Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Mata Kuliah Perbandingan Mazhab
1. Halija (0301182132)
2. Ihwan Parlagutan Harahap (0301182176)
3. Puja Kusuma (0301180117)
2020
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Salawat dan salam kepada Rasulullah
Muhammad saw. Atas segala jasa dan kesungguhannya menyampaikan risalah Allah dimuka
bumi dan semoga beliau memberikan syafa’atnya kepada kita di Hari Kiamat kelak.
Tujuan penulis membuat makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas kelompok
mata kuliah perbandingan mazhab oleh dosen pengampu mata kuliah IHSAN SATRYA
AZHAR,MA
Pemakalah
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................................................. i
Daftar Isi....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Hukum Bermazhab............................................................................................. 2
B. Kewajiban / Tidak Bermazhab...........................................................................
3
C. Berpegang Kepada Mazhab Yang Lebih Ringan Menurut Pendapat Para Ulama
Dan Dalil Yang Digunakan................................................................................ 5
D. Talfiq Antar Mazhab..........................................................................................
7
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan ...................................................................................................... 11
Daftar Pustaka .............................................................................................................. 12
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam merupakan agama sempurna yang diturunkan allah swt, melalui rasulullah saw.
Dikatakan sempurna karena syariat islam merupakan pelengkap dari syariat yang allah
turunkan kepada para nabi sebelum nabi muhammad saw.
Dalam upaya memahami syariat islam itu sendiri, tidak semua umat islam mampu
untuk memahami dan juga menggali norma-norma yang terkandung didalamnya, dibutuhkan
sarana perangkat keilmuan tertentu sebagaiman yang telah ditentukan oleh para ulama dalam
upaya tersebut, sehingga dalam kajian hukum islam, umat islam yang tidak mampu
memahami kandungan yang tertuang dalam nash-nash suci, yakni al-qur’an dan hadist
maupun tidak memiliki kualifikasi perangkat keilmuan disebut sebagai orang awam.
Sedangkan bagi seseorang yang mampu memenuhi kualifikasi keilmuan yang telah
ditentukan, ia dapat melakukan penggalian hukum yang terkandung dalam kedua sumber
tersebut, atau dalam kajian hukum islam, ia disebut sebagai mujtahid.
Perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam kajian hukum sendiri merupakan sebuah
keniscayaan. Hal ini karena masing-masing mujtahid memiliki metodologi yang berbeda
dalam melakukan ijtihadnya. Perbedaan tersebut pada akhirnya melahirkan aliran-aliran
hukum islam, atau dikenal dengan istilah mazhab. Setiap mazhab memiliki corak hukumnya
tersendiri berdasarkan hasil ijtihadnya yang berbeda dengan mazhab-mazhab lain.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Bermazhab
Istilah bermazhab dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai”mempunyai
mazhab, mengikuti mazhab”. Dengan demikian secara tekstual bermazhab dapat diartikan
sebagai “mempunyai mazhab, mengikuti mazhab”. Dengan demikian, secara tekstual
bermazhab dapat diartikan orang yang mengikuti salah satu mazhab fiqih, baik secara
metodologi ijtihad yang dirumuskan oleh imam mazhab, maupun mengikuti fatwa atau hasil
ijtihad mujtahid.
Beradasarkan dengan istilah bermazhab sendiri, muchit muzadi mengklasifikasinya
kedalam tiga tingkatan :
1. Bermazhab dalam tingkat mengikuti produk (hasil) ijtihad orang lain, sama sekali
tidak mampu berijtihad sendiri, bahkan tidak tahu dalil yang dipergunakan.
2. Bermazhab dala tingkatan mampu “berijtihad sendiri” secara sangat terbatas, seperti
orang santri yang sudah mampu menguasai problematika fardhunya wudhu, mulai
dari dalil-dalilnya, pengelolaan dalil, serta penyimpulannya.
3. Bermazhab dalam tingkatan sudah mampu berijtihad sendiri dengan
mempergunakan metode dan pola pemahaman yang diciptakan oleh tokoh lain.
