Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA

DISUSUN OLEH :

Zaky Muhammad Fadhil (50400122048)

Muh.Nuzulsabilal Sulhan (50400122049)

Wahyudi Akbar (50400122050)

Nur Fadillah Siam (50400122051)

Sitti Dahniar (50400122052)

MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2022/2023
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, Sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini guna untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu Fiqh, dengan
judul “Perbedaan Pendapat Para Ulama.”

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya


kepada dosen mata kuliah Ilmu Fiqh yang telah memberikan tugas terhadap kami,
kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu
dalam pembuatan makalah ini, semoga dengan adanya makalah ini dapat
meningkatkan pengetahuan kami tentang Perbedaan pendapat para Ulama.

Kami jauh dari sempurna. Dan ini merupakan langkah yang baik dari studi
yang sesungguhnya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka
kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan. Semoga makalah ini
dapat berguna bagi kami pada khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada
umumnya.

Gowa, 25 Oktober 2022


Tertanda

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 3
A. Pengertian ........................................................................................................... 3
1. Pengertian Perbedaan Pendapat Di Kalangan Ulama (Ikhtilaf) ..................... 3
2. Pengertian Mazhab ........................................................................................ 4
B. Dasar Hukum Perbedaan Pendapat Para ............................................................ 4
C. Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat .................................................... 5
D. Bolehkah Terjadi Perbedaan Pendapat............................................................... 6
E. Hikmah Perbedaan Pendapat............................................................................ 11
F. Batas Kebolehan Perbedaan Pendapat ............................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 18

ii
BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kalau ditanya bolehkah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para
ulama, memang para ulama sendiri juga berbeda pendapat, antara yang
membolehkan dan yang tidak membolehkan. Yang tidak membolehkan
umumnya menyamakan antara berbeda pendapat dengan berpecah-belah.

Namun kalau kita lebih jeli lagi dalam mencermati, sebenarnya berbeda
pendapat itu tidak harus selalu berpecah-belah. Berpecah belah memang
dilarang secara resmi, namun berbeda pendapat sebenarnya tidak harus selalu
terkait dengan berpecah-belah.

Dalam kenyataannya, para nabi dan rasul sekalipun seringkali berbeda


pendapat dengan sesama mereka. Malaikat pun ada juga yang berbeda
pendapat, misalnya Malaikat Rahman dan Malaikat azab, keduanya berbeda
dalam menentukan mau dibawa kemana orang yang mati dan pernah
membunuh 99 nyawa. Apakah dimasukkan ke surga karena sudah bertaubat,
ataukah dimasukkan ke neraka karena harus menebus dosanya terlebih dahulu?

Demikian juga dengan para sahabat nabi, banyak sekali kita temukan
perbedaan pendapat di antara mereka. Termasuk juga kita temukan perbedaan
pendapat di kalangan para tabi’in dan tabiut-tabi’in dan seterusnya. Jadi
perbedaan pendapat itu tidak selalu haram dan terlarang, banyak sekali
perbedaan pendapat yang dibolehkan atau diterima sebagai kenyataan yang
tidak bisa ditampik.

Masalahnya tinggal kita mau apa dengan perbedaan pendapat ini?


Apakah mau dijadikan alasan untuk saling tuduh, saling hina, saling
mengkafirkan dan saling menajis-najiskan? Atau kah kita mau ikuti jejak luhur
para ulama terdauhulu yang sedemikian agungnya memberikan contoh teladan
dalam berbeda pendapat.

1
Untuk dapat memahami lebih lanjut mengenai Sebab-sebab perbedaan
pendapat, diperlukan pengkajian mengenai hal tersebut dengan membaca buku
ataupun jurnal yang berkaitan dengan Perbedaan pendapat para Ulama.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami akan membahas mengenai "
Perbedaan Pendapat Para Ulama".

