Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ITTIBA’ DAN TAKLID

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah FIQIH I

Dosen Pengampu : Drs. Sofwan, M.Ag

DisusunOleh :

1. Tarliyah
2. Sopiyah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH ( STIT ) SERANG

2023-2023
ΚΑΤΑ ΡΕNGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, akhirnya kami bisa
menyelesaikan makalah yang berjudul "ITTIBA' DAN TAQLID" ini, guna memenuhi salah satu
tugas mata kuliah FIQIH I. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa makalah ini penulis
berusha mengupas tentang pengertian Ittiba dan Taqlid serta syarat- syaratnya. Diakui bahwa
makalah ini masih banyak kekurangan dan kekhilafan karena itu, diharapkan pembetulannya
untuk perbaikan makalah berikutnya. Terima kasih banya kami haturkan kepada semua pihak
yang telah berpartisipasi hingga rampungnya penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Amiiin...

Serang, 10 Desember 03

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan
hukum, ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam
mengistimbatkan hukum syara' secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan
hasilnya. Melalui ushul figh dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan yang
kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya. dalil-dalil Dalam ushul fiqh juga
dibahas masalah taklid dan ittiba'. Keduanya memiliki arti yang berbeda dan
maksudnya pun berbeda. Namun tidak jarang kita dalam pengaplikasiannya di
masyarakat muslim masih dicampur adukan antara taqlid dan ittiba'. temukan Oleh
karena itu penting kiranya dalam makalah ini penulis uraikan kembali hal-hal yang
berkenaan dengan ittiba' dan taqlid sebagai langkah awal menuju muslim sejati
sesuai dengan perintah Rasulallah SAW.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana pengertian, dasar hukum dan pandangan ulama tentang ittiba’?
2. Bagaimana pengertian, macam-macm seta Taqlid ? hukumnya dan syara-syara
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini yang pertama yaitu diharapkan dapat memberikan subangsi
pemahaman kepada para pembaca dalam masalah Ittiba’ dan Taqlid.
A. ITTIBA'
1. Pengetian Ittiba
Ittiba artinya menurut atau mengikut. Menurut istilah agama yaitu menerima
ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil), baik dalil
itu al-Quran maupun hadis yang dapat dijadikan hujjah. Imam Syafii
mengemukakan pendapat bahwa ittiba berarti mengikuti pendapat- pendapat
yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau yang datang dari
tabiin yang mendatangkan kebajikan. Imam Ahmad mendifinisikan ittiba'
berkata:
ittiba' itu ialah kita mengikuti pendapat yang datang dari rosul r, dari para
sahabat, kemudian yang datang dari tabiin yang diberikan kebajikan.
Sedangkan menurut para ahli ushul figh ialah menerima atau mengikuti
perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan itu.
Orang yang melakukan ittiba disebut muttabi yang jamaknya disebut muttabiun.

Antara taqlid dengan ittiba mempunyai perbedaan, baik dalam segi sikap
maupun perilakunya. Dalam taqlid tidak ada unsur kreativitas kajian, sedangkan
dalam ittiba ada unsur kreativitas, yaitu studi dan pengkajian terhadap dalil yang
menjadi dasar dari sebuah pemikiran hukum.

2. Dasar Hukum dan Hukum Ittiba


Bagi orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengadakan penelitian
terhadap nash-nash dan mengistinbatkan hukum dari padanya adalah tidak layak
mengikuti pendapat orang lain tanpa mengemukakan hujjahnya. Sebab banyak di
dapatkan nash-nash yang memerintahkan agar kita ittiba',
mengikuti pendapat orang lain dengan menemukan argumentasi-
argumentasi dari pendapat orang yang di ikuti.
Ittiba dalam agama sebagaimana dalam firman Allah I surah An-Nahl ayat 43
yang berbunyi:

Artinya: "Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melaikan


orang laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.’’

Dalam ayat diatas terdapat kalimat "bertanyalah", yaitu menunjukkan wajib


untuk dilakukan. Maksudnya kewajiban kamu bertanya kepada orang yang tahu
dari kitab dan sunnah, tidak dari yang lain-lain. Rasulullah r juga bersabda yang
artinya, "Wajib kamu turut sunnahku (cara) dan sunnah Khulafaur Rasyidin
sesudahku". (HR Abu Daud).
Kata ittiba' ini penggunaannya lebih baik daripada penggunaan kata taqlid,
karena al-Quran sendiri menggunakan kata-kata ittiba berkaitan dengan hal-hal
yang terpuji dan disyariatkan. Misalnya seperti yang terdapat pada ucapan
Ibrahim kepada ayahnya dalam surah Maryam ayat 43 yang berbunyi:

