Anda di halaman 1dari 27

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGGUNAAN MILITER DI LUAR ANGKASA


(THE MILITARY USES OF OUTER SPACE)

TUGAS
HUKUM PEMANFAATAN UDARA DAN RUANG ANGKASA

Firman A. Anshari
2006495366
Rizka Iswara
2006548952

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
JAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan manusia
berkembang pesat dari waktu ke waktu. Salah satunya adalah dibidang
keantariksaan yang menyebabkan manusia dapat melakukan eksplorasi dan
eksploitasi terhdap ruang angkasa dan benda-benda angkasa.

Setelah Perang Dunia II yang berakhir di pertengahan abad ke-20, sebuah


konflik baru muncul dan dikenal sebagai Perang Dingin (The Cold War) dimana
pertempuran ini terdiri dari “the world’s two superpowers” yaitu Amerika Serikat
dan Uni Soviet yang memiliki ideologi yang berbeda. Selama masa inilah dua
kekuatan terus melakukan persaingan satu dengan lainnya. Perlombaan kekuatan
antara Amerika dan Uni Soviet sangat luas, mulai dari sektor ekonomi, politik,
sosial, hingga militer. Meskipun begitu, kontestasi keduanya tidak hanya terbatas
pada area daratan dan laut, atau ‘Bumi’ saja, tetapi juga pada ranah ruang
angkasa. Saat itulah keduanya memasuki space age atau era antariksa, dan
melangsungkan space race (perlombaan antariksa).1

Salah satu implikasi pada bidang pertahanan dan keamanan suatu negara
dengan adanya perkembangan jenis satelit yang digunakan sebagai senjata militer
baik senjata pendukung maupun sebagai senjata utama. Tindakan ini sangat
mengkhawatirkan bagi masyarakat internasional dikarenakan persaingan dan
perombaan persenjataan terus terjadi yang dapat memicu perang yang mengancam
perdamaian dan keamanan dunia internasional. Perang yang terjadi tidak dapat
dipungkiri menggunakan teknologi yang semakin canggih salah satunya dengan
satelit yang mampu bertransformasi menjadi senjata militer pemusnah massal. Hal
ini tentu mampu memicu terjadi perang dunia ketiga dan mengancam stabilitas
perdamaian dunia yang berdampak buruk pada seluruh negara terutama negara-
1
Kumalasari, Indah. Kontestasi Amerika Dan Rusia Dalam International Space Station: Kajian
Astropolitik. Hlm 2 Diakses Melalui
Http://Repository.Umy.Ac.Id/Bitstream/Handle/123456789/25826/11.%20Jurnal%20publikasi
%20skripsi%20Indah%20Kumalasari.Pdf?Sequence=11&Isallowed=Y Pada Tanggal 21 Oktober
2020, 19.59 WIB

1
negara berkembang. Mengingat bahwa selama ini pemain di ruang angkasa hanya
negara-negara maju yang memiliki sumber daya untuk melakukan eksplorasi
sekaligus eksploitasi ruang angkasa dengan satelit-satelit yang diluncurkannya
termasuk satelit yan diperuntukan sebagai senjata militer. Pada sisi lain, Negara-
negara berkembang yang tidak memiliki kemampuan dan sumber daya untuk
membangun pertahanan diri dari ruang angkasa dengan satelit akan menjadi
korban pertamanya.

Dalam tugas ini, penulis akan mencoba mengkaji penggunaan ruang


angkasa untuk militer dengan berdasarkan pengaturan dalam Space Treaty yang
nama lengkapnya “Treaty on Principles Governing Activities of State in the
Exploration and Uses of Outer Space including the Moon and Other Celestial
Bodies” pada tahun 1967 sebagai landasan dasar hukum untuk kegiatan eksplorasi
ruang angkasa.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan lingkup permasalahan
adalah: Bagaimana pengaturan Space Treaty 1967 dalam membahas penggunaan
militer di ruang angkasa?

3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dengan adanya penulisan ini untuk
mengkaji dan mengetahui pengaturan Space Treaty 1967 dalam membahas
penggunaan militer di ruang angkasa.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Pemanfaatan Ruang Angkasa

Kegiatan pemanfaatan ruang angkasa ditandai dengan peluncuran satelit


Sputnik I, milik Uni Sovyet, tahun 1957 2. Sebelum peluncuran Sputnik, diketahui
bahwa pengembangan teknologi antariksa Amerika dan Rusia pada awalnya
adalah upaya penelitian transportasi atau roket untuk senjata. Dimulai dari
Amerika yang telah mengembangkan senjata misil ulang alik (missile ballistic),
dan dilanjutkan dengan penelitian tentang roket pembawa hulu ledak misil
tersebut. Selanjutnya, riset dilakukan untuk penyesuaian lingkungan dimana
senjata tersebut diluncurkan, sehingga Militer Angkatan Darat, Laut dan Udara
berupaya untuk mengembangkan teknologi senjata yang efisien digunakan dalam
medan yang bervariasi dan memiliki daya ledak yang mematikan. Riset ini
kemudian membawa Amerika pada teknologi misil ulang alik antar benua atau
Intercontinental Ballistic Missile (ICBM), yaitu sebuah senjata misil yang dapat
ditembakkan dari Amerika dan target sasarannya berada di benua lainnya.
Mengetahui hal ini, Rusia juga turut mengembangankan ICBM untuk menyaingi
Amerika. Rusia memiliki visi untuk membuat misil yang dapat ditembakkan dari
Rusia untuk menyerang Amerika. Visi ini mendominasi riset pengembangan
teknologi roket Rusia pada akhir tahun 1947. Dalam upaya pembuatan ICBM,
Rusia mengembangkan seluruh variasi misil, mulai dari misil ulang alik dengan
jarak tembak dekat hingga menengah (medium-range ballistic missile MRBM)
yang kemudian menjadi operasi MRBM dengan hulu ledak nuklir pertama di
dunia (Catledge & Powell, 2009). Maka dari itu, seluruh pengembangan roket
Amerika dan Rusia pada awalnya berada dibawah naungan Militer Angkatan
Udara.

Dalam perkembangannya didirikan badan khusus menangani urusan


penelitian teknologi roket Amerika yaitu National Advisory Committee for
2
Omba, Marthinus, Prinsip Kebebasan di Ruang Angkasa Menurut “Outer Space Treaty 1967”
dan Perkembangannya. Jurnal Hukum & Pembangunan, Vol 24, No 4, 1994

3
Aeronautics (NACA). Untuk mengatasi ketertinggalan akan Rusia, Amerika
akhirnya memutuskan untuk segera meluncurkan satelit artifisial pertamanya yaitu
Explorer 1 pada 31 Januari 1958. Setelah berhasil meluncurkan satelit pertama,
Amerika yang saat itu dipimpin oleh presiden Dwight D. Eisenhower menyadari
bahwa terdapat sebuah pergerakan ancaman yang datang dari Rusia pasca
Sputnik. Tidak hanya itu, pejabat militer Amerika juga mendeklarasikan bahwa
siapapun yang dapat mengontrol ruang angkasa, akan dapat mengntrol bumi.
Dengan begitu, pada 29 Juli 1958, presiden Eisenhower menandatangani
pendirian National Aeronautics and Space Administration atau NASA.
Sebelumnya gagasan ini diusulkan oleh senator Lyndon B. Johnson dihadapan
rapat Kongres. NACA kemudian bertransformasi menjadi NASA.3

Kemudian akhir tahun 1950-an, PBB menyadari bahwa perkembangan


kemajuan kegiatan antariksa, di samping dapat memberikan manfaat yang cukup
besar bagi kemakmuran, juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan
manusia. Apabila kegiatan antariksa dilakukan secara tidak bertanggung-jawab,
maka dapat membinasakan peradaban umat manusia. Menyadari konsekuensi-
konsekuensi yang dapat timbul dari kegiatan antariksa ini, PBB kemudian
berupaya untuk dapat memberikan jaminan agar kemajuan kegiatan antariksa dari
negara-negara hendaknya dapat memberikan manfaat bagi semua negara tanpa
membedakan tingkat kemajuan ekonomi dan teknologi dari negara-negara.

