Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

AT-TANAKUT BAINAL ADILLAH (IJMA')

Diajukan untuk memenuhi tugas kuliah Ushul Fiqih


Dosen pengampu Ulfatun Najah, M.HI

KELOMPOK V :

1. Sakinatul Usra

2. Qudratul Ummah Awam Sura

Program Studi Ekonomi Syari’ah

Sekolah Tinggi Agama Islam Hasan Jufri (STAIHA) Bawean

Lebak Sangkapura Gresik Jawa Timur

Tahun 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya

sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Sholawat

serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi kita yakni Nabi Muhammad

SAW yang telah membawa kita dari jalan gelap menuju jalan terang benderang

yaitu agama islam.

Kami mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-

Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu

untuk menyelesaikan pembuatan makalah untuk memenuhi tugas dari mata kuliah

Ushul Fiqih dengan judul AT-TANAKUT BAINAL ADILLAH (IJMA').

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih

banyak terdapatkesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis

mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, agar makalah ini

nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Wassalamualaikum wr. wb

Bawean, 30 Mei 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 1
1.3 Tujuan ..................................................................................................... 2
BAB II .................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .................................................................................................... 3
2.1 Pengertian Ijma’ ..................................................................................... 3
2.2 Rukun dan syarat Ijma’ ......................................................................... 4
2.3 Macam-macam Ijma’ ............................................................................. 6
2.4 kehidupan ijma’ menurut pandangan islam ........................................ 9
BAB III ................................................................................................................. 12
PENUTUP ............................................................................................................ 12
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 12
3.2 Saran ...................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari- hari kita selalu melakukan kegiatan- kegiatan yang

tidak lepas dari peranan syari’at atau hukum- hukum seperti shalat, puasa, jual beli

dan lain sebagainya. Semua itu membutuhkan hukum agar kita tidak salah arah

dalam landasan agama. Untuk mengetahui hukum - hukum syariat agama, para

ulama telah berjihad untuk mengetahui hukum yang telah dijelaskan didalam Al-

Qur’an dan hadist agar jelas dan tidak subhat.

Dalam menjalankan syari’at islam, umat islam perlumengetahui dalil-dalil yang

menjelaskan tentang syari’attersebut. Baik tata cara, larangan maupun perintah

tertulis untuk melakukannya. Alqur’an dan Hadits merupakan satu kesatuan yang

tidak dapat dipisahkan dalam menjelaskan syari’at islam. Keduanya merupakan

dalil nash yang kehujjahannya diakui dan disepakati oleh umat islam di seluruh

penjuru dunia sebagaiajaran dasar mereka

Dalam era sekarang, banyak kita jumpai hal- hal yang pada zaman rasul tidak

terjadi, untuk mengetahui bagaimanya hukumnya hal tersebut, maka dibutuhkan

kesepakatan para ulama ( ijma’), maka dalam makalah ini akan dibahas tentang

pengertian ijma’, macam- macam ijma’, kedudukan ijma’ dalam hukum islam, dan

disertai pula contoh ijma’dan Syarat ijma’.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Ijma’?

2. Apa saja rukun dan syarat Ijma’?

1
3. Apa saja macam-macam Ijma’?

4. Bagaimana kehidupan ijma’ menurut pandangan islam?

1.3 Tujuan

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqih,

2. Dapat mengetahui pengertia dari ijma’,

3. Supaya mengetahui rukun dan syarat ijma’,

4. Untuk mengetahui macam-macam dari ijma’,

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ijma’

Ijma’ menurut bahasa Arab bererti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu

hal, seperti perkataan seseorang yang berarti “kaum itu telah sepakat (sependapat)

tentang yang demikian itu.”

Menurut istilah ijma’, ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum

syara’ dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia.

Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan

pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum

muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan

atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah

pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan

Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya.

Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma’.

