Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

USHUL FIQIH
SUMBER HUKUM IJMA
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Perkuliahan Fiqih Ibadah
Dosen pengampu: Moh. Yusuf Saepuloh Jamal, M. Ag

Disusun Oleh:
Ade Luqman Saeful Hakim (2121004)
M.Pahmi Labib (2121004)
Siti Puadah (2121016)
Mira Mustika Sari (2121032)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM LATHIFAT MUBAROKIYAH
PONDOK PESANTREN SURYALAYA
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena berkat hidayah-Nya kami
dapat menyelesaikan karya tulis ini tepat pada waktunya. Shalawat beserta salam semoga
terlimpah curahkan kepada pimpinan alam yakni Nabi Muhammad SAW, kepada
keluarganya, kepada sahabatnya dan semoga sampai kepada kita selaku umatnya yang
senantiasa taat dan patuh pada ajarannya hingga akhir zaman aamiin.
Makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas pada mata perkuliahan Ushul Fiqih.
Makalah ini membahas tentang”Sumber Hukum Ijma” dalam menyelesaikan karya tulis ini,
kami ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan,
bimbingan dan arahan dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kami sangat berharap pada rekan-rekan pembaca berkenan memberikan kritik dan
saran yang positif untuk perbaikan dimasa yang akan datang.

Tasikmalaya, 03 April 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i


DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
2,1 Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
2.2 Tujuan .............................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 2
2.1 Pengertian Ijma ................................................................................................ 2
2.2. Syarat-Syarat Ijma .......................................................................................... 2
2.3 Macam-macam Ijma ......................................................................................... 3
2.4 Kehujjahan Ijma' Menurut Pandangan Para Ulama ......................................... 4
2.5 Kedudukan Ijma sebagai dalil hukum ………………………………………. 6
2.6 Contoh-contoh Ijma………………………………………………………….. 7
BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 9
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 9
3.2 Saran …………………………………………………………………………. 9
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ijma‟ adalah salah satu dalil syara‟ yang memiliki tingkat kekuatan
argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-Qur‟an dan Hadits) ia merupakan dalil
pertama setelah Al-Qur‟an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali
hukum-hukum syara‟ Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan
adanya ijma‟ itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur‟an dan Al
Hadits, mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri
(Al-Qur‟an dan Hadits).
Ijma‟ muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk
menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.
“Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk
berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka telah sepakat
pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah
disepakati. Terkait dengan ijma‟ ini masih banyak komonitas diantaranya, sebagian
mahasiswa yang masih minim dalam memahami ijma‟ itu sendiri maka dari itu kami
penulis akan membahas tentang ijma‟ dan dirumuskan dalam rumusan masalah
dibawah ini.

2.1 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian Ijma?
2. Apa saja syarat-syarat ijma?
3. Apa saja macam – macam ijma?
4. Bagaimana Kehujjahan Ijma' menurut pandangan para ulama?
5. Apa kedudukan Ijma' dalam pandangan para ulama?
6. Apa saja contoh ijma'?

2.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Ijma
2. Untuk mengetahui dan memahami Syarat-syarat Ijma
3. Untuk mengetahui Macam – macam Ijma
4. Untuk mengetahui Kehujjahan Ijma' menurut pandangan para ulama
5. Untuk mengetahui kedudukan Ijma' dalam dalil hukum
6. Untuk mengetahui contoh ijma'
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ijma
" Ijma" artinya persetujuan bersama putusan bersama atau konsensus. Ijma menurut
istilah Ushul fiqh adalah : "Bersepakatnya para Mujtahid umat nabi Muhammad SAW setelah
wafatnya, pada suatu masa dari beberapa masa terhadap suatu perkara dari beberapa perkara.
Apabila dalam masalah-masalah yang diijmakan yang kebetulan hanya sebagian
ulama menyetujui nya, maka menurut pendapat sebagian ulama boleh dijadikan hujjah dan
dianggap sebagai ijma. Sedangkan sebagian lain berpendapat, boleh dijadikan hujjah tetapi
tidak bisa dianggap sebagai ijma.1
2.2 Syarat-syarat Ijma2