B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian perbedaan pendapat?
b. Apa dasar hukum perbedaan pendapat
c. Apa saja sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat?
d. Bolehkah terjadi perbedaan pendapat?
e. Apa hikmah Perbedaan Pendapat ?
f. Apa saja batas kebolehan perbedaan pendapat?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah :
a. Untuk memahami pengertian pendapat para ulama
b. Untuk mengetahui dasar hukum perbedaan pendapat
c. Memahami sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat
d. Untuk mengetahui apakah boleh terjadi perbedaan pendapat
e. Untuk memahami hikmah perbedaan pendapat
f. Memahami batas kebolehan perbedaan

2
BAB II PEMBAHASAN
PEMBAHASAN

A. Pengertian
1. Pengertian Perbedaan Pendapat Di Kalangan Ulama (Ikhtilaf)
Perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha dalam bahasa Arab
sering disebut dengan istilah ikhtilaful araa’ (‫)إختالف اآلراء بين الفقهاء‬.

a. Bahasa

Secara bahasa, kata ikhtilaf maknanya adalah perbedaan atau


berbeda,lawan dari sama atau kesamaan. Disebutkan ungkapan :

‫اختلف األمران أي لم يتفقا‬

Dua hal bertentangan berarti tidak sama

b. Istilah

Dan secara istilah definisi perbedaan pendapat di kalangan ulama


adalah :

‫اختالف الفقهاء في حكم من األحكام في األمور اإلجتهادية‬

Perbedaan pendapat di kalangan fuqaha dalam salah satu hukum dari


hukum-hukum yang terkait dengan masalah ijtihad.

Dari definisi di atas, kita membuat batasan tentang wilayah pembicaraan


ikhtilaf ini menjadi tiga hal :

▪ Perbedaan Antara Fuqaha

Perbedaan ini bukan perbedaan yang terjadi antara orang awam dengan
orang awam, tetapi terjadi antara sama-sama orang yang berkompeten di
bidangnya, yaitu para fuqaha.

▪ Dalam Masalah Hukum

3
Objek yang menjadi titik perbedaan pendapat di antara mereka bukan
sembarang masalah, melainkan hanya terbatas pada penetapan kesimpulan
hukum, yang mereka ijtihadkan dari sumber-sumber yang dibenarkan, juga
lewat proses ijtihad yang memenuhi standar.

▪ Pada Wilayah Yang Di Bolehkan Untuk Berijtihad

Masalah yang hukum ada banyak jumlahnya, ada yang dalilnya sudah jelas
dan tidak lagi dibutuhkan proses panjang dalam mengambil kesimpulan
hukumnya. Namun dalam kenyataannya, ada beberapa masalah hukum yang
kita tidak menemukan dalilnya secara jelas, baik di dalam Al-Quran atau pun
di dalam As-Sunnah.

Oleh karena itu kemudian dibutuhkan ijtihad, yang dilakukan oleh


fuqaha yang memang ahli di bidang ijtihad.

2. Pengertian Mazhab
Jika kita membicarakan mengenai perbedaan pendapat di kalangan
ulama, maka tidak bisa lepas dari pembahasan tentang madzhab. Mazhab
adalah sesuatu yang menjadi pendapat imam atau ahli agama berkaitan dengan
hukum-hukum yang ijtihadiyah yang digali dari sumbernya. Dalam hal ini,
sumber mazhab diperoleh tidak lain dari Al Quran dan hadits.

Dilihat dari bahasanya, mazhab terbagi menjadi dua makna. Pertama


Mazhab adalah al mu’taqad yang berarti diyakini. Kedua mazhab adalah at-
thariqah yang bermakna jalan atau metode. Dari segi bahasa ini, dapat
dipahami bahwa mazhab adalah sesuatu yang diyakini atau berupa jalan
maupun metode untuk memahami hukum-hukum yang berlaku dalam agama
Islam.

B. Dasar Hukum Perbedaan Pendapat Para


Allah subhanahu wata'ala menciptakan manusia dengan berbagai variasi
warna kulit, bahasa, tabiat, dan bentuk tubuh. Dalam keragaman inilah terdapat

4
keindahan dan kesempurnaan. Dengan kata lain, perbedaan merupakan fitrah
dan kehendak Allah SWT. Allah berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 48:

ِ ‫ّللا لَ َج َعلَكهم أ ه َمة َواحِ دَة َولَكِن ِليَبله َوكهم فِي َما آتَاكهم فَاستَ ِبقهوا الخَي َرا‬
‫ت‬ ‫َولَو شَا َء َ ه‬

Artinya: “Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat


(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah
diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”

Allah SWT berfirman, "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut


kesanggupanmu." (QS. at-Taghabun: 16).

Rasulullah Saw bersabda, "Jika kamu diperintahkan dengan satu perkara,


maka kerjakanlah menurut kesanggupanmu." Dari penjelasan ini kita dapat
mengetahui bahwa para imam berjalan di atas petunjuk Tuhan mereka, dan
mengambil dari Al-Qur'an al-Karim dan sunah, yang mana keduanya
merupakan sumber dasar bagi hukum syariat dan fiqih. Namun para ulama
memiliki perbedaan dalam proses pemahaman Al-Quran dan sunnah sesuai
dengan kesanggupan pemahaman ilmu mereka, dan ini merupakan suatu hal
yang wajar.

