Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ITTIBA’, TAQLID DAN TALFIQ


Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Fiqh-ushul
Al-Fiqh

Dosen Pengampu :
Drs. Masrur. M.pd.I

Disusun Oleh Kelompok VI:


Ahmad Davit (2310201037)
Sulistiana (2310201047)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) KERINCI
2024/1445H
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, kami mengucapkan puji serta syukur kepada Allah SWT yang
sudah membagikan rahmat serta anugerah kepada kami, sehingga kami bisa
menuntaskan makalah yang berjudul “Ittiba’, Taqlid dan Talfiq” ini dengan mudah
serta tepat pada waktunya.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para
pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersikap membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik dan
kami akan terbuka terhadap saran dan masukan dari semua pihak.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua,


khususnya bagi kami sendiri, umumnya para pembaca makalah ini, akhir kata
kami mengucapkan terima kasih.

Sungai Penuh, Maret 2024

Kel
ompok 6
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................3
A. Ittiba’.................................................................................................................3
B. Taqlid dan Tafliq...............................................................................................8

BAB III PENUTUP.............................................................................................11


A. Kesimpulan.....................................................................................................11
B. Saran................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................12
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bagi umat muslim, mempelajari ilmu fiqih hukumnya adalah wajib

meskipun banyak yang menyadari akan hal tersebut. Ushul fiqh adalah salah

satu cabang ilmu pengetahuan yang membahas mengenai dalil-dalil atas

dasar hukum asal fiqh. Tentu saja, dalil-dalil tersebut akan bersumber dari

kitab suci Al-Quran, Hadits Nabi, Ijma’, dan Qiyas.

Dalam Ushul Fiqih ini, salah satu yang termasuk dalam ruang

lingkupnya adalah Ittiba yang sama-sama harus dipelajari sebaik-baiknya

oleh umat muslim. Sementara dua lainnya adalah taqlid dan talfiq. Mengingat

bahwa ilmu tersebut akan menjadikan kita sebagai hamba Allah SWT yang

mengikuti ajaran-Nya secara benar. Lalu sebenarnya, apa sih ittiba’ itu.

Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini saya akan mencoba

memaparkan beberapa persoalan yang berhubungan dengan Ushul Fiqih,

yaitu mengenai Ittiba’, Taqlid dan Talfiq. Dengan memahami latar belakang

diatas, kita dapat mengetahui Ilmu Ushul Fiqh dalam konteks “Ittiba’, Taqlid

dan Talfiq”

B. Rumusan masalah

1. Apa Pengertian Ittiba’?

2. Apa perbedaan Tafliq dan Talqid?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui Pengertian Ittiba,

2. Untuk mengetahui Perbedaan Taqlid dan Tafliq

1
2

PEMBAHASAN

A. ITTIBA’
1. Pengertian Ittiba’

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata“ittiba’ sudah menjadi

bahasa Indonesia serapan yaitu iti.bak diartikan sebagai kata kerja yang

bermakna mengikuti (contoh) : Kita berpuasa, bersalat, dan beribadah

sunnah mengikuti Nabi Muhammad saw.1 Sedangkan dalam kamus

Bahasa Arab Al Munawwir kata ‚ittiba’ ‛ berasal dari kata – ‫ تبعب‬- ‫تبع‬

‫ اتببعٔب – تببعٔت‬yang artinya : Diikuti - tergantung pada - dan mengikuti -

dan Tbah.2

Menurut bahasa Ittiba’ berasal dari bahasa arab, ia adalah masdar

(kata bentukan) dari kata ittaba’a (‫ع‬KK‫ ) اتب‬yang berarti mengikuti. Ada

beberapa kalimat yang semakna dengannya diantaranya iqtifa’ ( ‫)اقتفاء‬

( menelusuri jejak), qudwah ( ‫ ( )قدوة‬bersuri teladan) dan uswah ( ‫)اسوة‬

( berpanutan). Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti

jejaknya dan mengiringinya. Dan kata ini berkisar pada makna menyusul,

mencari, mengikuti, meneladani dan mencontoh.

