Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan kehidupan manusia membawa dampak yang masih

terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Seiring dengan berkembangnya

peradaban, berbagai teknologi dan inovasi mulai diciptakan untuk memenuhi

berbagai kebutuhan manusia. Perkembangan teknologi membuka peluang

terhadap berbagai hal yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan, diantaranya

adalah penjelajahan ke ruang angkasa.

Ruang angkasa dan benda-benda angkasa didalamnya telah memainkan

peran penting pada sepanjang sejarah umat manusia. Ruang angkasa atau outer

space menurut Black’s Law Dictionary diartikan sebagai “the known and

unknown areas of the universe beyond airspace.”1 Adapun ruang udara (airspace)

merupakan “the Earth’s atmosphere below the point where outer space begins;

often measure up to 90-110 kilometers above mean sea level.”2 Ruang angkasa

merupakan ruang hampa udara yang mengandung partikel kepadatan rendah,

terutama plasma hidrogen dan helium, serta radiasi elektromagnetik, medan

magnet, neutrino, sebu dan sinar kosmik.

Eksplorasi ke ruang angkasa pertama kali dimulai pada Abad XX. Pada 12

April 1961, seorang Letnan berkebangsaan Rusia bernama Yuri Gagarin menjadi

1
Henry R. Hertzfeld, ed.. Guide to Space Law Terms (pre-publication edition).
Washington D.C.: Secure World Foundation. 2012. hlm. 82.
2
Ibid. hlm. 15.

1
2

manusia pertama yang mengorbit bumi dalam pesawat Vostok I. 3 Misi tersebut

kemudian disusul dengan pendaratan pertama di Bulan yang dilakukan oleh Apolo

11. Apolo 11 diluncurkan dari Cape Kenedy pada 16 Juli 1969, membawa

Commander Neil Amstrong, Commander Module Pilot Michael Collins dan

Lunar Module Pilot Edwin ‘Buzz’ Adrin dan mengorbit bumi sejauh 114-116

mil.4 Tepat pada 20 Juli 1969, Armstrong menjadi manusia pertama yang

menginjakan kaki di Bulan.5 Hal ini menjadi peristiwa historis paling fenomenal

yang pernah terjadi dalam sejarah umat manusia.

Sejak saat itu, berbagai misi luar angkasa terus dilakukan untuk membuka

kesempatan dan kemungkinan lebih jauh dalam melakukan eksplorasi ruang

angkasa. Misi-misi tersebut tidak hanya berorientasi pada kepentingan ilmu

pengetahuan, tetapi juga dikhususkan untuk mencari sumber daya yang dapat

digunakan bagi kepentingan manusia. Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir,

Amerika beserta tiga Negara yang memimpin kekuatan ruang angkasa dunia, yaitu

Rusia, Republik Rakyat Tiongkok dan India, telah mengumumkan niatnya untuk

membentuk sebuah pangkalan di Bulan dengan tujuan melakukan penambangan

Helium-3 (selanjutnya disingkat sebagai He-3). He-3 merupakan isotop Helium

langka yang ditemukan secara alami di Bumi, namun dipercaya banyak terdapat

dalam jumlah besar sebagai komponen dari tanahBulan.6

3
Aerospace. A Brief History of Space Exploration. http://aerospace.org/story/brief-
history-space-exploration. Diakses pada 1 Desember 2018.
4
National Aeronautics and Space Administration. Apollo 11 Overview.
http://www.nasa.gov/mission_pages/apollo/missions/apolo11.hml. Diakses pada 6 Desember
2018.
5
Aerospace. Loc. Cit.
6
Tanah Bulan juga dikenal dengan istilah regolith.
3

Secara umum, pemanfaatan ruang angkasa dimaksudkan untuk tujuan

damai (peaceful purposes). Preambular clauses yang terdapat pada Outer Space

Treary mengakui adanya kepentingan umum umat manusia (common interest of

mankind) dalam eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa untuk tujuan damai.

Penggunaan untuk tujuan damai juga diterapkan secara ekslusif dan spesifik

terhadap Bulan. Pasal 4 Paragraf 2 Outer Space Treaty mengatur bahwa “The

Moon and other celestial bodies shall be used by all States Parties to the Treaty

exclusively for peaceful purposes.” Hal yang sama juga ditegaskan dalam Pasal 3

ayat (1) Moon Agreement yang mengatur bahwa “The Moon shall be used by all

States Parties for exclusive purposes.” Kata peaceful dalam hal ini dimaknai

sebagai terbebas dari hal-hal kemiliteran atau non-military.7 Sehingga peaceful

purposes dapat dimaknai sebagai tujuan-tujuan non-militer atau non-military

purposes.