PBB dalam merealisasikan upayanya tersebut di atas, membuat Resolusi


Majelis Umum (MU) Nomor 1348 (XIII), tanggal 13 Desember 1958 tentang
pembentukan Komite Sementara yaitu "Ad Hoc Committee on the Peaceful Uses
of Outer Space". Komite sementara ini bertugas meneliti masalah-masalah
keantariksaan, termasuk yang berkaitan dengan aspek hukum kegiatan antariksa.
Kemudian, PBB dengan Resolusi MU Nomor 1472 (XIV), tanggal 12 Desember
1959 menetapkan Komite Sementara itu menjadi komite tetap dengan nama
"United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space", disingkat
UNCOPUOS. Komite ini adalah komite pembina utama (focal point) yang berada

3
Op.Cit. hlm 2- 3

4
di bawah MU PBB untuk menangani secara internasional isu-isu dan masalah-
masalah keantariksaan. UNCOPUOS secara efektif baru melaksanakan tugas dan
mandatnya pada tahun 1961.

United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space


(UNCOPUOS) merupakan organisasi internasional yang berada di bawah sistem
PBB. Sampai saat ini UNCOPUOS telah menjalankan perannya dalam
pembentukan hukum, dengan menghasilkan perjanjian keantariksaan baik yang
telah berlaku sebagai hukum positif maupun yang belum berlaku sebagai hukum
positif. Pembentukan hukum antariksa internasional oleh UNCOPUOS didasarkan
kewenangan yang diberikan kepadanya sebagai suatu organisasi internasional.
Berdasarkan hasil kajian, baik dilihat dari sisi hukum organisasi internasional
maupun materi muatan hasil pembentukan hukumnya, UNCOPUOS mempunyai
kewenangan dan hasilnya absah secara hukum.4

Berdasarkan resolusi pembentukannya (Resolusi Nomor 1348, 1958),


UNCOPUOS beranggotakan maksimum 53 (lima puluh tiga) negara, yang pada
saat pembentukannya (1959) baru beranggotakan 24 (dua puluh empat) negara.
Keanggotaan UNCOPUOS terisi penuh pada tahun 1978. Indonesia yang diterima
menjadi anggota pada tahun 1973 adalah anggota yang ke-37, sejak tahun 2001
anggota UNCOPUOS diperluas menjadi 67 negara. UNCOPUOS mempunyai
tugas: (i) menetapkan usaha yang akan dilakukan/disponsori PBB untuk
mendorong negaranegara dalam pengembangan dan pemanfaatan kemajuan iptek
antariksa bagi pembangunan nasional, dan (ii) mengkaji dan merumuskan aturan-
aturan hokum internasionl mengenai eksplorasi dan eksploitasi antariksa untuk
maksud damai.5

Sesuai dengan mandatnya, UNCOPUOS telah berupaya untuk merumuskan


perjanjian internasional yang berkaitan dengan berbagai isu dan masalah
keantariksaan. Sampai saat ini terdapat beberapa perjanjian internasional yang

4
Diogenes, Kewenangan United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space
(UNCOPUOS) dalam Pembentukan Hukum Antariksa Internasional, Dialogia Juridica Vol. 11
No. 1, November 2019. Hlm 22-23
5
Ibid, hlm 28

5
telah diajukan kepada dan disahkan oleh Majelis Umum PBB. Sebagian di
antaranya telah dan sebagian lainnya belum diberlakukan sebagai hukum positif
(entry into force). Adapun hasil-hasil UNCOPUOS tersebut terutama yang
didalamnya ada membahas hal penggunaan ruang angkasa untuk militer adalah
sebagai berikut:6

Perjanjian keantariksaan yang telah berlaku sebagai hukum positif.

1) "Treaty on Principles Governing Activities of State in the Exploration


and Uses of Outer Space including the Moon and Other Celestial
Bodies, 1967", terbuka untuk ditanda tangani negara-negara sejak 9
Desember 1966 dan berlaku sebagai hukum positif sejak 27 Januari
1967, yang kemudian disingkat dengan Space Treaty, 1967. Sejak tahun
2000, perjanjian ini telah diratifikasi oleh 96 negara dan ditandatangani
oleh 27 negara.

2) “Agreement Governing the Activities of State on the Moon and Other


Celestial Bodies”, terbuka untuk ditandatangani negara-negara sejak 18
Desember 1979 dan berlaku sebagai hukum positif sejak 11 Juli 1984,
kemudian disingkat dengan Moon Agreement, 1979. Sejak tahun 2000,
perjanjian ini telah diratifikasi oleh 9 negara dan ditandatangani oleh 5
negara.

1. Anti-Satelite Weapon

Senjata anti-satelit (ASAT) adalah senjata luar angkasa yang dirancang


untuk melumpuhkan atau menghancurkan satelit untuk tujuan strategis atau taktis.
Beberapa negara memiliki sistem ASAT operasional. Meskipun belum ada sistem
ASAT yang digunakan dalam peperangan, beberapa negara (Amerika Serikat,
Rusia, China, dan India) telah berhasil menembak jatuh satelit mereka sendiri
untuk menunjukkan kemampuan ASAT mereka dalam unjuk kekuatan. Peran
ASAT meliputi: tindakan defensif terhadap senjata nuklir dan berbasis antariksa

6
Ibid, hlm 29-31

6
musuh, pengganda kekuatan untuk serangan nuklir pertama, tindakan balasan
terhadap pertahanan rudal anti-balistik musuh.