1. Adanya kesepakatan
Artinya dalam sebuah ijma harus ada kasepakatan antara semua peserta ijma. Yaitu
semua peserta ijma harus sepakat atas satu pendapat, baik ditunjukan dengan ucapan maupun
perbuatan. Bila sebagian Mujtahid bersepakat dan yang lain tidak, meskipun sedikit, maka
menurut jumhur, hal tersebut tidak bisa dikatakan ijma. Karena ijma itu harus mencakup
keseluruhan Mujtahid.
Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar
Mujtahid, 3karena yang dimaksud kesepakatan ijma termasuk pula kesepakatan sebagian
besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup
hukum keseluruhan.

2. Para Mujtahid
Ini adalah syarat terpenting dimana orang yang melakukan ijma harus mencapai
derajat mujtahid. Artinya tidak semua ulama diperhitungkan pendapatnya dalam sebuah ijma.
Para ulama berselisih faham tentang istilah Mujtahid, secara umum Mujtahid itu
diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengisbatkan hukum dari
dalil-dalil syara. Dalam kitab jam'ul jawani disebutkan bahwa yang dimaksud Mujtahid
adalah orang yang faqih. Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan
bahwa yang dimaksud Mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal mempunyai sifat
terpuji dan mampu mengisbatkan hukum dari sumbernya.

1 Basiq Djalil, ilmu ushul fiqih, cet.1 kencana, Jakarta, 2010, hlm.183.

2 Juaya S. Praja, ilmu Ushul fiqih, pustaka setia, Bandung, 2010, hlm.70.

2
Dengan demikian kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum
mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma, begitu pula penolakan mereka. Karena
mereka tidak ahli dalam menelaah hukum-hukum syara.
Maka, apabila dalam suatu masa tidak ada seorang pun yang mencapai derajat
mujtahid, tidak akan terjadi ijma. Meskipun ada, tetapi hanya satu orang, itupun tidak bisa
dikatakan ijma, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya. Dengan
demikian, suatu kesepakatan bisa dikatakan ijma bila dilakukan oleh tiga orang atau lebih.
Adapun kesepakatan yang dilakukan oleh dua orang, para ulama berbeda pendapat. Ada yang
menyatakan bahwa hal itu tidak bisa dikatakan ijma. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, hal
itu termasuk ijma, karena mewakili kesepakatan seluruh Mujtahid yang ada pada masa itu.

3. Para Mujtahid harus umat Muhammad SAW.


Para ulama berbeda pendapat tentang arti umat Muhammad SAW. Ada yang
berpendapat bahwa yang dimaksud umat Muhammad SAW. adalah orang-orang mukallaf
dari golongan ahl Al-halli wa Al-aqdi, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah
orang-orang mukallaf dari golongan Muhammad. Namun yang jelas, arti mukalaf adalah
muslim, berakal, dan telah baligh
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW.tidak
bisa dikatakan ijma'. Hal itu menunjukan adanya umat para Nabi lain yang berijma. Adapun
ijma umat nabi Muhammad SAW.tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin
berijma untuk melakukan sesuatu kesalahan.

4. Dilakukan setelah wafatnya Nabi


Ijma itu tidak terjadi ketika nabi masih hidup, karena nabi senantiasa menyepakati
perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syariat.

5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari'at


Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan
syariat, seperti tentang wajib, Sunnah, makruh, haram, dan lain-lain.
Hal itu sesuai dengan pendapat imam Al-Gazali yang menyatakan bahwa kesepakatan
tersebut dikhususkan pada masalah-masalah agama, juga sesuai dengan pendapat Al-Juwaini
dalam kitab Al-Warakat. Safiudin dalam Qawaidul usul. Adapun mengenai masa atau zaman,
para ulama ada yang memasukkannya sebagai syarat ijma. Sedangkan Al-Athar dalam kitab
Hasiyah Jam'ul Jawani mengartikan zaman dalam definisi ijma' diatas dengan zaman mana
saja.
2.3 Macam-macam Ijma4
Macam-macam Ijma' bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu :
1. Ijma' Sharih