C. Sebab-sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat


Adapun sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah:

1. Karena berbeda dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah baik
dalam Al-Qur'an maupun Hadits. Seperti lafal musytarak, makna haqiqat
(sesungguhnya) atau majaz (kiasan), dan lain-lainnya.
2. Karena berbeda tanggapannya terhadap Hadits. Ada Hadits yang sampai
kepada sebagian ulama, tetapi tidak sampai kepada ulama yang lain. Kalau
Hadits tersebut diketahui oleh semua ulama, sering terjadi sebagian ulama
menerimanya sebagai Hadits sahih, sedang yang lain menganggap dha'if,
dan lain sebagainya.
3. Berbeda dalam menanggapi kaidah-kaidah Ushul. Misalnya ada ulama yang
berpendapat bahwa lapal am yang sudah ditakh'sis itu bisa dijadikan hujah.

5
Demikian pula ada yang berpendapat segala macam mafhum tidak bisa
dijadikan hujah. Ulama-ulama yang berpendapat bahwa mahfum itu adalah
hujah, kemudian berbeda lagi tanggapannya terhadap mafhum mukhalafah.
4. Berbeda tanggapannya tentang ta'arudl (pertentangan antara dalil) dan tarjih
(menguatkan satu dalil atas dalil yang lain). Seperti: tentang nasakh dan
mansukh, tentang pentakwilan, dan lain sebagainya yang dibahas secara luas
dalam ilmu ushul Fiqh.
5. Berbeda pendapat dalam menetapkan dalil yang sifatnya ijtihadi. 2 Ulama
sepakat bahwa Al-Qur'an dan Al-Sunnah al-Shahihah adalah sumber hukum.
Tetapi berbeda pendapatnya tentang istihsan, al-maslahah al-mursalah,
pendapat sahabat, dan lain-lainnya yang digunakan dalam era berijtihad.
Sering pula terjadi, disepakati tentang dalilnya, tetapi penerapannya berbeda-
beda. sehingga mengakibatkan hukumnya berbeda pula. Misalnya tentang
Qiyas: Jumhur ulama berpendapat bahwa Qiyas adalah dalil yang bisa
digunakan. Tetapi dalam menetapkan illat hukum sering berbeda. Karena
adanya perbedaan dalam menentukan illat hukumnya, maka berbeda pula
dalam hukumnya.

D. Bolehkah Terjadi Perbedaan Pendapat


Bolehkan terjadi perbedaan pendapat?

1. Pendapat Yang Tidak Membolehkan

Bukankah syariat ini satu? Tapi kenapa terjadi perbedaan sehingga dalam
satu masalah ada pendapat lebih dari satu dan tidak satu pendapat antara
mazhab sehingga umat Islam lebih mudah mengambil pendapat, karena mereka
adalah umat yang satu? Sebab perbedaan antara mazhab fiqih dalam Islam
merupakan rahmat dan kemudahan bagi umat Islam. Khazanah kekayaan
syariat yang besar ini adalah kebanggaan dan izzah bagi umatnya. Tak pernah
kita dengar dalam sejarah Islam, perbedaan fiqih antara mazhab menyeret
mereka kepada konflik bersenjata yang mengancam kesatuan umat Islam.

6
Perbedaan dalam masalah akidah sesungguhnya yang dicela dan memecah
belah umat Islam serta melemahkan eksistensinya.

Pangkal perbedaan ulama adalah tingkat berbeda antara pemahaman


manusia dalam menangkap pesan dan makna, mengambil kesimpulan hukum,
menangkap rahasia syariat dan memahami illat hukum. Semua ini tidak
bertentangan dengan kesatuan sumber syariat. Karena syariat Islam tidak saling
bertentangan satu sama lainnya. Meski demikian tetap harus beramal dengan
salah satu pendapat yang ada untuk memudahkan manusia dalam beragama
sebab wahyu sudah terputus. Karena interpretasi ini yang menjadi pemicu dari
perbedaan.