B. Space Treaty 1967

Pada dasarnya baik aktivitas militer maupun sipil di ruang angkasa, kalau
dilihat sejarah perkembangan aktivitas militer Amerika Serikat di ruang angkasa
sebagai perbandingan, didasari oleh teknologi militer. Bukanlah merupakan suatu
persoalan yang rumit untuk mengonversi suatu teknologi yang mulanya
digunakan untuk tujuan sipil menjadi teknologi militer. Terlebih lagi saat ini,
kondisi persaingan persenjataan antar negara kian memanas, sehingga masing-
masing Negara menganggap perlu untuk melakukan self-defense dengan
melakukan perubahan fungsi pada satelit-satelit tersebut ketika dibutuhkan. Ketika
kondisi ini semakin memanas, tidak dapat dimungkiri akan memicu terjadinya
perang satelit sebagai senjata mematikan di ruang angkasa dan berdampak
terhadap kehidupan di bumi sehingga mengancam keamanan dan perdamaian
dunia.7

Telah dikatakan sebelumnya bahwa hukum internasional sebagaimana


hukum pada umumnya, adalah bertujuan untuk mengatur dan menyelenggarakan
keamanan dan ketertiban. Melalui hukum internasional kepentingan bersama
masyarakat internasional diatur dan dijamin kemanannya sebagai upaya mencapai
ketertiban minimum, dalam arti menekan sekecil mungkin penggunaan kekerasan
atau paksaan secara tidak sah dan untuk mencapai ketertiban optimum. Dalam
artian sebesar mungkin mengupayakan dan bersama-sama merasakan nilai-nilai
kehidupan, seperti rasa hormat, kekuasaan, kesejahteraan, kemanusiaan dan
sebagainya. Tujuan umum hukum internasional tersebut tampak jelas dalam dan
dipertegas dalam Piagam PBB. Pada pembukaan Piagam PBB, perdamaian dan
keamanan internasional diberikan tekanan khusus dalam rangka menyelamatkan
umat manusia dari bencana perang. Selanjutnya dipertegas dalam Pasal 2 ayat (3)
Piagam PBB yang menekankan bahwa sengketa-sengketa internasional harus
7
Irvan dan I Wayan Novy Purwanto. Upaya Demiliterisasi di Ruang Angkasa Ditinjau dari
Prespektif Hukum Ruang Angkasa Internasional, Jurnal Kertha Negara Vol. 8 No. 7. 2020, hlm
18

7
diselesaikan dengan cara-cara damai sedemikian rupa, sehingga perdamaian dan
keamanan internasional tidak terancam. 8

Sebagai perwujudan hukum internasional kontemporer, ketentuan yang


terdapat di dalam Piagam PBB berlaku juga di ruang angkasa. Hal ini bukan
sematamata karena ditentukan demikian oleh Pasal III Space Treaty 1967
melainkan karena nature dari perbuatan itu sendiri tanpa memandang dimana
perbuatan itu dilakukan. Dalam hubungannnya dengan aktivitas negara-negara di
ruang angkasa, Pasal III Space Treaty 1967 menyatakan bahwa:

“State parties to the treaty shall carry on activities in the exploration and
use of outer space, including the moon and other celestial bodies, in accordance
with international law, including the Charter of the United Nations, in the
maintaining of international peace and security and promoting international co-
operation and understanding.”
Konsekuensinya, keabsahan setiap aktivitas Negara-negara di ruang angkasa
harus dinilai bukan saja jika aktivitas tersebut dibenarkan oleh Space Treaty 1967
(dan perjanjian-perjanjian internasional lain yang bersumber padanya) melainkan
juga bilamana hal itu dapat dibenarkan oleh ketentuan hukum internasional umum
dan Piagam PBB.9

Lebih lanjut, dalam Space Treaty 1967 yang juga memuat prinsip-prinsip
dasar bagi aktivitas negara-negara di ruang angkasa, termasuk bulan dan benda-
benda langit lainnya, mempunyai tujuan bahwa segala kegiatan Negara-negara
dalam eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa harus dilakukan demi perdamaian
dan kemanusiaan. Prinsip ini yang dianggap sebagai prinsip utama yang terdapat
dalam Resolusi Majelis Umum PBB 1962 yaitu a) eksplorasi dan penggunaan
ruang angkasa dapat dilakukan hanya untuk kesejanteraan dan kepentingan
kemanusiaan; b) ruang angkasa, bulan dan benda-benda langit lainnya bebas
untuk dieksplorasi dan digunakan oleh semua Negara tanpa kecuali, berdasarkan
persamaan derajat, tak dapat dijadikan objek pemilikan nasional; dan c) berada di
bawah pengaturan hukum internasional dan Piagam PBB.

8
Ibid. hlm 19
9
Ibid. hlm 20

8
Dalam perkembangannya bahwa pembentukan hukum ruang angkasa
dengan lahirnya perjanjian internasional di samping Space Treaty 1967, dalam
aktivitas eksplorasi penggunaan ruang angkasa kini telah ditentukan Sembilan
prinsip dasar yaitu:

1. Freedom of exploration and use of Outer Space and Celestial Bodies;


2. Non-appropriation of Outer Space or Celestial Bodies;
3. Exploration and use of Outer Space, Celestial Bodies in accordance with
fundamental Principles of International Law, including the Charter of
United Nations;
4. Partial Demilitarization of Outer Space;
5. Retention by States of Sovereign Rights over Space Objects Launched
into Outer Space;
6. International Responsibility of State for National Activities in Space,
Including Liability for damage caused by space objects;
7. Prevention of potentially harmful consequences of Experiment in Outer
Space and on Celestial Bodies;
8. Assistance to Personnel of Spacecraft in the Event of Accident, Distress
or Emergency Landing;
9. International cooperation in the Peaceful Exploration and Use of Outer
Space and Celestial Bodies.
Di Indonesia sendiri, prinsip prinsip tersebut sudah dipatuhi oleh Indonesia
setelah Indonesia meratifikasi Space Treaty 1967 menjadi Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengesahan Treaty On Principles Governing The
Activities Of States In The Exploration And Use Of Outer Space, Including The
Moon And Other Celestial Bodies, 1967 (Traktat Mengenai Prinsip-Prinsip yang
Mengatur Kegiatan Negara-Negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa,
Termasuk Bulan dan Benda-Benda Langit Lainnya, 1967). Pada UU No. 12/ 2002
tersebut, dijelaskan bahwa pokok-pokok pada traktat luar angkasa adalah:

a. Kebebasan Eksplorasi dan Penggunaaan Antariksa

Semua negara bebas melakukan eksplorasi dan penggunaan antariksa


tanpa diskriminasi berdasarkan asas persamaan dan sesuai dengan hukum

9
internasional. Negara-negara bebas melakukan akses pada benda-benda
langit.

b. Status Hukum Antariksa

Sebagai kawasan kemanusiaan (the province of all mankind), antariksa


tidak tunduk pada kepemilikan nasional, baik atas dasar tuntutan kedaulatan,
penggunaan, pendudukan, maupun dengan cara-cara lainnya.

c. Berlakunya Hukum Internasional dan Piagam Perserikatan Bangsa-


Bangsa terhadap Antariksa

Kegiatan eksplorasi dan penggunaan antariksa termasuk bulan dan


benda-benda langit lainnya tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum
internasional, termasuk Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa demi
memelihara perdamaian dan keamanan internasional serta memajukan kerja
sama dan saling pengertian internasional.

d. Pemanfaatan Antariksa untuk Kepentingan Semua Negara dan Maksud


Damai.

