Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Era teknologi antariksa ditandai dengan diluncurkannya satelit bumi Sputnik pada tahun
1957 oleh Rusia (Hildreth,2017). Lebih lanjut Steven A. Hildreth menjelaskan hal tersebut
kemudian mengawali teknologi baru serta kompetisi penjelajahan antariksa diantara Amerika
Serikat dan Rusia. Dibuktikan dengan diluncurkannya satelit Vangard I oleh Amerika Serikat
pada tahun 1958, yang kemudian memicu negara-negara di dunia untuk turut andil bagian dalam
pengembangan serta penguasaan teknologi antariksa sebagai salah satu upaya dalam
kemakmuran serta kepentingan tiap-tiap negara.
Dalam perkembangan teknologi antariksa 55 tahun terakhir, ruang di sekitar Bumi telah
dipenuhi dengan objek buatan. Lebih lanjut lihat pada data berikut, di mana sejak 2016 telah
terjadi peningkatan jumlah satelit di antariksa :

Gambar 1 : Evolusi Populasi Satelit

Sumber : NASA, 2017

Pada gambar diatas, memaparkan data mengenai peningkatan jumlah satelit dalam orbit
bumi yakni kurang lebih sebanyak 17.500 objek yang besarnya mulai dari 10 cm. Dengan
banyaknya satelit yang masih berfungsi maupun satelit yang sudah tidak lagi berfungsi dapat

1
menyebabkan adanya kejenuhan di antariksa, dan menjadi salah satu penyebab terjadinya
tabrakan antara objek antariksa yang satu dengan objek antariksa yang lain. Benda antariksa
yang kehilangan fungsinya serta puing-puing dan pecahan-pecahan kecil di lingkungan antariksa
ini yang kemudian disebut dengan sampah antariksa atau dikenal dengan space debris.
Ditegaskan kembali dalam data The European Space Agency (ESA) tercatat bahwa jumlah
peluncuran roket sejak dimulainya era luar angkasa pada tahun 1957 hingga Febuari 2020
sebanyak 5560 (tidak termasuk kegagalan), kemudian jumlah satelit yang ditempatkan
peluncuran roket ini ke orbit Bumi sekitar 9600 dengan jumlah yang masih di luar angkasa
sekitar 5500 dan yang masih berfungsi sekitar 2300. Lebih lanjut ESA menjelaskan bahwa massa
total semua benda luar angkasa di orbit Bumi yakni lebih dari 8800 ton. Jumlah objek puing
yang diperkirakan oleh model statistik berada di orbit yakni sebanyak 34.000, dengan benda
berukuran >10 cm sebanyak 900.000 dan yang lebih besar dari 1 cm sampai 10 cm sekitar 128
juta objek mulai dari lebih dari 1 mm hingga 1 cm (ESA,2020).
Space debris menjadi permasalahan yang terus dibahas dalam forum internasional karena
keberadaannya tidak hanya memberikan ancaman dan dampak terhadap keamanan lingkungan di
antariksa namun juga bagi keselamatan hidup manusia di Bumi. Space debris juga dapat
menggangu aktivitas di antariksa seperti peluncuran, tabrakan dengan satelit aktif, maupun
International Space Station (ISS) serta juga dapat mengancam aktivitas manusia di berbagai
aspek yakni ekonomi, politik maupun sosial (Bradley,2009). Dua peristiwa dalam beberapa
kurun waktu terakhir yaitu adanya uji anti-satelit China tahun 2007 dan pada tahun 2009 di mana
satelit komersial Amerika Serikat (AS) yang secara tidak sengaja bertabrakan dengan satelit
Rusia yang mati secara dramatis telah meningkatkan jumlah puing fragmentasi di orbit. Peristiwa
tersebut bukan hanya menjadi permasalahan peningkatan jumlah sampah anatriksa atau space
debris namun juga menjadi permasalahan keamanan negara bagi suatu negara. Di mana satelit
antariksa, digunakan negara dalam pengembangan keamanan, militer, tekonolgi serta
menyimpan berbagai data rahasia bagi sebuah negara (Zhang,2012). Dalam penelitian beberapa
ahli menyatakan bahwa pertumbuhan populasi puing-puing ruang angkasa akan didorong oleh
tabrakan dahsyat yang mungkin terjadi setiap lima hingga sembilan tahun
(Kusumaningtyas,2016).
Menyikapi meningkatnya jumlah sampah satelit, masyarakat internasional melalui
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan konvensi khusus untuk mengatur

2
pemanfaatan ruang angkasa yaitu Treaty on Principle Governing the Activities of States in the
Eksploration and Use of Outer Space, the Moon and Other Celestial Bodies 1967. Konvensi ini
juga dikenal dengan Space Treaty 1967 yang dimana secara khusus mengatur tentang kegiatan
kegiatan di antariksa yang berkaitan dengan benda-benda di ruang angkasa dan ruang angkasa.
Dalam perjanjian ini, semua kegiatan manusia di luar angkasa diatur oleh hukum internasional
angkasa (United Nations, 1986).
Pasal 6 dan 7 Outer Space Treaty 1967 mengatakan bahwa “Negara Peluncur dan Negara
Sponsor memiliki tanggung jawab atas kegiatan-kegiatan di luar angkasa dan kerugian yang
ditimbulkan akibat kegiatan itu. Dari Perjanjian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa setiap
negara yang memanfaatkan ruang angkasa bertangung jawab atas kegiatan-kegiatan ruang
angkasa dalam hal ini termasuk peluncuran satelit sampai pada satelit yang menjadi space debris,
dari perjanjian tersebut lahir beberapa perjanjian untuk melengkapi treaty tersebut,salah satunya
adalah Liability Convention 1972, Konvensi ini berkenaan dengan tanggung jawab negara jika
terjadi kerugian akibat peluncuran benda ruang angkasa saja, dalam hal ini, jika dalam pasal 6
dan 7 Outer Space Treaty 1967 menyatakan bahwa setiap negara memilki tanggung jawab atas
aktivitas di luar angkasa, dalam hal ini dapat diartikan bahwa negara bertanggung jawab atau
memiliki peran dalam menanggulangi (mengontrol/mengatasi) satelit-satelit non aktif (Space
Debris).
Melihat berbagai ancaman yang diakibatkan dari adanya space debris, sehingga Amerika
Serikat sebagai salah satu negara yang memanfaatkan ruang angkasa bagi kemakmuran
negaranya. Seperti pernyataan National Security Space Strategy yakni :

