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat Nizam, Khawarij, dan Syi’ah.
Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma’ itu pada dasarnya adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab
Qawa ‘idul Ushul dan Ma’aqidul Ushul dikatakan bahwa ijma’ itu hujjah pada setiap masa. Namun,
pendapat itu ditentang oleh Daud yang mengatakan bahwa ijma’ itu hanya terjadi pada masa sahabat.
[7]
Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma’ itu merupakan sendiri, yaitu sharih dan sukuti,
agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijma’ akan ditinjau berdasarkan pembagian ijma’ itu
sendiri.

1. Kehujjahan Ijma’ Sharih

Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secara qath’i, wajib mengamalkannya
dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka ia menjadi hukum
qath’i yang tidak boleh ditentang, dan menjadi masalah yang tidak boleh di-ijthadi lagi.[8]

Ibrahim An-Nidzam, sebagian dari golongan syi’ah dan khawarij, berkata bahwa ijma’ itu tidak termasuk
hujjah.

· Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhur

Jumhur mengeluarkan beberapa dalil untuk memperkuat pendapat mereka tentang kehujjahan ijma’,
antara lain:

“barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan
kami memasukkan ia ke dalam Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa : 115)

Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT. Terhadap mereka yang tidak mengikuti
jalannya orang-orang mukmin. Disebutkan bahwa mereka akan di masukkan ke Neraka Jahannam dan
akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh
orang-orang yang tidak beriman itu adalah bathil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh
oleh orang-orang mukmin adalah hak dan wajib diikuti.

Dalil yang digunakan oleh jumhur di atas dibantah kehujjahannya dalam ijma’. Bahwa yang dimaksud
jalannya orang-orang mukmin di atas adalah para pengikut Rasulullah SAW, penolongnya dan penjaga
dari musuh-musuhnya, bukan legalisasi hukum terhadap kesepakatan ulama mijtahid. Maka maksud
ayat di atas, sesuai dengan yang ada dalam kitab Al-Burhan, adalah “sesungguhnya orang-orang yang
memusuhi Rasulullah SAW, dan para penentang jalan orang-orang beriman yang menoong Rasulnya dan
menjaga dari musuhnya, mereka akan dibiarkan oleh Allah mengikuti hawa nafsunya, dan akan disiksa di
akhirat dengan dimasukkan dalam neraka Jahannam dan ditempatkan pada tempat yang hina.
Itulah arti tekstual ayat, yang sesuai dengan Asbab Nuzul-nya, bahwa ayat itu turun berkaitan dengan
Bashir bin Ubairiq yang masuk Islam, tetapi kemudian ia mencuri. Nabi memerintahkan untuk
memotong tangannya, tetapi ia bisa kabur ke Mekah dengan memanfaatkan kelengahan orang-orang
beriman. Di Mekah, ia berusaha untuk untuk mencuri sebuah rumah dengan cara melubangi dindingnya,
dan ia pun mati dalam keadaan kafir.[9]

Sehubungan dengan hal itu, pada firman Allah SWT. Dalam surat An-Nisa : 48, disebutkan:

“sesungguhnya Allah SWT. Tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa selain
itu (syirik) bagi siapa saja yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa :48)

Dengan demikian, jelaslah bahwa ayat di atas bukan dalil tentang ijma’.

Pengarang At-Tharir berkata bahwa “As-Subki pernah berkata, Imam Syafi”i meng-istinbath hukum dari
dalil di atas dan menyatakan bahwa dalil itu menunjukkan kehujjahan ijma’.

“dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu umat (umat islam) umat yang adil dan pilihan agar
kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia” (QS.Al-Baqarah :143)

Ayat tersebut dikemukakan oleh Al-Amidi. Kehijjahan dari ayat tersbut adalah keadilan mereka (para
mujtahid) yang menjadi hujjah bagi manusia untuk menerima pendapat mereka. Seperti halnya
menjadikan Rasul sebagai hujjah dengan menerima sabdanya. Dengan mengartikan seperti itu, jelas
bahwa pendapat mereka merupakan hujjah bagi yang lainnya.

Muslim Al-Tsubut berpendapat bahwa keadilan itu tidak mesti menghilangkan kesalahan yang bisa
dikategorikan sebagai pembuatan maksiat. Namun, yang mesti ditekankandari ayat tersebut adalah
keutamaan ijma’ terdahulu.

2. Kehujjahan Ijma’ Sukuti

Ijma Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya dikalangan para ulama. Sebagian dari mereka tidak
memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah, bahkan tidak menyatakan sebagai ijma’. Diantara mereka
adalah pengikut Maliki dan Imam Syafi’i yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.

Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati sebagian atau
bisa juga tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut
mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainnya tidak bisa
ditetapkan apakah hal itu qath’i atau zhanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dikatakan adanya
kesepakatan dari seluruh mujtahid, berarti tidak bisa dikatakan ijma’ ataupun dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golongan Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma sukuti
merupakan hujjah yang qath’i seperti halnya ijma’ Sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian
mujtahid untuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh
sebagian mujtahid lainnya. Bila memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil
tentang kesepakatan mereka sehingga bisa dikatakan sebagai ijma’, karena kesepakataan mereka
terhadap hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qath’i karena alasannya
juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma’ sharih.