Kegiatan eksplorasi dan penggunaan antariksa harus dilaksanakan demi


untuk kemanfaatan (benefits) dan kepentingan (interests) semua negara
tanpa memandang tingkat ekonomi atau perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologinya untuk maksud-maksud damai. Untuk menjamin
penggunaan antariksa bagi maksud-maksud damai, setiap negara pihak
dilarang meluncurkan benda-benda yang membawa senjata nuklir atau
senjata perusak masal lainnya, membangun persenjataan tersebut di orbit
sekeliling bumi dan benda-benda langit, atau menempatkannya di antariksa.
Negara-negara pihak juga dilarang untuk membangun pangkalan militer,
instalasi dan perbentengan, serta percobaan segala bentuk senjata dan
tindakan manuver militer pada benda-benda langit. Selain itu, diterapkan
pula asas yang mengutuk tindakan propaganda yang dimaksudkan untuk
atau diperkirakan dapat merangsang atau mendorong timbulnya ancaman
maupun gangguan terhadap perdamaian atau dilakukannya tindakan agresi.

10
Namun, penggunaan peralatan maupun personil militer untuk maksud-
maksud damai tidak dilarang.

e. Perlindungan terhadap Antariksawan Antariksawan merupakan duta


kemanusiaan.

Apabila antariksawan mengalami kecelakaan, kesulitan, atau


pendaratan darurat di wilayah negara lain atau di laut bebas, maka negara
tersebut harus memberikan bantuan yang diperlukan dan mengembalikan
antariksawan termasuk benda antariksa tersebut ke negaranya.

f. Tanggung Jawab Negara Secara Internasional

Setiap Negara Pihak memikul kewajiban secara internasional atas


kegiatan antariksa nasionalnya, baik yang dilakukan oleh badan-badan
pemerintah maupun nonpemerintah, dan menjamin kegiatan nasionalnya
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam
Traktat Antariksa, 1967. Badan-badan nonpemerintah (swasta) yang hendak
melaksanakan kegiatan antariksa harus mendapatkan otorisasi dan
pengawasan secara terus menerus oleh negara yang bersangkutan. Negara
peluncur bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat kegiatan
benda antariksanya yang dilakukan oleh negara, badan hukum, warga
negaranya dan organisasi internasional di mana negara tersebut ikut serta.

g. Yurisdiksi dan Pengawasan

Setiap Negara Pihak yang memiliki dan mendaftarkan benda antariksa


tetap mempunyai yurisdiksi dan wewenang untuk mengawasi benda
antariksa yang diluncurkannya serta personel di dalamnya. Kepemilikan
benda antariksa atau bagian komponennya tidak dipengaruhi oleh
keberadaannya di antariksa atau di benda-benda langit atau pada saat objek
antariksa tersebut kembali ke bumi.

h. Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan

11
Setiap Negara Pihak yang melaksanakan kegiatan antariksa harus
mencegah terjadinya bahaya kontaminasi dan perubahan yang dapat
merusak lingkungan, termasuk lingkungan di bumi. Apabila suatu negara
mengetahui bahwa kegiatan atau percobaan yang dilakukannya atau warga
negaranya akan membahayakan atau mengganggu kegiatan negara lain,
maka negara yang melaksanakan kegiatan tersebut harus melakukan
konsultasi internasional. Negara Pihak mempunyai kesempatan untuk ikut
mengawasi setiap kegiatan suatu negara yang diperkirakan dapat
menimbulkan ancaman terhadap kegiatan eksplorasi dan penggunaan
antariksa untuk maksud damai.

i. Kerja Sama Internasional

Dalam melaksanakan kegiatan eksplorasi dan penggunaan antariksa,


Negara Pihak harus berpedoman pada prinsip-prinsip kerja sama dan saling
membantu, serta harus memperhatikan kepentingan yang serupa dari Negara
Pihak lainnya. Untuk itu Negara Pihak harus memberikan kemudahan,
mendorong dan meningkatkan kerja sama dan saling pengertian
internasional. Selain itu, dalam rangka meningkatkan kerja sama
internasional tersebut, Negara Pihak harus mempertimbangkan hak akses
dari Negara Pihak lain berdasarkan asas persamaan dan timbal balik. Negara
Pihak yang melakukan kegiatan di antariksa termasuk bulan dan benda
langit lainnya sepakat untuk memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa, masyarakat umum dan kalangan ilmiah, sejauh
hal itu dimungkinkan dan dapat dilaksanakan, tentang sifat, perilaku, lokasi
dan hasilhasil dari kegiatan tersebut. Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa, setelah menerima pemberitahuan tersebut, harus segera
menyebarluaskannya dengan cara-cara yang paling efektif.

Dengan memahami prinsip-prinsip utama hukum internasional yang


mengatur aktivitas keruangangkasaan seperti tersebut di atas, maka setiap
aktivitas yang mengandung ancaman terhadap perdamaian dan kemanusiaan
adalah bertentangan dengan Space Treaty 1967. Atas dasar pemikiran seperti di

12
atas, dapat dikatakan bahwa penggunaan ruang angkasa untuk kepentingan militer
adalah tidak sesuai dengan semangat hukum internasional pada umumnya,
khususnya Piagam PBB maupun Space Treaty 1967. Hal ini didasarkan pada
argumentasi:10

Pertama, terlepas dari belum adanya kesepakatan tentang pengertian


“maksud damai” (peaceful purposes), tidak ada jaminan bahwa teknologi militer
canggih yang diluncurkan ke ruang angkasa tidak menjadi agresif seperti diawal
peluncurannya. Bahwa pada saat potensi agresif itu muncul, berarti pada saat itu
pula muncul ancaman penggunaan kekerasan. Berarti pada saat yang sama telah
terjadi ancaman terhadap keamanan dan perdamaian. Hal ini bertentangan dengan
Piagam PBB yang melarang penggunaan Negara-negara. Kedua, aktivitas
militerisasi ruang angkasa akan memancing ketidakstabilan internasional. Hal ini
terbukti ketika dunia dikecam oleh ketegangan “perang dingin” antara Amerika
Serikat dan Uni Soviet (sebelum bubar) selama hampir setengah abad dan
masyarakat internasional terbagi dalam blok-blok. Ketiga, dilihat dari sudut
pandang pengakuan aktivitas Negara-negara di ruang angkasa harus dilakukan
“demi keuntungan/kepentingan semua Negara,” sehingga tindakan militeriasi
ruang angkasa juga tidak dapat diterima karena hanya akan menguntungkan
pihak-pihak yang sedang berpacu dalam perlombaan persenjataan. Keempat,
dengan menganggap aktivitas militerisasi ruang angkasa sebagai kegaitan yang
sah, secara tidak langsung hal itu berarti mengesahkan dominasi Negara-negara
maju terhadap Negara-negara berkembang. Kelima, merujuk pada prinsip “non-
appropriation of Outer Space, Including the Moon and other celestial bodies,”
militerisasi ruang angkasa juga tidak dibenarkan. Hal ini karena secara de facto
menempatkan secara permanen perangkat militer dalam bentuk satelit di ruang
angkasa tidak ada bedanya dengan perbuatan menguasai ruang angkasa dan
memperlakukan ruang angkasa sebagai objek hak milik negaranya. Tentu
tindakan seperti ini bertentangan dengan ketentuan Space Treaty 1967 yang
dengan tegas menyatakan bahwa ruang angkasa berserta bulan dan bendabenda
langit lainnya tidak boleh dijadikan objek kepemilikan.
10
Ibid. hlm 21

13
Mengingat bahwa semua Negara berhak untuk memperoleh manfaat dari
ruang angkasa, karena selama ini hanya Negara-negara maju yang lebih banyak
menikmati manfaat dari hasil eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa
berkewajiban untuk membantu Negara-negara sedang berkembang, yang karena
kemampuan teknologinya belum bisa melakukan sendiri perolehan manfaat
tersebut.

