Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

METODE ISTINBATH HUKUM ISLAM

Tentang:

“Ijtiba, Taqlid, Talfiq, Fatwa, dan Qada”

Oleh:
Kelompok 13

1. Muhammad Arifin 2113010


2. Maulana Rafid 21130101
3. Indah Yulfia 2113010184

Dosen Pengampu :
Dr. H. Muchlis Bahar, Lc, M.Ag.

PRODI HUKUM KELUARGA (A)


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
(UIN) IMAM BONJOL PADANG
1444 H/ 2023 H
KATA PENGANTAR

Assamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Alhamdulillah, puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kita nikamat dan rahmat Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Ijtiba, Taqlid, Talfiq, Fatwa, dan Qada”. Serta sholawat
dan salam tidak lupa pula kita hadihkan kepada nabi besar kita yakni Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti nantikan syafaatnya di hari akhir kelak.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari Bapak Dr. H. Muchlis
Bahar, Lc, M.Ag. pada mata kuliah “Metode Istinbath Hukum Islam”, serta untuk
memperdalam pengetahuan dan pemahaman penulis dan pembaca tentang “Ijtiba,
Taqlid, Talfiq, Fatwa, dan Qada”.
Kami mengucapakan terimakasih kepada Bapak Dr. H. Muchlis Bahar, Lc,
M.Ag.. selaku dosen pengampu mata kuliah “Metode Istinbath Hukum Islam” atas
arahan dan bimbingannya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Serta terimakasih kami ucapakan kepada teman-teman yang telah
ikut mengambil andil dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, dan
masih memiliki banyak kesalahan didalamnya. Untuk itu, kami mengharapakan
kritik dan saran dari teman-teman semuanya sebagai perbaikan bagi makalah ini,
agar dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi kedepannya, semoga makalah ini
membawa manfaat dan dapat menambah wawasan kita semua, Aamiin Ya Rabbal
Alamin.

Padang, 29 Mei 2023

Kelompok 13
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2

DAFTAR ISI...........................................................................................................3

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................1

B. Rumusan Masalah............................................................................................1

C. Tujuan Penulisan.............................................................................................2

BAB II.....................................................................................................................3

PEMBAHASAN......................................................................................................3

1. Ittiba’.........................................................................................................3

2. Taqlid........................................................................................................3

3. Talfiq.........................................................................................................4

4. Fatwa ........................................................................................................5

5. Qada..........................................................................................................7

BAB III..................................................................................................................10

PENUTUP.............................................................................................................10

A. Kesimpulan....................................................................................................10

B. Kritik dan Saran.............................................................................................10


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam menjalani dan menempuh kehidupan dunia ini Allah Swt memberikan
petunjuk kepada manusia yang termuat dalam al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
Orang yang mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang yang beriman,
sedang orang yang tidak mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya adalah orang-orang
yang kafir. Sebagaimana firman Allah Swt yang artinya Hai orang-orang yang beriman,
ta'atlah kepada Allah dan ta'atlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala)
amal-amalmu.” [Muhammad (47): 33].

Taat kepada Allah ialah mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya yang dalam al-Quran dan
taat kepada Rasul-Nya ialah mengikuti petunjuk Nabi Muhammad saw, berupa perkataan,
perbuatan dan taqrirnya yang diyakini berasal dari beliau, yang disebut “Sunnah
Maqbulah”. Kenapa Majelis Tarjih dan Tajdid menggunakan “sunnah maqbulah”?
Sebagaimana diketahui bahwa perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi Muhammad saw (as-
Sunnah), baru ditulis dan dibukukan setelah lebih dari seratus tahun beliau meninggal
dunia. Selama seratus tahun lebih itu as-Sunnah berada dalam hafalan kaum muslimin
yaitu para sahabat, tabi‘in, tabi‘it tabi‘in dan atba‘ at-tabi‘it tabi‘in. As-Sunnah yang
dihafal oleh sahabat disampaikan kepada tabi‘in dan mereka menghafalnya, demikian
pula para tabi‘in menyampaikan kepada tabi‘it tabi‘in, kemudian kepada atba‘ at-tabi‘it
tabi‘in dan yang terakhir diterima oleh para perawi hadis dan membukukannya.

