USHUL FIQIH
SUMBER HUKUM IJMA
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Perkuliahan Fiqih Ibadah
Dosen pengampu: Moh. Yusuf Saepuloh Jamal, M. Ag
Disusun Oleh:
Ade Luqman Saeful Hakim (2121004)
M.Pahmi Labib (2121004)
Siti Puadah (2121016)
Mira Mustika Sari (2121032)
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ijma‟ adalah salah satu dalil syara‟ yang memiliki tingkat kekuatan
argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur‟an dan Hadits) ia merupakan dalil
pertama setelah Al-Qur‟an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali
hukum-hukum syara‟ Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan
adanya ijma‟ itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur‟an dan Al
Hadits, mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri
(Al-Qur‟an dan Hadits).
Ijma‟ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk
menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk
berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat
pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah
disepakati. Terkait dengan ijma‟ ini masih banyak komonitas diantaranya, sebagian
mahasiswa yang masih minim dalam memahami ijma‟ itu sendiri maka dari itu kami
penulis akan membahas tentang ijma‟ dan dirumuskan dalam rumusan masalah
dibawah ini.
2.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Ijma
2. Untuk mengetahui dan memahami Syarat-syarat Ijma
3. Untuk mengetahui Macam – macam Ijma
4. Untuk mengetahui Kehujjahan Ijma' menurut pandangan para ulama
5. Untuk mengetahui kedudukan Ijma' dalam dalil hukum
6. Untuk mengetahui contoh ijma'
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ijma
" Ijma" artinya persetujuan bersama putusan bersama atau konsensus. Ijma menurut
istilah Ushul fiqh adalah : "Bersepakatnya para Mujtahid umat nabi Muhammad SAW setelah
wafatnya, pada suatu masa dari beberapa masa terhadap suatu perkara dari beberapa perkara.
Apabila dalam masalah-masalah yang diijmakan yang kebetulan hanya sebagian
ulama menyetujui nya, maka menurut pendapat sebagian ulama boleh dijadikan hujjah dan
dianggap sebagai ijma. Sedangkan sebagian lain berpendapat, boleh dijadikan hujjah tetapi
tidak bisa dianggap sebagai ijma.1
2.2 Syarat-syarat Ijma2
1. Adanya kesepakatan
Artinya dalam sebuah ijma harus ada kasepakatan antara semua peserta ijma. Yaitu
semua peserta ijma harus sepakat atas satu pendapat, baik ditunjukan dengan ucapan maupun
perbuatan. Bila sebagian Mujtahid bersepakat dan yang lain tidak, meskipun sedikit, maka
menurut jumhur, hal tersebut tidak bisa dikatakan ijma. Karena ijma itu harus mencakup
keseluruhan Mujtahid.
Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar
Mujtahid, 3karena yang dimaksud kesepakatan ijma termasuk pula kesepakatan sebagian
besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup
hukum keseluruhan.
2. Para Mujtahid
Ini adalah syarat terpenting dimana orang yang melakukan ijma harus mencapai
derajat mujtahid. Artinya tidak semua ulama diperhitungkan pendapatnya dalam sebuah ijma.
Para ulama berselisih faham tentang istilah Mujtahid, secara umum Mujtahid itu
diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengisbatkan hukum dari
dalil-dalil syara. Dalam kitab jam'ul jawani disebutkan bahwa yang dimaksud Mujtahid
adalah orang yang faqih. Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan
bahwa yang dimaksud Mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal mempunyai sifat
terpuji dan mampu mengisbatkan hukum dari sumbernya.
1 Basiq Djalil, ilmu ushul fiqih, cet.1 kencana, Jakarta, 2010, hlm.183.
2 Juaya S. Praja, ilmu Ushul fiqih, pustaka setia, Bandung, 2010, hlm.70.
2
Dengan demikian kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum
mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma, begitu pula penolakan mereka. Karena
mereka tidak ahli dalam menelaah hukum-hukum syara.
Maka, apabila dalam suatu masa tidak ada seorang pun yang mencapai derajat
mujtahid, tidak akan terjadi ijma. Meskipun ada, tetapi hanya satu orang, itupun tidak bisa
dikatakan ijma, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya. Dengan
demikian, suatu kesepakatan bisa dikatakan ijma bila dilakukan oleh tiga orang atau lebih.