Oleh karena itu, perlu dilakukan perundingan kembali untuk mempertegas


pengaturan pengertian prinsip maksud damai dalam dalam Space Treaty 1967
agar tidak terdapat multitafsir antar negara yang menyebabkan ancaman militer
bagi keamanan dan perdamaian dunia.

C. Upaya-Upaya Demiliterisasi Ruang Angkasa Dalam Perspektif


Hukum Ruang Angkasa Internasional11

Dalam upaya melakukan pengaturan demiliterisasi di ruang angkasa,


pertama akan menyangkut pengertian dan ruang lingkup dari demiliterisasi di
ruang angkasa itu sendiri. Keinginan untuk melakukan upaya demiliteriasi di
ruang angkasa dimulai dari dasar pemikiran bahwa menjadikan ruang angkasa
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dengan maksud-maksud damai. Sampai
saat ini belum terdapat suatu definisi tentang demiliterisasi di ruang angkasa, baik
cakupan dan ruang lingkupnya. Hal ini dikarenakan belum adanya kesamaan
pandangan terkait pengertian militerisasi di ruang angkasa antar Negara-negara.

Robert Rochon menyatakan bahwa justru kelemahan utama dari hukum


internasional yang ada saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan akan
pentingnya suatu definisi atau pengertian yang tepat dan dapat disetujui secara
multilateral mengenai pengertian “militerisasi” dan “maksud-maksud damai” serta
“demiliteriasi” dalam kaitannya dengan ruang angkasa yang seharusnya di atur
agar hukum ruang angkasa berlaku secara efektif. Oleh karena itu, sampai saat ini
belum adanya perjanjian internasional tentang demiliterisasi ruang angkasa yang

11
Ibid. hlm 22-24

14
bersifat komprehensif. Meskipun pada Pasal IV Space Treaty 1967 menyatakan
bahwa:

“States party to the Treaty undertake not to place in orbit around the earth
any objects carrying nuclrear weapons or any other kind of weapons of mass
destruction, install such weapons on celestial bodies, or station such weapons in
Outer Space in any other manner.

The moon and celestial bodies shall be used by all States Party to the Treaty
exclusive for peaceful purposes. The establishment of military bases, installations
and fortifications, the testing of any type of weapons and the conduct of military
manoeuvers on celestial bodies shall be forbindden. The use of military personel
for scientific research or for any other peaceful purposes shall not be prohibited.
The use of any equipment or facility for peaceful exploration shall also not be
prohibited”

“Berdasarkan pada Pasal 4 paragraf pertama disebutkan bahwa Negara


peserta perjanjian yang akan menggunakan ruang angkasa tidak diijinkan untuk
meletakkan benda-benda di sekitar orbit bumi dengan membawa senjata nuklir
ataupun senjata lain yang bersifat permusnah massal dengan tujuan dan alasan
apapun. Peletakan objek di ruang angkasa yang kemudian bersifat destruktif
tentunya tidak diijinkan dan tidak sesuai dengan tujuan awal penggunaan ruang
angkasa. Paragraf kedua menyebutkan bahwa bulan dan benda angkasa lainnya
harus digunakan oleh para Negara peserta secara eksklusif untuk kepentingan
yang damai. Poin penting selanjutnya dari pasal tersebut adalah pembangunan
instalasi militer atau percobaan senjata-senjata militer terhadap benda-benda yang
ada di ruang angkasa tidak diperbolehkan. Akan tetapi, peletakan personel militer
apabila digunakan untuk penelitian demi kepentingan perdamaian diperbolehkan.
Serta pengguanaan bendabenda angkasa lainnya diperbolehkan namun terbatas
pada kepentingan damai. Ketentuan ini pun masih belum mampu memberikan
pengertian yang pasti apa yang dimaksud dengan militerisasi, maksud-maksud
damai apalagi upaya demiliterisasi ruang angkasa.

15
Mengenai belum adanya kesatuan pendapat maka untuk mengetahui
interpretasi yang benar dari istilah “militerisasi” ataupun “maksud-maksud damai”
itu tidak cukup hanya dengan memperhatikan apa yang tertulis. Dalam hal ini,
Konvensi Wina 1969 memberikan ketentuan tentang tata cara menafsirkan suatu
perjanjian internasional. Menurut Pasal 31 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum
Perjanjian Internasional disebutkan bahwa dalam menginterpretasikan suatu
perjanjian internasional harus diperhatikan: a) arti yang biasa dipakai dalam
hubungannya dengan objek dan tujuan perjanjian internasional yang
bersangkutan; b) konteks atau hubungan kata-katanya; dan c) arti khusus atau
tertentu yang diberikan terhadap suatu istilah yang dikehendaki oleh para pihak
dalam perjanjian itu.

Apabila tafsirkan berdasarkan penjelasan diatas bahwa arti yang biasa


dipakai pada istilah “maksud-maksud damai” dalam perjanjian-perjanjian
internasional di luar Space Treaty 1967 diartikan sebagai non-militer, meskipun
tidak seluruhnya tegas menyatakan demikian. Dapat dikatakan bahwa istilah
“maksud-maksud damai” dalam Space Treaty 1967 pun adalah mengandung
pengertian non-militer.

Selanjutnya untuk pengertian isitilah “militerisasi” dapat ditafsirkan dari


segi konteks dan hubungannya dengan pengertian “maksud-maksud damai” yang
diartikan non-militer, yaitu setiap penggunaan ruang angkasa yang mempunyai
tujuan atau maksud (yang bersifat militer), tanpa memperhatikan bentuk maupun
caranya, termasuk dalam pengertian militerisasi ruang angkasa. Karenanya pula,
setiap benda angkasa buatan manusia yang merupakan bagian dari sistem yang
lebih luas yang melaksanakan suatu tugas militer (military assignment), termasuk
pula dalam pengertian militerisasi ruang angkasa. Oleh karena itu, satelit-satelit
ataupun pesawat ruang angkasa lainnya yang digunakan untuk mendukung
operasi-operasi militer (used in support of military operations) masuk pula dalam
kategori militerisasi ruang angkasa.

Jika mengikuti perdebatan-perdebatan yang terjadi pada forum Confrence


on Disarmament, terlihat bahwa dalam upaya melakukan langkah-langkah

16
demiliterisasi ruang angkasa, telah berkembang dua keinginan atau pendapat.
Pertama, demiliterasi dalam arti luas yaitu yang menghendaki agar ruang angkasa
dibebaskan dari segala aktivitas yang mempunyai tujuan atau maksud-maksud
yang bersifat militer. Kedua, demiliterisasi dalam arti sempit yaitu yang
mengartikan demiliterisasi ruang angkasa sebagai “space deweaponization.”
Pendapat yang kedua ini menghendaki agar ruang angkasa dibebaskan dari segala
macam persenjataan. Ini tampaknya mengacu pada kenyataan sejarah
demiliterisasi. Merujuk pada perkembangan sejarahnya, yang diartikan sebagai
demiliterisasi itu sendiri memang berkisar pada upaya-upaya pembatasan,
pengurangan, atau penghapusan suatu jenis senjata tertentu atau pembatasan atau
pengurangan kekuatan bersenjata.

