Anda di halaman 1dari 18

PENJELASAN MENGENAI

IJMA DAN QIYAS

DISUSUN OLEH:

1.MUH.RISKI APRIANTO 60100120011

2.JEFRIYANTO 60100120005

3.GALUH ISWARI 60100120013

4.WINGKI ARYAWAN 60100116061

TEKNIK ARSITEKTUR

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2020/2021
1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami penjatkan ke hadirat Allah S.W.T. atas rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Ijma dan Qiyas dengan sebaik-
baiknya, meskipun masih jauh dari kata kesempurnaan. Shalawat beserta salam kami curahkan
kepada Rasulullah S.A.W.

Dalam menyelesaian makalah ini kami berusaha untuk melakukan yang terbaik. Tetapi kami
menyadari bahwa dalam menyelesaikan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan makalah
kami yang akan datang.

Dengan terselesaikannya makalah ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
terlibat dalam proses pembuatan makalah ini yang telah memberikan dorongan, semangat dan
masukan.

Semoga apa yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pada
umumnya, serta mendapatkan ridha dari Allah S.W.T. Aamiin.

Makassar, 17 Oktober 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................2


DAFTAR ISI..................................................................................Error! Bookmark not defined.
BAB 1 ........................................................................................................................4
PENDAHULUAN ....................................................................................................4
A. Latar Belakang .................................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah .............................................................................................................. 4
C. Tujuan.................................................................................................................................. 5
BAB II .......................................................................................................................6
PEMBAHASAN .......................................................................................................6
A. Pengertian Ijma’ .................................................................................................................. 6
B. Syarat –syarat Ijma’ ........................................................................................................... 7
C. Macam-macam Ijma ............................................................................................................ 8
D. Kehujjahan Ijma’................................................................................................................. 9
E. Pengertian Qiyas ............................................................................................................... 10
F. Rukun Qiyas ..................................................................................................................... 11
G. Contoh-Contoh Qiyas ....................................................................................................... 13
BAB III ....................................................................................................................17
KESIMPULAN…………………………………………………………………..17

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………18

3
BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Untuk mencapai kesejahteraan ataupun kemaslahatan baik di dunia dan di akhirat manusia
harus mempunyai pedoman sebagai landasan hidup, yaitu Al-Quran dan Al-Hadits yang
diturunkan oleh Allah dan disampaikan oleh Rosulullah untuk umat manusia. Seiring dengan
perkembangan zaman dan bertambah banyaknya manusia maka bertambah pula masalah-
masalah ataupun persoalan didalam kehidupan sosial. Dari masalah tersebut yang belum ada
nasnya kemudianlah dimasukkannya hukum-hukum yang disepakati oleh para sahabat Nabi (di
ijma) sebagai salah satu sumber syariat islam. Karena syariat adalah hukum-hukum yang telah
dinyatakan dan ditetapkan Allah maka kita sebagai umat manusia harus mengimani, mengetahui
dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengetahui hal tersebut maka kita
perlu mengetahui beberapa hal tentang ijma sebagai penetapan hukum dasar. Maka dari itu
makalah ini akan membahas tentang ijma.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian ijma’?

2. Apakah syarat-syarat ijma’?

3. Apakah macam-macam ijma’?

4. Apakah kehujjah ijma’ ?

5. Pengertian Qiyas

6. Rukun Qiyas

7. Contoh-Contoh Qiyas

8. Kehujjahan Qiyas

4
C. Tujuan

1. Dapat mengetahui tentang pengertian ijma’

2. Dapat mengetahui syarat-syarat ijma’

3. Dapat mengetahui macam-macam ijma’

4. Dapat mengetahui kehujjahan ijma’

5. Untuk mengetahui pengertian dari Qiyas

6. Untuk mengetahui rukun Qiyas

7. Untuk mengetahui macam macam Qiyas

8 . Untuk mengetahui kehujjahan Qiyas

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijma’

Secara bahasa, Ijma’ mengandung dua pengertian yaitu keinginan kuat (tekad atau keputusan
yang bulat), dan Kesepakatan atau konsensus dari sejumlah orang terhadap suatu persoalan.