Meskipun demikian, status Bulan dalam Hukum Angkasa Internasional

masih menimbulkan perdebatan. Perdebatan tersebut muncul pada intepretasi atas

status Bulan dalam Treaty on the Principles Governing the Activities of States in

the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial

Bodies (selanjutnya disebut sebagai Outer Space Treaty)8 dan Agreement

Governing the Activities of States on the Moon and Other Celestial

Bodies(selanjutnya disebut sebagai Moon Agreement)9 dalam kaitannya dengan

7
Hal ini dimaknai secara mutatis mutandis berdasarkan ketentuan peaceful purposes yang
terdapat dalam Pasal 1 Antartica Treaty. Bin Cheng. The Legal Status of Outer Space and
Relevant Issues: Delimitation of Outer Space and Definition of Peaceful Use. Journal of Space
Law, Volume 11, Number 1&2. Amerika Serikat: University of Mississipi. 1983. hlm. 102.
8
Diadopsikedalam Resolusi Majelis Umum PBB A/Res/21/222 tanggal 19 Desember
1969.
9
Diadopsi kedalam Resolusi Majelis Umum PBB A/Res/34/68 tanggal 5 Desember 1979.
4

prinsip Common Heritage of Mankind. Prinsip Common Heritage of Mankind

pertama kali lahir dalam Resolusi Majelis Umum tentang Declaration of

Principles Governing the Seabed and Ocean Floor. Ketentuan mengenai Common

Heritage of Mankind itu kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 136 dan 137

United Nations Convention on Law of the Sea1982 (selanjutnya disebut sebagai

UNCLOS 1982) mengenai pengaturan rezim hukum dasar laut dan dasar samudra.

Prinsip ini mengatur bahwa sebuah wilayah tidak dimiliki oleh siapapun dan

secara teoretis dikelola oleh semua orang.10 Hal ini berarti kedaulatan negara

manapun tidak berlaku di wilayah ini. Negara-negara tidak mempunyai peran

apapun dalam pengelolaannya, kecuali sebagai representasi umat manusia.11

Pasal 1 Outer Space Treaty menyatakan bahwa The exploration and use of

outer space, including the Moon and other celestial bodies, shall be carried out

for the benefit and in the interests of all countries, irrespective of their degree of

economic or scientific development, and shall be the province of all mankind.

Sementara Pasal 4 ayat (1) Moon Agreement menyatakan bahwa

“The exploration and use of the Moon shall be the province of all mankind
and shall be carried out for the benefit and in the interests of all countries,
irrespective of their degree of economic or scientific development. Due
regard shall be paid to the interests of present and future generations as
well as to the need to promote higher standards of living and conditions of
economic and social progress and development in accordance with the
Charter of the United Nations.”

Outer Space Treaty dan Moon Agreementtidak memberikan definisi secara jelas

terhadap apa yang dimaksud dengan frasa ‘province of all mankind’. Sebagai

akibatnya, frasa ‘province of all mankind’ kerap ditafsirkan berbeda oleh berbagai
10
Michael E. Dawis dan Ricky J. Lee. Twenty Years After th Moon Agreement and Its
Legal Controversies.Australian Law Journal. 1999. hlm. 20.
11
Ibid.
5

Negara. Beberapa Negara berkembang, misalnya, menyamakan ketentuan

‘province of all mankind’ dengan prinsip Common Heritage of Mankind.

Perbedaan penafsiran terhadap frasa ‘province of all mankind’

menimbulkan konsekuensi hukum tersendiri. Apabila frasa ini ditafsirkan sebagai

prinsip Common Heritage of Mankind, pemanfaatanBulan harus berorientasi pada

kemanfaatan bersama umat manusia dengan memperhatikan benefit sharing bagi

semua negara. Namun apabila frasa ini tidak dapat ditafsirkan sebagai prinsip

Common Heritage of Mankind, maka timbul permasalahan baru mengenai status

ganda Bulan dalam Hukum Angkasa Internasional. Pun, pernyataan beberapa area

sebagai Common Heritage of Mankind menimbulkan pertanyaan, apakah sebuah

bentuk rezim wilayah baru telah atau sedang diciptakan. 12 Berdasarkan

permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti prinsip Common Heritage

of Mankind di Bulan dengan judul “Penerapan Prinsip Common Heritage of

Mankind di Bulan dalam Hukum Angkasa Internasional”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, permasalahan yang hendak

dibahas adalah:Bagaimana penerapan prinsip Common Heritage of Mankind di

Bulan dalam ketentuan Hukum Angkasa Internasional?