Sedangkan menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti pendapat

seseorang baik itu ulama atau yang lainnya dengan didasari pengetahuan

dalil yang dipakai oleh ulama tersebut. Ibnu khuwaizi Mandad

mengatakan : “setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil

1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat bahasa (Jakarta:
Gramedia,2008), hal. 553
2
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya:Pustaka
Progressif,1997), hal. 128
3

padanya, maka engkau adalah muttabi’ (orang yang mengikuti).3

Menurut ulama ushul, ittiba’ adalah mengikuti atau menuruti

semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan Rasulullah

saw. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam

sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad saw.4

Definisi lainnya, ittiba’ ialah pengambilan hukum dengan

mengetahui dalil dan alasan-alasannya dan ia diketahui dengan jalan

yang ditunjuki oleh mujtahid. Ittiba’ ditetapkan berdasarkan hujjah atau

nash. Ittiba‟ adalah lawan taqlid.

2. Definisi Ittiba’ Menurut Para Ulama

 Ibnu Katsir

Menurut Ibnu Katsir, ittiba’ adalah mengikuti syariat dan

agamanya (Al-Sunnah) dalam setiap perkataan dan amal perbuatannya,

serta dalam berbagai keadaan yang dialaminya.

 Muhammad Al-Amin Al-syinqithi

Berkaitan dengan ittiba ini, Beliau pernah berkata bahwa “Imam

Ahmad berkata: Al-Ittiba’ berarti seseorang mengikuti ajaran yang

bersumber dari Rasulullah dan para sahabatnya atau yang berasal dari

para tabi’in, tetapi ittiba’ pada yang terakhir bukan sebagai kewajiban

mutlak, hanya bersifat pilihan.

 Ibn Al-’Abd Al-Barr

3
Ibnu Manzhur, Lisanul Arab, ( Beirut :Dār, al-shadīr) jilid iv, hal. 350
4
Deri Adlis, Ushul Fiqh Ijtihad, Taqlid, Ittiba. 2010, http://deriaadlis.blogspot.com. (diunduh 26
Maret 2024)
4

Al-Ittiba’ berarti mengikuti hujjah atau dalil Qath’i, yaitu

mengikuti pendapat dari pihak otoritatif yang diwajibkan kepada kita

untuk mengikutinya. Dalam hal ini, Rasulullah adalah pihak paling

otoritatif yang memiliki legalitas untuk diikuti perintahnya.”

 Abd Ar-Rahman Ibn Nashir Al-Sa’di

Ittiba’ adalah mengikuti syariat yang diwahyukan Allah pada

Rasul-Nya karena ia adalah penyampai (Mubaligh) wahyu Allah yang

dengannya umat manusia mampu menggapai jalan hidayah, dan syariat

atau wahyu tersebut merupakan sumber petunjuk dan rahmat dalam

seluruh aspek ilmu, perbuatan, karakter diri, dan dalam seruan

dakwahnya, baik dalam aqidah, ucapan maupun amal perbuatan, maka

mengikutinya adalah dengan mengimplementasikan perintahnya dan

meninggal larangannya.

 Thaha Jabir Al-Alwani

Ittiba’ adalah mengimplementasikan perintah Allah dan Rasul-

Nyaserta menelisik berbagi perbuatan dan keadaannya untuk kemudian

mengaktualisasikannya dengan mengikuti jejak langkahnya (iqtidha’)

 Al-Badani

Ittiba’ atau Al-Ittiba’ ini adalah mengimplementasikan perintah dan

larangan yang beliau ajarkan seperti layaknya Al-Qur’an, karena masih

dikategorikan sebagai wahyu Allah dan dengan mengaktualisasikan Al-

Sunnah yang suci.