Firmannya ,yaitu:

Karena itu bulatkanlah keputusanmu (Qs Yunus :71)[1]

Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum-hukum
dalam agama berdasarkan al-Qur'an dan hadis dalam suatu perkara yang terjadi. keputusan yang
dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati.[2]

Pengertian ijma’ secara terminologi menurut Ushul Fiqh, yakni:

Bahwa kesepakatan itu harus dilakukan oleh seluruh mujtahid; bukan kesepakatan sebagian; atau
bukan kesepakatan yang dilakukan oleh selain ulama mujtahid, seperti kesepakatan yang
dilakukan orang-orang awam atau orang-orang yang belum memenuhi syarat sebagai mujtahid.

Yang dimaksud dangan para mujtahid adalah mereka yang hidup pada saat terselenggaranya
ijma’, bukan mereka yang telah tiada atau yang belum lahir. Persoalan yang menjadi objek ijma’
haruslah persoalan agama, bukan masalah-masalah keduniawian atau persoalan-persoalan logika.
[3]

6
B. Syarat –syarat Ijma’
Menurut Jumhur syarat Ijma yaitu

1. Syarat pertama berkenaan dengan kesepakatan, kesepakatan yang dimaksud adalah


kesamaan pendapat antara seseorang dengan yang lain; baik dalam hal keyakinan, perkataan atau
perbuatan. Meyangkut syarat ini terdapat beberapa hal yang harus terpenuhi bagi terlaksanya
Ijma’

a. Kesepakatan itu adalah kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Tidak dipandang
ijma’, jika sepakatan itu hanya berasal dari sebagian mujtahid saja sedangkan sebagian kecil
lainnya tidak. Akan tetapi pakar Ushul Fiqh menilai bahwa kesepakatan mayoritas mujtahid
sebagai hujjah

b. Kesepakatan para mujtahid itu harus berasal dari semua tempat dan golongan. Tidak
dipandang ijma’ jika kesepakatan tersebut hanya berasal dari satu tempat saja.

c. Kesepakatan para mujtahid itu harus nyata, baik dinyatakan dengan lisan maupun dapat
dilihat dalam perbuatan.

d. Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah, tanpa memandang kepada
negeri asal, jenis, dan golongan mujtahid. Kalau yang mencapai kesepakatan itu hanya sebagian
mujtahid, atau mujtahid kelompok tertentu, wilayah tertentu atau bangsa tertentu, maka
kesepakatan itu tidak dapat disebut ijma‘, karena ijma‘ itu hanya tercapai dalam kesepakatan
menyeluruh.[4]

2. Syarat kedua berkenaan dengan mujtahid, ada tiga syarat yang harus terpenuhi bagi seorang
untuk menjadi mujtahid yakni:

a. Memiliki pengetahuan tentang Al-Quran, Sunnah dan persoalan-persoalan yang telah


menjadi obyek Ijma’ sebelumnya

b. Mengetahui pengetahuan tentang Ilmu Ushul Fiqh

c. Memiliki pengetahuan kebahasaan (Arab)

3. Syarat ketiga adalah bahwa yang melakukan ijma’ haruslah berasal dari umat Muhammad,
bukan orang kafir dan bukan pula umat terdahulu
7
4. Ijma’ mesti berlangsung sesudah wafat Nabi saw

5. Ijma’ itu merupakan kesepakatan yang berkaitan dengan masalah hukum syara’, seperti
wajib, haram, sunnat dan seterusnya.[5]

C. Macam-macam Ijma
1. Ijmak Sharih atau ijma Qouli yaitu apabila segenap mujtahid berhimpun pada satu
kesepakatan pendapat dan masing-masing mennyatakan dengan pernyataan lisan; “ini halal” atau
“ini haram”. Ijma’ seperti ini menjadi hujjah tanpa ada perdebatan.