Artinya: " Wahai ayahku. Sungguh, telah sampai kepadaku sebagian ilmu
yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukan
kepadamu jalan yang lurus".
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengetahui dianjurkan untuk
mengikuti orang alim dalam perkara yang tidak diketahuinya sendiri.
Demikian juga kita dapatkan dalam kisah Musa bersama seorang hamba yang
saleh yang terkenal denga nama Khidhr. Tentang kisah Musa ini Allah SWT
berfirman dalam surah Al- Kahfi ayat 65-66 yang berbunyi:

Artinya : ‘’ Lalu mereka berdua bertemu dengan seseorang hamba diantara


hamba-hamba kami, yang telah kami berikan rahmat kepadanya dari sisi kami,
dan yang telah kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi kami (65). Musa berkata
kepadanya, ’’ Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku
(ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?’’
Musa telah memohon kepada Khidhru agar di izinkan untuk mengikutinya
dan mengajarkannya apa yang telah Allah ajarkan kepadanya. Hal ini
menunjukkan bukti bahwa mengikuti orang yang lebih mengetahui dalam
sebagian permasalahan bukanlah hal yang tercela.
3. Pendapat Ulama Mengenai Ittiba'
Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba' adalah mengikuti atau
menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh
Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba' diartikan mengikuti pendapat orang lain
dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.
Ittiba' dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Ittiba' kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
b. Ittiba' kepada selain Allah dan Rasul- Nya.
Ittiba' kepada Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman
Allah dalam surat Al-A'raf : 3

Artinya : "Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah
kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil
pelajaran".
Mengenai ittiba' kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-
Nya) terdapat perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya
membolehkan ittiba' kepada Rasul. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa
boleh ittiba' kepada ulamayang dikategorikan sebagai waratsatul anbiya', dengan
alasan firman Allah Surah Al- Nahl [16]: 43 yang artinya: Maka bertanyalah
kepada orang-orang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Yang dimaksud dengan ‘’orang-orang yang punya ilmu pengetahuan" (ahl al-
dzikri) dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis
serta bukan pengetahuan berdasrkan pengalaman semata. Karena orang-orang
seperti yang disebut terakhir dikhawatirkan akan banyak melakukan
penyimpangan penyimpanagn dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadis
Rasul, bahkan yang terkandung dalam Alquran. Untuk itu, kepada orang-orang
yang seperti ini tidak dibenarkan berittiba' kepadanya.
Berbeda dengan seorang mujtahid, seorang muttabi' tidak memenuhi syarat-
syarat tertentu untuk berititba'. Bila seseorang tidak sanggup memecahkan
persoalan keagamaan dengan sendirinya, ia wajib bertanya kepada seorang
mujtahid atau kepada orang-orang yang benar-benar mengetahui Islam. Dengan
demikian, diharapkan agar setiap kaum muslimin sekalipun mereka awam dapat
mengamalkan ajaran islam dengan penuh keyakinan karena adanya pengertian.
Karena suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh pengertian dan menimbulkan
keyakinan akan kekhusukan dan keikhlasan.
Kemudian, seandainya jawaban yang diterima dari seorang mujtahid atau
ulama diragukan kebenarannya, maka muttabi' yang bersangkutan boleh saja
bertanya kepada mujtahid atau ulama lain untuk mendapatkan jawaban yang
menimbulkan keyakinannya dalam beramal. Dengan kata lain, ittiba' tidak harus
di lakukan kepada beberapa orang mujtahid atau ulama. Mungkin dalam satu
masalah mengikuti ulama A dan dalam masalah lain mengikuti ulama B.

B. TAQLID

1. Pengertian Taqlid

Taqlid menurut ahli bahasa, diambil dari kata-kata "qiladah" (kalung), yaitu
sesuatu yang digantungkan atau dikalungkan seseorang kepada orang lain. Contoh
penggunaannya dalam bahasa Arab, yaitu taqlid al-hady (mengalungi hewan
kurban). Seseorang yang bertaqlid, dengan taqlidnya itu seolah-olah
menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid.

Menurut istilah agama, taqlid yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta
memperpegangi tentang suatu hukum agama dengan keterangan-keterangan tidak
mengetahui dan alasan- alasannya. Orang yang menerima cara tersebut disebut
muqallid.

Menurut imam Al Ghazali dalam al mustashfa menerangkan bahwa :

Artnya: taqlid adalah menerima perkataan tampa hujjah dan tiadalah taqlid
itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik urusan ushul maupun dalam
usrusan furu'. Dan juga menurut abu syam, guru annawawi seorang ulama' terkenal
dengan madzhab syafi'i dalam kitab al muammal dikatakan:

Artinya: bertaqlid kepada selain rasulallah r, haram (diharamkan).