Dari pengklasifikasian diatas dapat dipahami bahwa tidak semua orang memiliki
pemahaman yang mampu terkait hukum islam, terdapat kelompok umat yang mampu yang
secara pemahaman dibawah kemampuan para ulama mujtahid atau yang biasa disebut
sebagai orang awam, sehingga dalam beramal tidak memiliki kemampuan secara mandiri
untuk menggali hukum yang tertuang dalam al-qur’an maupun hadist nabi saw. Dan ada pula
kelompok umat yang mampu secara mandiri untuk menggali hukum, baik dari al-qur’an
maupun hadist nabi saw. Realitas tersebut menurut Ibrahim hosen, bahwa mengenai suatu
masalah yang hukumnya belum ditegaskan oleh nas, maka bagi yang memiliki kemampuan
untuk berijtihad, ia berkewajiban untuk berijtihad dan mengamalkan hasil ijtihadnya.
Sedangkan bagi yang tidak mampu untuk melakukan ijtihad (orang awan dan ulama yang
tidak mampu melakukan ijtihad), maka ia berkewajiban mengamalkan hasil ijtihad salah
seorang imam mujtahid (taqlid). Hal ini sejalan dengan firman allah, swt :
2
Artinya : bertanyalah kepada ahl dizkri (ulama) apabila kamu tidak mengerti.
(qs.an-nahl :43).1
3
Rambu kedua : tidak boleh seseorang meyakini bahwa setiap muslim wajib mengikuti
imam tertentu dan tidak boleh mengikuti imam lainnya. Jika ada yang meyakini demikian,
dialah orang yang jahil. Namun orang awam boleh baginya mengikuti orang tertentu. Akan
tetapi, tidak ditentukan bahwa yang diikutinya mesti sifulan ini, sifulan itu atau yang lainnya.
Rambu ketiga : imam yang diikuti mazhabnya harus diyakini bahwa ia hanya ditaati
karena menyampaikan maksud dari agama dan syariat allah. Sedangkan yang mutlak ditaati
adalah allah dan rasul-nya. Tidak boleh seseorang mengambil pendapat imam hanya karena
itu adalah pendapat imamnya. Akan tetapi yang harus jadi prinsipnya adalah dia mengambil
pendapat imam tersebut karena itu yang diperintahkan oleh allah dan rasul-nya.
Rambu keempat : menjaga diri agar tidak terjatuh pada hal-hal yang terlarang
sebagaimana yang dialami para pengikut mazhab, diantaranya:
a. Fanatic buta dan memecah belah kaum muslimin
b. Berpaling dari al-qur’an dan as-sunnah karena yang diagungkan adalah perkataan
imam mazhab tertentu
c. Membela mazhab dengan fanatisme bahkan sampai menggunakan hadis-hadist dhaif
(lemah) agar orang lain mengikuti mazhabnya
d. Mendudukkan imam mazhab sebagai nabi saw
Seperti firman allah swt dalam surah an-nisa ayat ke 65
X اليؤمنون حتي يحكموك فينا شجرة بينهم ثم ال يهجدو أفي أنفسهم خرجت مما قضيت ويسلموأXفال وربما
تسليما
Artinya : maka demi tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.(an-nisa :65).
لهمXوما أرسلنا من ر سوا إال ليطاع بإذن هللا ولو أنهم إذا ظلموا أنفسهم جا ءوك فاستغفروا هللا واستغفر
الرسول لوجدوا هللا توابا رحيما
Artinya : dan kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan
seizin allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang
kepadamu, lalu memohon ampunan kepada allah, dan rasul pun memohon ampun
untuk mereka, tentulah mereka mendapatkan allah maha penerima taubat lagi maha
penyayang.(an-nisa :64).2
2
Al-Mukaffi Abdurrahman.2018.Koreksi Tuntas Buku 37 Masalah Popular.(Bekasi: Pt.Darul Falah).Hal.13
4
C. Berpegang Kepada Mazhab Yang Lebih Ringan Menurut Pendapat Para Ulama Dan
Dalil Yang Digunakan
1. Pendapat hanafiyah
وان األخذ العلمي في كل مسألة يقول مجتهد أخف عليه الأدري ماعيمنعه،ان المقاعد له أن يقلد من شاء
ما علمت،وكون اال نسان يتتبع ما هو األخذ عليه من الفول المجتهد كسوف له االجتهاد،من النقل أو العقل
وكان النبي صلي هللا عليه وسلم يحب ما خلف عن أمنه،من الشراءع ذمه عليه
Dikatakan oleh kamal bin himam dan muridnya amir al-haj dalam tahrir dan
penjelasannya : “sesungguhnya seorang muqalid (orang yang bertaqlid) diberi
kebebasan untuk mengikuti siapa saja, dan orang awam dalam setiap perkara ketika
bertaqlid terhadap perkataan mutaqid (orang yang berijtihad) akan memudahkan
baginya karena mereka tidak mengerti hal-hal yang dilarang menurut nash atau
akal.” Karena rasulpun menyukai keringanan yang dibebankan kepada umatnya.