5

Nah, dari beberapa pendapat para ahli agama mengenai definisi

dari ittiba’ ini dapat disimpulkan bahwa ittiba’ adalah upaya umat

muslim untuk mengikuti dan menerapkan ajaran yang telah diajarkan

oleh Nabi Muhammad SAW, baik secara perkataan maupun perbuatan

untuk mencapai tujuan berupa wahyu Allah SWT.5

3. Dasar Hukum Ittiba’

Keberadaan ittiba’ ini bukan hanya semata-mata pendapat ulama

saja tanpa adanya alasan agama, melainkan terdapat dasar hukum yang

bersumber dari kitab suci Al-Quran. Nah, berikut adalah beberapa dasar

hukum akan pelaksanaan ittiba’ bagi umat muslim yang mana memang

perintah dari Allah SWT.

 Q.S. Al-A’raf ayat 3

‫ٱَّتِبُعو۟ا َم ٓا ُأنِز َل ِإَلْيُك م ِّم ن َّرِّبُك ْم َو اَل َتَّتِبُعو۟ا ِم ن ُدوِنِهٓۦ َأْو ِلَيٓاَء ۗ َقِلياًل َّم ا َتَذَّك ُروَن‬

Artinya :
“Ikuti apa yang dirutunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah
kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain Nya. Amat sedikitlah kamu
mengambil pelajaran (daripadanya)”

 Q.S. Ali’ Imran ayat 31

‫ُقْل ِإن ُك نُتْم ُتِح ُّبوَن ٱَهَّلل َفٱَّتِبُعوِنى ُيْح ِبْبُك ُم ٱُهَّلل َو َيْغ ِفْر َلُك ْم ُذ ُنوَبُك ْم ۗ َو ٱُهَّلل َغ ُفوٌر َّر ِح يٌم‬

Artinya:
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
5
Azharaziz, Persoalan Tentang ijtihad, Ittiba, Taqlid, 2010 http://azharazizblog.blogspot.com. ( 24
Maret 2024)
6

 Q.S. An-Nahl ayat 43

‫َو َم ٓا َأْر َس ْلَنا ِم ن َقْبِلَك ِإاَّل ِر َج ااًل ُّنوِح ٓى ِإَلْيِه ْم ۚ َفْس َٔـُلٓو ۟ا َأْهَل ٱلِّذْك ِر ِإن ُك نُتْم اَل َتْع َلُم وَن‬

Artinya:
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki
yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”

 Q.S. An-Nisa ayat 27

‫َو ٱُهَّلل ُيِريُد َأن َيُتوَب َع َلْيُك ْم َو ُيِر يُد ٱَّلِذ يَن َيَّتِبُعوَن ٱلَّش َهَٰو ِت َأن َتِم يُلو۟ا َم ْياًل َع ِظ يًم ا‬

Artinya:
“Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang
mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-
jauhnya (dari kebenaran).”

 Q.S. At-Taubah ayat 42

‫َلْو َك اَن َع َر ًضا َقِريًبا َو َس َفًرا َقاِص ًدا ٱَّلَّتَبُعوَك َو َٰل ِكۢن َبُعَد ْت َع َلْيِهُم ٱلُّشَّقُةۚ َو َسَيْح ِلُفوَن ِبٱِهَّلل َلِو ٱْسَتَطْعَنا‬

‫َلَخ َر ْج َنا َم َع ُك ْم ُيْهِلُك وَن َأنُفَس ُهْم َو ٱُهَّلل َيْع َلُم ِإَّنُهْم َلَٰك ِذ ُبوَن‬

Artinya:
“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah
diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka
mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka.
Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: “Jikalau kami sanggup
tentulah kami berangkat bersama-sama mu”. Mereka membinasakan diri
mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka
benar-benar orang-orang yang berdusta.”

Dalam beberapa ayat Al-Quran tersebut, jelas diperintahkan bagi

kita para umat muslim untuk mengikuti perintah-perintah Allah SWT.