2. Pendapat Yang Membolehkan

a. Perbedaan Pendapat Para Nabi

Perbedaan Pendapat Antara Nabi Musa dan Harun

Perselisihan itu bukan hanya sebatas perang kata- kata, bahkan sampai
Musa menarik rambut di kepala dan jenggot saudaranya itu dengan marah dan
kecewa. Sumber keributan antara keduanya berhulu ketika Nabi Musa SAW
dipanggil Allah SWT untuk menerima wahyu di atas bukit Thursina. Musa
menitipkan urusan kaumnya itu kepada saudaranya, Harun. Sehingga ketika
Musa kembali dari menghadap Allah SWT dan dilihatnya kaumnya seperti
itu, meledaklah marahnya.

Penting untuk kita garis-bawahi disini, bahwa Musa dan Harun,


keduanya adalah saudara, sama- sama diangkat menjadi Nabi untuk kaum
yang sama, yaitu kaum Yahudi. Tetapi pola pendekatan yang masing-masing
lakukan ternyata berbeda, dan terjadilah tarik menarik rambut dan jenggot di
antara mereka.

Perbedaan Pendapat Antara Musa dan Khidhir

7
Masih terkait dengan Nabi Musa lagi, kali ini beliau berbeda pandangan
dengan Nabi Khidhir alaihissalam. Kisahnya disebutkan juga di dalam Al-
Quran, meski tidak sampai keributan fisik.

Sebab saat itu posisi Nabi Musa bukan sebagai pemimpin, melainkan
sebagai murid yang sedang belajar untuk mendapatkan ilmu dari orang yang
derajatnya lebih tinggi. Dan begitulah, keduanya selalu berselisih dan beda
pendapat dalam perjalanan. Musa selalu mempertanyakan semua tindakan
shahabatnya itu, meski pada akhirnya beliau selalu harus dibuat mengerti.
Tetapi intinya, beda pemahaman itu adalah sesuatu yang wajar dan mungkin
terjadi, bahkan di kalangan sesama para nabi. Dan tidak ada kebenaran
tunggal dalam hal ini.

b. Perbedaan Pendapat Malaikat

Bahkan sesama malaikat yang mulia dan tanpa hawa nafsu sekali pun
tetap terjadi beda pendapat. Masih ingat kisah seorang yang taubat karena
telah membunuh 99 nyawa ditambah satu nyawa?

Dalam perjalanan menuju taubatnya, Allah mencabut nyawanya. Maka


berikhtilaflah dua malaikat tentang nasibnya. Malaikat kasih sayang ingin
membawanya ke surga lantaran kematiannya didahului dengan taubat
nashuha. Namun rekannya yang juga malaikat tetapi job-nya mengurusi orang
pendosa ingin membawanya ke neraka, lantaran masih banyak urusan dosa
yang belum diselesaikanya terkait dengan hutang nyawa.

Bayangkan, bahkan dua malaikat yang tidak punya kepentingan hewani,


tidak punya perasaan, tidak punya kepentingan terpendam, tetap saja
ditaqdirkan Allah SWT untuk berbeda pendapat.

c. Perbedaan Pendapat Nabi dan Sahabat

Posisi Pasukan

8
Dalam kasus penempatan pasukan perang di medan Badar, terjadi perbedaan
pendapat antara Rasulullah SAW dengan seorang shahabat. Menurut shahabat
yang ahli perang ini, pendapat Rasulullah SAW yang bukan berdasarkan
wahyu kurang tepat.

Tawanan Perang Badar

Masih dalam perang yang sama, saat perang hampir berakhir, muncul
keinginan di dalam diri Rasululah SAW untuk menghentikan peperangan dan
menjadikan lawan sebagai tawanan perang. Tindakan itu didasari oleh banyak
pertimbangan, selain itu juga karena saat itu belum ada ketentuan dari langit.
Maka Nabi SAW bermusyawarah dengan para shahabatnya dan diambil
keputusan untuk menawan dan meminta tebusan saja.

Saat itu hanya satu orang yang berbeda pendapat, yaitu Umar bin Al-
Khattab radhiyallahuanhu. Beliau tidak sepakat untuk menghentikan perang
dan meminta agar Nabi SAW meneruskan perang hingga musuh mati semua.
Tidak layak kita menghentikan perang begitu saja karena mengharapkan
kekayaan dan kasihan. Tentu saja pendapat seperti ini tidak diterima forum
musyarawah dan Rasulullah SAW serta para shahabat lain tetap pada
keputusan semula, hentikan perang.