Adapun kesepakatan yang dilakukan oleh dua orang, para ulama berbeda pendapat. Ada yang
menyatakan bahwa hal itu tidak bisa dikatakan ijma. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, hal
itu termasuk ijma, karena mewakili kesepakatan seluruh Mujtahid yang ada pada masa itu.
4 Juaya S. Praja, ilmu Ushul fiqih, pustaka setia, Bandung, 2010, hlm.72.
3
Maksudnya, semua Mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing. Kemudian
menyepakati salah satunya.
Hal itu bisa terjadi bila semua Mujtahid berkumpul disuatu tempat, kemudian masing-
masing mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang ingin diketahui ketetapan hukumnya.
Setelah itu, mereka menyepakati salah satu dari berbagai pendapat yang mereka keluarkan
tersebut.
Selain itu, busa juga pada suatu masa timbul suatu kejadian. Kemudian seorang
mujahid memberikan fatwa tentang kejadian itu. Mujtahid kedua berfataa seperti fatwanya
Mujtahid pertama. Dan Mujtahid ketiga mengamalkan apa yang telah difatwakan tersebut,
begitu seterusnya sehingga semua Mujtahid menyepakati pendapat tersebut.
2. Ijma' Sukuti
Adalah pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para Mujtahid
lainnya. tapi mereka diam, tidak meyepakati ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas.
Ijma Sukuti dikatakan sah bila memenuhi beberapa kriteria dibawah ini :
a) Diamnya para Mujtahid itu betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan atau
penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukan adanya kesepakatan yang
dilakukan oleh sebagian Mujtahid. Maka tidak dikatakan ijma'sukuti melainkan
ijma'sharih. Begitu pula bila terdapat tanda-tanda penolakan yang dikemukakan oleh
sebagian Mujtahid, itupun bukan ijma.
b) Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan
permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukakan pendapatnya.
Namun, perlu diingat bahwa tidak mungkin menentukan lamanya waktu bagi seorang
Mujtahid untuk mengeluarkan fatwanya, karena setiap Mujtahid memerlukan waktu
yang berbeda, cepat atau lambat, dalam mengeluarkan fatwanya
c) Permasalahan yang difatwakan oleh Mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi,
yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Adapun, tentang permasalahan
yang tidak boleh 5diijtihadi, atau yang bersumberkan dalik-dalil qath'i, apabila
seorang Mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang kuat, sedangkan
yang lainnya diam, hal itu tidak bisa disebut ijma. Karena diamnya mereka tidak bisa
dikatakan menyepakati, melainkan meremehka. Pemberi fatwa tersebut karena
ilmunya masih dangkal.
6 Juaya S. Praja, ilmu Ushul fiqih, pustaka setia, Bandung, 2010, hlm.73.
4
juga baik. Oleh karena itu, amal perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat
dijadikanargumentasi.
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma‟, misalnya,
apakahijma‟ itu hujjah syar‟i? Apakah ijma‟ itu merupakan landasan usul fiqh atau bukan?
Bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma‟?
Dan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ulama‟ berbeda pendapat,
Al-Qardawi berpendapat bahwa orang-orang hawn tidak menjadikan ijma‟ itu sebagaihujjah,
bahkan dalam sejarahnya dia mengatakan bahwa ijma‟ itu bukan hujjah secaramutlak.
Menurut Al-maidi, para ulama‟ telah sepakat mengenai ijma‟ sebagai hujjah ygn
wajibdiamalkan, pemdapat tersebut bertentangan dengan syariat, khawarij dan Nizam dari
golongan mutazilah. Al-Hajib berkata bahwa ijma‟ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat
Nizam, Khawarij dan syiah. Adapun Ar-"ahawi berpendapat bahwa ijma‟ itu pada dasarnya
adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab Qwa‟idul usul dan ma'qidul usul dikatakan bahwa ijma
hujjahpada setiap masa. Namun pendapat itu ditentang oleh "Daut" yang mengatakan
bahwaijma‟ itu hanya terjadi pada masa sahabat.