Para perawi itu sebelum membukukannya meneliti setiap para penyampai dan
penerima as-Sunnah itu. Setelah diteliti ternyata ada para penyampai dan penerima as-
Sunnah itu yang dapat dipercaya dan ada yang tidak dapat dipercaya, ada yang kuat atau
baik hafalannya dan ada pula yang lemah dan sebagainya. Lalu para perawi membuat
ranking as-Sunnah, sehingga as-Sunnah itu bertingkat-tingkat, ada yang shahih, ada yang
hasan, ada yang dla‘if dan sebagainya. Pada umumnya para ulama tidak menerima sunnah
yang dla‘if (lemah), kecuali asy-Syafi‘i yang menggunakannya untuk fadla’ilul a‘mal
(amalan-amalan utama). Majelis Tarjih dan Tajdid pada umumnya menerima as-Sunnah
yang shahih dan hasan dengan syarat tidak berlawanan dengan nash (al-Quran dan as-
Sunnah) yang lebih kuat daripadanya. As-Sunnah yang seperti ini disebut “sunnah
maqbulah”.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu ittiba’?


2. Apa itu Taklid?
1
3. Apa itu Taklif?
4. Apa itu Fatwa?
5. Apa itu Qada?

2
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui Ittiba’

2. Untuk mengetahui Taklid

3. Untuk mengetahui Taklif

4. Untuk mengetahu Fatwa

5. Untuk mengetahui qada

3
BAB II
PEMBAHASAN

1.Ittiba’
Kata Ittiba’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il
ittaba’a - yattabi’u - ittiba’an, yang artinya adalah mengikuti atau
menurun. Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang
Faqih atau Mujtahid, dengan mengetahui dasarnya/ tujuannya serta
tidak terikat pada salah satu Madzhab dalam mengambil suatu hukum
berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat dengan jalan
membanding. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh ialah menerima
atau mengikuti perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau
alasan perkataan itu. Orang yang melakukan ittiba disebut muttabi yang
jamaknya disebut muttabiun.
Hukum ittiba’ adalah wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah
perintah Allah, sebagaimana firman-Nya:

“Ikuti apa yang dirutunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(daripadanya)”. (Q.S. Al-A’raf [7]:3) Dalam ayat tersebut kita diperintahkan untuk
mengikuti perintahperintah Allah. Kita telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah
wajib, dan tidak terdapat dalil merubahnya.
Ittiba’ dapat dibagi menjadi beberapa macam, antara lain :
a. Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya, Ulama sepakat bahwa semua kaum muslim wajib
mengikuti semua perintah Allah Swt dan RasulNya dan menjauhi laranganNya.
b. Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Ulama berbeda pendapat, ada yang
membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan
bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak
boleh kepada yang lain. Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama
yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).
2. Taqlid.
Taqlid Secara etimologi: dikaitkan seperti kalung di leher, sebagian
dari taqlid ialah taqlid hadiah di dalam haji. Yaitu menggunakan kalung
di leher ada hukum hadiah di tanah haram berupa beberapa hewan
ternak. Dan secara Terminologi (ahlu ushul): Taqlid adalah mengambil
perkataan dari orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Yaitu saling
menghukumi orang lain di dalam melakukan dan meninggalkan. Seperti

4
mengusap sebagian kepala (wudhu) dengan bertaqlid kepada Imam
Syafi’i, dan seperti Makmum meninggalkan bacaan Al-Fatihah dalam
shalat dengan bertaqlid kepada abu Hanifah, dan lainya. Orang yang
menerima cara tersebut disebut muqallid.
Dasar hukum :