Tidak lama kemudian turun wahyu yang membuat Rasulullah SAW


gemetar ketakutan, karena ayat itu justru membenarkan pendapat Umar bin
Al-Khattab radhiyallahuanhu dan menyalahkan semua pendapat yang ada.

d. Perbedaan pendapat para sahabat

Shalat Ashar di Perkampungan Bani Quraidhah

Dalam peristiwa Shalat Ashar di Perkampungan Bani Quraidhah, kita


dapat mengambil pelajaran berharga bahwa urusan khilafiyah tidak pernah
pandang bulu. Saat itu para shahabat terpecah dua, sebagian shalat Ashar di
perkampungan Bani Quraidhah, meski telah lewat Maghrib, karena pesan
Nabi adalah, Janganlah ada seorang pun yang Shalat Ashar kecuali di

9
Perkampungan Bani Quraidhah. Beliau tidak menyalahkan kelompok mana
pun karena keduanya telah melakukan ijtihad dan taat kepada perintah. tidak
ada dosa atas mereka yang sudah berijtihad, karena Rasulullah SAW tidak
mencela salah satu dari dua kelompok shahabat tersebut.

Satu kelompok menyatakan bahwa yang benar adalah mereka yang


menundanya. Dan kita tidak mengerjakannya kecuali di perkampungan Bani
Quraizhah karena mengikuti perintah beliau sekaligus meninggalkan takwilan
yang bertentangan dengan dzahir hadits tersebut. Yang lain mengatakan
bahwa yang benar adalah yang melakukan shalat di jalan, pada waktunya.
Mereka memperoleh dua keutamaan; bersegera mengerjakan perintah untuk
berangkat menuju Bani Quraizhah dan segera menuju keridhaan Allah SWT
dengan mendirikan shalat pada waktunya lalu menyusul rombongan.

Sedangkan mereka yang mengakhirkan shalat `Ashar paling mungkin


adalah mereka udzur, bahkan menerima satu pahala karena bersandar kepada
dzahir dalil tersebut. Tapi untuk dikatakan bahwa mereka benar, sementara
yang segera mengerjakan shalat dan berangkat jihad adalah salah, adalah tidak
mungkin.

e. Perbedaan Pendapat Kalangan Ulama

Sebagian dari mereka mengerjakan qunut pada shalat shubuh dan


menetapkan hukumnya sunnah muakkadah, sementara sebagian lain
menetapkan hukumnya bid'ah. Sebagian dari mereka menganggap muntah,
mimisan dan berbekam membatalkan wudhu, sebagian lagi mengatakan tidak
batal, sehingga tetap melakukan shalat meski hal-hal seperti itu terjadi. Abu
Yusuf berpendapat bahwa bekam itu membatalkan wudhu', namun beliau
tetap melakukan shalat dengan bermakmum kepada Khalifah Harun Ar-
Rasyid, padahal sang khalifah ketika selesai berbekam langsung mengimami
shalat tanpa berwudhu' kembali. Namun demikian, beliau tetap membolehkan
shalat di belakang imam yang mimisan atau berbekam.

10
Beliau menjawab,"Apakah harus dilarang shalat di belakang Al-Imam
Malik dan Said ibnu Al-Musayyib?" Keduanya berfatwa bahwa bekam dan
mimisan tidak membatalkan shalat, dan Al-Imam Ahmad tetap menghormati
pendapat keduanya. Namun beliau sengaja meninggalkan qunut ketika shalat
di masjid dekat dengan maqam Al-Imam Abu Hanifah. Ketika ditanya kenapa
saat itu meninggalkan qunut pada shalat shubuh, beliau menjawab,"Apakah
saya harus menentang Abu hanifah di hadapan beliau?”

E. Hikmah Perbedaan Pendapat


1. Agar kita bisa berlomba-lomba dalam kebaikan, siapa yang paling baik
amalnya.
QS. Al-Baqarah/2:148
‫ع ٰلى كه ِل شَيء قَدِير‬ ‫ت بِكه هم ٰ ه‬
َ ٰ َ‫ّللا َجمِيعا اِن‬
َ ‫ّللا‬ ِ ‫َو ِلكهل ِوج َهة ه َهو هم َولِي َها فَاستَبِقهوا الخَي ٰر‬
ِ ‫ت اَينَ َما تَكهونهوا يَأ‬
Artinya : “Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya.
Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada,
pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa
atas segala sesuatu.