4 Juaya S. Praja, ilmu Ushul fiqih, pustaka setia, Bandung, 2010, hlm.72.

3
Maksudnya, semua Mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing. Kemudian
menyepakati salah satunya.
Hal itu bisa terjadi bila semua Mujtahid berkumpul disuatu tempat, kemudian masing-
masing mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang ingin diketahui ketetapan hukumnya.
Setelah itu, mereka menyepakati salah satu dari berbagai pendapat yang mereka keluarkan
tersebut.
Selain itu, busa juga pada suatu masa timbul suatu kejadian. Kemudian seorang
mujahid memberikan fatwa tentang kejadian itu. Mujtahid kedua berfataa seperti fatwanya
Mujtahid pertama. Dan Mujtahid ketiga mengamalkan apa yang telah difatwakan tersebut,
begitu seterusnya sehingga semua Mujtahid menyepakati pendapat tersebut.
2. Ijma' Sukuti

Adalah pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para Mujtahid
lainnya. tapi mereka diam, tidak meyepakati ataupun menolak pendapat tersebut secara jelas.
Ijma Sukuti dikatakan sah bila memenuhi beberapa kriteria dibawah ini :
a) Diamnya para Mujtahid itu betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan atau
penolakan. Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukan adanya kesepakatan yang
dilakukan oleh sebagian Mujtahid. Maka tidak dikatakan ijma'sukuti melainkan
ijma'sharih. Begitu pula bila terdapat tanda-tanda penolakan yang dikemukakan oleh
sebagian Mujtahid, itupun bukan ijma.
b) Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan
permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukakan pendapatnya.
Namun, perlu diingat bahwa tidak mungkin menentukan lamanya waktu bagi seorang
Mujtahid untuk mengeluarkan fatwanya, karena setiap Mujtahid memerlukan waktu
yang berbeda, cepat atau lambat, dalam mengeluarkan fatwanya
c) Permasalahan yang difatwakan oleh Mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi,
yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Adapun, tentang permasalahan
yang tidak boleh 5diijtihadi, atau yang bersumberkan dalik-dalil qath'i, apabila
seorang Mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang kuat, sedangkan
yang lainnya diam, hal itu tidak bisa disebut ijma. Karena diamnya mereka tidak bisa
dikatakan menyepakati, melainkan meremehka. Pemberi fatwa tersebut karena
ilmunya masih dangkal.

2.4 Kehujjahan Ijma' Menurut Pandangan Para Ulama6


Jumhur ulama berpendapat, bahwa ijma dapat dijadikan argumentasi (hujjah)
berdasarkan dua dalil berikut :
Hadits-hadits yang menyatakan bahwa umat Muhammad tidak akan bersepakat
terhadapkesesatan. Apa yang menurut pandangan kaum muslimin baik, maka munurut Allah