Artinya : Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang).
Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk
memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.(At-
Taubah :122)
Hukum Taqlid terbagi kepada dua macam, yaitu :
a. Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orangorang awam yang
awam sekali dan yang serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam
mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-
Quran dan Sunnah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.
b. Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingakatan
an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat.
Ada beberapa taqlid yang dilarang ini antara lain :
1) Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau
orang terdahulu yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadis
2) Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
3) Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid
mengetahui bahwa pendapat atau perkataan itu salah.
c. Taqlid yang wajib adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai
dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah Saw. sebagaimana perkataan
Ibnul Qayyim “sesungguhnya Allah Swt. Telah memerintahkan agar bertanya kepada
Ahlu dzikr, dan Adz-Dzikr adalah al-Qur’an dan Hadis yang Allah Swt perintahkan
agar para istri Nabi-Nya selalu mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya dalam
surat Al-Ahzab [33]: 34.
Taqlid ada dua jenis :
a. Taqlid yang umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia
mengambil rukhshoh-rukhshohnya dan azimah-azimahnya dalam semua urusan
agamanya.
b. Taqlid yang khusus : seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus tertentu,
maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang benar melalui
ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.
5
3. Talfiq.
Secara bahasa talfiq berarti melipat antara yang satu dengan yang
lainnya, Sedangkan talfiq menurut istilah ialah mengambil pendapat
dari seorang mujtahid kemudian mengambil lagi dari seorang mujtahid
lain, baik dalam masalah yang sama maupun dalam masalah yang
berbeda. Dengan kata lain talfiq itu adalah memilih pendapat dari
berbagai pendapat yang berbeda dari kalangan ahli fiqh.Atau definisi
lainnya yaitu menyelesaikan suatu masalah (hukum) menurut hukum
yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih.
Pengambilan dari berbagai-bagai mazhab dalam berbagai-bagai
persoalan sebagaimana telah dikatakan di atas, adalah boleh. Tetapi
mengenai satu persoalan saja, apakah bagian-bagiannya bisa diambil
dari berbagai-bagai mazhab, sehingga pendapat dalam satu persoalan
merupakan gabungan dari berbagai-bagai mazhab, dan inilah yang
disebut dengan talfiq, dalam hal ini ada beberapa pendapat.
Hukum Talfiq, Imam Al-Kamal Humam dari ulama Hanafiah,
beliau berkata, “Tidak boleh kita halangi seseorang mengikuti yang
mudah-mudah, karena seseorang boleh mengambil mana saja yang
enteng apabila ia memperoleh jalan untuk itu”. talfiq diperbolehkan
sebagaimana pendapat Al-Kamal Humam di atas, dengan beberapa
alasan yaitu :
a. Tidak ada nash yang mewajibkan seseorang harus terikat kepada salah satu mazhab. b.
Pada hakikatnya talfiq hanya berlaku pada masalah fiqhiyah.
c. Mewajibkan seseorang terikat kepada salah satu mazhab berarti akan mempersulit umat.
Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum Islam yang menyatakan ada kemudahan dan
kemaslahatan.
d. Pendapat yang membenarkan harus bermazhab adalah dari para ulama mutaakhirin
setelah mereka dijangkiti penyakit fanatik mazhab.
e. Kenyataan yang terjadi di kalangan sahabat, bahwa orang boleh meminta penjelasan
hukum kepada sahabat yang yunior, walaupun ada sahabat yang lebih senior.
Ulama’ membagi talfiq menjadi dua, yaitu :
a. Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhab-madzhab dalam beberapa
masalah yang berbeda. Contoh: berwudlu ikut Hanafi dan shalat ikut Maliki. Menurut
ulama’-ulama’, talfiq seperti ini dibenarkan, karena dia mengamalkan pendapat yang
berbeda dalam dua masalah yang berbeda. Talfiq seperti ini dibenarkan dalam bidang
ibadah dan muamalat sebagai keringanan dan rahmat Allah terhadap umat Muhammad.
b. Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhab-madzhab dalam satu
masalah. Talfiq seperti ini tidak dibenarkan. Contoh: Ali menikah tanpa menggunakan
wali ikut Hanafi, dia juga tidak menyertakan dua saksi mengikuti Imam Maliki.
4. fatwa.
Fatwa berasal dari bahasa Arab ( ‫ ) فتوى‬yang artinya nasihat, petuah,
jawaban atau pendapat. Fatwa menurut Istilah adalah sebuah keputusan
atau nasihat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan
yang diakui otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama,