2. Agar kita bisa saling membantu dalam kebaikan dan taqwa


(ta’awun/kolaborasi)

QS. Al-Maidah/5:2

ۤ ٰٓ َ
َ‫ام َيبتَغهون‬َ ‫ل ٰا ِمينَ ال َبيتَ ال َح َر‬ ‫ي َو َل القَ َ ۤال ِٕىدَ َو‬
َ ‫ام َو َل ال َهد‬ ِ ٰ ‫ٰ ٰٓياَيُّ َها الَذِينَ ٰا َمنهوا َل تهحِ لُّوا َش َع ۤا ِٕى َر‬
َ ‫ّللا َو َل ال َشه َر ال َح َر‬
َ ‫صدُّوكهم‬
‫ع ِن ال َمس ِج ِد ال َح َر ِام اَن‬ َ ‫طادهوا َو َل َيج ِر َمنَكهم َشن َٰانه قَوم اَن‬ َ ‫فَضال مِ ن َر ِب ِهم َو ِرض َوانا َواِذَا َحلَلتهم فَاص‬
ِ ‫ّللا َشدِيده ال ِعقَا‬
‫ب‬ َ ٰ َ‫ّللا اِن‬ ِ ‫علَى الِث ِم َوالعهد َو‬
َ ٰ ‫ان َواتَقهوا‬ َ ‫اونهوا‬ َ ‫تَعتَد ْۘهوا َوتَعَ َاونهوا‬
َ َ‫علَى البِ ِر َوالتَق ٰوى َو َل تَع‬

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar


syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan
haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qala'id
(hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu
orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan
keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka

11
bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum
karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu
berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah
sangat berat siksaan-Nya".

3. Agar kita bisa saling menghormati dalam kehidupan (tasamuh atau toleransi)

QS. Al-Baqarah/2:139

ِ ٰ ‫قهل اَت ه َح ۤاجُّونَنَا فِى‬


‫ّللا َوه َهو َربُّنَا َو َربُّكهم َولَنَا ٰٓ اَع َمالهنَا َولَكهم اَع َمالهكهم َونَحنه لَه همخ ِل ه‬
َ‫صون‬

Artinya: Katakanlah (Muhammad), “Apakah kamu hendak berdebat dengan


kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi
kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu, dan hanya kepada-Nya kami
dengan tulus mengabdikan diri.

4. Agar kita bisa mendapatkan kemudahan dan kesuksesan dalam kebaikan

QS. Al-Baqarah/2:18

‫صمهه‬ ‫ان فَ َمن َش ِهدَ مِ نكه هم ال َشه َر فَليَ ه‬ ِ َ‫اس َوبَيِ ٰنت مِ نَ ال هه ٰدى َوالفهرق‬ ِ َ‫ِي اهن ِز َل فِي ِه القهر ٰانه ههدى ِللن‬
ٰٓ ‫ضانَ الَذ‬
َ ‫شَه هر َر َم‬
‫ع ٰلى َسفَر فَ ِعدَة مِ ن اَيَام اهخ ََر ي ِهريده ٰ ه‬
َ‫ّللا بِكه هم اليهس َر َو َل ي ِهريده بِكه هم العهس َر َو ِلتهكمِ لهوا ال ِعدَة‬ َ ‫َو َمن كَانَ َم ِريضا اَو‬
َ‫ع ٰلى َما هَ ٰدىكهم َولَ َعلَكهم تَشكه هرون‬ َ ٰ ‫َو ِلتهك َِب هروا‬
َ ‫ّللا‬

Artinya : Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-


Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu,
barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib
menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan

12
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu
bersyukur.

F. Batas Kebolehan Perbedaan Pendapat


Meski pun berbeda pendapat itu dibolehkan, namun tetap ada batasan
dimana kebolehan itu berlaku. Di luar garis yang telah dibolehkan, maka
perbedaan pendapat itu menjadi tidak produktif lagi.

1. Masalah Cabang dan Bukan Fundamental

Kita sering membagi tema agama menjadi dua, yaitu hal-hal yang
bertema aqidah dan syariah. Di dalam tema aqidah, kita menemukan wilayah
dasar dan wilayah cabang, sebagaimana di dalam tema syariah pun kita
menemukan ada yang berada di wilayah dasar dan cabang.

Perbedaan pendapat di kalangan ulama hanya diperbolehkan bila berada


di wilayah cabang, baik dalam tema aqidah maupun dalam tema fiqih..

Contoh tema aqidah yang merupakan dasar adalah kita beriman bahwa
Allah SWT bersifat Esa tidak berbilang dan tidak ada yang menyamai Dirinya.