Mengenai berbagai pertanyaan yang terjadi dikalangan umat muslim


mengenai bagaimana kalau yang diambil atau yang diterima itu adalah perbuatan,
bukan ucapan atau pendapat, maka Al- Mahalli yang mensyarah kitab jam'ul al-
jawami' menjelaskan bahwa menerima atau mengambil selain ucapan, baik dalam
bentuk perbuatan atau pengalaman tidak dikatakan taqlid. Dan juga menegenai
suatu hal dalam penerimaannya ada hujjahnya atau mengetahui dalilnya maka cara
tersebut tidak dikatakan taqlid dengan alasan merupakan karya ijtihad yang
kebetulan hasilnya bersamaan dengan yang di ikutinya.

Ibnu al-Hummam (dari kalangan ulama' hanafiyah) memberikan definisi lebih


lengkap yang menjelaskan kesamaran yaitu beramal dengan pedapat seseorang yang
pendapatnya itu bukan merupakan hujjah dan tampa mengetahui hujjahnya.
Sehubungan dengan definisi ini maka menerima pendapat nabi yang bernilai hujjah
dengan sendirinya begitu juga menerima pendapat yang lahir deri kesepakatan
dalam ijma' tidak disebut taqlid meskipun dalam penerimaannya tampa mengetahui
dalilnya. Sebaliknya, pendapat pendapat mujtahid secara perorangan adalah bukan
hujjah, maka bila seseorang mengikuti pendapat mujtahid tampa menegetahi
dalilnya disebut taqlid.

b. Macam-macam taqlid serta hukumnya.

Mengenai hukum taqlid itu mutlak batal bahkan menurut Ibnu Haz
terlarangnya taqlid itu sudah ijma' ulama'. Mereka bersandaran ayat alqur'an surat
Al-isyra' ayat 36 :

Artinya: "Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena
pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan dipinta pertanggung
jawabannya.

Namun meski begitu dalam pengaplikasikannya terbagi kepada tiga macam, yaitu
taqlid yang di perbolehkan dengan syarat, taqlid yang dilarang atau haram dan taqlid
yang diwajibkan, yaitu sebagai berikut:

1) Taqlid yang diperbolehkan atau mubah.


Taqlid yang diperbolehkan atau mubah yaitu taqlid bagi orang-orang awam
yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum- hukum
syariat atau hanya terbatas pada masalah furu'iyah, sedangkan dalam masalah
usuluddin kebanyakan uamak berpendapat tidak boleh bertaqlid hal ini dikuatkan
oleh Al-razi dengan dalilnya surat muhammad ayat sebagai berikut:

Artinya: "Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak adaTuhan (yang patut


disembah) selain Allah...."
Ayat ini menerangkan bahwa wajib mengetahui Allah. Dalam artian
mengetahui kepada keyakinan dan itu hanya dapat diketahui dengan ilmu oleh
sebab itu maka menurut Al-razi harus mengetahui dalilnya.
Meskipun taqlid jenis ini diperbolehkan namun hal itu tidak berlaku bagi
semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum
sampai pada tingkatan an- nazhr atau tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji
dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam yang awam sekali dan yang
serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil
hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran dan Sunnah,
serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.
2) Taqlid yang dilarang atau haram
Taqlid yang dilarang atau haram yaitu bagi orang-orang yang sudah
mencapai tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat.
Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antara lain:
a) Taqlid buta (tidak mau memperdulikan ayat tuhan lantaran orang tua.

Taqlid buta yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq dan membabi buta
tanpa memperhatikan ajaran al- Quran dan Hadis, seperti menaqlid orang tua atau
masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran al- Quran dan
Hadis. Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 170 :

Artinya : dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah," mereka menjawab: (Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa
yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka
akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk".

Firman Allah di atas tegas mencela terhadap orang-orang yang bertaqlid yakni
orang yang menerima hukum- hukum agama dengan membabi tuli atau buta.

b) Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak
tentang suatu hal yang kita ikuti.

c) Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat
orang yang kita taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya
dengan al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu pendapat, garis-
garis hukum tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang betul-betul mengetahui
hukum-hukum Allah dan Rasul.

3) Taqlid yang diwajibkan

Taqlid yang diwajibkan, yaitu orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada
ahlinya tentang Adz- Dzikr yaitu apa yang Alloh turunkan kepada RasulNya. Kalau dia sudah
diberitahu tentang Adz-Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba kepadanya.
Dalil untuk bertanya kepada ahli ilmu adalah dalam QS. An-Nahl ayat 43 yang artinya
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama') jika kamu tidak
mengetahui".