Kehujjahan ijma‟ juga berkaitan erat dengan jenis ijma‟ itu merupakan sendiri, yaitu
sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijam‟ akan
ditinjauberdasarkan pembagian ijma‟ itu sendiri.
1. Kehujjahan ijma‟ sharih
Jumhur telah sepakat bahwa ijma‟ sharih itu merupakan hujjah secar qath‟i, wajib
mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma‟ pada suatu
permasalahan maka ita menjadi hukum qath‟i yang tidak boleh ditentang, dan menjadi
masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi.
Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhur Firman Allah SWT dalam surat Annisa‟ ayat
115. Artinya : Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mu‟min, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahanam, dan jahanam ituseburuk-
buruk tempat kembali. (Qs.An-Nisa‟ 115)
Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka yang
tidak mengikuti jalannya orang-orang mu‟min. Disebutkan bahwa mereka akan dimasukkan
ke neraka jahanam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu menunjukkan
bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah batil dan haram
diikut. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang mu‟min adalah hak dan wajib
diikuti.
2. Khujjahan ijma‟ sukuti
Ijma‟ Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian
dari mereka tidak memandang ijma‟ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak mengatakan sebagai
ijma‟. Diantara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam Syafi'i yang menyebutkan hal
tersebut dalam berbagai pendapatnya.
5
Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati
sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtihad pada satu
masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap
mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath‟I atau zanni. Jika demikian adanya,
tidak bisa dihalalkan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid, berarti tidak bisa dikatakan
ijma‟ ataupun dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golong Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa
ijma‟sukuti merupakan hujjah qat‟i seperti halnya ijma‟ sharih. Alasan mereka adalah
diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat
yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya
ijma‟sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka terhadap hukum.
Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qath‟i karena alasannya juga
menunjukkan adanya ijma‟ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma‟ sharih.
6
kesepakatan dalam suatu umat, maka kesepakatan itu pasti diambil yang paling baik dan yang
paling benar. Artinya kesepakatan itu terjaga dari kesalahan dan dijaga kebenarannya. Dalam
hal urusan apapun, ketika kesepakatan itu dilakukan secara bersama, maka akan terjaga dari
kesalahan.
Dari penjelasan hadist diatas, menegaskan bahwa ijma‟ itu terpelihara dari
kesalahannya. Artinya bahwa kesepakatan didalam ijma‟ itu mengandung kebenaran yang
telah dijamin oleh Rasulullah SAW. Dalam hadist tersebut telah menjamin bahwa
kesepakatan yang diambil oleh umat Muhammad SAW. telah dijamin kebenarannya oleh
Allah SWT.
Menurut pendapat jumhur ulama‟ ini, dalil yang telah ditetapkan oleh ulama‟ pada
generasi tertentu, tidak boleh direvisi atau dibahas oleh generasi yang selanjutnya. Karena
ijma‟ yang telah ditetapkan sudah menjadi kesepakatan bersama dan sifatnya qath‟i (pasti)
sebagai hujjah. Dalil Ijma‟ tersebut kedudukannya nomor tiga setelah al-Qur‟an dan sunnah.
Jelasnya bahwa dilihat dari sisi proses pembuatannya, Ijma itu dihasilkan oleh para
mujtahid, karena itu merupakan salah satu bentuk-bentuk ijtihad. Tetapi apabila dilihat dari
sisi-sisi hukum yang dihasilkan dengan konsensus para ulama yang harus ditaati oleh seluruh
kaum muslimin, maka ijma ini sering ditempatkan sebagai sumber hukum yang ketiga
sesudah Alquran dan as-sunah.7
7 Djazuli, ilmu fiqh, cet.6 Prenada Media Group. Jakarta. 2006. Hlm.77
7
adalah kesepakatan para ulama‟ tentang keharaman menikahi nenek dan cucu
perempuan berdasarkan Q.S An-Nisa‟ ayat 23. Para ulama sepakat bahwa kata
ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek,
sedangkan kata banat (anak-anak wanita) dalam ayat tersebut mencakup anak
perempuan dan cucu perempuan.
6. Kepakatan ulama atas keharaman minyak babi yang di qiyaskan atas keharaman
dagingnya.