Sedangkan tema aqidah tapi wilayah cabang adalah apa saja yang
termasuk nama dan sifat Allah. Seperti apa yang dimaksud dengan kursi Allah,
termasuk juga masalah wajah, tangan, kaki, dan lainnya. Para ulama boleh
berbeda pendapat dalam masalah cabang seperti ini dan tidak akan membuat
mereka menjadi kafir atau masuk neraka.

2. Beda Pendapat Bukan Perpecahan

Yang juga seringkali kurang dipahami oleh banyak orang adalah kesan
bahwa perbedaan pendapat pada tingkat cabang berarti perpecahan. Padahal
antara perbedaan pendapat dengan perpecahan masih ada jarak yang sangat
jauh, bagi mereka yang tahu aturan main.

Memang terkadang orang-orang yang kurang ilmunya memandang bahwa


perbedaan pendapat itu harus bermakna perpecahan. Karena berbeda pendapat

13
dalam batas-batas tertentu dibenarkan, tetapi berpecah-belah itu diharamkan.
Dan haramkan berpecah-belah itu ditegaskan di dalam Al-Quran.

‫ّللا َجمِ يعا َو َل تَف ََرقهوا‬


ِ ٰ ‫َص هموا ِب َحب ِل‬
ِ ‫َواعت‬

Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai (QS. Ali Imran: 103)

Perpecahan di dalam masalah fundamental agama pernah dialami oleh


umat sebelum kita, yaitu para ahli kitab, baik yahudi maupun nasrani, Mereka
adalah contoh yang tidak baik dan tidak boleh ditiru Oleh karena itu Allah SWT
telah berpesan agar kita jangan terperosok sebagaimana mereka terperosok

3. Beda Pendapat Bukan Permusuhan

Perbedaan pendapat yang diharamkan adalah yang melahirkan


permusuhan dengan sesama muslim, apalagi sesama para ulama dan juru
dakwah. Kalau pun secara lahiriyah terpaksa umat ini berpisah, tidak berada
dalam satu kelompok atau jamaah, minimal mereka tidak boleh bermusuhan.
Sebab permusuhan itu akan sangat melemahkan umat, sebaliknya lawan akan
nampak semakin tangguh.

‫ار هر َح َم ۤا هء بَينَ ههم‬ َ ‫ّللا َوالَذِينَ َم َعهٰٓ اَشِ د َۤا هء‬


ِ َ‫علَى الكهف‬ ِ ٰ ‫هم َح َمد َرسهو هل‬

Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama
dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang
sesama mereka. (QS. Al-Fath:29)

Maka sepanas apapun berbedaan pendapat di antara sesama umat Islam,


tidak boleh sampai terjadi permusuhan, dendam, atau pun tindakan-tindakan
anarkis.

4. Adab dan Akhlaq Perbedaan Pendapat


a. Tidak Mencaci

14
Perilaku tidak terpuji dari mereka yang berbeda pendapat adalah
melontarkan makian, hinaan dan cemoohan kepada pihak yang pendapatnya
tidak sejalan dengan pendapat mereka.
Sayangnya, kita masih sering membaca atau mendengar ungkapan-ungkapan
yang kurang simpatik dari mereka yang berbeda pendapat, seperti ungkapan
berikut :

Pendapat ini tidak keluar kecuali dari mulut orang-orang yang bodoh,
dungu dan tidak berilmu Mereka yang berpendapat seperti ini tidak lain
hanyalah sekumpulan orang-orang bodoh, dungu, sesat, tidak punya akal
dan ideot.

Pendapat ini tidak keluar kecuali dari orang-orang yang lemah iman,
tidak punya keteguhan hati, serta orang-orang yang jiwana mudah
terbawa
nafsu duniawi.

Di antara adab mulia yang wajib dilakukan oleh mereka yang berbeda
pendapat adalah bukan dengan langsung mengeluarkan vonis yang
menjatuhkan, apalagi menghina. Masih ada begitu banyak ungkapan yang lebi
sopan dan halus, seperti ungkapan :

Meski tidak menolak, namun saya lebih cenderung pada pendapat yang
berbeda.Pendapat ini tidak sepenuhnya salah, namun menurut hemat
saya agak kurang sesuai dengan situasinya.

Dalam masalah ini para ulama memang berbeda pendapat, ada yang
berpendapat A, B atau C. Tanpa mengurangi rasa hormat pada
pendapat lain, saya agak cenderung sependapat dengan pendapat C.