6
sebagai tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan
oleh peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan.
Dengan demikian peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum
fatwa yang diberikan kepadanya. Tindakan memberi fatwa disebut
futya atau ifta, Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama,
sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti. Peminta fatwa bisa
perseorangan, lembaga ataupun siapa saja yang membutuhkannya.
Hukum berfatwa adalah fardu kifayah, kalau ada orang lain yang
bisa memberi fatwa selain dirinya. Adapun kalau tidak ada orang lain
yang bisa memberi fatwa dan masalah yang difatwakan itu cukup
mendesak maka ia pun secara fardu ‘ain wajib memberi fatwa atas
peristiwa itu. hakikatnya fatwa adalah sebuah jawaban yang berisi
penjelasan tentang hukum-hukum syariah, yang didapat dari hasil
istimbath atas dalil-dalil yang terkait dengan hukum itu.Karena fatwa
adalah sebuah jawaban, maka pada dasarnya fatwa itu tidak berdiri
sendiri, melainkan didahului oleh pertanyaan dari suatu pihak, baik
perseorangan atau pun kolektif..
fatwa bisa diartikan sebagai penjelasan hukum syariat atas persoalan
tertentu, sehingga kaedah pengambilan fatwa tidak ubahnya dengan
kaedah menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil syariat (ijtihâd).
Pasalnya, satusatunya cara untuk mengetahui hukum syariat dari dalil-
dalil syariat adalah dengan ijtihâd, dan tidak ada cara lain. Oleh karena
itu, seorang mufti (pemberi fatwa) tidak ubahnya dengan seorang
mujtahid yang mencurahkan segala kemampuannya untuk menemukan
hukum dari sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Hadist.
Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi:
- Tabyîn artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi masyarakat,
khususnya masyarakat yang memang mengharapkan keberadaannya.
- Taujîh, yakni memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat
luas tentang permasalahan agama yang bersifat kontemporer. Fungsi tabyin dan tawjih
fatwa terikat dalam fungsi keulamaan,
fatwa pertama kali dikumpulkan dalam sebuh kitab pada abad ke-12
M. Mazhab Hanafi memiliki sejumlah kitab fatwa seperti az-Zakhirat
al-Burhaniyah, kumpulan fatwa Burhanuddin bin Maza (wafat 570
H/1174). Ini adalah kitab kumpulan fatwa pertama. Mazhab Maliki
memiliki kitab kumpulan fatwa bertajuk al-Mi’yar al-Magrib yang
berisi fatwa-fatwa al-Wasyarisi (wafat 914 H/1508 M). Mazhab
Hanbali juga memiliki sejumlah kitab fatwa, yang paling terkenal
adalah Majmu’ al-Fatawa. Berkaitan dengan kedudukan fatwa dalam
kehidupan umat Islam khususnya di Indonesia, maka fatwa memang
tidak mengikat secara hukum, akan tetapi, ia bersifat mengikat secara
agama, sehingga tidak ada peluang bagi seorang muslim untuk
menentangnya bila fatwa itu didasarkan kepada dalil-dalil yang jelas
dan benar.
Di Indonesia, terdapat lembaga fatwa, yakni Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Berdiri pada 26 Juli 1975 di Jakarta, MUI merupakan
7
lembaga swadaya masyarakat yang mewadahi para ulama dan
cendekiawan Islam di Indonesia. MUI bertugas membimbing,
membina, dan mengayomi kaum Muslimin Indonesia. Pada khitah
pengabdian MUI dirumuskan lima fungsi dan peran utama lembaga ini,
yaitu sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (warasatul anbiya),
pemberi fatwa (mufti), pembimbing dan pelayan umat (riwayat wa
khadim al-ummah), gerakan Islah wa al-tajdid, serta sebagai penegak
amar makruf dan nahi munkar. Sejak didirikan hingga akhir tahun 1997,
MUI telah melahirkan 76 fatwa. Seluruh fatwa tersebut dikelompokkan
dalam lima kategori, yakni ibadah, paham keagamaan, ilmu
pengetahuan dan teknologi, sosial kemasyarakatan, serta status halal
makanan dan minuman. Seluruh fatwa tersebut juga merupakan hasil
ijtihad para ulama di MUI.
5.Qadha.
Adapun kata Qadha berasal dari bahasa Arab, menurut al-Mu’jam
alWasīṭ, yaitu ‫وفصل حكم‬, yang berarti hukum dan penyelesaian.
Sedangkan menurut Lisan al-‘Arab, yaitu ‫الحكم‬, yang berarti hukum.
Qada secara istilah adalah keputusan hukum dari qadi mengenai kasus
atau kejadian berdasarkan dalil dan bukti melalui mekanisme, cakupan
qada terbatas dan bersifat mengikat dan mengharuskan
Qadha’ adalah vonis atau keputusan yang dilakukan oleh seorang
hakim atau qadhi atas suatu perkara atau perseteruan dua belah pihak
atau lebih.
‫ُوم‬
ِ ‫ص‬ ُ
‫خ‬ ْ
‫ال‬ ‫ْن‬
‫ي‬ ‫ب‬ ‫ي‬ ‫ض‬
ِ ‫قا‬ ْ
‫ال‬ ‫ل‬ ْ‫فص‬

Keputusan yang ditetapkan oleh qadhi di antara pihak-pihak yang bersengketa.