2. Pendapat malikiyah
فقد صحيح الجواز، التلفيقXالمال لكي قالوا األصح والمرح عند المتأ خرين من فقهاء المالكية هو جواز
ورجح الذي، العامة العدوي بالجوازXوأفتي،ابن عرفة المال لكي في حاشيته علي الشرح الكبير للدردير
ونقل األمر الكبير عن شيوخه أن الصحيحة جواز التلفيق وهو فسحة،في الجواز
Yang paling kuat menurut ulama ‘ mutakhir dari pengikut malikiyah adalah
dibolehkannya talfiq, yang dibenarkan pula kebolehannya menurut ‘urfah al-maliki
dalam penjelasannya syarhu al-kabir oleh ‘addairi, dan berfatwa pula ‘allamah al-
adwiy tentang kebolehan talfiq.
3. Pendapat syafi’iyah :
بعضهم األخر علي حظر حاالت التلفيقXواقتصر، التلفيقXالشا فهي قالوا منع بعضهم كل صور
المواهب المقلدةX أخرون التلفيق إذا جميعا في المسألة شروطXوأجاز،المنوع
Menurut pendapat sebagian syafi’iyah menyatakan larangan talfiq, dan sebagian
yang lain berpendapat tentang kebolehan talfiq, apabila dalam permasalahan yang
memenuhi syarat terhadap mazhab yang diikuti.
4. Pendapat hanabilah
5
أن المفضلة الحنابلة نفذوا األحالم الصادرة بالتلفيق هذا ولم أذكىXالحوت بلدة قالوا نقل الطرسوسي
وألن،سواء في قضية األخذ بأيسر المواهب أو في تتبع الرخص،أقابل المختلفين من الماء هذا المذاهب
وجود دليل شر هي راجح لهاXلعدم،أقول المخالمين التلزمتا
Dibolehkannya talfiq karena tidak adanya dalil syar’i atas ketidakbolehan talfiq
dalam bermazhab, baik dalam perkara mengambil perkara yang mudah dan ringan
ataupun dengan mengikuti rukhsah (keringanan).
Seperti sebuah hadist yang menyatakan : ketika nabi dihadapkan pada dua buah
pilihan yang sama-sama benar berdasarkan dalil secara syar’i, maka nabi akan memilih dan
mengajarkan hal yang lebih ringan dan mudah.
Sebagaimana hadist aisyah r.a.
أخرجه البخاري بسنده عن أم المر منين عائشة رضي هللا عنها قال ما خير رسول هلل صل هللا عليه وسلم
في صحيحهXفان كان اثنا كان أبعد الناس منه رواه البخاري،بين أمرين األخذ أيسرهما ما لم يكن اثما
“nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali memilih yang paling mudah, selama
hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah
orang yang paling menjauhi hal tersebut”.(h.r.bukhari).
Ulama fiqih juga mengemukakan beberapa ketentuan berkenaan dengan
dibolehkannya memilih pendapat yang termudah dalam mengamalkan suatu ajaran agama.
Ketentuan tersebuat antara lain :
a) Mengambil cara yang termudah tersebut harus disebabkan adanya udzur. Dalam hal
ini imam al-ghozali berpendapat bahwa talfiq tidak boleh didasarkan pada keinginan
mengambil yang termudah dengan dorongan hawa nafsu, dan hanya boleh apabila
disebabkan oleh adanya udzur atau situasi yang menghendaki.
b) Talfiq tidak boleh membatalkan hukum yang telah ditetapkan hakim, karena apabila
hakim telah menentukan suatu pilihan hukum dari beberapa pendapat tentang suatu
masalah, maka wajib ditaati.
c) Talfiq tidak boleh dilakukan dengan mencabut kembali suatu hukum atau amalan
yang sudah diyakini, misalnya seorang mujtahid menceraikan istrinya secara mutlak
tanpa menyebut bilangan talaq yang dijatuhkannya. Ketika itu ia berkeyakinan
bahwa talak yang dijatuhkan secara mutlaq. Oleh karena itu ia tidak berhak rujuk
kepada istrinya, kecuali setelah istrinya menikah dan bercerai dengan orang lain,
kemudian mujtahid tersebut berubah pikiran sehingga ia berpendapat ingin rujuk
dengan istrinya.