7. Shalat tarawih adalah shalat dilakukan sesudah sholat isya‟ sampai waktu fajar.
Bilangan rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah 8 rakaat. Umar bin
Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bin Khattab ini disepakati
oleh ijma‟. Ijma‟ ini tergolong ijma‟ fi'ly dari Khulafaur Rosyidin.
8. Para ulama mujtahid sepakat bahwa jual beli dihalalkan, sedangkan riba diharamkan.
9. Para imam madzhab sepakat atas keharaman ghasab (merampas hak orang lain).
10. Jual beli madhamin (jual beli hewan yang masih dalam perut) menurut jumhur
ulama‟tidak dibolehkan. Alasannya adalah mengandung unsur gharar (yang belum
jelas barangnya).
11. Para sahabat di zaman Umar bin khattab bersepakat menjadikan hukuman dera
sebanyak 80 kali bagi orang yang meminum-minuman keras. Ijma‟ tersebut termasuk
dzanni.
12. Ijma‟ sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya mengangkat seorang imam
atau khalifah untuk menggantikan Rasulullah dalam mengurusi urusan Daulah
Islamiyah yang menyangkut urusan agama dan dunia yang disepakati oleh para
sahabat di Saqifah Bani Sa‟idah.
13. Hak menerima waris atas kakek bersama-sama dengan anak, apabila seseorang
meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris (yakni ) anak dan kakek. Kakek ketika
tidak ada bapak bisa menggantikan posisinya dalam penerimaan warisan, sehingga
bisa menerima warisan seperenam harta sebagaimana yang diperoleh bapak, meski
terdapat anak dari orang yang meninggal.
14. Para imam madzhab sepakat bahwa antara kerbau dan sapi adalah sama dalam
perhitungan zakatnya.
15. Ulama‟ sepakat tentang dibolehkannya daging dhob karena sahabat sepakat bahwa
diamnya nabi adalah membolehkan.
16. Ijma‟ tentang pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah karena mengiaskan kepada
penunjukan Abu Bakar oleh Nabi menjadi imam shalat ketika Nabi sedang
berhalangan.
17. Ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan semua rukun
islam.
18. Para ulama sepakat bahwa zakat fitrah adalah wajib
8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas tentang Ijma' dapat disimpulkan bahwa : Ijma' adalah kesepakatan
para Mujtahid umat dalam nabi Muhammad saw. Dalam menyelesaikan masalah hukum
Syara' . Ijma' bisa terjadi bila memenuhi kriteria kriterianya. Seperti adanya kesepakatan,
yang bersepakat seluruh Mujtahid, dilakukan setelah wafatnya nabi Muhammad dan
kesepakatan itu harus berhubungan dengan syari'at. Dilihat dari cara terjadinya Ijma' terbagi
menjadi 2 macam yaitu Ijma' sharih dan Ijma' sukuti.
3.2 Saran
Demikianlah makalah tentang "sumber hukum ijma" ini kami buat. semoga Makalah
ini dapat diterima dan dipahami oleh para pembaca dan juga membawa manfaat dan dapat
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. kepada semua pembaca khususnya mahasiswa atau
siapa saja yang menyempatkan membaca makalah ini bila mendapat kekeliruan terhadap
materi kami harap bisa meluruskannya dan memakluminya maka kami banyak berharap
kepada para pembaca untuk Tidak segan memberi kritik saran masukan yang membangun
kepada kami.
9
DAFTAR PUSTAKA
Syafe'i Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Cet.IV (CV. Pustaka Setia)
Djazuli, _Ilmu Fiqh_, cet.6 Prenada Media Group. Jakarta. 2006. Hlm.77
http://repository.ung.ac.id/get/simlit_res/1/316/kedudukan-ijma-sebagai-dalil-hukum-
terhadap-fatwa-ekonomi-islam-kontempoter-di-indonesia.pdf
https://www.kompasiana.com/amp/misbah.kompasiana/kedudukan-ijma-sebagai-dalil-
hukum_54f8fc29a333116c5d8b4628#aoh=16491599099569&referrer=https%3A%2F%2
Fwww.google.com&_tf=Dari%20%251%24s
https://www.academia.edu/34671663/Contoh_Contoh_Ijma
10