“Space is critical to US national security and our ability to understand emerging


threats, project global strength, conduct operations, support diplomatic efforts, and
support the viability of the global economy”(NSCC,2011 dalam Man,2013)
Melalui pernyataan tersebut, dapat dilihat bahwa Amerika Serikat memandang bahwa
ruang angkasa sangat penting bagi keamanan nasional negaranya. Sehingga melalui kemampuan
Amerika dalam menangani ancaman yang muncul, melalui berbagai upaya seperti
mengembangkan proyek secara global, melakukan operasi, serta melakukan berbagai dukungan
upaya diplomatik dalam kelangsungan ekonomi global dikarenakan pengembangan teknologi
dalam menangani space debris membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hal tersebut dilakukan
Amerika seiring dengan manfaat yang diberikan luar angkasa bagi negaranya, yakni bagi pusat

3
dari berbagai kepentingan nasional Amerika Serikat seperti militer, intelijen, sipil serta berbagai
kepentingan komersial (Wright,2009). Meningkatnya space debris di beberapa tahun terakhir, di
mana dapat mengakibatkan ketidakstabilan lingkungan luar angkasa, sehingga hal ini juga dapat
menjadi ancaman bagi kepentingan nasional Amerika di luar angkasa. Di mana melalui
pernyataan Wakil Menteri Pertahanan Amerika yakni S William J. Lynn bahwa adanya
gangguan dalam lingkungan antariksa dapat berimplikasi bagi keamanan nasional karena
melalui ruang angkasa, sistem ini memungkinkan cara perang modern Amerika, yakni seperti
membantu penyerangan dengan presisi, untuk bernavigasi dengan akurat, berkomunikasi dengan
pasti, dan untuk melihat medan perang dengan jelas (Hildreth,2014).
Melihat pentingnya ruang angkasa bagi Amerika, maka selama beberapa dekade terakhir,
Amerika telah berupaya meminimalkan jumlah puing orbital (Arnold,2014). Lebih lanjut Arnold
menjelaskan bahwa upaya yang dilakukan tersebut dijalankan oleh National Aeronautics and
Space Administration (NASA) yaitu badan penerbangan dan antariksa lembaga pemerintah milik
Amerika yang bertanggung jawab terhadap program luar angkasa Amerika dan berbagai
penelitian mengenai luar angkasa dalam jangka panjang. Hal tersebut terus dilakukan Amerika
melalui NASA, sebagai salah satu upaya dalam menangani permasalahan yang dapat
ditimbulkan dari adanya peningkatan jumlah space debris di orbital bumi. Berbagai upaya
melalui NASA telah dilakukan Amerika.
Melalui penjelasan mengenai masalah yang dapat ditimbulkan dengan meningkatnya
space debris di antariksa yang kemudian AS melalui NASA muncul sebagai salah satu aktor
yang berpartisipasi akfif dalam upaya penanganan space debris, sehingga peneliti ingin meneliti
lebih lanjut mengenai peran AS tersebut melalui proposal penelitian yang berjudul “Analisis
Upaya Amerika Serikat Melalui National Aeronautics And Space Administration (NASA) Dalam
Menangani Space Debris di Tinjau dari Rational Choice Theory”.

1.2. Rumusan Masalah


Berangkat dari adanya peningkatan jumlah space debris yang menimbulkan berbagai
macam masalah sehingga AS melalui NASA hadir sebagai salah satu aktor yang berperan dalam
menangani masalah tersebut, maka dasar pertanyaan penelitian ini sebagai berikut: “Bagaimana
pandangan rational choice theory dalam melihat upaya Amerika Serikat melalui
National Aeronautics and Space Administration (NASA) dalam menangani permasalahan space
debris ?”

4
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan meneliti lebih lanjut mengenai upaya
Amerika Serikat melalui National Aeronautics and Space Administration (NASA) dalam
menangani space debris di tinjau dari rational choice theory.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Praktis


Manfaat dari penelitian ini yaitu bisa menjadi salah satu referensi kepada para
pembaca serta akademisi guna memahami upaya Amerika Serikat melalui
National Aeronautics and Space Administration (NASA) dalam menangani space debris
di tinjau dari rational choice theory.

1.4.2 Manfaat Teoritis


Manfaat teoritis dari penelitian ini ialah peneliti berharap bisa menjadi bahan
refleksi bagi pemerintah agar dapat turut berpartisi dalam menangani upaya mengatasi
peristiwa yang mirip atau sama suatu saat.

1.5 Batasan Penelitian


Dalam penelitian ini memiliki batasan-batasan tertentu dimana tujuannya agar penelitian
ini dapat lebih terarah dan fokus pada tujuan awal penelitian. Oleh karena itu, batasan yang
dimaksu adalah sebagai berikut:
1) Penelitian ini hanya menjelaskan peran Amerika Serikat melalui NASA dalam upaya
menangani space debris.
2) Penggunaan rational choice theory dalam memetakan upaya Amerika Serikat melalui
NASA terhadap permasalahan space debris

Anda mungkin juga menyukai