6 Juaya S. Praja, ilmu Ushul fiqih, pustaka setia, Bandung, 2010, hlm.73.

4
juga baik. Oleh karena itu, amal perbuatan para sahabat yang telah disepakati dapat
dijadikanargumentasi.
Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehujjahan ijma‟, misalnya,
apakahijma‟ itu hujjah syar‟i? Apakah ijma‟ itu merupakan landasan usul fiqh atau bukan?
Bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma‟?
Dan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ulama‟ berbeda pendapat,
Al-Qardawi berpendapat bahwa orang-orang hawn tidak menjadikan ijma‟ itu sebagaihujjah,
bahkan dalam sejarahnya dia mengatakan bahwa ijma‟ itu bukan hujjah secaramutlak.
Menurut Al-maidi, para ulama‟ telah sepakat mengenai ijma‟ sebagai hujjah ygn
wajibdiamalkan, pemdapat tersebut bertentangan dengan syariat, khawarij dan Nizam dari
golongan mutazilah. Al-Hajib berkata bahwa ijma‟ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat
Nizam, Khawarij dan syiah. Adapun Ar-"ahawi berpendapat bahwa ijma‟ itu pada dasarnya
adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab Qwa‟idul usul dan ma'qidul usul dikatakan bahwa ijma
hujjahpada setiap masa. Namun pendapat itu ditentang oleh "Daut" yang mengatakan
bahwaijma‟ itu hanya terjadi pada masa sahabat.
Kehujjahan ijma‟ juga berkaitan erat dengan jenis ijma‟ itu merupakan sendiri, yaitu
sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijam‟ akan
ditinjauberdasarkan pembagian ijma‟ itu sendiri.
1. Kehujjahan ijma‟ sharih
Jumhur telah sepakat bahwa ijma‟ sharih itu merupakan hujjah secar qath‟i, wajib
mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma‟ pada suatu
permasalahan maka ita menjadi hukum qath‟i yang tidak boleh ditentang, dan menjadi
masalah yang tidak boleh diijtihadi lagi.
Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh jumhur Firman Allah SWT dalam surat Annisa‟ ayat
115. Artinya : Barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mu‟min, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahanam, dan jahanam ituseburuk-
buruk tempat kembali. (Qs.An-Nisa‟ 115)
Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT terhadap mereka yang
tidak mengikuti jalannya orang-orang mu‟min. Disebutkan bahwa mereka akan dimasukkan
ke neraka jahanam dan akan mendapat tempat kembali yang buruk. Hal itu menunjukkan
bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu adalah batil dan haram
diikut. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang mu‟min adalah hak dan wajib
diikuti.
2. Khujjahan ijma‟ sukuti
Ijma‟ Sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama. Sebagian
dari mereka tidak memandang ijma‟ sukuti sebagai hujjah bahkan tidak mengatakan sebagai
ijma‟. Diantara mereka ialah pengikut Maliki dan Imam Syafi'i yang menyebutkan hal
tersebut dalam berbagai pendapatnya.

5
Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja menyepakati
sebagian atau bisa saja tidak sama sekali. Misalnya karena tidak melakukan ijtihad pada satu
masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga kesepakatan mereka terhadap
mujtahid lainnya tidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath‟I atau zanni. Jika demikian adanya,
tidak bisa dihalalkan adanya kesepakatan dari seluruh mujtahid, berarti tidak bisa dikatakan
ijma‟ ataupun dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golong Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa
ijma‟sukuti merupakan hujjah qat‟i seperti halnya ijma‟ sharih. Alasan mereka adalah
diamnya sebagian mujtahid utuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat
yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya
ijma‟sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka terhadap hukum.
Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujjah yang qath‟i karena alasannya juga
menunjukkan adanya ijma‟ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma‟ sharih.

2.5 Kedudukan Ijma sebagai dalil hukum


Dalil yang dijadikan dasar oleh para ulama‟ kaitannya mengenai ijma‟. Surat an-Nisa
(4):115
Yang artinya: “dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan orang-orang mukin, Kami biarkan mereka berkuasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia kedalam jahannam, dan jahanam
itu merupakan seburuk-buruknya tempat kembali”
Dari uraian ayat tersebut diatas, dapat diketahui bahwa yang dinamakan orang-orang
mukmin ialah orang yang melaksanakan apa yang semestinya dilaksanakan sebagai umat
mukmin. Mukmin yang tidak melaksanakan apa yang seharusnya dilaksanakan oleh orang
mukmin, maka ia mendapat ancaman neraka jahanam sebagai tempat kembalinya. Neraka
jahanam merupakan tempat kembali yang paling buruk. Demikianlah yang di maksud ijma‟
kaum muslimin.
Kaum muslimin disuruh untuk mengikuti ijma‟. Kaum muslimin dilarang untuk
mengikuti jalan selain apa yang di ikuti kaum muslimin. Artinya, menjadi kewajiban bagi
kaum muslimin untuk mengikuti atau mentaati ijma‟.
Apa yang telah ditetapkan oleh ijma‟, wajik dilaksanakan perintahnya, dan apa yang
dilarang oleh ijma‟ maka wajib dijauhi oleh kaum muslimin. Demikian penjelasan dari surat
an-Nisa: 115 yang tersebut diatas. Barang siapa, mukmin yang tidak mengikuti jalan yang
telah di tetapkan dalam ijma‟, diancam akan dikembalikan pada neraka jahanam.Adapun dari
dalil sunnah, hadis nabi yang di riwayatkan oleh beberapa perawi yang berbeda, namun inti
yang ingin disampaikan adalah sama, yaitu bahwa umat nabi Muhammmad tidak akan pernah
sepakat dengan kesalahan.
Berikut isi dari hadist tersebut yang artinya: „‟umatku tidak akan sepakat untuk
melakukan kesalahan. Umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan. Allah tidak
akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesalahan. Allah tidak akan membuat
umatku sepakat untk melakukan kesalahan”.Hadist ini menjelaskan bahwa, apabila ada

