PENDAHULUAN
Pada gambar diatas, memaparkan data mengenai peningkatan jumlah satelit dalam orbit
bumi yakni kurang lebih sebanyak 17.500 objek yang besarnya mulai dari 10 cm. Dengan
banyaknya satelit yang masih berfungsi maupun satelit yang sudah tidak lagi berfungsi dapat
1
menyebabkan adanya kejenuhan di antariksa, dan menjadi salah satu penyebab terjadinya
tabrakan antara objek antariksa yang satu dengan objek antariksa yang lain. Benda antariksa
yang kehilangan fungsinya serta puing-puing dan pecahan-pecahan kecil di lingkungan antariksa
ini yang kemudian disebut dengan sampah antariksa atau dikenal dengan space debris.
Ditegaskan kembali dalam data The European Space Agency (ESA) tercatat bahwa jumlah
peluncuran roket sejak dimulainya era luar angkasa pada tahun 1957 hingga Febuari 2020
sebanyak 5560 (tidak termasuk kegagalan), kemudian jumlah satelit yang ditempatkan
peluncuran roket ini ke orbit Bumi sekitar 9600 dengan jumlah yang masih di luar angkasa
sekitar 5500 dan yang masih berfungsi sekitar 2300. Lebih lanjut ESA menjelaskan bahwa massa
total semua benda luar angkasa di orbit Bumi yakni lebih dari 8800 ton. Jumlah objek puing
yang diperkirakan oleh model statistik berada di orbit yakni sebanyak 34.000, dengan benda
berukuran >10 cm sebanyak 900.000 dan yang lebih besar dari 1 cm sampai 10 cm sekitar 128
juta objek mulai dari lebih dari 1 mm hingga 1 cm (ESA,2020).
Space debris menjadi permasalahan yang terus dibahas dalam forum internasional karena
keberadaannya tidak hanya memberikan ancaman dan dampak terhadap keamanan lingkungan di
antariksa namun juga bagi keselamatan hidup manusia di Bumi. Space debris juga dapat
menggangu aktivitas di antariksa seperti peluncuran, tabrakan dengan satelit aktif, maupun
International Space Station (ISS) serta juga dapat mengancam aktivitas manusia di berbagai
aspek yakni ekonomi, politik maupun sosial (Bradley,2009). Dua peristiwa dalam beberapa
kurun waktu terakhir yaitu adanya uji anti-satelit China tahun 2007 dan pada tahun 2009 di mana
satelit komersial Amerika Serikat (AS) yang secara tidak sengaja bertabrakan dengan satelit
Rusia yang mati secara dramatis telah meningkatkan jumlah puing fragmentasi di orbit. Peristiwa
tersebut bukan hanya menjadi permasalahan peningkatan jumlah sampah anatriksa atau space
debris namun juga menjadi permasalahan keamanan negara bagi suatu negara. Di mana satelit
antariksa, digunakan negara dalam pengembangan keamanan, militer, tekonolgi serta
menyimpan berbagai data rahasia bagi sebuah negara (Zhang,2012). Dalam penelitian beberapa
ahli menyatakan bahwa pertumbuhan populasi puing-puing ruang angkasa akan didorong oleh
tabrakan dahsyat yang mungkin terjadi setiap lima hingga sembilan tahun
(Kusumaningtyas,2016).
Menyikapi meningkatnya jumlah sampah satelit, masyarakat internasional melalui
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan konvensi khusus untuk mengatur
2
pemanfaatan ruang angkasa yaitu Treaty on Principle Governing the Activities of States in the
Eksploration and Use of Outer Space, the Moon and Other Celestial Bodies 1967. Konvensi ini
juga dikenal dengan Space Treaty 1967 yang dimana secara khusus mengatur tentang kegiatan
kegiatan di antariksa yang berkaitan dengan benda-benda di ruang angkasa dan ruang angkasa.
Dalam perjanjian ini, semua kegiatan manusia di luar angkasa diatur oleh hukum internasional
angkasa (United Nations, 1986).