Berdasarkan penjelasan di atas, adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan


untuk mencegah adanya militerisasi di ruang angkasa, perlu melakukan perubahan
atas ketentuan di dalam Space Treaty 1967 yang menjadi dasar hukum
internasional di bidang hukum ruang angkasa khususnya Pasal IV sebelum
terbentuknya perjanjian internasional multilateral terkait demiliterisasi ruang
angkasa. Bahwa adanya kelemahan dalam rumusan Pasal IV Space Treaty 1967
telah dilihat bahkan berselang satu tahun sejak ditandatanganinya perjanjian
tersebut tepatnya pada Tahun 1968. Sehingga upaya untuk melakukan
amandemen atas ketentuan tersebut penting untuk segera dilakukan. Perubahan
tersebut harus dilakukan terkait celah dalam Pasal IV Space Treaty 1967 terhadap:

a) Tidak adanya larangan mengenai penempatan senjata nuklir atau


senjatasenjata lain yang berdaya rusak massal pada orbit di sekitar bulan dan
benda-benda langit lainnya karena yang dilarang hanya pada orbit bumi.
Sehingga perlu diatur larangan atas ketentuan tersebut dalam rumusan Pasal
IV Space Treaty 1967.

b) Tidak adanya larangan yang berkenaan dengan senjata-senjata nuklir atau


senjata berdaya rusak massal lainnya yang berada di semi-orbit, sehingga
hal ini perlu diatur dan ditegaskan kembali dalam rumusan Pasal IV Space
Treaty 1967.

17
c) Tidak adanya penjelasan yang pasti terkait “maksud-maksud damai” dan
“militerisasi” di dalam rumusan Pasal IV Space Treaty 1967, sehingga perlu
dipertegas agar adanya suatu kepastiaan hukum atas tindakan-tindakan yang
memiliki tujuan militer dan memiliki potensi mengancam keamanan dan
perdamaian dunia baik sekarang maupun yang akan dating patut dianggap
sebagai tindakan militerisasi ruang angkasa.

Selain itu, upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi militeriasi yaitu
dengan membentuk suatu perjanjian internasional multilateral tentang upaya
demiliteriasasi ruang angaksa. Akan tetapi, upaya ini tentu akan menghadapi
beberapa hambatan yang disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, faktor politik
yaitu bahwa peran factor politik dalam proses pembentukan hukum internasional
khususnya hukum ruang angkasa sangat besar. Hal ini karena perbedaan
kepentingan politik masing-masing Negara akan menghambat kesepakatan terkait
substansi demiliterisasi ruang angkasa terutama dari Negara-negara maju. Kedua,
factor perbedaam dalam hal kemampuan teknik dan ilmiah antara negar-negara
maju dan Negara-negara berkembang yang sudah jelas bahwa dominasi
perumusannya ada pada Negara-negara maju. Ketiga, faktor ketidakjelasan dalam
ketentuan hukumnya bahwa ketidakjelasan perumusan suatu ketentuan hukum
internasional yang sering terjadi dapat menjadi penghambat upaya demiliterisasi
ruang angkasa. Adanya hal ini membuka peluang munculnya berbagai interpretasi
yang belum tentu sesuai dengan jiwa atau maksud yang sesungguhnya dari
ketentuan tersebut, sebagaimana yang terjadi dalam Pasal IV Space Treaty
1967.28 Meskipun demikian, diperlukan usaha yang lebih nyata dari berbagai
Negara angggota PBB untuk bertemu dan membahas mengenai pembentukan
perjanjian multilateral demiliteriasi ruang angkasa sesegera mungkin. Hal ini
tidaklah mustahil ketika perjanjian internasional mengenai pembatasan senjata
nuklir berhasil dirumuskan karena masalah militerisasi ruang angkasa juga
berdampak buruk terhadap keamanan dan perdamaian dunia. Agar tujuan dari
Piagam PBB dan khususnya tujuan dari Space Treaty 1967 tercapai yaitu menjaga
keamanan dan perdamaian dunia internasional dari ancaman perang yang dapat
merugikan kehidupan manusia.

18
D. Angkatan Luar Angkasa Amerika Serikat

Angkatan Luar Angkasa Amerika Serikat (USSF) adalah cabang layanan


luar angkasa Angkatan Bersenjata AS, dan merupakan salah satu dari delapan
layanan berseragam AS. Awalnya dibentuk sebagai Komando Luar Angkasa
Angkatan Udara pada 1 September 1982, Angkatan Luar Angkasa dibentuk
sebagai cabang militer independen pada 20 Desember 2019, dengan
penandatanganan Undang-Undang Angkatan Luar Angkasa Amerika Serikat,
bagian dari Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional untuk tahun 2020.
Angkatan Luar Angkasa A.S. diatur sebagai cabang dinas militer di dalam
Departemen Angkatan Udara, salah satu dari tiga departemen militer di dalam
Departemen Pertahanan. Angkatan Luar Angkasa, melalui Departemen Angkatan
Udara, dipimpin oleh sekretaris Angkatan Udara, yang melapor kepada menteri
pertahanan, dan diangkat oleh presiden dengan konfirmasi Senat. [8] Dalam hal
jumlah personel, ini adalah angkatan bersenjata AS terkecil di dalam Departemen
Pertahanan AS.

Kepala militer Angkatan Luar Angkasa adalah kepala operasi luar angkasa
(CSO). Kepala operasi antariksa juga merupakan perwira Angkatan Luar Angkasa
paling senior, kecuali perwira Angkatan Luar Angkasa menjabat sebagai ketua
atau wakil ketua dari Kepala Staf Gabungan. Kepala operasi luar angkasa
melakukan pengawasan atas unit-unit Angkatan Luar Angkasa dan berfungsi
sebagai salah satu Kepala Staf Gabungan. Pasukan operasi Angkatan Luar
Angkasa ditugaskan ke komando kombatan terpadu, terutama ke Komando Luar
Angkasa Amerika Serikat.

1. Mandat kongres

Didirikan oleh Undang-Undang Angkatan Luar Angkasa Amerika Serikat,


yang disahkan oleh Kongres Amerika Serikat sebagai bagian dari Undang-
Undang Otorisasi Pertahanan Nasional untuk Tahun Anggaran 2020, fungsi
Angkatan Luar Angkasa adalah untuk:

19
a. Memberikan kebebasan operasi bagi Amerika Serikat di, dari, dan ke
luar angkasa.
b. Menyediakan operasi ruang angkasa yang cepat dan berkelanjutan.
2. Dan tugas Angkatan Luar Angkasa adalah untuk:
a. Lindungi kepentingan Amerika Serikat di luar angkasa.
b. Mencegah agresi dalam, dari, dan ke luar angkasa.
c. Melakukan operasi ruang angkasa.
3. Proyeksi kekuatan tempur

Proyeksi Kekuatan Tempur mengintegrasikan operasi defensif dan ofensif


untuk mempertahankan tingkat kebebasan bertindak yang diinginkan untuk
Amerika Serikat dan sekutunya yang relatif terhadap musuh. Proyeksi Kekuatan
Tempur bersama dengan kompetensi lain meningkatkan kebebasan bertindak
dengan menghalangi agresi atau memaksa musuh untuk mengubah perilaku.
Proyeksi kekuatan tempur dapat dibagi menjadi operasi pertahanan dan operasi
ofensif.