Jumhur ushul fiqih, sebagai mana dikutip Wahbah al-Zuhaili, Muhammad Abu

Zahrah, dan ‘Abdul Wahhab Khalaf, merumuskan ijma’ dengan “ kesepakatan para

mujtahid dari umat Muhammad saw. Pada suatu masa, setelah wafatnya rasulullah

saw. Terhadap hukum syara’. Muhammad Abu Zahrah menambahkan diakhir

definisi tersebut kalimat: “ yang bersifat amaliyah. Hal tersebut mengandung

pengertian bahwa ijma’ hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan furu

(amaliyah praktis). Definisi ini , menurut ketiga tokoh ushul fiqih ini, Bahwa ijma’

tersebut hanya dilakukan dan disepakati oleh para mujtahid Muslim pada suatu

3
masa setelah wafatnya Rasulullah saw. Jumhur ulama fiqih menganggap perlu

menyatakan dalam rumusan definisi ijma’ itu kalimat “ sesudah wafatnaya

Rasulullah saw. Karena selama Rasulullah saw. Masih hidup seluruh permasalahan

yang timbul bisa ditanyakan langsung kepada beliau , sehingga tidak diperlukan

ijma’. Mujtahid yang melakukan ijma’, menurut rumusan definisi jumhur Ulama

ini, tidak perlu seluruh mujtahid, tetapi cukup mujtahid yang hidup pada masa

tertentu, sehingga para mujtahid pada setiap generasi boleh melakukan ijma’ ,

Namun demikian, apabila pada suatu masa ketika dilakukan ijma’ ada diantara

mujtahid yang tidak setuju dengan hukum yang ditetapkan tersebut, maka hukum

yang dihasilkan itu tidak dinamakan ijma’.

2.2 Rukun dan syarat Ijma’

Adapun rukun dan syarat-syarat dari ijma’ sebagai berikut:

2.2.1 Rukun Ijma’

Menurut para ilmuan ijma’ memiliki beberapa rukun sebagai berikut:

1. Kesepakatan suatau hukum dilahirkan oleh beberapa orang mujtahid dan tidak

dikatakan ijma’ jika hukum itu hasil dari ijtihad satu orang.

2. Kesepakatan tentang suatu hukum harus berdasarkan keputusan bulat seluruh

mujtahid dan tidak cukup dengan pendapat mayoritas.

3. Kesepakatan harus dari seluruh mujtahid pada zamannya yang beraasal dari

seluruh negeri Islam.

4. Hendaknya proses kesepakatan terjadi setelah seluruh para mujtahid

mengemukakan pendapatnya secara elegan dan terbuka baik perkataan ataupun

perbuatan.

4
2.2.2 Syarat-syarat Ijma’

Dan Adapun syarat-syarat dari ijma’ dapat dilihat sebagai berikut:

1. Disepakati para Mujtahid

Para ulama berselisih paham mengenai pengertian mujtahid, namun diantara

perbedaan pendapat itu sebenarnya mempuyai kesamaan, bahwa yang dimaksud

mujtahid adalah orang islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan

mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya. Kesepakatan orang awam (bbodoh)

atau mereka belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’, begitu

pula penolakannya.

2. Disepakati oleh seluruh Mujtahid

Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma’ itu sah apabila dilakukan oleh

sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud ijma’ termasuk juga kesepakatan

sebagian besar dari mereka. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa kesepakatan

sebagian besar mujtahid itu adalah hujjah, meskipun tidak dikategorikan sebagai

ijma’. Karena kesepakatan sebagian besar mereka menunjukkan adanya

kesepakatan terhadap dalil shahih yang mereka jadikan landasan penetapan hukum.

3. Para mujtahid harus umat Nabi Muhammad SAW

Kesepakatan yang dilakukan oleh ulama selain umat Muhammad SAW tidak

bisa dikatakan ijma’. Hal itu menunjukkan adanya umat para nabi lain yang ber-

ijma’. Adapun ijma’ umat Nabi Muhammad SAW tersebut telah dijamin bahwa

mereka tidak mungkin ber-ijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.

5
4. Dilakukan setelah wafatnya nabi

Ijma’ itu tidak terjadi ketika nabi masih hidup, karena nabi senantiasa

menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu

dianggap sebagai syari’at.

5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at

Kesepakatan yang ada harus berkaitan dengansyari’at, seperti wajib, sunah,

makruh, haram, dan lain-lain

2.3 Macam-macam Ijma’

2.3.1 Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:

1) Ijma’ Sharih

Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu

kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing mujtahid

mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yan

mencerminkan pendapatnya.

2) Ijma’ Sukuti

Sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas

terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum. Dan sebagian yang lain

diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidaknya terhadap

pendapat yang telah dikemukakan.

