Anda di halaman 1dari 12

IJTIHAD DAN MUJTAHID

MAKALAH
Disusun dan Diajukan Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Fiqh Ushul Fiqh

Dosen Pembimbing : Fithrotul Khasanah, Lc., M.H.

Oleh :

Halim Al Ansori
Rahmatul Ummah

PROGRAM STUDI AHWAL ASYAKHSIYYAH

JURUSAN SYARI’AH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AN-NAWAWI

PURWOREJO

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi setiap muslim, segala apa yang dilakukan dalam kehidupannya harus
sesuai dengan kehendak Allah, sebagai realisasi dari keimanan kepada-Nya.
Kehendak Allah tersebut dapat ditemukan dalam kumpulan wahyu yang
disampaikan melalui Nabi-Nya (Al Qur'an) dan penjelasan yang diberikan oleh
Nabi mengenai wahyu Allah tersebut (sunah).

Kehendak atau titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan manusia,


di kalangan ahli ushul disebut "hukum syara", sedangkan bagi kalangan ahli fiqh,
"hukum syara" "adalah pengaruh titah Allah terhadap perbuatan manusia tersebut.

Seluruh kehendak Allah tentang perbuatan manusia itu pada dasarnya


terdapat dalam Al-Qur'an dan penjelasannya dalam Sunah Nabi. Tidak ada yang
luput satu pun dari Al-Qur'an. Namun Al Qur'an itu bukanlah kitab hukum dalam
pengertian ahli fiqh karena di dalamnya hanya terkandung titah dalam bentuk
suruhan dan larangan atau ungkapan lain yang bersamaan dengan itu; dengan
istilah lain, Al-Qur'an itu mengandung norma hukum. Untuk memformulasikan
titah Allah itu ke dalam bentuk hukum syara' (menurut istilah ahli fiqh) diperlukan
suatu usaha pemahaman dan penelusuran.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ijtihad?
2. Apa fungsi dan kedudukan ijtihad ?
3. Ruang lingkup ijtihad
4. Macam-macam ijtihad
5. Pengertian mujtahid
6. Tingkatan mujtahid

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad

Ijtihad diambil dari akar kata dalam bahasa Arab “jahada”.Bentuk kata
mashdarnya ada dua bentuk yang berbeda artinya, Jahdun dengan arti
kesungguhan atau sepenuh hati atau serius.Juhdun dengan arti kesanggupan atau
kemampuan yang didalamnya terkandung arti sulit, berat dan susah.

Pengubahan kata dari ja ha da atau ja hi da menjadi ij ta ha da dengan cara


menambahkan dua huruf,yaitu “alif” di awalnya dan “ta” antara huruf “jim” dan
“ha”, mengandung enam maksud,satu diantara maksudnya yang tepat adalah
untuk “mubalaghah”,yaitu dalam pengertian “sangat”.

Bila kata Ja ha da dihubungkan dengan dua bentuk mashdarnya tersebut,


pengertiannya berarti “kesanggupan yang sangat” atau “kesungguhan yang
sangat”. Bila arti kata (etimologis) ini dihubungkan dengan arti istilah tentang
ijtihad, akan terlihat keserasian artinya karena pada kata ijtihad itu memang
terkandung arti kesanggupan dan kemampuan yang maksimal dan harus dilakukan
dengan kesungguhan serta sepenuh hati.

Secara istilah ijtihad dapat di artikan sebagai jalan oleh seseorang yang
bersungguh-sungguh (Mujtahid) untuk menggali hukum syara’ yang bersifat
masalah-masalah amaliyah (bukan masalah akidah dan akhlak) dengan
menggunakan metode istimbath (menggali hukum) melalui dalil-dalil yang
terperinci dengan lafadz zhanni.

B. Fungsi dan kedudukan ijtihad

Dasar dari ijtihad adalah Al Quran dan Sunnah. Jadi para ulama tidak
sembarang menentukan hukum dari suatu permasalahan. Allah SWT berfirman
dalam Al-Quran surah An-Nisa ayat 105 sebagai berikut.

‫ق لتَحْ ُكم ب ْينَ النَّاس بمٓا اَ ٰرى َ هّٰللا‬


ِ َ‫ك ُ ۗ َواَل تَ ُك ْن لِّ ْلخَ ۤا ِٕىنِ ْينَ خ‬
‫صيْما‬ َِ ِ َ َ ِ ِّ ‫ب بِ ْال َح‬
َ ‫ك ْال ِك ٰت‬
َ ‫اِنَّٓا اَ ْن َز ْلنَٓا اِلَ ْي‬

2
Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat”. (QS. An-Nisa’:
105).