Al-Kurhi dari golongan Hanafi dan Al-Amidi dari golongan syafi’i menyatakan bahwa ijma’ sukuti adalah
hujjah yang bersifat zhanni. Pendapat merekalah yang kita anggap lebih baik. Karena diamnya sebagian
mujtahid untuk menyatakan pendapatnya kalau memenuhi syarat ijma sukuti tidak bisa dikatakan
sebagai kesepakatan terhadap para mujtahid lainnya. Tetapi boleh dikatakan diamnya mereka itu
diantara menyepakati dan tidak. Sikap tersebut sebagaimana telah dilakukan oleh kaum ulama salaf.
Mereka tidak melarang untuk menyatakan hag meskipun tidak mampu melaksanakan dan ada sebagian
yang mengingkarinya.[10]

Contohnya, ketika Mu’adz bin Jabal melaporkan pada Umar bin Khathab bahwa ia bermaksud
menghukum wanita hamil yang melakukan zina, ia berkata, “Seandainya Allah mejadikan kepada kamu
keselamatan pada punggungnya (perempuan), maka kamu tidak akan menjadikan bayi perempuan itu
jalan keselamatan”, maka Umar berkata : “kalau bukan Mu’adz (yang berkata) maka Umar akan
memarahinya”.

Begitu pula ketika seorang perempuan berkata kepada Umar bin Khathab bahwa ia mendengar kaum
muslimin tidak boleh memberikan mahar pada perempuan melebihi empat ratus dirham dan
mengharuskan agar memasukkan selebihnya kepada baitul mal. Ia berkata, “tidakkah Allah pernah
berfirman:

‫واتيتم احداهن قنطرا‬

Artinya:

“Apakah Umar melamarnya?” Beliau berkata, “perempuan tersebut benar dan Umar salah.”

Dan masih banyak contoh-contoh lainnya yang dapat diketahui dengan menelaah kehidupan mereka.
Bila diamnya sebagian mujtahid tidak bisa dikatakan sebagai ketetapan qath’i tetapi zhanni, maka
kehujjahan ijma’ sukuti tidak bisa dikatakan qath’i, melainkan zhanni.[11]

4. Kedudukan Ijma’ Sebagai Dasar Hukum Islam

Kebanyakan ulama’ mengetahui bahwa ujma’ merupakan sumber hukum yang kuat dalam menetapkan
hukum islan dan menduduki tingkatan ketiga dalam sumber hukum islam. Kekuatan ijma’ sebagai
sumber hukum islam ditunjukkan dalam nash al-Qur’an dan Hadits, diantaranya adalah QS. An-Nisa: 59.
‫يا أيّها الّذين أمنوا أطيعوا هللا وأطيعوا الرّسول وأولى األمر منكم‬

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu”.

Rasulullah SAW bersabda:

)‫ال تجتمع أ ّمتى على الَضّاللة (رواه ابن أبى عاصم‬

“Ummatku tidak bersepakat atas kesesatan”.

)‫ما رأه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن (رواه أحمد‬

“Apa yang dilihat oleh orang Islam sebagai kebaikan, maka menurut Allah STW itu juga baik”.

Dengan demikian, pada dasarnya ijma’ dapat dijadikan alternative dalam menetapkan hukum suatu
peristiwa yang di dalam Al-Qur’an atau Al-Hadist tidak ada atau kurang jelas hukumnya.

5. Sebab-sebab dilakukan Ijma’

karena adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan status hukumnya, sementara di dalam nash Al-
Qur’an atau Al-Hadist tidak diketemukan hukumnya;

Karena nash Al-Qur’an dan Al-Hadist sudah tidak turun lagi atau telah berhenti;

Karena pada masa dahulu itu jumlah mujtahid tidak terlalu banyak dan mereka mudah dikoordinir untuk
melakukan kesepakatan dalam menentukan status hukuk suatu permasalah yang timbul pada saat itu;

di antara para mujtahid belum timbul perpecahan dan masih mudah menyatukan pendapat.
BAB III

KESIMPULAN

Ijma menurut para ulama adalah:

a. Pengarang kitab Fushulul Bada’i berpendapat bahwa Ijma’ itu adalah kesepakatan semua mujtahid
dari ijma’ untuk Muhammad SAW. Dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’

b. Pengarang kitab tahrir al-Kamal Bin Haman berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan
mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. Terhadap masalah syara’. (Al. Ghifari)

Ijma’ adalah kesepakatan para Mujtahid muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafatnya
Rasulullah SAW terhadap hukum syar’i, karena selagi Rasul masih hidup maka dia sendiri yang menjadi
sumber syar’i.

Ijma dilihat dari cara terjadinya ada dua:

a) Ijma’ Sharih

b) Ijma’ Sukuti

Ditinjau dari ruang lingkup para mujtahid yang berijma’, maka ijma’ bisa dibagi kepada bebeapa bagian:

Ø Ijma’ al-ummat

Ø Ijmaus sahabat

Ø Ijma’ Ahl al-Madinah

Ø Ijma’ Ahl al-kufah

Ø Ijma’ Al-Khulafa’ al-Arba’ah

Ø Ijma’ al-Syaykhayni
DAFTAR PUSTAKA

· Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia.

· Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh: PENGGALIAN, PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN HUKUM ISLAM,
Jakarta: Kencana, 2010.

· Ilmu Ushul Fiqh/Syekh Abdul Wahab Khallaf: Jakarta, Rineka Cipta, 2012.

[1] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2010. Hal 68-69

[2] Ilmu Ushul Fiqh/Syekh Abdul Wahab Khallaf: Jakarta, Rineka Cipta, 2012. Hal 49

[3] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2010. Hal 69

[4]Ilmu Ushul Fiqh/Syekh Abdul Wahab Khallaf: Jakarta, Rineka Cipta. Hal 57

[5] Ibid

[6] Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh: PENGGALIAN, PERKEMBANGAN DAN PENERAPAN HUKUM ISLAM,
Jakarta: Kencana, 2010. Hal 76

[7] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2010. Hal 73

[8] Ibid hal 73-74

[9] Ibid hal 74

[10] Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2010. Hal 80

[11] Ibid 81.

Anda mungkin juga menyukai