Mengenai ijma’ Sukuti ini, para ulama terbagi dalam tiga pendapat;

a) Ulama Syafi’i dan mayoritas Fuqaha tidak memasukan ijma’ sukuti ini kedalam

katagori ijma’.

6
b) Pendapat sebagian Fuqaha memasukan ijma’ sukûti ke dalam katagori ijma’,

hanya saja tingkat kekuatanya dibawah ijma’ sharih.

c) Ijma’ sukûti dapat dijadikan argumentasi (hujah) akan tetapi tidak termasuk

kedalam katagori ijma’.

Argumentasi ulama yang tidak menganggap ijma’ sukuti sebagai hujjah syar’iyyah

adalah :

a) Orang yang diam tidak dapat di anggap sebagai orang yang berpendapat.

Dengan demikian seorang mujtahid yang diam tidak dapat dipandang sebagai

orang yang mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain.

b) Diam tidak dapat dipandang sebagai setuju karena diamnya seorang mujtahid

mungkin setuju, mungkin ia belum ijtihad dalam masalah tersebut, mungkin

juga ia telah berijtihad tetapi belum memperole kemantapan.

c) Dengan segala kemungkinan diatas, maka diam tidak dapat dipandang sebagai

hujah untuk menerima pendapat seorang mujtahid, maka ijma’ sukuti tidak

dapat dijadikan hujah.

Sedangkan ulama yang memasukkan ijma’ sukutu ke dalam katagori ijma’

beralasan bahwa;

a) Pada dasarnya diam tidak dapat dikatagorikan hujah kecuali sesudah merenung

atau berpikir. Oleh karena itu jika ada seorang yang berdiam sesudah berpikir

dan menganalisa permasalahan dari segala segi maka diamnya menunjukan

suatu sikap.

b) Pada umumnya tidak semua pemberi fatwa (Mufti) itu memberikan keterangan

pada suatu permasalahan.

7
c) Diamnya seorang mujtahid setelah merenung terhadap hukum (hasil ijtihad

orang lain) yang bertentangan dengan hukum yang benar menurut ijtihadnya

adalah haram. Dengan demikian berbaik sangka bahwa diamnya seorang

mujtahid dapat dianggap ridla terhadap hasil ijtihd orang lain. Jika ia tidak rela

serta tidak mau mengemukakan pendapat ynag benar menurut hasil ijtihadnya

berarti ia telah berbuat dosa.

2.3.2 Ditinjau dari segi kepastian hukumnya ;

a) Ijma’ Qath’i yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ diyakini benar terjadi, tidak ada

kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang ditetapkan

berbeda dengan hasil ijma’.

b) Ijma’ Dhanni yaitu hukum yang dihasilkan ijma’ masih ada kemungkinan

bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda

dengan hasil ijtihad.

2.3.3 Ditinjau dari segi masa atau tempat terjadinya ijma’ ;

Ijma’ Sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.

a. Ijma’ khulafaurrasidin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu bakar, umar,

Ustman dan Ali bin abi thalib. Namun setelah Abu bakar meninggal dunia ijma’

tersebut tidak dilakukan lagi.

b. Ijma’ Shaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu bakar dan Umar bin

Khatab.

c. Ijma’ ahli Madînah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama Madinah. Namun

terjadi perbedaan antara Imam Malilki dan Imam Syafi’i. menurut Imam Syafi’i

8
tidak dimungkinkan terjadinya ijma’ secara universal, sedangkan menurut

Imam Malik hal tersebut bisa trjadi.

d. Ijma’ Ulama kufah, yaitu ijma’ yang dialakukan oleh ulama kufah sehingga

Madzhab Hanafi menjadikan ijma’ ulama kufah sebagai salah satu hukum

Islam.

2.4 kehidupan ijma’ menurut pandangan islam

Kehujjahan ijma’ dilandasi oleh sejumlah ayat al-qur’an2, diantaranya:

1. Surat al-baqarah 2 : 143

Yang artinya :

Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu(umat islam), umat yang adil

dan pilihan agarkamu (Muhammad) menjadi saksi atas(perbuatan) kamu.

2. Surat luqman 31 : 15

Yang artinya :

Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku(Allah).

3. Surat Al-a’raf 7 : 181

Yang artinya:

Dan diantara orang-orang yang kami ciptakan,ada umat yang memberi

petunjuk dengan kebenaran, dan dengan kebenaran itu (pula) mereka menjalankan

keadilan.