6
kesepakatan dalam suatu umat, maka kesepakatan itu pasti diambil yang paling baik dan yang
paling benar. Artinya kesepakatan itu terjaga dari kesalahan dan dijaga kebenarannya. Dalam
hal urusan apapun, ketika kesepakatan itu dilakukan secara bersama, maka akan terjaga dari
kesalahan.
Dari penjelasan hadist diatas, menegaskan bahwa ijma‟ itu terpelihara dari
kesalahannya. Artinya bahwa kesepakatan didalam ijma‟ itu mengandung kebenaran yang
telah dijamin oleh Rasulullah SAW. Dalam hadist tersebut telah menjamin bahwa
kesepakatan yang diambil oleh umat Muhammad SAW. telah dijamin kebenarannya oleh
Allah SWT.
Menurut pendapat jumhur ulama‟ ini, dalil yang telah ditetapkan oleh ulama‟ pada
generasi tertentu, tidak boleh direvisi atau dibahas oleh generasi yang selanjutnya. Karena
ijma‟ yang telah ditetapkan sudah menjadi kesepakatan bersama dan sifatnya qath‟i (pasti)
sebagai hujjah. Dalil Ijma‟ tersebut kedudukannya nomor tiga setelah al-Qur‟an dan sunnah.
Jelasnya bahwa dilihat dari sisi proses pembuatannya, Ijma itu dihasilkan oleh para
mujtahid, karena itu merupakan salah satu bentuk-bentuk ijtihad. Tetapi apabila dilihat dari
sisi-sisi hukum yang dihasilkan dengan konsensus para ulama yang harus ditaati oleh seluruh
kaum muslimin, maka ijma ini sering ditempatkan sebagai sumber hukum yang ketiga
sesudah Alquran dan as-sunah.7

2.6 Contoh-contoh Ijma


Berikut merupakan beberapa contoh Ijma :
1. Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum‟at, yang diprakarsai oleh
sahabat &tsman bin Affan r.a pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat lainnya
tidak ada yang memprotes atau menolak ijma‟ beliau tersebut dan diamnya para
sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut. Contoh
tersebut merupakan ijma‟ sukuti.
2. Saudara-saudara seibu dan sebapak, baik laki-laki ataupun perempuan (banu al-
a‟yanwa al- a‟lat) terhalang dari menerima warisan oleh bapak, Hal ini ditetapkan
dengan ijma‟.
3. Upaya pembukuan Al-Qur‟an yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar
Ashiddiq r.a
4. Menjadikan assunah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur‟an. Para
mujtahid bahkan seluruh umat Islam sepakat menetapkan assunah sebagai salah satu
sumber hukum Islam
5. Para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan syariat.
Beliau bersabda menikahlah kalian dengan perempuan yang memberikan banyak anak
dan banyak kasih sayang. Karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah
umatku kepada para nabi lainnya di hari kiamat nanti." (H.R Ahmad)Contoh ijma‟
yang dilakukan pada masa sahabat seperti ijma‟ yang dilandaskan pada Al-Qur‟an