Operasi pertahanan melindungi dan memelihara kemampuan ruang


angkasa sebelum, selama, atau setelah serangan. Operasi pertahanan dibagi lagi
menjadi tindakan aktif dan pasif. Operasi pertahanan aktif mencakup tindakan
untuk menghancurkan, meniadakan, atau mengurangi efektivitas ancaman yang
mengancam kemampuan ruang angkasa A.S. Pertahanan pasif berusaha
meningkatkan kemampuan bertahan melalui atribut sistem dan arsitektur.
Langkah-langkah pertahanan pasif mencakup kemampuan manuver pesawat ruang
angkasa; perlindungan diri; disagregasi; diversifikasi orbit; proliferasi skala besar;
komunikasi, transmisi, dan keamanan emisi; kamuflase, penyembunyian, dan
penipuan; dan pengerasan sistem di ketiga segmen arsitektur ruang.

Operasi ofensif menargetkan ruang musuh dan kemampuan counterspace,


mengurangi efektivitas dan mematikan kekuatan musuh di semua domain. Operasi
ofensif berusaha untuk mendapatkan inisiatif dan dapat menetralkan misi luar
angkasa musuh sebelum dapat digunakan melawan pasukan kawan. Operasi
ofensif tidak terbatas pada sistem counterspace musuh dan juga dapat

20
menargetkan spektrum penuh kemampuan musuh untuk mengeksploitasi domain
luar angkasa, yang mencakup target di domain terestrial dan cyber. Operasi ruang
angkasa yang ofensif sangat penting untuk mencapai keunggulan ruang.

4. Legalitas Angkatan Luar Angkasa A.S.

Pernyataan Presiden Donald Trump bahwa Amerika Serikat perlu


mengembangkan “Angkatan Luar Angkasa” pada awalnya disambut dengan
sebelah mata dan kritikan oleh badan keamanan nasional. Dalam sebuah surat
kepada anggota parlemen, Menteri Pertahanan, James Mattis, menulis bahwa dia
tidak ingin menambahkan layanan terpisah yang kemungkinan akan
menghadirkan pendekatan yang lebih sempit dan bahkan parokial untuk operasi
ruang angkasa.12

Saat pembuat kebijakan merenungkan Angkatan Luar Angkasa AS, mereka


harus mengingat komitmen AS terhadap Perjanjian tentang Prinsip-prinsip yang
Mengatur Aktivitas Negara-negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Luar
Angkasa, Termasuk Bulan dan Benda-benda Langit Lainnya (Outer Space Treaty
1967). Angkatan Luar Angkasa AS dapat, dan kemungkinan besar, akan
melanggar hukum luar angkasa internasional. Selain memotivasi tindakan timbal
balik oleh negara-negara lain, Angkatan Luar Angkasa AS hampir pasti akan
membahayakan penggunaan status quo ruang angkasa secara damai yang
diabadikan dalam The Outer Space Treaty.

Pasal IV dari Perjanjian Luar Angkasa menetapkan bahwa “senjata nuklir


atau jenis senjata pemusnah massal lainnya” tidak boleh ditempatkan di orbit,
dipasang di luar angkasa, atau dibuat di atas benda langit. Jadi, seperti yang
tertulis, perjanjian itu tidak melarang persenjataan konvensional (misil)
ditempatkan di atas satelit (atau di luar angkasa) atau negara yang menggunakan
senjata tersebut untuk membela diri. Namun, setiap penggunaan persenjataan non-
defensif juga kemungkinan besar melanggar hukum konflik bersenjata

12
Adam Irish, “The Legality of a U.S. Space Force”.
http://opiniojuris.org/2018/09/13/the-legality-of-a-u-s-space-force/. 13 September 2018. Diakses
09 November 2020.

21
internasional. Dan setiap puing yang dihasilkan kemungkinan akan memicu
pertanggungjawaban berdasarkan Pasal VI13 dan VII14 Perjanjian Luar Angkasa
serta Konvensi Kewajiban Luar Angkasa 1972 jika hal itu menyebabkan atau
menimbulkan risiko kerusakan pada properti negara lain.

Jika terjadi sengketa interpretatif yang sedang berlangsung antara AS dan


negara bagian lain, “tujuan damai” tidak mengesampingkan pesawat atau personel
militer yang bertindak damai di luar angkasa; penelitian ilmiah oleh personel
militer bahkan dipilih untuk perlindungan. Sebaliknya, kata-kata di Pasal IV
membuat referensi khusus ke “Bulan dan benda langit” dan secara efektif
mendemiliterisasi benda-benda tersebut dari pembangunan pangkalan dan
benteng, pengujian senjata, atau melakukan manuver militer. Dengan demikian,
setiap infrastruktur militer masa depan yang dibangun di atas pertanda ini akan
melanggar undang-undang yang ada. Seperti yang tertulis, perjanjian itu hanya
menyisakan pertanyaan tentang militer berbasis ruang angkasa. Angkatan Luar
Angkasa AS yang dibatasi oleh larangan ini akan dibatasi untuk beroperasi di
ruang antara benda-benda langit, mungkin di orbit di atas stasiun luar angkasa
atau di kapal yang terletak di titik-titik jarak-Lag di ruang angkasa, lokasi dengan
paparan matahari yang tidak terhalang untuk pasokan yang hampir konstan tenaga
surya.

Bahkan beroperasi dalam lingkungan luar angkasa yang terbatas, Angkatan


Luar Angkasa AS yang ditugaskan untuk mengamankan kepentingan AS dan
13
Pasal VI Outer Space Treaty: Negara-negara Pihak Perjanjian akan memikul tanggung
jawab internasional untuk kegiatan nasional di luar angkasa, termasuk Bulan dan benda langit
lainnya, baik kegiatan tersebut dilakukan oleh badan-badan pemerintah atau oleh entitas non-
pemerintah, dan untuk memastikan bahwa kegiatan nasional dilakukan di kesesuaian dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam Traktat ini. Kegiatan entitas non pemerintah di luar angkasa,
termasuk Bulan dan benda langit lainnya, harus memerlukan otorisasi dan pengawasan
berkelanjutan oleh Negara Pihak yang sesuai dalam Traktat. Ketika kegiatan dilakukan di luar
angkasa, termasuk Bulan dan benda langit lainnya, oleh organisasi internasional, tanggung jawab
untuk mematuhi Perjanjian ini akan ditanggung oleh organisasi internasional dan oleh Negara-
negara Pihak pada Perjanjian yang berpartisipasi dalam organisasi tersebut.
14
Pasal VII Outer Space Treaty: Setiap Negara Pihak pada Traktat yang meluncurkan
atau mengadakan peluncuran suatu benda ke luar angkasa, termasuk Bulan dan benda langit
lainnya, dan setiap Negara Pihak yang wilayah atau fasilitasnya suatu benda diluncurkan, secara
internasional bertanggung jawab atas kerusakan pada Negara Pihak lainnya. Untuk Perjanjian atau
kepada orang-orang alami atau yuridisnya dengan benda tersebut atau bagian-bagiannya di Bumi,
di angkasa atau di luar angkasa, termasuk Bulan dan benda langit lainnya.