Disamping itu dilandasi pula oleh sejumlah hadits,yakni :

1. Hadits ibnu umar yang diriwayatkan oleh imam Turmudzi

Umatku tidak mungkin bersepakat terhadap sesuatu yang keliru.

9
2. Hadits mu’awiyah ibnu abi sufyan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan

Imam Muslim

Senantiasa segolongan umatku membela/menegakkan kebenaran, dan tidak akan

membahayakan mereka, orang-orang yang menentang mereka.

3. Hadits al-Nu’man bin Basyir yang diriwayatkanoleh Imam Thabrani

Persatuan itu mendatangkan rahmat dan perpecahan itu mendatangkan adzab.

2.4.1 Kehujjahan ijma’ Sharih

Jumhur ulama telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secara

qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bilas udah terjadi ijma’

pada suatu permasalahan maka ia menjadi hukum qath’i yang tidak boleh ditentang,

dan menjadi masalah yang tidak boleh di-ijtihadi lagi.Namun, sebagian dari

golongan Syi’ah dan Khawarij berpendapat bahwa ijma’ itu tidak termasuk hujjah.

2.4.2 Kehujjahan ijma’ Sakuti

Ijma’ sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama.

Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah, bahkan tidak

menyatakan sebagai ijma’. Diantara mereka adalah pengikut Imam Maliki dan

Imam Syaf’i. Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin

saja menyepakati sebagian atau bisa juga tidak sama sekali. Jika demikian adanya,

10
tidak bisa dikatakan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa

dikatakan ijma’ ataupun dijadikan sebagai hujjah.

Sebagian besar golongan Hanafi dan Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan

bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah yang qath’i seperti halnya ijma’ sharih.

Alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan sepakat

ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid

lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai

dalil tentang kesepakatan mereka sehingga bisa dikatakan sebagai ijma’ karena

kesepakatan mereka terhadap hukum.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ijma’ merupakan salah satu metode yang dipakai ulama mujtahidin dalam

menentapkan hukum, apabila mereka dihadapkan suatu persoalan hukum yang

tidak ditemukan nash dalam al-qur’an maupun dalam al-sunnah yang dapat

dijadikan landasan hukum setelah Rasulullah meninggal dunia.

Apabila suatu peristiwa terjadi dan memerlukan ketentuan hukum dan peristiwa

tersebut dikemukakan kepada para ulama yang memiliki kemampuan berijtihad,

dan mereka kemudian mengambil kesepakatan berupa hukum dari peristiwa

tersebut, maka kesepakatan mereka disebut sebagai ijma’.

Dan sesuai dengan skema sumber hukum islam pada masa-masa sebelumnya,

ijma’ merupakan urutan yang terakhir. Ijma’ merupakan satu prinsip untuk

menjamin kebenaranhukum yang muncul sebagai hasil penggunaan qiyas dan

merupakan pembatas terhadap qiyas dan merupakan pembatas terhadap qiyas yang

bersifat bisa salah.

Adapun ijma' ditinjau dari sudut cara menghasilkannya, ada dua macam

yaitu:Ijma' Shorih dan Ijma' Sukuti. ljma' bila ditinjau dari segi dalalahnya terbagi

kepada dua, yaitu: Ijma' yang qoth'i dalalahnya atas hukum (yang dihasilkan) dan

ijma' yang dhonni dalalahnya atas hukum ( yang dihasilkan ).

3.2 Saran

Dalam pembahasan makalah ini kami yakin masih memiliki banyak

kekurangan. Kami berharap kritik dan saran kepada seluruh pembaca agar dalam

12
pembuatan makalah yang akan datang dapat terselesaikan dengan baik. Kami

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam

menyelesaiakan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat untuk para pembaca.

13
DAFTAR PUSTAKA

Annisa Dinda Larasat. 2020. IJMA. Makalah

https://www.academia.edu/11098196/USHUL_FIQH_IJMA diakases 30 Mei

2022

http://makalahpendidikanislamlengkap.blogspot.com/2015/07/ijma.html diakases

30 Mei 2022

http://mytelisikadress.blogspot.com/2015/11/v-behaviorurldefaultvmlo_29.html

diakases 30 Mei 2022

14

Anda mungkin juga menyukai