Kewajiban untuk mengikuti-Nya itu adalah sesuatu yang wajib dan tidak
7

terdapat dalil yang mengubahnya. Sebenarnya, masih banyak lagi ayat

Al-Quran yang membahas mengenai kewajiban ittiba’ ini, sebut saja ada

pada surah Yunus yang diungkapkan sebanyak enam kali terutama pada

ayat 15, kemudian ada juga surah Hud yang diungkapkan sebanyak lima

kali terutama pada ayat 97, dan masih banyak lagi.

B. TAQLID DAN TAFLIQ

Taqlid dari segi bahasa berasal dari kata qiladah yaitu yuqallidu ghairahu

biha (mengikuti pendapat orang lain). Dan dari segi istilah berarti mengikuti

pendapat orang lain (qail) dan tidak mengetahui hujjahnya atau dalilnya

(Hakim, tanpa tahun). Atau dengan pengertian lain taqlid berarti mengambil

pendapat orang lain untuk diamalkan tanpa mengetahui dalilnya. Misalnya

mengambil pendapat Imam Syafi’i yaitu menyapu sebagian kepala dalam

berwudhu tanpa mengetahui dalil pendukungnya itu. Mengikuti pendapat Abu

Hanifah yaitu tidak membaca al-Fatihah bagi makmum ketika sholat, tanpa

mengetaui dalil yang mendasari pendapat itu.6

Pengertian yang senada dengan ini juga diutarakan oleh: Al-Kamal Ibn

AlHumam Al-Hanafi, Ibn Juzzay dalam mazhab Maliki, Asy-Syairazy dan

Imam AlHaramain dalam mazhab Syafi'I). Maksud dari pengertian ini adalah:

seorang Muqallid ber-iltizam dengan bertaqlid kepada pendapat seorang

imam dalam semua urusan agama, sehingga dia meyakini bahwa yang

diharamkan oleh sang imam adalah haram, yang diwajibkan adalah wajib,

dan yang dimubahkan adalah mubah tanpa mengetahui dalilnya sama sekali,

6
anusi Ahmad, Sohari, Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), hlm., 239
8

atau mengetahui dalilnya namun tidak memiliki kemampuan untuk

mengambil hukum tersebut secara langsung dari sumbernya.

Sedangkan Talfiq adalah cara mengamalkan suatu ajaran agama dengan

mengikuti secara taqlid tata cara berbagai madzhab, sehingga dalam satu

amalan terdapat pendapat berbagai madzhab. Ulama’ Ushul Fiqh

mendefinisakan Talfiq dengan melakukan suatu amalan dengan tata cara yang

sama sekali tidak dikemukakan oleh mujtahid manapun.7

Dalam masalah ini disyaratkan dua hal yaitu mengikuti pendapat dengan

cara taklid dan adanya penggabungan beberapa pendapat dalam satu

permasalahan. Dan terkait dengan permaslahan talfiq ini, ulama fiqh juga

membahas persoalan mengambil amalan atau pendapat dari berbagai

madzhab yang paling mudah dan ringan. Dalam istilah seperti ini disebut

dengan tabarru’ur rukhash. Dan terjadi perbedaan pendapat di kalangan

ulama’ berkenaan dengan hal ini

Contoh talfiq yaitu dapat dikemukakan sebagai berikut. Ketika berwudhu

khususnya saat menyapu kepala, seorang mengikuti tata cara yang

dikemukakan oleh Imam asy-Syafi’i. Beliau berpandapat bahwa dalam

berwudhu seorang cukup menyapu sebagian kepala, yang batas minimalnya

tiga helai rambut. Setelah berwudhu orang tersebut bersentuhan kulit dengan

seorang perempuan yang bukan mahramnya. Sedangkan menurut Syafi’i

persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan ajnaby (perempuan yang halal

dinikahi) tanpa hijab membatalkan wudhu. Namun dalam persentuhan kulit

7
Rasyid Arsjad, Jurnal Studi Keislaman “Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam Perspektif
Empat Mahdzab” Volume 1, (Juni 2015: Cendekia), hlm. 63
9

setelah berwudhu orang tersebut mengambil pendapat Imam Abu Hanifah dan

meninggalkan pendapat Syafi’i. Abu Hanifah menyatakan bahwa persentuhan

kulit tersebut tidak membatalkan wudhu. Dalam kasus ini, pada amalan

wudhu terkumpul dua pendapat sekaligus yaitu pendapat Imam asy-Syafi’i

dan pendapat Imam Abu Hanifah. Dampaknya adalah amalan itu tidak dinilai

benar (sah) oleh masing-masing imam alias batal.