Fungsi ijtihad itu sendiri diantaranya adalah :

1. fungsi ijtihad al-ruju’ (kembali):mengembalikan ajaran-ajaran Islam


kepada al-Qur’an dan sunnah dari segala interpretasi yang kurang
relevan.
2. fungsi ijtihad al-ihya (kehidupan): menghidupkan kembali bagian-
bagian dari nilai dan Islam semangat agar mampu menjawab tantangan
zaman.
3. fungsi ijtihad al-inabah (pembenahan): memenuhi ajaran-ajaran Islam
yang telah di-ijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya
kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi yang dihadapi.1
C. Ruang lingkup ijtihad
Apabila sebuah perkara telah ada di dalam nash yang jelas (sharih) dan
pasti (qath’i) baik dari sumber asalnya (riwayat) maupun pengertiannya dan ia
telah menunjuk kepada suatu hukum syar’i, maka tidak ada peluang ijtihad di
dalamnya. Lebih jauh Abdul Wahhab Khallaf mencontohkan ayat hukum tentang
perbuatan zina yang tercantum dalam Surah an-Nur ayat 2 yang berbunyi:

‫اَل َّزانِيَةُ َوال َّزانِ ْي فَاجْ لِ ُدوْ ا ُك َّل َوا ِح ٍد ِّم ْنهُ َما ِماَئةَ َج ْل َد ٍة‬

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka dera
lah tiap-tiap seseorang dari keduanya seratus kali dera”.

Dari ayat ini cukup jelas dinyatakan bahwa hukuman bagi pezina adalah
di dera, dan juga jumlah bilangan dari deraan telah dinyatakan dengan jelas dan
pasti. Karenanya tidak ada lagi ruang ijtihad dalam hal jenis hukuman dan jumlah

1
Ibrahim Husein, Ijtihad Dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1991), h. 25.

3
deraan bagi seorang pezina. Contoh yang lain adalah firman Allah dalam surah al-
Baqarah ayat 43 yang berbunyi:

َ‫َواَقِ ْي ُموا الص َّٰلوةَ َو ٰاتُوا ال َّز ٰكوةَ َوارْ َكعُوْ ا َم َع الرَّا ِك ِع ْين‬

Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat”

Setelah perintah ini dijelaskan oleh sunnah-sunnah yang mutawatir


(bersambung) mengenai pengertian shalat dan juga zakat, maka tidak ada lagi
tempat atau peluang untuk berijtihad dalam menafsirkan maksud dari shalat dan
zakat selain dari yang telah dijelaskan di dalam nash al-Qur’an mau pun di dalam
al-Sunnah.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa penafsiran atau dalam hal
ini adalah ijtihad tidak bisa mencakup seluruh tingkatan hukum. Hal itu karena di
luar wilayah yang dapat dijangkau oleh ijtihad terdapat sejumlah teks yang dengan
tegas menyatakan hukum dalam banyak kasus. Dan kepastian yang dihasilkan
nash-nash itu tidak lagi memerlukan reinterpretasi apapun.

Abdul Wahhab Khallaf menegaskan bahwa ruang lingkup ijtihad meliputi


dua lapangan kajian: Pertama, peristiwa yang terdapat nash, namun tidak cukup
jelas dan pasti atau bersifat dzanni. Yang dimana sifat dzanni adalah merupakan
dugaan dari segi riwayat maupun dalalahnya. Kedua, peristiwa yang memang
tidak ada nashnya sama sekali. Di sinilah lapangan ijtihad tempat para mujtahid
mencurahkan segenap daya kemampuan intelektualnya untuk menemukan sebuah
ketetapan hukum sebagai sebuah solusi dan jalan keluar dari problematika yang
dihadapi umat. Seorang mujtahid pada dasarnya harus mampu meneliti dan
menemukan hukum melalui qiyas, istishab, atau maslahah mursalah. Namun hal
tersebut tidak disepakati oleh Abdullahi Ahmed an-Na’im yang dengan tegas
mengatakan bahwa kaum muslim kontemporer pun memiliki kemampuan untuk
melakukan formulasi ushul Fiqih dan berhak melakukan ijtihad, sekalipun
menyangkut masalah yang sudah diatur oleh teks al-Qur’an dan al-Sunnah secara
jelas dan terinci dengan catatan bahwa sepanjang hasil ijtihad itu sesuai dengan
esensi tujuan risalah Islam.2
2
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Masdar Helmy (Bandung: Gema Risalah
Press, 1997), hlm. 383.