6
Berdasarkan kenyataan diatas ulama fiqih kontemporer menyatakan bahwa talfiq
diperbolehkan, asal tidak menimbulkan sikap main-main dalam beragama atau mengambil
pendapat alasan tertentu.
Pendapat mayoritas para ulama berdasarkan firman allah swt dalam surat al-baqarah
ayat 185:
3
Arsjad Rasyida.2015.Talfiq Dalam Pelaksanaan Ibadah Dalam Perspektif Empat Madzhab.(Bawean:Jurnal
Studi Keislaman Vol.1 No.1).Hal.69
7
syafi’i menurut imam maliki tidak sah. Demikian juga anjing menurut imam syafi’i termasuk
najis mughallazhah (najis berat). Maka ketika menyentuh anjing lalu shalat, shalatnya tidak
sah. Sebab kedua imam itu tidak menganggap sah shalat yang dilakukan itu.
Para ulama berbeda pandangan tentang hukum talfiq. Diantaranya mengharamkan
secara mutlak, ada yang membolehkan dan ada yang membolehkan dengan kriteria tertentu.
1. Talfiq haram
Mayoritas ulama mengharamkan talfiq antar mazhab secara tegas tanpa memberikan
syarat apa pun. Diantara nama-nama mereka yaitu :al-nabulis menulis kitab khulashatu at-
tahqiq fi bayani hukmi at-talfiq. Didalam kita itu beliau dengan tegas menolak kebolehan
melakukan talfiq antar mazhab. Juga syanqiti, ulama dengan banyak karya, seperti tafsir
adhwa’al-bayan dan mudzakkir ushul fiqih. Beliau menegaskan mengharamkan tindakan
talfiq antar mazhab . Bahkan al-haskafi mengklaim dalam kitab ad-dur al-mukhtar syarah
tanwir al-abshar bahwa haramnya talfiq antar mazhab itu sudah menjadi ijma’ diantara para
ulama. Dasar larangan talfiq antar mazhab antara lain :
a. Mencegah mudharat
Seandainya pintu talfiq ini dibuka lebar, maka dikhawatirkan terjadi mudharat/
kerusakan yang besar didalam islam dan hancurnya berbagai mazhab ulama yang
telah dengan susah payah dibangun dengan ijtihad.
b. Tidak ada dalil yang membolehkan
Tidak ada dalil didalam syariat islam yang menghalalkan talfiq antar mazhab.
Bahkan tidak pernah ada contoh dari para ulama salaf sebelumnya yang pernah
melakukan talfiq antar mazhab. Sebagian ulama dimasasalaf yang sekilas seperti
melakukan talfiq, sebenarnya melakukan ijtihad dari awal.
2. Talfiq halal
Beberapa kalangan ulama berpendapat bolehnya bertalfiq. Diantaranya ad-dasuqi.
Beliau punyai karya hasyiyatu ad-dasuqi ‘ala asy-syarhi al-kabir. Argumentasi yang
dikemukakan hadir dari beberapa kaidah usul sebagai berikut :
a. Haraj dan musyaqqah
Tidak diperbolehkan talfiq sebuah tindakan yang bersifat haraj (memberatkan )
dan musyaqqah (menyulitkan ) bagi mereka yang awam. Hal itu mengingat bahwa
ulama dimasa sekarang ini yang mengajarkan fiqih dengan satu mazhab saja, selain
itu juga tidak semua ulama terkait pada satu mazhab tertentu.
8
Barangkali pada kurun waktu tertentu, dan didaerah tertentu, pengajaran ilmu
agama memang disampaikan lewat para ulama yang secara khusus mendapatkan
ilmu fiqih lewat satu mazhab secara ekslusif, dan tidak sedikitpun mendapatkan
pandangan dari mazhab yang selain apa yang diajarklan gurunya.