12
Malcolm N. Shaw. International Law.Sixth Edition. United Kingdom: Cambridge
University Press. 2008. hlm. 533.
6

C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian dan penulisan proposal ini

adalah untuk mengetahui penerapan prinsip Common Heritage of Mankind di

Bulan dalam ketentuan Hukum Angkasa Internasional.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penelitian dan penulisan proposal ini adalah:

1. Secara teoretis

a. Hasil penelitian bermanfaat sebagai titik tolak dalam penelitian

lebih lanjut mengenai prinsip Common Heritage of Mankind.

b. Hasil penelitian bermanfaat sebagai titik tolak dalam penelitian

lebih lanjut mengenai status Bulan dalam Hukum Angkasa

Internasional.

2. Secara praktis

a. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan atau

masukan dalam penentuan status Bulan dalam Hukum Angkasa

Internasional.

b. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan atau

masukan dalam pengelolaan Bulan dalam Hukum Angkasa

Internasional.
7

E. Kerangka Konseptual

Konsep-konsep yang digunakan dalam proposal ini adalah sebagai berikut:

1. Penerapan

Kata penerapan berasal dari kata kerja dasar terap, yang dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia bermakna berukir. Penambahan awalan pe- dan

akhiran –an digunakan untuk mengubah bentuk kata kerja dasar menjadi

sebuah kata benda. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan

penerapan sebagai “proses, cara, perbuatan menerapkan; pemanfaatan,

perihal mempraktikan.”

2. Prinsip

Prinsip identik maknanya dengan asas.13 Prinsip (principle)menurut

Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai

“A fundamental truth or doctrine, as of law, comprehensive rule of

doctrine which furnishes a basis or origin for others; a settled rule of

action, procedure, or legal determination.”14

3. Common Heritage of Mankind

Common Heritage of Mankind atau Warisan Bersama Umat Manusia

adalah:

“segala sesuatu yang mempengaruhi hidup orang banyak dan


memberikan keuntungan kepada kehidupan manusia yang
penguasaannya tidak boleh dipegang oleh satu pihak saja, namun

13
Wagiman. Nilai, Asas, Norma, dan Fakta Hukum: Upaya Menjelaskan dan
menjernihkan Pemahamannya. Jurnal Filsafat Hukum, Volume 1, Nomor 1. Jakarta: Universitas
17 Agustus 1945. 2016. hlm. 56
14
Henry Campbell Black. Black’s Law Dictionary. Edisi Revisi ke-4. St. Paul, Minn.:
West Publishing Co.. 1968. hlm. 1357.
8

diatur oleh hukum internasional sehingga tidak akan ada pertikaian


internasional dalam memperebutkan penguasaannya.”15

4. Bulan

Istilah ‘bulan’ dapat dimaknai dalam dua pengertian. Pertama, bulan

(dengan huruf b kecil) dimaknai sebagai semua satelit alami yang

mengorbit benda lain.16 Kedua, Bulan (dengan huruf B kapital) dimaknai

sebagai satu-satunya satelit alami dan benda angkasa besar terdekat Bumi.

Bulan dikenal sejak masa prasejarah dan merupakan benda paling terang

dilangit setelah Matahari.17 Penulis dalam proposal ini merujuk kepada

Bulan (dengan huruf B kapital).

Bulan sebagai satelit bumi dan benda angkasa terbentuk setidaknya 60

juta tahun setelah sistem tata surya terbentuk dan berusia sekitar 4,51

milyar tahun.18 Terbentuknya Bulan sebagai satelit alami Bumi merupakan

sebuah proses yang masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuan. Teori