Dalam prakteknya, seorang Qadhi terikat pada Qanun atau undang-undang


yang berlaku di suatu wilayah hukum.Sebagaimana Qanun, Qadha atau
ketetapan yang diambil seorang Qadhi sifatnya mengikat. Orang-orang yang
telah ditetapkan hukumnya oleh Qadhi, wajib menjalankannya. Bila ketetapan
itu berupa vonis hukuman, seperti penjara, hukum cambuk, hukum rajam dan
seterusnya, maka dia wajib menjalaninya.
Syamsuddin Ar-Romli berkata,

ِ ْ‫ْإل َزا ُم َم ْن لَهُ اِإْل ْل َزا ُم بِ ُح ْك ِم ال َّشر‬


(‫) )القضاء‬63 /28( ‫ع (نهاية المحتاج‬
“(Qodho’ adalah ) pemaksaan (ilzam) yang dilakukan oleh orang yang memiliki (otoritas) memaksa
untuk (melaksanakan) hukum syara’. (Nihayatu Al-Muhtaj, juz 28 hlm 63)

Qodho’ hanya mungkin dilakukan oleh orang yang memiliki


kekuasaan. Pasalnya, hukum bisa dipaksakan untuk diterapkan hanya
oleh orang memiliki kekuasaan yang berfungsi untuk menegakkan
hukum. Adanya aparat penegak hukum yang berfungsi sebagai
“backing” penerapan hukum, seperti polisi misalnya, adalah syarat
8
asasi agar penjelasan hukum syara’ itu bisa digolongkan
sebagai qodho’. Oleh karena sifatnya memaksa, maka hukum taklifi
yang mungkin diurus dalam qodho’ hanya terbatas tiga macam saja,
yakni wajib, haram dan mubah. Hukum makruh dan sunnah tidak
mungkin bersinggungan dengan qodho’ karena tidak mungkin ada
pemaksaan pada perkara sunnah dan makruh.

qodho’  biasanya terbatas pada tema-tema perselisihan di antara


manusia seperti masalah rebutan warisan, utang-piutang, qishosh
atau tindakan kriminal tertentu seperti hukuman zina, minum khomr
dan lain-lain. Qodho’ tidak pernah mengurusi apakah salat seseorang
itu dipandang sah ataukah batal. Qadha di Indonesia mendapat perhatian,
yaitu dengan disahkannya UU No. 7 Tahun 1989 mengenai penyetaraan
kedudukan pengadilan agama dengan pengadilan lainnya.27 Namun tetap saja
urusan hukum Pidana bukan menjadi bagian dari pengadilan agama.

Pengaplikasian fatwa di Indonesia lebih dominan dibanding qada. Namun


terlepas dari pengaplikasian fungsi kedua hal pokok tersebut, perlu dipahami
bahwa hukum Islam masih tetap ada, walaupun tidak berlaku secara utuh, hal
ini dapat dilihat baik secara budaya (cultural) maupun secara sosiologis bahwa
Hukum Islam tidak pernah mati akan tetapi Hukum Islam eksis dalam
kehidupan Umat Islam sejak Penjajahan baik penjajahan Belanda maupun
pasca kemerdekaan hingga sampai sekarang ini. Keberadaan hukum Islam
tentu tetap mencakup fatwa dan qada.

Bab III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang Faqih
atau Mujtahid, dengan mengetahui dasarnya/ tujuannya serta tidak
terikat pada salah satu Madzhab dalam mengambil suatu hukum
berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat dengan jalan
membanding.
Taqlid adalah mengambil perkataan dari orang lain tanpa
mengetahui dalilnya. Yaitu saling menghukumi orang lain di dalam
melakukan dan meninggalkan.
talfiq menurut istilah ialah mengambil pendapat dari seorang
9
mujtahid kemudian mengambil lagi dari seorang mujtahid lain, baik
dalam masalah yang sama maupun dalam masalah yang berbeda.
Fatwa menurut Istilah adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi
yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui
otoritasnya, disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, sebagai
tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh
peminta fatwa (mustafti) yang tidak mempunyai keterikatan.
Qadha’ adalah vonis atau keputusan yang dilakukan oleh seorang
hakim atau qadhi atas suatu perkara atau perseteruan dua belah pihak
atau lebih.

B.Kritik dan Saran


Saran dari penulis agar pembaca membaca dengan serius materi yang telah kami buat
pada makalah ini, dan jika dari pembaca ada saran atau kritikan yang ingin
disampaikan kepada penulis tentang makalah ini kami terima dengan tangan
terbuka agar kedepannya bisa jauh lebih baik lagi dalam pembuatan makalah.

DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Koto, Alaiddin. 2011. Ilmu Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT
RajaGrafindo.
Racmat Taufik Hidayat dkk.2000, Almanak Alam Islami, Jakarta:
Pustaka Jaya.
Fauzi, Niki Alma Febriana. “Fatwa di Indonesia: Perubahan Sosial, Perkembangan dan
Keberagamaan.” Jurnal Hukum Novelty, vol. 08 no. 1 (2017).
http://journal.uad.ac.id/index.php/Novelty/article/view/5 524 .
10
11

Anda mungkin juga menyukai