 Pendapat 4 Imam Madzhab Mengenai Taklid

Imam Abu Hanifah berkata, “Jika pendapatku menyalahi (bertentangan)

dengan kitab Allah dan Hadits maka tinggalkanlah pendapatku.” Dan Imam

Malik berkata, “Semua kita menolak dan ditolak pendapanya kecuali pemilik

kuburan ini yaitu Nabi Muhammad SAW.” Sejalan dengan pernyataan ini

Imam asy-Syafi’i pun berkata, “Perumpamaan orang yang menuntut ilmu

tanpa mengetahui hujjahnya bagaikan pencari kayu bakar di malam hari

dengan membawa seikat kayu dan ada seekor ular yang mematuknya

sedangkan ia tidak mengetahuinya.” tuturnya. Begitu juga dengan Imam

Ahmad bin Hanbal yang mengatakan, “Janganlah kalian ikuti pendapatku,

Malik, Tsaury dan Auza’y tapi ambillah dari sumber (mana) mereka

mengambil.” (Hakim, tanpa tahun).

Dari pernyataan 4 Imam madzhad di atas bahwa sebenarnya mereka pun

menginginkan umat ini untuk meneliti pendapat yang mereka fatwakan dan

berusaha menelusuri dalil yang dijadikan pegangan oleh mereka. Artinya

tidak serta merta menerima pendapat mereka tanpa usaha untuk mengkritisi

pendapat itu. Di sini letak kelemahan umat islam yang terkadang fanatik pada
10

salah satu madzhab tanpa dibarengi dengan usaha untuk meneliti pendapat

madzhabnya. Walaupan dari segi keilmuan dan kemampuan mengistinbatkan

hukum mereka jauh lebih layak dibanding manusia pada umumnya. Akan

lebih baik dan bijak jika kita tetap melakukan ijtihad terhadap masalah-

masalah yang muncul dengan tidak menafikan pendapat (ijtihad) mereka.


11

PENUTUP
A. Kesimpulan
Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau

mujtahid, dengan mengetahui alasannya, serta tidak terikat pada salah

satumadzhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang

dianggap lebih kuat dengan jalan membanding.

Taqlid adalah mengikuti pendapat seorang mujtahid atau ulama

tertentutanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut.

Secara Bahasa Talfiq berarti melipat antara yang satu dengan yang lain

sedangkan istilah dapat diartikan mencampuradukkan dua pendapat ataulebih

dalam sebuah permasalahan yang mempunyai hukum, sehingga

akanmelahirkan pendapat ketiga yang antara kedua pendapat tadi sama-

samatidak mengakui kebenarannya

B. Saran

Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan

menambah pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada

kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas. Kami

hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan kami juga sangat

mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah

ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya.


12

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia.


Surabaya:Pustaka Progressif,1997
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat bahasa.
Jakarta: Gramedia, 2008
Ibnu Manzhur, Lisanul Arab, ( Beirut :Dār, al-shadīr) jilid iv
Deri Adlis, Ushul Fiqh Ijtihad, Taqlid, Ittiba. 2010,
http://deriaadlis.blogspot.com. (diunduh 24 Maret 2024)
Azharaziz, Persoalan Tentang ijtihad, Ittiba, Taqlid, 2010
http://azharazizblog.blogspot.com. ( 24 Maret 2024)
Rasyid Arsjad, Jurnal Studi Keislaman “Talfiq dalam Pelaksanaan Ibadah dalam
Perspektif Empat Mahdzab” Volume 1, (Juni 2015: Cendekia)
Sanusi Ahmad, Sohari, Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers, 2017

Anda mungkin juga menyukai