4
Ruang Lingkup Ijtihad Dilihat dari sisi ruang lingkupnya, ijtihad dapat
dibedakan dalam dua kategori yaitu:

1. Al-Masail Al-Furu'iyyah Al-Dhoniah yaitu masalah-masalah yang


tidak ditentukan secara pasti oleh nash Alquran dan Hadist. Hukum
islam tentang sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil dhoni atau ayat-ayat
Alquran dan hadis yang statusnya dhoni mengandung banyak
penafsiran sehingga memerlukan upaya ijtihad untuk sampainya pada
ketentuan yang meyakinkan.
2. Al-Masail Al-Fiqhiyah Al-Waqa’iyah Al-Mu’ashirah, yaitu hukum
Islam tentang sesuatu yang baru, yang sama sekali belum ditegaskan
atau disinggung oleh Alquran, hadist, maupan Ijmak para ulama'.

Pembagian Ijtihad Dilihat dari macamnya, menurut al-Dualibi,


sebagaimana dikatakan oleh Wahbah Al-Zuhaili, ijtihad dibedakan dalam tiga
macam:

1. Al-Ijtihad al-Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukumhukum


syari`ah dari nash-nash syar`i.
2. Al-Ijtihad al-Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukumhukum
syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al
Qur`an dan Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang
terdapat dalam nash-nash hukum syar`i.
3. Al-Ijtihad al-Isthishlahi, yaitu meletakkan hukumhukum syari`ah
untuk kejadian/peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al
Qur`an dan Sunnah menggunakan ar ra`yu yang disandarkan atas
isthishlah. 17 Maksud istislah adalah dengan memelihara
kepentingan hidup manusia yaitu menarik manfaat dan menolak
madlarat dalam kehidupan.
D. Macam-macam ijtihad
1. Ijma’

Ijmak artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam


menetapkan suatu hukum-hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan
Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang

5
dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan
dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para
ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.

2. Qiyâs

Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan


suatu hukum atau suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa
sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan
berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam
Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal-hal yang
ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya. Beberapa definisi
qiyâs (analogi): Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada
cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.

a. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui


suatu persamaan di antaranya.
b. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di
dalam (Al-Qur'an) atau (Hadis) dengan kasus baru yang memiliki
persamaan sebab (iladh).
c. Menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yg belum di
terangkan oleh al-qur'an dan hadits.
3. Istihsan

Beberapa definisi Istihsân:

a. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya


karena dia merasa hal itu adalah benar.
b. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan
secara lisan olehnya.
c. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk
maslahat orang banyak.
d. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah
kemudharatan.

6
e. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap
perkara yang ada sebelumnya.
4. Maslahah Murshalah

Maslahah murshalah adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak


ada naskahnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan
prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

5. Sududz Dzariah

Sududz dzariah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah


menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat

6. Istishab

Istishab adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan


sampai ada alasan yang bisa mengubahnya, contohnya apabila ada pertanyaan
bolehkah seorang perempuan menikah lagi apabila yang bersangkutan
ditinggal suaminya bekerja di perantauan dan tidak jelas kabarnya? maka
dalam hal ini yang berlaku adalah keadaan semula bahwa perempuan tersebut
statusnya adalah istri orang sehingga tidak boleh menikah(lagi) kecuali sudah
jelas kematian suaminya atau jelas perceraian keduanya.

7. Urf

Urf adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat


dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak
bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

E. Pengertian Mujtahid

Mujtahid ialah orang yang melakukan ijtihad dan mempunyai kemampuan


untuk ber-ijtihad dengan syarat-syarat tertentu, mujtahid fill ialah hukum-hukum
syariah yang bersifat amali (taklifi), dan. dalil syara untuk menentukan suatu
hukum bagi mujtahid fill.