15
Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada beliau, namun rasanya
pendapat beliau ini kurang tepat, wallahua'lam.

b. Mengutip Dengan Lengkap


Salah satu adab dalam berbeda pendapat adalah tidak langsung
menyalahkan pendapat orang lain, tetapi etikanya harus dikutipkan dulu apa
yang menjadi pendapat orang, serta dilengkapi dengan alasan dan
argumentasinya.
Dan yang lebih tepat lagi adalah mencoba membenarkan pendapat itu
sebagai hasil sebuah ijtihad, lalu menampilkan pendapat yang berbeda, juga
lengkap dengan dalil dan argumentasinya.
Dua pendapat yang berbeda ini harus secara jujur dikemukakan dengan adil dan
seimbang, tanpa harus menambahi atau mengurangi. Disini wajib ada amanah
ilmiyah, yang harus dipertanggung-jawabkan.
Sehingga para dasarnya kita tidak asal melakukan tuduhan atau melempar
kesalahan orang lain. Yang kita lakukan sekedar memberikan penilaian, yang
kita upayakan seobjektif mungkin, tanpa diiringi dengan fanatisme buta.

c. Tidak Mendominasi Kebenaran


Terakhir, barulah kita boleh memberikan penilaian yang bersifat subjektif,
serta dilengkapi dengan ungkapan yang sopan dan beretika. Juga akan menjadi
lebih baik bila kita sampaikan juga bahwa pendapat yang kita pilih ini bukan
kebenaran yang bersifat mutlak, tetapi bisa saja salah. Sementara pendapat yang
ditolak, bukan berarti pendapat itu salah atau menyesatkan. Pendapat itu bisa
saja menjadi benar. Dan kebenaran hanya milik Allah, atau dengan ungkapan
wallahu’alam

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam adalah agama yang haq, dilaksanakan berdasarkan keimanan dan
ketakwaan yang murni, dibangun atas dasar firman Allah dan sunnah
Rasulullah, dan dipelihara oleh ukhuwwah dan keharmonisan umat yang
terhormat.
Agama ini sangat menjunjung tinggi peran akal, menghormati perbedaan
pendapat yang bermanfaat bagi khazanah ilmiah Islamiah, perbedaan yang
berorientasi kepada kebenaran. Allah dan rasulNya mencela perbedaan atau
ikhtilaf yang berujung khilaf atau permusuhan dan perpecahan, melarang
ikhtilaf yang bertujuan mencari kemenangan dan melumpuhkan kawan seiman.
Muslimin ruhama bainahum wa asyidda ‘ala al-kuffar, harmonis dan berkasih
sayang antar sesama, tegas dan berani menumpas orang-orang kafir yang
memusuhi dan ingin menghancurkan Islam, dari luar maupun dalam.
Muslimin seyogianya semaksimal mungkin menahan diri dari segala
ikhtilaf dan perbedaan, jangan suka berbanyak tanya dan memperdebatkan
masalah-masalah yang tidak berguna untuk kemajuan dan kemaslahatan umat.
Kalau pun harus berbeda, dan perbedaan itu masih dalam batas kebolehan,
maka sikap yang paling arif dan bijaksana adalah setuju dalam perbedaan dan
tetap membangun serta menjaga ukhuwwah Islamiah dalam ketidakseragaman.

B. Saran
Demikianlah makalah yang kami buat ini, Semoga bermanfaat dan
menambah pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada
kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas,dan kurang
dimengerti. Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan
dan kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah tentang Perbedaan pendapat Para

17
DAFTAR PUSTAKA

Sarwat, Ahmad. 2019. Perbedaan Pendapat Ulama. Jakarta Selatan: Kuningan

Setiabudi

Prof. H. A. Djazuli. 2006. Ilmu Fiqh : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan

Hukum Islam. Jakarta : Kencana

Abdillah, N. 2014. Madzhab Dan Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan. Fikroh:

Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam

Dr. Ahmad asy-Syarbashi. 2008. Yas’alunaka. Jakarta : Lentera

HUMAS MASJID ISTIQLAL. (2021). Beranda | Masjid Istiqlal. Diakses 21,Oktober,


2022, dari istiqlal.or.id website: https://istiqlal.or.id/blog/detail/memahami-
perbedaan-pendapat-dalam-bingkai-persatuan-umat.html
Mahbib Khoiron. (2018, March 6). Sebab-sebab Perbedaan Pendapat Ulama (1).
Diakses. 21, Oktober 2022, dari.nu.or.id website: https://islam.nu.or.id/fiqih-
perbandingan/sebab-sebab-perbedaan-pendapat-ulama-1-gig1z

18

Anda mungkin juga menyukai