2. Ijma Sukuti adalah apabila suatu pendapat menjadi mashyur di sebagian kelompok
mujtahid; sedang sebagian lain diam tanpa mengingkarinya.[6]

Para ulama berbeda pendapat dalam menempatkan Ijma’ Sukuti sebagai hujjah mempunyai
kekuatan mengikat untuk seluruh umat.

a. Imam Syafi’i dan pengikutnya berpendapat bahwa ijma’ Sukuti itu bukan ijma’ yang
dipandang sebagai sumber hukum dan dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat

b. Abu Ali ibn Hurairah (ulama Syafi’iyah) berpendapat bahwa pendapat yang dikemukakan
dan tidak dibantah itu bila diungkapkan dalam bentuk tindakan atau penetapan putusan hukum
dalam pengadilan, dan ternyata tidak ada ulama yang mennyanggahnya, maka diammya ulama
itu tidak dapat disebut ijma’.[7]

c. Dari pembahasan al-Ghazzali muncul persoalan bahwa, jika sebagian sahabat berfatwa,
sedangkan yang lain diam saja (tidak mengeluarkan fatwanya), maka hal itu tidak disebut ijma‘
(sukuti). Dan tidak dapat dikatakan orang diam telah mengeluarkan ucapan (fatwa). Menurut
sekelompok ulama, apabila suatu fatwa hukum dari seorang mujtahid (sahabat) telah tersiar luas,
sedangkan yang lainnya diam saja, maka diam mereka sama seperti telah mengeluarkan fatwa
yang sama, sehingga kejadian seperti itu disebut juga dengan ijma‘ (ijma‘ sukuti). Menurut
sekelompok ulama lain, hal itu hanya menjadi hujah (sumber hukum) saja, tetapi tidak dapat
dikatakan ijma‘. Menurut sekelompok ulama lainnya, hal itu tidak dapat dijadikan hujah dan
bukan ijma‘ tetapi hanya sebagai dalil yang membolehkan mereka untuk berijtihad pada suatu
masalah yang berkaitan dengan hukum[8]

8
D. Kehujjahan Ijma’
Jumhur ulama ushul fiqh berpendapat bahwa rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi, maka ijma’
tersebut menjadi hujjah qath’i (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh mengingkarinya; bahkan
orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Disamping itu, permasalahan yang telah ditetapkan
hukumnya melalui ijma’ menurut para ahli ushul fiqh, tidak boleh lagi menjadi pembahasan
ulama generasi berikutnya, karena hukum yang ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum
syara’ yang qath’i dan menempati urutan ketiga dalil syara’ setelah Al-Quran dan Sunnah.

Menurut Ibrahim ibn Siyar al-Nazam (tokoh Mu’tazilah), ulama Khawarij dan ulama Syi’ah
berpendapat bahwa ijma’ tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak mungkin menghadirkan
seluruh mujtahid pada suatu masa dari berbagai belahan dunia Islam untuk berkumpul dan
membahas suatu kasus, dan menyepakati bersama. Selain itu, masing-masing daerah mempunyai
struktur sosial, dan budaya yang berbeda.[9]

Bukti kekuatan ijma sebagai hujjah antara lain

a. Sebagaimana Allah Swt. Dalam Al-Quran memerintahkan kepada orang-orang mukmin


untuk taat kepada Allah, Rosulnya dan Ulil Amri, seperti

Firman-Nya:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara
kamu. (Qs. An-Nisa : 59)

Lafal Al-Amri artinya adalah hal atau perkara, ia bersifat umum, meliputi masalah agama dan
dunia. Ulil Amri pada masalah dunia adalah raja, para pemimpin dan penguasa, sedangkan pada
masalah agama adalah para mujtahid dan ahli fatwa. Ibnu Abbas menafsirkan kata Ulil Amri
dengan ulama, menafsirkan dengan pemimpin dan penguasa. Yang jelas penafsiran itu mencakup
keseluruhan, dan semuanya harus ditaati dalam ruang lingkup masing-masing. Bila Ulil Amri
9
telah sepakat dalam penetapan hukum syarak, yakni para mujtahid, maka wajib dan dilaksanakan
berdasarkan nash Al-Quran.