7
Syarat-Syarat Mujtahid Meninjau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh
seorang mujtahid, Wahbah az-Zuhaili menyimpulkan ada delapan kriteria syarat
yang harus dimiliki dan di penuhi oleh mujtahid:

a. Mengerti dengan makna-makna ayat ahkam yang terdapat di dalam al-


Qur’an. Memahami kandungan ayat ahkam baik secara bahasa maupun
secara istilah. Seorang mujtahid mengerti tentang lafal-lafal yang
mengandung: mantuq (makna tersurat), mafhum muwafaqah (makna
tersirat), mafhum muhkalafah (mkna kebalikan dari makna tersurat), serta
paham tentang lafal-lafal yang mengandung segi jumlah seperti lafal-lafal
umm (umum) dan khas (khusus), dan cara menyamakan illah (sebab)
dengan menyatukan lafal-lafal yang di anggap sejalan dalam sesuatu lafal-
lafal perintah maupun lafal-lafal yang mengandung larangan.
b. Mengetahui hadist-hadist hukum baik secara bahasa maupun secara
pemakaian syara’. Menjadi seorang mujtahid sangat penting untuk
mengerti dengan seluruh hadist-hadist hukum yang terdapat di dalam kitab
induk hadist yang diakui, seperti: al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Daud, at-
Tarmidzi, an-Nasay, Ibnu Majah dan lain-lain.
c. Mengetahui ayat-ayat ahkam ataupun hadist-hadist ahkam yang sudah di
mansukh (di hapus atau dinyatakan oleh Allah dan Rasulnya tidak berlaku
dan di ganti dengan dalil lain ), serta mengatahui ayat-ayat ahkam maupun
hadist-hadist ahkam yang menggantikan atau lafadz nasikh.
d. Mempunyai pengatahuan tentang masalah-masalah yang sudah mempunyai
sifat hukum syara’ melalui dari hasil ijtima’ para ulama.
e. Mengetahui tentang seluk-beluk qiyas, seperti: syarat-syarat qiyas, rukun-
rukunya, tentang illah hukum dan cara menemukan illah itu dari ayat
maupun hadist.
f. Menguasai bahasa arab serta ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.
g. Menguasai ilmu ushul fiqh baik dari ilmu qaidah maupun ushulnya.
h. Mampu membuat rumusan yang berkaitan dengan tujuan syariat (maqasid
al-Syari’ah) dalam membuat ketetapan hukum.3

Adapun Tingkatan mujtahid menurut ulama ushul fiqh:


3
http://ahmadfuadhasan.blogspot.com, diakses tanggal 3 Maret 2013

8
a. Mujtahid mutlak yaitu mujtahid yang mempunyai kemampuan untuk
menggali hukum syara langsung dari sumbernya yang pokok yakni (al-
Qur’an da sunnah) dan mampu menerapkan metode dasar-dasar pokok
yang ia susun sebagai landasan segala aktivitas ijtihad-nya,
b. Mujtahid muntasib yaitu mujtahid menggabungkan dirinya dan ijtihad-nya
dengan suatu mazhab,
c. Mujtahid muqoyyad yaitu mujtahid yang terikat kepada imam mazhab dan
tidak mau keluar dari mazhab dalam masalah ushul maupun furu’, dan
d. Mujtahid murajih yaitu mujtahid yang membandingkan beberapa imam
mujtahid dan dipilih yang lebih unggul.4

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

4
Atang Abd Hakim, Metodologi Studi Islam (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1999), h.
100.

9
Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan. Bahwa ijtihad adalah
mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk
menetapkan suatu hukum. Dasar yang dijadikan ijtihad bersumber dari al-qur’an dan
hadis sebagaimana yang dijelaskan di atas.

Dilihat dari sisi ruang lingkup ijtihad itu dapat dibedakan menjadi 2 kategori
yaitu Al-Masail Al-Furu'iyyah Al-Dhoniah dan Al-Masail Al-Fiqhiyah Al-Waqa’iyah
Al-Mu’ashirah.

Adapun yang menjadi dasar ijtihad adalah al-qur’an dan hadits.


Ijtihad dibagi menjadi delapan macam diantaranya ijthad mutlaq dan juz-i.

Syarat menjadi Mujtahid itu ada syarat yang berhubungan dengan aspek
kepribadiannya dan ada asapek yang berhubungan dengan aspek kemampuannya
Metode-metode ijtihad antara lain ijma, qiyas, maslahah mursalah, istihsan, istishab,
dan urf.

Tingkatan Mujtahid menurut ulama ushul fiqh itu ada 4 yaitu Mujtahid
Mutlaq, Mujtahid Muntasib, Mujtahid Muqayyid, dan Mujtahid Murajjih.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan dan
Muhammad Iqbal (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990 )

10
Basyir, Ahmad Azhar, dkk. Ijtihad dalam Sorotan, Bandung: Penerbit Mizan, 1988.

Hakim, Atang Abd., Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
1999.

http://ahmadfuadhasan.blogspot.com, diakses tanggal 3 Maret 2013

Husein, Ibrahim, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1991

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qorib,
Semarang: Dina Utama, 1994.

11

Anda mungkin juga menyukai