Namun seiring berjalannya waktu dan bertebarannya banyak mazhab ditengah
masyarakat, sulit sekali bagi kaum awam untuk mengetahui dan membedakan
detil-detil fatwa dan merujuknya kepada masing-masing mazhab.
b. Ketidak-mestian berpegang pada satu mazhab
Tidak ada satu ayat pun atau hadist nabawi yang secara tegas mengharuskan
seseorang untuk berguru kepada satu orang saja, atau berkomitmen kepada satu
mazhab saja. Yang terjadi dimasapara sahabat justru sebaliknya. Para sahabat
terbiasa bertanya kepada mereka yang lebih tinggi dan lebih banyak ilmunya dari
kalangan sahabat, namun tanpa ada ketentuan kalau sudah bertanya kepada abu
bakar, lalu tidak boleh bertanya kepada umar, usman atau ali. Mereka justru
terbiasa bertanya kepada banyak sahabat.
c. Pendiri mazhab tidak mengharamkan talfiq
Pendiri mazhab yang seperti abu hanifah, malik, as-syafi’i dan ahmad bin
hambal tidak pernah mengharamkan talfiq.
9
untuk pandangan ulama lainnya bahwa talaq yang dia inginkan adalah talaq raj’i
yang bisa kembali ke istrinya.
c. Tidak bertentangan dengan pendapat ijmak ulama.
d. Faktor emergensi (darurat).4
BAB III
PENUTUP
4
baharuddin ahmad.2019.konsepsi talfiq dalam fiqh islam.(kendari:jurnal al’adl vol.12 no.1).hal.6
10
A. Kesimpulan
Istilah bermazhab dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai”mempunyai
mazhab, mengikuti mazhab”. Hukum bermazhab yaitu hukum islam yang ingin menggali
hukum yang tertuang dalam al-qur’an dan hadis dengan cara mengamalkan hasil ijtihad salah
seorang imam mujtahid (taqilid).
Bermazhab tidaklah diwajibkan namun allah mewajibkan untuk umat mengikuti
petunjuk al-qur’an dan as-sunnah. Jika mengikuti mazhab tertentu membuat seseorang
mendapatkan maslahat besar, maka boleh bermazhab sesuai dengan ketentuan yang ada.
Menurut pendapat para ulama tentang bepegang kepada mazhab yang lebih ringan itu
dibolehkan. pendapat ini berdasarkan firman allah swt dalam qs.al-baqarah ayat 185 yang
artinya :”allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu” walaupun demikian, bukan berarti kita harus menjadikannya sebagai suatu acuan
agar kita selalu mengambil hal-hal yang mudah dalam agama. Sehingga kita terperangkap
kepada tala’ud (main-main) dalam menjalankan perintah allah swt. kita boleh mengambil
pendapat termudah dalam keadaan tertentu saja. Karena pedoman dasarnya adalah nash dan
hadist yang menjelaskan sebuah makna dan hikmah sebuah perintah dan larangan.
Talfiq dalam bermazhab yaitu melakukan suatu perbuatan atas dasar hukum yang
merupakan gabungan dua mazhab atau lebih seperti, seseorang berwudhu dengan mengusap
sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudhu karena ikut mazhab imam syafi’i.
Lalu ia menyentuh anjing, karena ikut madzhab imam maliki yang mengatakan bahwa anjing
adalah suci. Ketika dia shalat, maka kedua imam tersebut tentu sama-sama akan
membatalkannya. Sebab, menurut imam maliki wudhu itu harus dengan mengusap seluruh
kepala dan juga dengan menggosok anggota wudhu. Wudhu ala imam syafi’i menurut imam
maliki tidak sah. Demikian juga anjing menurut imam syafi’i termasuk najis mughallazhah
(najis berat). Maka ketika menyentuh anjing lalu shalat, shalatnya tidak sah. Sebab kedua
imam itu tidak menganggap sah shalat yang dilakukan itu.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat ada yang mengharamkannya,
menghalalkan dan menghalalkan sesuai dengan syarat dan ketentuannya.
Daftar Pustaka
11
Mohamad Rana.2017.Talfiq Dalam Bermazhab (Kajian Pemikiran Ibrahim Hosen).
(Cirebon:Jurnal Kajian Hukum Islam Vol.2 No.1).
Abdurrahman Al-Mukaffi.2018.Koreksi Tuntas Buku 37 Masalah Popular.(Bekasi: Pt.Darul
Falah).
Rasyida Arsjad.2015.Talfiq Dalam Pelaksanaan Ibadah Dalam Perspektif Empat Mazhab.
(Bawean:Jurnal Studi Keislaman Vol.1 No.1).
Ahmad Baharuddin.2019.Konsepsi Talfiq Dalam Fiqh Islam.(Kendari:Jurnal Al’adl Vol.12
No.1).
12