Menurut Ahmad al-Sawi, ayat di atas secara menyeluruh mengisyaratkan kepada dalil-dalil
fiqh yang empat, yakni Alquran, Hadis, ijma‘ dan qiyas. Taat kepada Allah, yakni Alquran, taat
kepada Rasul, yaitu Hadis, dan taat kepada uli al-amr adalah ijma‘ (ketetapan hukum yang sudah
menjadi kesepakatan)[10]

b. Pada dasarnya hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahid umat Islam
adalah hukum umat yang diperankan oleh para mujtahidnya

c. Ijmak atas hukum syara’ harus didasarkan pada sandaran syara’ pula, karena mujtahid
Islam memiliki batas-batas yang tidak boleh dilanggar. Bila hasil ijtihadnya tidak di dukung
nash, maka tidak boleh melewati batas pemahaman suatu nashdan makna dari petunjuk nash
yang ada. Bila dalam suatu kejadian tidak terdapat nash, maka ijtihadnya tidak boleh melewati
batas-batas pengambilan hukum, baik dengan cara yang kias terhadap hukum yang sudah
memiliki nash atau penerapan kaidah syariat dan dasar-dasar hukumnya, atau dengan cara
pengambilandalil dari dalil-dalil yang telah ditetapkan syara

E.Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti
menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk
tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti
mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan
sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.

Qiyas menurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengaan yangg lainnya atau penyamaan
sesuatu dengaan yangg sejenisnya. Ulama ushul fiqih memberikan definisi yangg berbede-beda
bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas dalaam istinbath hukum. Dalaam
hal ini, mereka terbagi dalaam dua golongan berikut ini.[1]
Golongan pertama, menyatakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yakni
pandangan mujtahid. Sebaliknya, menurut golongan kedua, qiyas merupakan ciptaan syari’
, yakni merupakan dalil hukum yangg berdiri sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yangg

10
dibuat Syari’ sebagai alat untukk mengetahui suatu hukum. Qiyas ini tetap ada, baik dirancang
oleh para mujtahid ataupun tidak.
Bertitik tolak pada pandangan masing-masing ulama tersebut maka mereka memberikan
definisi qiyas sebagai berikut:
a. Shadr Asy-Syari’at menyatakan bahwa qiyas ialah pemindahan hukum yangg terdapatt
pada ashl kapada furu’ atas dasar illat yangg tidak dapatt diketahui dengaan logika bahasa.
b. Al-Human menyatakan bahwa qiyas ialah persamaan hukum suatu kasus dengaan kasus
lainnya karena kesamaan illat hukumnya yangg tidak dapatt diketahui melalui pemahaman
bahasa secara murni
Sebenarnya, masih banyak definisi lainnya yangg dibuat oleh para ulama, namun secara
umum qiyas ialah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus yangg tidak
disebutkan dalaam suatu nash, dengaan suatu hukum yangg disebutkan dalaam nash karena
adanya kesamaan dalaam illat-nya.[2]

Dasar hukum qiyas sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat
sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan
hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas
atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang
membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah
melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang
dapat dijadikan dasar.

F . Rukun Qiyas
Dari pengertian qiyas yangg dikemukakan di atas dapatt disimpulkan bahwa unsur pokok
(rukun) qiyas terdiri atas empat unsur yang berikut:
a . Ashl (pokok), yaitu suatu peristiwa yangg sudah ada nash-nya yangg dijadikan tempat meng-
qiyas-kan. Ini berdasarkan pengertian ashl menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum
teolog ialah suatu nash syara’ yangg menunjukkan ketentuan hukum, dengaan kata lain, suatu
nash yangg menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga maqis alaih (yangg dijadikan tempat
meng-qiyas-kan), mahmul alaih (tempat membandingkan), atau musyabbah bih (tempat
menyerupakan)

11
b . Far’u (cabang) yaitu peristiwa yangg tidak ada nash-nya. Far’u itulah yangg dikehendaki untukk
disamakan hukumnya dengaan ashl. Ia disebut juga maqis (yangg dianalogikan)
dan musyabbah (yangg diserupakan)
c . Hukum Ashl, yaitu hukum syara’, yangg ditetapkan oleh suatu nash
d . Illat, yaitu suatu sifat yangg terdapatt pada ashl. Dengaan adanya sifat itulah, ashl mempunyai
suatu hukum. Dan dengaan sifat itu pula, terdapatt cabang, sehingga hukum cabang itu
disamakanlah dengaan hukum ashl.
Sebagai contoh ialah menjual harta anak yatim ialah suatu peristiwa yangg perlu ditetapkan
hukumnya karena tidak ada nash yangg dapatt dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini fara’.
Untukk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yangg lain yangg telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash yangg illatnya sama dengaan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini
memakan harta anak yatim disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT, QS. An-Nisa ayat
10:

‫ظ ْل ًما ْاليَت َا َم ٰى أ َ ْم َوا َل يَأْ ُكلُونَ الَّذِينَ إِ َّن‬


ُ ‫طونِ ِه ْم فؽ يَأ ْ ُكلُونَ إِنَّ َما‬
ُ ُ‫َارا ب‬
ً ‫صلَ ْونَ ۖن‬
ْ َ‫سي‬
َ ‫ِيرا َو‬
ً ‫سع‬َ
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yangg memakan harta anak yatim secara zalim sebenarnya meraka
itu menelan api sepenuh perutnya dan meraka akan masuk ke dalaam api yangg menyala-
menyala (neraka).”

Persamaan illat antara kedua peristiwa ini ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya
harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengaan
memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.[3]

12
G.Contoh-Contoh Qiyas
Sebagai contoh menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan
hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut
far’u. untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash yang ‘illatnya sama dengan peristiwa pertama.

Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah
ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan
firman Allah SWT

Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka). (Q.S an-Nisa’: 10)
.Persamaan ‘illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau
habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama
dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.Dari keterangan di atas dapat
disimpulkan sebagai berikut:- Ashal, ialah memakan harta anak yatim- Far’u, ialah menjual
harta anak yatim- Hukum ashal, ialah haram- ‘lllat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta
anak yatim.

H. Kehujjahan Qiyas

Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan qiyas. Ada lima pendapat mengenai hal ini:

13
a. Jumhur ulama memandang bahwa qiyas hujjah dan wajib mengamalkannya berdasarkan syar’i
b. Pendapat Qaffal dan Abu Husein al-Bashri bahwa akal dan naql menunjukkan kehujjahan qiyas
c. Pendapat al-Qasyani, Nahrawani memandang, bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal:
1) Illah ashl ditetapkan oleh nash dengan jelas atau dengan jalan ima’ )‫(اإليماء‬
2) Hukum far’u lebih utama dari hukum ashl. Seperti keharaman memukul orang tua dikiaskan
pada keharaman berkata “ah”
d. Mazhab Zhahiri mengingkari kehujjahan qiyas berdasarkan syariat, meski secara akal bisa
e. Mazhab Syiah dan Nizham dari mu’tazilah memandang bahwa kehujjahan qiyas mustahil
secara akal
Secara garis besar, lima pendapat ini dapat dikelompokkan dalam dua pendapat yatiu antara
menerima kehujjahan qiyas dan kelompok yang menolaknya. Berikut dalil-dalil masing-
masing:[4]
a. Dalil mazhab kehujjahan qiyas
1) Alquran
· Surat an-Nisa ayat 58. Ayat ini menjelaskan, bila terjadi sengketa maka kembalikan kepada
Allah dan RasulNya yaitu alquran dan sunnah. Dan Qiyas, befungsi menggali hukum yang
menjadi perselisihan yang tidak ada nashnya dari alquran dan sunnah untuk dikiaskan kepada
hukum yang diperselisihkan yang ada nashnya, karena keduanya memiliki illat yang sama yaitu
adanya hukum yang diperselisihkan
· Surat Ali Imran ayat 59. Allah menyamakan penciptaan Nabi Isa dan Adam tanpa seorang
bapak, keterkaitan sama-sama tidak punya bapak merupakan illah penyamaan kedua Nabi
tersebut.
2) Sunnah Rasulullah mengutus Muaz dan Abu musa ke Yaman sebagai qadhi.
3) Ijma’
Para sahabat ada mengeluarkan pendapat dengan cara qiyas seperti Abu Bakr dan Umar.
Pendapat mereka tidak ada yang mengingkari. Maka ini dipandang sebagai ijma’.
4) Aqliy:
Akal tidak bisa menolak suatu perkara yang serupa dan sama dalam hukum. Pengingkaran
terhadap qiyas merupakan pengingkaran terhadap fitrah akal.