22
akses luar angkasa, berisiko melanggar batasan yang lebih luas dari Perjanjian
Luar Angkasa. Secara khusus, Pasal I yang menyatakan “eksplorasi ruang angkasa
dan penggunaan ruang angkasa, termasuk Bulan dan benda langit lainnya, harus
dilakukan untuk kepentingan dan kepentingan semua negara,” dan Pasal II
pembatasan bahwa ruang angkasa dan benda langit adalah “Tidak tunduk pada
perampasan nasional dengan klaim kedaulatan, melalui penggunaan atau
pendudukan, atau dengan cara lain”.

Seperti keterbatasan hukum yang dihadapi oleh Angkatan Laut AS di laut


lepas, Angkatan Luar Angkasa AS yang mendominasi luar angkasa dengan
memberlakukan otoritas regulasi pada transit atau, melalui pendudukan ruang
angkasa AS, membatasi akses negara lain ke luar angkasa pasti akan memicu
tantangan hukum. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh komentar di atas,
tampaknya itulah tujuan yang dimaksudkan dari Angkatan Luar Angkasa AS -
untuk mendominasi dan mengontrol ruang demi kepentingan keamanan dan
perdagangan nasional AS. Bagaimana dominasi ini diwujudkan akan menjadi
masalah bagi Angkatan Luar Angkasa AS. Penggunaan hukum kekuatan meluas
ke tindakan membela diri atau sanksi PBB. Dengan demikian, setiap perilaku
yang mengancam, preemptif, atau memaksa tanpa provokasi masih akan
melanggar hukum internasional. Terakhir, bahkan jika tidak ada tembakan,
berdasarkan Pasal VII dan IX15 Perjanjian Luar Angkasa, tabrakan, polusi, dan
15
Pasal IX Outer Space Treaty: Dalam eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa,
termasuk Bulan dan benda langit lainnya, Negara-negara Pihak Perjanjian akan berpedoman pada
prinsip kerja sama dan saling membantu dan harus melakukan semua kegiatan mereka di luar
angkasa, termasuk Bulan dan benda langit lainnya, dengan memperhatikan kepentingan yang
sesuai dari semua Negara Pihak pada Perjanjian. Negara-negara Pihak pada Perjanjian akan
melanjutkan studi tentang luar angkasa, termasuk Bulan dan benda angkasa lainnya, dan
melakukan eksplorasi dari mereka untuk menghindari kontaminasi berbahaya dan juga perubahan
merugikan di lingkungan bumi akibat masuknya materi luar angkasa dan, jika perlu, harus
mengambil tindakan yang tepat untuk tujuan ini. Jika suatu Negara Pihak pada Traktat memiliki
alasan untuk meyakini bahwa suatu kegiatan atau eksperimen yang direncanakan olehnya atau
warganya di luar angkasa, termasuk Bulan dan benda langit lainnya, akan menyebabkan gangguan
yang berpotensi membahayakan kegiatan Negara Pihak lain dalam eksplorasi damai dan
penggunaan luar angkasa, termasuk Bulan dan benda langit lainnya, itu harus melakukan
konsultasi internasional yang sesuai sebelum melanjutkan dengan kegiatan atau eksperimen
tersebut. Suatu Negara Pihak pada Traktat yang memiliki alasan untuk meyakini bahwa suatu
kegiatan atau eksperimen yang direncanakan oleh Negara Pihak lain di luar angkasa, termasuk
Bulan dan benda langit lainnya, akan menyebabkan gangguan yang berpotensi membahayakan
kegiatan dalam eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa secara damai, termasuk Bulan dan
benda langit lainnya, dapat meminta konsultasi mengenai aktivitas atau percobaan.

23
puing-puing luar angkasa dari Angkatan Luar Angkasa AS yang ditempatkan di
orbit atau di titik Lagrange semuanya akan membuat AS menghadapi tanggung
jawab hukum. salah satu item ini mempengaruhi kesejahteraan negara bagian lain.

Singkatnya, ada jendela hukum kecil dalam hukum luar angkasa


internasional yang ada untuk mewujudkan Angkatan Luar Angkasa AS. Sebagian
besar dominasi dan bahasa perang yang dilemparkan sekarang tidak diragukan
lagi akan membawa AS ke perairan yang berbahaya secara hukum.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Landasan hukum dasar terkait dengan penggunaan luar angkasa mengacu


kepada Space Treaty 1967 menyebutkan bahwa ruang angkasa digunakan dengan
maksud damai dan tidak memperbolehkan menggunakan ruang angkasa untuk
kepentingan militer. Hal tersebut di sebutkan di dalam Pasal III dan IV Traktat
Luar Angkasa/ Space Treaty 1967 dikarenakan tujuan pembentukan Traktat
Antariksa, 1967 adalah untuk mendorong kemajuan kegiatan eksplorasi dan
pendayagunaan antariksa untuk maksud damai, meningkatkan upaya eksplorasi
dan penggunaan antariksa untuk kemanfaatan semua bangsa tanpa memandang
tingkat perkembangan ekonomi ataupun ilmu pengetahuan, dan memperluas kerja
sama internasional, baik dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi maupun
aspek hukum, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan eksplorasi serta
penggunaan antariksa untuk maksud-maksud damai.

24
DAFTAR PUSTAKA

Diogenes, Kewenangan United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer


Space (UNCOPUOS) dalam Pembentukan Hukum Antariksa
Internasional, Dialogia Juridica Vol. 11 No. 1, November 2019.
Irvan dan I Wayan Novy Purwanto. Upaya Demiliterisasi di Ruang Angkasa
Ditinjau dari Prespektif Hukum Ruang Angkasa Internasional, Jurnal
Kertha Negara Vol. 8 No. 7. 2020
Kumalasari, Indah. Kontestasi Amerika Dan Rusia Dalam International Space
Station: Kajian Astropolitik. Jurnal Publikasi Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
Omba, Marthinus, Prinsip Kebebasan di Ruang Angkasa Menurut “Outer Space
Treaty 1967” dan Perkembangannya. Jurnal Hukum & Pembangunan,
Vol 24, No 4, 1994

Undang-Undang
Undang-Undang No. 16 tahun 2002 tentang Pengesahan Treaty On Principles
Governing The Activities Of States In The Exploration And Use Of
Outer Space, Including The Moon And Other Celestial Bodies, 1967
(Traktat Mengenai Prinsip-Prinsip yang Mengatur Kegiatan Negara-
Negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa, Termasuk Bulan
dan Benda-Benda Langit Lainnya, 1967

LINK WEBSITE
Adam Irish, “The Legality of a U.S. Space Force”. http://opiniojuris.org/2018/09/13/the-
legality-of-a-u-s-space-force/. 13 September 2018. Diakses 09 November
2020.

25
https://www.unoosa.org/
https://www.unoosa.org/pdf/publications/STSPACE11E.pdf

26

Anda mungkin juga menyukai