C. Syarat-Syarat Taqlid
Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang
bertaqlid dan syarat-syarat yang ditaqlidi. Syarat-syarat itu yakni sebagai berikut:
1) Syarat-syarat orang yang bertaqlid
Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa yang tidak
mengerti cara-cara mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti pendapat orang
lain yang lebih mengerti hukum-hukum syara dan mengamalkannya. Adapun
orang yang pandai dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara maka ia
harus berijtihad sendiri kalau baginya masih cukup. Namun, kalau waktunya
sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang
lain (dalam soal-soal ibadah), maka menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti
pendapat orang pandai lainnya.
2) Syarat-syarat yang ditaqlid
Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang berhubungan dengan
syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti
mengetahui adanya Dzat yang menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga
hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal,
dan setiap orang mempunyai akal.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. ITTIBA
a. Pengertian Ittiba' adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau
mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab
dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat dengan
jalan membanding. b. Hukum Ittiba' Hukum ittiba' adalah Wajib bagi setiap muslim, c.
Pendapat Ulama Mengenai Ittiba' Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba'
adalah mengikuti atau menerima semua yang di perintahkan atau di larang atau di
benarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba' diartikan mengikuti pendapat orang
lain dengan mengetahui pendapat yang diikuti. argumentasi Ittiba' dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu :
1). Ittiba' kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
2). Ittiba' kepada selain Allah dan Rasul-Nya.
2. TAQLID
Taqlid Menurut istilah agama, yaitu menerima suatu ucapan orang lain serta
memperpegangi tentang suatu hukum keterangan-keterangan dan alasan- alasannya
serta dalil-dalilnya.
a. Macam-macam taqlid
1) Taqlid yang diperbolehkan atau mubah.
2) Taqlid yang dilarang atau haram.
Taqlid buta (tidak mau memperdulikan alqur'an lantaran orang tua.
Ø Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau
tidak tentang suatu hal yang kita ikuti.
Ø Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa
pendapat orang yang kita taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam atau
sekurang- kurangnya dengan al-Quran dan Hadis.
3) Taqlid yang diwajibkan.
b. Syarat-Syarat Taqlid
1) Syarat-syarat orang yang bertaqlid. Syarat orang yang bertaqlid ialah orang
awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syara dan
orang yang pandai dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara namun
waktunya sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya
yang lain (dalam soal-soal ibadah), maka menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti
pendapat orang pandai lainnya.
2) Syarat-syarat yang di taqlid Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum
yang berhubungan dengan syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada
orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qordahawi, Yusuf.
Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, terj. Ahrul Tsani
Fathurrahman & Muhtadi Abdul Kautsar, 2003. Munim. Jakarta : Pustaka Al- Arifin, <
Miftahul & Ahmad Faisal Haq. Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam.
Surabaya: Citra Media, 1997. Bakry, Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2003. Djalil, A. Basiq, Ilmu Ushul Fiqih.
Jakarta: kencana, 2010. Djalil, Basiq. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Edisi
pertama, Catakan Ke-1, Jakarta: Kencana, 2010. Hanafi, Imam. Pengantar Ushul Fiqh
dan Ilmu fiqh. STAIN Pamekasan: Pamekasan, 2014. Koto, Alaiddin. Ilmu Ushul Fiqh
dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2011. Rosyada, Dede. Metode Kajian
Hukum Dewan Hisbah Persis. Jakarta : Logos, 1999. Umam, Khairul & A. Achyar
Aminudin. Ushul Fiqh II Bandung : Pustaka Setia, 2001
[1] Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persis, (Jakarta:
Logos, 1999), hlm., 25.
[2] Miftahul Arifin dan Ahmad Faisal Haq, Ushul Fiqh Kaidah-Kaidah
Penetapan Hukum Islam, (Surabaya : Citra Media, 1997), hlm., 164.
[3] Yakni: orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang Nabi dan
kitab-kitab.
[4] Menurut ahli tafsir hamba di sini ialah Khidhr, dan yang dimaksud dengan
rahmat di sini ialah wahyu dan kenabian. sedang yang dimaksud dengan ilmu ialah
ilmu tentang yang ghaib seperti yang akan diterangkan dengan ayat- ayat berikut.
[5] Alaiddin Koto, Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo,
2011), hal. 129-131
[6] Yusuf Al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama
Salaf, terj. Ahrul Tsani Fathurrahman & Muhtadi Abdul Munim, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2003), hlm. 87.
[7] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003), hlm. 61. [8] Imam Hafi, Pengantar Ushul Fiqh dan Ilmu Fiqh, (Pamekasan:
STAIN Pamekasan, 2014), hlm. 115.
8] Imam Hafi, Pengantar Ushul Fiqh dan Ilmu Fiqh, (Pamekasan: STAIN
Pamekasan, 2014), hlm. 115.
[9] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: kencana, 2010), hlm. 198.
[10] Khairul Umam dan A. Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung:
Pustaka Setia, 2001), hlm., 155. [11] Ibid, hal. 156

Anda mungkin juga menyukai