yang paling umum diterima oleh ilmuan pada saat ini adalah the Giant

Impact Theory yang menyatakan bahwa terbentuknya Bulan dan Bumi

yang ada pada saat ini berasal dari tabrakan besar antara sebuah planet

15
Denny Wahyudi. Konsep Warisan Bersama Umat Manusia dalam Perspektif Hukum
Internasional. Skripsi. Diajukan untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum.
Sumatera Utara: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2017. hlm. 16.
16
“any natural satellite orbiting another body.” Terjemahan bebas oleh penulis.
Encyclopӕdia Britannica. moon (natural satellite). https://www.britannica.com/science/moon-
natural-satellite. Diakses pada 19 Februari 2019.
17
“… Earth’s sole natural satellite and nearest large celestial body. Known since
prehistoric times, it is the brightest object in the sky after the Sun.” Terjemahan bebas oleh
penulis. Encyclopӕdia Britannica. Moon (Earth’s satellite).
https://www.britannica.com/place/Moon. Diakses pada 19 Februari 2019.
18
Melanie Barboni, Patrick Boehnke, Brenhin Keller, Issaku E. Kohl, Blair Schoene,
Edward D. Young, Kevin D. McKeegan. Early Formation of the Moon 4.51 Billion Years Ago.
Space Science, Issue 3. 2017. hlm. 1, 4.
9

berukuran Mars dan proto-Bumi.19 Planet seukuran Mars ini kerap diberi

nama Theia. Tabrakan tersebut menyebabkan materi dari kedua planet

yang bertabrakan bercampur dan membentuk dua formasi baru.

Robin Canup menjelaskan bahwa:20

“In the canonical giant-impact model, developed since the late 1970s,
the Moon is explained as the product of a slow, glancing blow from a
Mars-sized body — about 10–15% of Earth’s mass — on the early
Earth. The collision left Earth spinning rapidly, once every five hours,
with the Moon orbiting close to Earth. Gravitational interactions and
torques then caused the Moon’s orbit to expand and Earth’s rotation
to slow to our current 24-hour day. This model is consistent with the
Moon’s mass, its lack of iron and the angular momentum of the Earth–
Moon system.”
Meskipun komposisi Bumi dan Bulan berbeda,21 percampuran materi

antara planet Theia dan proto-Bumi dapat menjelaskan kesamaan

kandungan pada bagian mantel Bulan dan Bumi. Adanya persamaan

kandungan pada mantel Bulan dan Bumi dapat membuka peluang bagi

eksplorasi dan eksploitasi Bulan yang lebih intens, sebagai salah satu

bentuk upaya mengatasi kelangkaan sumber daya di Bumi.

5. Hukum Angkasa Internasional


19
Versi standar dari teori ini menyatakan bahwa proto-Bumi sebagai targer dari tabrakan
dan planet seukuran Mars tersebut sebagai impactor. Tim Elliott. Shadows cast on Moon’s Origin.
Nature, Volume 504, Issue 7478. Macmillan Publisher. 2013. hlm. 90.
20
Robin Canup. Lunar Conspiracies. Ibid. hlm. 28
21
Robin Canup menjelaskan bahwa: There are clear differences in the compositions of
the Moon and Earth. Earth’s core is rich in iron, which comprises about 30% of the planet’s mass.
By contrast, iron contributes less than 10% to the mass of the Moon. The Moon is also less rich in
elements that vaporize readily, such as potassium, suggesting that they may have boiled off and
been lost as the Moon formed from the hot disk. Sejalan dengan hal tersebut, Larry Haskin dan
Paul Lauren menjelaskan bahwa: All the chemical elements that make up the Earth are also found
on the Moon. On scales both large and small, however, the abundances and distributions of the
elements differ greatly between the two planets. The Moon lacks a large iron core. It has no
appreciable atmosphere and therefore does not undergo chemical weathering of the type found on
planets with atmospheres. A key difference is that the Moon’s interior and surface have virtually
no water or other gases. Without oceans, rivers, and rainfall, and without groundwaters and deep
crustal waters, the entire realm of aqueous geochemistry that is so critical on Earth is absent on
the Moon. Lihat Larry Haskin dan Paul Lauren. Lunar Chemistry. Dikompilasi dalam Lunar
Sourcebook: A User’s Guide to the Moon. Amerika Serikat: Cambridge University Press. 1991.
hlm. 358.
10

Hukum Angkasa Internasional atau International Space Law dapat

dimaknai dalam pengertian place of the activities of States (outer space)

atau the character of their activities (space activities) atau keduanya.22

Evgeny Korovin menjelaskan bahwa Space Law atau Hukum Angkasa

dapat didefinisikan sebagai “set of rules regulating the legal relations

between people and between States in outer space.”23 Sementara ahli

hukum asal Hungaria, Dr. Gyula Gal, mendefinisikan Hukum Angkasa

sebagai “a set of legal rules regulating the intra- and inter-state relations

that arise in exploring and using outer space and celestial bodies (space

activities), and the legal rules covering consequences of such activities

from the standpoint of the rights of individuals.”24

Hukum Angkasa Internasional dapat didefisikan sebagai:

“the sum total of the specific rules of international law regulating the
relations of States with one another and with international
intergovernmental organizations, and also the mutual relations of such
organizations, in connection with their space activities, and
establishing the legal order of outer space, the Moon and other
celestial bodies in accordance with the principles of general
international law.”25

F. Landasan Teoretis

Teori-teori yang digunakan sebagai alat analisa dalam proposal ini

adalahTeori Kepemilikan Wilayah. Wilayah memainkan peran penting dalam

22
Gennady Shukovdan Yuri Kolosov.International Space Law.2nd Edition.Rusia: Statut
Publishing House. 2014. hlm. 15.
23
Ibid. hlm.
24
Ibid. hlm. 16.
25
Ibid. hlm. 17.
11

Hukum Internasional karena berkaitan erat dengan Negara. Negara merupakan

subjek Hukum Internasional yang pertama/asli (original subject of internasional

law) dan adalah subjek hukum terpenting (par excellence) dibandingkan subjek

Hukum Internasional lainnya.26 D.P O’Connel menyatakan bahwa wilayah

menjadi konsep yang fundamental dalam hukum internasional, mengingat bahwa

pelaksanaan kedaulatan sebuah Negara didasarkan pada wilayah.27

Kepemilikan wilayah dalam Hukum Internasional bukanlah sebuah hal

yang baru. Malcolm N. Shaw menjelaskan bahwa kedaulatan (termasuk

didalamnya kepemilikan) atas wilayah dan cara-cara mendapatkan sebuah wilayah

yang diatur dalam Hukum Internasional merupakan bentuk adopsi dari hukum

Romawi Kuno yang mengatur tentang kepemilikan (ownership and possession)

dan yang berkaitan dengan kebendaan (property). Dalam Hukum Internasional,

setidaknya terdapat 5 rezim yang mengatur kepemilikan wilayah, yaitu:28

a. Kedaulatan teritorial. Pada wilayah yang termasuk dalam kategori ini

berlaku kedaulatan Negara yang bersangkutan.

b. Wilayah yang berada dibawah kekuasaan Negara lain dan yang

memiliki status tersendiri. Contohnya adalah wilayah mandat atau trust

atau perwalian.

c. Res Nullius. Wilayah ini juga dikenal sebagai terra nullius. Wilayah

yang termasuk kedalam kategori ini pada dasarnya tidak dimiliki atau

tidak berada di bawah kedaulatan Negara manapun.

26
Huala Adolf. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Cetakan ke-5.
Bandung: Keni Media. 2015. hlm. 1.
27
Ibid. hlm. 106.
28
Huala Adolf mengemukakan empat rezim dalam bukunya. Penulis memasukan Common
Heritage of Mankind sebagai rezim kelima. Ibid. hlm. 110.
12

d. Res Communis. Wilayah ini juga dikenal sebagai territorium extra

commercium.29 Wilayah yang termasuk kedalam kategori ini pada

dasarnya tidak dapat dimiliki oleh Negara manapun. Namun

pemanfaatannya masih dimungkinkan dengan memperhatikan prinsip

persamaan bagi semua orang.

e. Common Heritage of Mandkind. Wilayah yang termasuk kedalam

kategori ini pada dasarnya tidak dapat dimiliki oleh Negara manapun.

Namun pemanfaatannya Namun pemanfaatannya masih dimungkinkan

dengan memperhatikan prinsip persamaan bagi semua orang dan

dikelola secara internasional.

G. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang dilakukan bagi penulisan proposal ini adalah

penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif meliputi

pengkajian mengenai: (a) Asas-asas hukum; (b) Sistematika hukum; (c)

Taraf sinkronisasi hukum; (d) Perbandingan hukum; (e) Sejarah hukum.30

Objek kajian utama dari penelitian ini adalah asas/prinsip hukum, yaitu

prinsip Common Heritage of Mankind.Proposal ini akan membahas secara

lebih lanjut mengenai penerapanCommon Heritage of Mankind di Bulan.