b. Dalil yang menafikah kehujjahan qiyas

14
1. Alquran
· “‫” وال تقف ما ليس لك به علم‬. Dalam qiyas, hukum far’u belum diketahui status hukumnya,
dan qiyas adalah zhanniy, mengikuti qiyas berarti mengikuti sesuatu yang tidak diketahui.
· " ‫” يأيها اللذين أمنوا ال تقدموا بين يدي هللا ورسوله‬.
Ayat ini melarang beramal dengan selain Alquran dan sunnah. Menggunakan qiyas berarti
mendahului Alquran dan sunnah.
2. Sunnah
Sabda Rasulullah
"‫" تعمل هذه األمة برهة بالكتاب وبرهة بالسنة وبرهة بالقياس فإذا فعلوا ذالك فقد ضلوا‬
Beramal dengan qiyas akan berakibat kepada kesesatan.
3. Ijma’
Sebagian sahabat mencela penggunakan qiyas. Dan tidak ada pengingkaran hal tersebut. Maka
ini menjadi sebuah ijma’.
4. Aqliy
Menggunakan qiyas akan menyebabkan perselisihan dan pertikaian. Dan ini dilarang oleh
Allah, " ‫" وال تنازعوا‬
Mengenai dalil-dalil diatas terjadi perdebatan hangat dan panjang. Masing-masing pihak
membantah dan menjawab balik kritikan yang ada.
Diantara ulama yang cukup keras menolak hujjah adalah Ibn Hazm. Dalam bukunya
ia menjelaskan argumentasi penolakannya terhadap qiyas.
“nahnu insya Allah nanqudu kulla ma ihtajjuu bihi, wa nahtajju lahum bikulli ma yumkinu an
ya'taridhuu bihi wa nubayyinu bi haulillah ta'ala wa quwwatihi butlana ta’aluqihim bikulli ma
ta’allaquu bihi fi zalik tsumma nabtadiu bi ‘aunillah azza wajalla bi irad al barahin al
wadhihah ad-dharuriyah’ ala ibtal al qiyas.[5]

Dilihat dari argumentasi yang disampaikan Ibn Hazm terhadap qiyas, ada dua hal yang menjadi
basis penolakannya:
· Bahwa Allah telah menurutkan syariat-syariat-Nya dengan sempurna. Dia telah menentukan
hukum-hukum-Nya. Apa yang tidak disebutkan berarti mubah dan halal. Memakai qiyas berarti
membuat hukum-hukum baru yang bertentangan dengan syariat.

15
· Penolakannya Ibn Hazm terhadap qiyas bukan karena kesimpulan hukum tersebut, melainkan
cara memperoleh hukum itu yang tidak tepat. Misalnya, firman Allah:
‫" أن تأكلوا من بيوتكم أو بيوت ءابائكم‬
Ayat di sini tidak menyebutkan kebolehan makan di rumah anak, lalu dikiaskanlah kepada
kebolehan makan dirumah bapak. Metode ini tidak tepat. Bolehnya makan di rumah anak bukan
karena penerapan qiyas, tapi karena adanya nash yang membolehkan hal tersebut.[6]

16
BAB III

KESIMPULAN

Ijma’ yaitu kesepakatan yang harus dilakukan oleh seluruh mujtahid, bukan kesepakatan
sebagian, atau bukan kesepakatan yang dilakukan oleh selain ulama mujtahid, seperti
kesepakatan yang dilakukan orang-orang awam atau orang-orang yang belum memenuhi syarat
sebagai mujtahid. Dan dalam melakukan suatu ijma’ harus diperhatikan dalam beberapa hal
seperti syarat-syarat ijma’, mengetahui macam-macam ijma’, kehujjahan ijma’, landasan ijma’
serta mengetahui syarat-syarat sebagai seorang mujtahid Untuk mencapai kesejahteraan ataupun
kemaslahatan baik di dunia dan di akhirat. Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan,
membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu
mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan
sebagainya.Sedangkan Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau
alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan
mencari persamaan-persamaannya.

17
DAFTAR PUSTAKA

https://iainpspblog.blogspot.com/2019/05/makalah-qiyas.html
http://likhastars.blogspot.com/2016/04/makalah-tentang-ijma.html

18

Anda mungkin juga menyukai