Pasal 6 dan 7 Outer Space Treaty 1967 mengatakan bahwa “Negara Peluncur dan Negara
Sponsor memiliki tanggung jawab atas kegiatan-kegiatan di luar angkasa dan kerugian yang
ditimbulkan akibat kegiatan itu. Dari Perjanjian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa setiap
negara yang memanfaatkan ruang angkasa bertangung jawab atas kegiatan-kegiatan ruang
angkasa dalam hal ini termasuk peluncuran satelit sampai pada satelit yang menjadi space debris,
dari perjanjian tersebut lahir beberapa perjanjian untuk melengkapi treaty tersebut,salah satunya
adalah Liability Convention 1972, Konvensi ini berkenaan dengan tanggung jawab negara jika
terjadi kerugian akibat peluncuran benda ruang angkasa saja, dalam hal ini, jika dalam pasal 6
dan 7 Outer Space Treaty 1967 menyatakan bahwa setiap negara memilki tanggung jawab atas
aktivitas di luar angkasa, dalam hal ini dapat diartikan bahwa negara bertanggung jawab atau
memiliki peran dalam menanggulangi (mengontrol/mengatasi) satelit-satelit non aktif (Space
Debris).
Melihat berbagai ancaman yang diakibatkan dari adanya space debris, sehingga Amerika
Serikat sebagai salah satu negara yang memanfaatkan ruang angkasa bagi kemakmuran
negaranya. Seperti pernyataan National Security Space Strategy yakni :
3
dari berbagai kepentingan nasional Amerika Serikat seperti militer, intelijen, sipil serta berbagai
kepentingan komersial (Wright,2009). Meningkatnya space debris di beberapa tahun terakhir, di
mana dapat mengakibatkan ketidakstabilan lingkungan luar angkasa, sehingga hal ini juga dapat
menjadi ancaman bagi kepentingan nasional Amerika di luar angkasa. Di mana melalui
pernyataan Wakil Menteri Pertahanan Amerika yakni S William J. Lynn bahwa adanya
gangguan dalam lingkungan antariksa dapat berimplikasi bagi keamanan nasional karena
melalui ruang angkasa, sistem ini memungkinkan cara perang modern Amerika, yakni seperti
membantu penyerangan dengan presisi, untuk bernavigasi dengan akurat, berkomunikasi dengan
pasti, dan untuk melihat medan perang dengan jelas (Hildreth,2014).
Melihat pentingnya ruang angkasa bagi Amerika, maka selama beberapa dekade terakhir,
Amerika telah berupaya meminimalkan jumlah puing orbital (Arnold,2014). Lebih lanjut Arnold
menjelaskan bahwa upaya yang dilakukan tersebut dijalankan oleh National Aeronautics and
Space Administration (NASA) yaitu badan penerbangan dan antariksa lembaga pemerintah milik
Amerika yang bertanggung jawab terhadap program luar angkasa Amerika dan berbagai
penelitian mengenai luar angkasa dalam jangka panjang. Hal tersebut terus dilakukan Amerika
melalui NASA, sebagai salah satu upaya dalam menangani permasalahan yang dapat
ditimbulkan dari adanya peningkatan jumlah space debris di orbital bumi. Berbagai upaya
melalui NASA telah dilakukan Amerika.
Melalui penjelasan mengenai masalah yang dapat ditimbulkan dengan meningkatnya
space debris di antariksa yang kemudian AS melalui NASA muncul sebagai salah satu aktor
yang berpartisipasi akfif dalam upaya penanganan space debris, sehingga peneliti ingin meneliti
lebih lanjut mengenai peran AS tersebut melalui proposal penelitian yang berjudul “Analisis
Upaya Amerika Serikat Melalui National Aeronautics And Space Administration (NASA) Dalam
Menangani Space Debris di Tinjau dari Rational Choice Theory”.
4
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan meneliti lebih lanjut mengenai upaya
Amerika Serikat melalui National Aeronautics and Space Administration (NASA) dalam
menangani space debris di tinjau dari rational choice theory.