7 Djazuli, ilmu fiqh, cet.6 Prenada Media Group. Jakarta. 2006. Hlm.77

7
adalah kesepakatan para ulama‟ tentang keharaman menikahi nenek dan cucu
perempuan berdasarkan Q.S An-Nisa‟ ayat 23. Para ulama sepakat bahwa kata
ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek,
sedangkan kata banat (anak-anak wanita) dalam ayat tersebut mencakup anak
perempuan dan cucu perempuan.
6. Kepakatan ulama atas keharaman minyak babi yang di qiyaskan atas keharaman
dagingnya.
7. Shalat tarawih adalah shalat dilakukan sesudah sholat isya‟ sampai waktu fajar.
Bilangan rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah 8 rakaat. Umar bin
Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bin Khattab ini disepakati
oleh ijma‟. Ijma‟ ini tergolong ijma‟ fi'ly dari Khulafaur Rosyidin.
8. Para ulama mujtahid sepakat bahwa jual beli dihalalkan, sedangkan riba diharamkan.
9. Para imam madzhab sepakat atas keharaman ghasab (merampas hak orang lain).
10. Jual beli madhamin (jual beli hewan yang masih dalam perut) menurut jumhur
ulama‟tidak dibolehkan. Alasannya adalah mengandung unsur gharar (yang belum
jelas barangnya).
11. Para sahabat di zaman Umar bin khattab bersepakat menjadikan hukuman dera
sebanyak 80 kali bagi orang yang meminum-minuman keras. Ijma‟ tersebut termasuk
dzanni.
12. Ijma‟ sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya mengangkat seorang imam
atau khalifah untuk menggantikan Rasulullah dalam mengurusi urusan Daulah
Islamiyah yang menyangkut urusan agama dan dunia yang disepakati oleh para
sahabat di Saqifah Bani Sa‟idah.
13. Hak menerima waris atas kakek bersama-sama dengan anak, apabila seseorang
meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris (yakni ) anak dan kakek. Kakek ketika
tidak ada bapak bisa menggantikan posisinya dalam penerimaan warisan, sehingga
bisa menerima warisan seperenam harta sebagaimana yang diperoleh bapak, meski
terdapat anak dari orang yang meninggal.
14. Para imam madzhab sepakat bahwa antara kerbau dan sapi adalah sama dalam
perhitungan zakatnya.
15. Ulama‟ sepakat tentang dibolehkannya daging dhob karena sahabat sepakat bahwa
diamnya nabi adalah membolehkan.
16. Ijma‟ tentang pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah karena mengiaskan kepada
penunjukan Abu Bakar oleh Nabi menjadi imam shalat ketika Nabi sedang
berhalangan.
17. Ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan semua rukun
islam.
18. Para ulama sepakat bahwa zakat fitrah adalah wajib

8
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas tentang Ijma' dapat disimpulkan bahwa : Ijma' adalah kesepakatan
para Mujtahid umat dalam nabi Muhammad saw. Dalam menyelesaikan masalah hukum
Syara' . Ijma' bisa terjadi bila memenuhi kriteria kriterianya. Seperti adanya kesepakatan,
yang bersepakat seluruh Mujtahid, dilakukan setelah wafatnya nabi Muhammad dan
kesepakatan itu harus berhubungan dengan syari'at. Dilihat dari cara terjadinya Ijma' terbagi
menjadi 2 macam yaitu Ijma' sharih dan Ijma' sukuti.

3.2 Saran
Demikianlah makalah tentang "sumber hukum ijma" ini kami buat. semoga Makalah
ini dapat diterima dan dipahami oleh para pembaca dan juga membawa manfaat dan dapat
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. kepada semua pembaca khususnya mahasiswa atau
siapa saja yang menyempatkan membaca makalah ini bila mendapat kekeliruan terhadap
materi kami harap bisa meluruskannya dan memakluminya maka kami banyak berharap
kepada para pembaca untuk Tidak segan memberi kritik saran masukan yang membangun
kepada kami.

9
DAFTAR PUSTAKA

Syafe'i Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Cet.IV (CV. Pustaka Setia)
Djazuli, _Ilmu Fiqh_, cet.6 Prenada Media Group. Jakarta. 2006. Hlm.77
http://repository.ung.ac.id/get/simlit_res/1/316/kedudukan-ijma-sebagai-dalil-hukum-
terhadap-fatwa-ekonomi-islam-kontempoter-di-indonesia.pdf
https://www.kompasiana.com/amp/misbah.kompasiana/kedudukan-ijma-sebagai-dalil-
hukum_54f8fc29a333116c5d8b4628#aoh=16491599099569&referrer=https%3A%2F%2
Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s
https://www.academia.edu/34671663/Contoh_Contoh_Ijma

10

Anda mungkin juga menyukai