29
Bradley Larschan dan Bonnie C. Brennan. The Common Heritage of Mankind Principle
in International Law. Columbia Journal of Transnational Law, Volume 21. Amerika Serikat:
Columbia University. 1983. hlm. 319.
30
Bahder Johan Nasution. Metode Peneltian Hukum. Bandung: CV. Mandar Maju. 2016.
hlm 86.
13

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian memiliki peran yang penting dalam penulisan

sebuah karya tulis ilmiah hukum. Dengan pendekatan tersebut, peneliti

akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu-isu yang

sedang dicoba untuk dicari jawabnya.31 Dalam proposal ini akan

digunakan berbagai pendekatan, yaitu

a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah

semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu

hukum yang sedang ditangani.32 Secara sederhana, pendekatan ini

digunakan untuk menelaah instrumen-instrumen hukum terkait isu

yang dibahas dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman terhadap

kandungan filosofis dari instrumen hukum.

b. Pendekatan Historis (Historical Approach)

Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa

yang dipelajari dan perkembangan mengenai isu yang dihadapi. 33

Secara lebih luas, pendekatan ini juga melihat sejarah lahirnya

lembaga hukum serta perubahan dan perkembangan filosofis yang

melandasi lahirnya suatu norma hukum.

c. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach)

31
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Edisi Revisi. Jakarta: Prenadamedia Group.
2015. hlm 133.
32
Ibid.
33
Ibid. hlm 134.
14

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.34 Hal tersebut

yang akan menjadi dasar bagi penulis untuk membangun dan

mengembangkan argumen untuk menyelesaikan isu yang dibahas

dalam proposal ini.

3. Sumber-sumber penelitian

Sumber-sumber penelitian yang digunakan dalam proposal ini adalah

sebagai berikut.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif, artinya mempunyai otoritas.35 Adapun yang termasuk

kedalam bahan hukum primer bagi proposal ini adalah Outer Space

Treaty dan Moon Agreement. Untuk keperluan penulisan lebih lanjut,

penulis juga akan menganalisa ketentuan hukum internasional

mengenai laut sebagai perbandingan dan acuan, mengingat prinsip

Common Heritage of Mankind lahir dari ketentuan hukum laut

internasional.

b. Bahan Hukum Sekunder

Berdasarkan pengertian diatas, maka pengertian dari bahan hukum

sekunder dapat ditarik secara kontraposisi, yaitu bahan hukum yang

tidak bersifat autoritatif. Kegunaan bahan hukum sekunder adalah

memberikan petunjuk dan arahan lebih lanjut bagi peneliti untuk

34
Ibid. hlm 135.
35
Ibid. hlm 181.
15

melakukan penelitiannya, serta membantu peneliti dalam menganalisa

bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam

proposal ini adalah buku-buku hukum, termasuk skripsi, tesis,

disertasi, jurnal-jurnal dan kamus-kamus hukum serta berbagai

publikasi hukum terkait isu yang dibahas.

4. Pengumpulan bahan hukum

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer diperoleh dengan menginventarisasi berbagai

instrument hukum internasional yang berlaku dan relevan dengan

pokok permasalahan yang dikaji.36

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder diperoleh dengan menginventarisasi

literatur, dokumen, artikel, dan berbagai bahan yang relevan dengan

pokok permasalahan yang diteliti.

5. Analisa bahan hukum.

Analisa bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan

dengan cara:

a. Mengumpulkan dan menginventarisasi berbagai ketentuan hukum

internasional yang berkaitan dengan permasalahan.

b. Menganalisa bahan-bahan hukum;

36
Salah satu konsekuensi logis dari digunakannya pendekatan perundang-undangan
dalam sebuah penelitian adalah penelusuran dan invetarisasi dari peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dalam hal ini, peraturan perundang-undangan dapat dimaknai sebagai sumber-
sumber hukum internasional dengan mengacu pada ketentuan Pasal 38 Statuta Mahkamah
Internasional. Lihat Ibid. hlm. 208, 237.
16

c. Melakukan analisa dan intepretasi terhadap ketentuan hukum

internasional dengan melihat pada teori dan konsep yang diperoleh

dari analisa bahan hukum.

H. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan penulis susun dengan menggunakan sistematika

sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN Bab ini adalah bab pertama yang berisi latar

belakang permasalahan, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian,

kerangka konseptual, landasan teori, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi tinjauan secara teoretis

mengenai Res Nullis,Res

CommunisdanKepemilikan

WilayahdalamHukumInternasional,

KonsepdanSejarah Singkat Prinsip Common

Heritage of Mankind, dan Penerapan Prinsip

Common Heritage of Mankind dalam

Hukum Internasional.

BAB III PEMBAHASAN Bab ini berisi pembahasan mengenai

penerapan prinsip Common Heritage of


17

Mankind di Bulan dalam ketentuan Hukum

Angkasa Internasional.

BAB IV PENUTUP Bab ini adalah bab terakhir yang berisi

kesimpulan dan saran.

Anda mungkin juga menyukai