TUGAS
HUKUM PEMANFAATAN UDARA DAN RUANG ANGKASA
Firman A. Anshari
2006495366
Rizka Iswara
2006548952
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
JAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan manusia
berkembang pesat dari waktu ke waktu. Salah satunya adalah dibidang
keantariksaan yang menyebabkan manusia dapat melakukan eksplorasi dan
eksploitasi terhdap ruang angkasa dan benda-benda angkasa.
Salah satu implikasi pada bidang pertahanan dan keamanan suatu negara
dengan adanya perkembangan jenis satelit yang digunakan sebagai senjata militer
baik senjata pendukung maupun sebagai senjata utama. Tindakan ini sangat
mengkhawatirkan bagi masyarakat internasional dikarenakan persaingan dan
perombaan persenjataan terus terjadi yang dapat memicu perang yang mengancam
perdamaian dan keamanan dunia internasional. Perang yang terjadi tidak dapat
dipungkiri menggunakan teknologi yang semakin canggih salah satunya dengan
satelit yang mampu bertransformasi menjadi senjata militer pemusnah massal. Hal
ini tentu mampu memicu terjadi perang dunia ketiga dan mengancam stabilitas
perdamaian dunia yang berdampak buruk pada seluruh negara terutama negara-
1
Kumalasari, Indah. Kontestasi Amerika Dan Rusia Dalam International Space Station: Kajian
Astropolitik. Hlm 2 Diakses Melalui
Http://Repository.Umy.Ac.Id/Bitstream/Handle/123456789/25826/11.%20Jurnal%20publikasi
%20skripsi%20Indah%20Kumalasari.Pdf?Sequence=11&Isallowed=Y Pada Tanggal 21 Oktober
2020, 19.59 WIB
1
negara berkembang. Mengingat bahwa selama ini pemain di ruang angkasa hanya
negara-negara maju yang memiliki sumber daya untuk melakukan eksplorasi
sekaligus eksploitasi ruang angkasa dengan satelit-satelit yang diluncurkannya
termasuk satelit yan diperuntukan sebagai senjata militer. Pada sisi lain, Negara-
negara berkembang yang tidak memiliki kemampuan dan sumber daya untuk
membangun pertahanan diri dari ruang angkasa dengan satelit akan menjadi
korban pertamanya.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan lingkup permasalahan
adalah: Bagaimana pengaturan Space Treaty 1967 dalam membahas penggunaan
militer di ruang angkasa?
3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dengan adanya penulisan ini untuk
mengkaji dan mengetahui pengaturan Space Treaty 1967 dalam membahas
penggunaan militer di ruang angkasa.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Aeronautics (NACA). Untuk mengatasi ketertinggalan akan Rusia, Amerika
akhirnya memutuskan untuk segera meluncurkan satelit artifisial pertamanya yaitu
Explorer 1 pada 31 Januari 1958. Setelah berhasil meluncurkan satelit pertama,
Amerika yang saat itu dipimpin oleh presiden Dwight D. Eisenhower menyadari
bahwa terdapat sebuah pergerakan ancaman yang datang dari Rusia pasca
Sputnik. Tidak hanya itu, pejabat militer Amerika juga mendeklarasikan bahwa
siapapun yang dapat mengontrol ruang angkasa, akan dapat mengntrol bumi.
Dengan begitu, pada 29 Juli 1958, presiden Eisenhower menandatangani
pendirian National Aeronautics and Space Administration atau NASA.
Sebelumnya gagasan ini diusulkan oleh senator Lyndon B. Johnson dihadapan
rapat Kongres. NACA kemudian bertransformasi menjadi NASA.3
3
Op.Cit. hlm 2- 3
4
di bawah MU PBB untuk menangani secara internasional isu-isu dan masalah-
masalah keantariksaan. UNCOPUOS secara efektif baru melaksanakan tugas dan
mandatnya pada tahun 1961.
4
Diogenes, Kewenangan United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space
(UNCOPUOS) dalam Pembentukan Hukum Antariksa Internasional, Dialogia Juridica Vol. 11
No. 1, November 2019. Hlm 22-23
5
Ibid, hlm 28
5
telah diajukan kepada dan disahkan oleh Majelis Umum PBB. Sebagian di
antaranya telah dan sebagian lainnya belum diberlakukan sebagai hukum positif
(entry into force). Adapun hasil-hasil UNCOPUOS tersebut terutama yang
didalamnya ada membahas hal penggunaan ruang angkasa untuk militer adalah
sebagai berikut:6
1. Anti-Satelite Weapon
6
Ibid, hlm 29-31
6
musuh, pengganda kekuatan untuk serangan nuklir pertama, tindakan balasan
terhadap pertahanan rudal anti-balistik musuh.
Pada dasarnya baik aktivitas militer maupun sipil di ruang angkasa, kalau
dilihat sejarah perkembangan aktivitas militer Amerika Serikat di ruang angkasa
sebagai perbandingan, didasari oleh teknologi militer. Bukanlah merupakan suatu
persoalan yang rumit untuk mengonversi suatu teknologi yang mulanya
digunakan untuk tujuan sipil menjadi teknologi militer. Terlebih lagi saat ini,
kondisi persaingan persenjataan antar negara kian memanas, sehingga masing-
masing Negara menganggap perlu untuk melakukan self-defense dengan
melakukan perubahan fungsi pada satelit-satelit tersebut ketika dibutuhkan. Ketika
kondisi ini semakin memanas, tidak dapat dimungkiri akan memicu terjadinya
perang satelit sebagai senjata mematikan di ruang angkasa dan berdampak
terhadap kehidupan di bumi sehingga mengancam keamanan dan perdamaian
dunia.7
7
diselesaikan dengan cara-cara damai sedemikian rupa, sehingga perdamaian dan
keamanan internasional tidak terancam. 8
“State parties to the treaty shall carry on activities in the exploration and
use of outer space, including the moon and other celestial bodies, in accordance
with international law, including the Charter of the United Nations, in the
maintaining of international peace and security and promoting international co-
operation and understanding.”
Konsekuensinya, keabsahan setiap aktivitas Negara-negara di ruang angkasa
harus dinilai bukan saja jika aktivitas tersebut dibenarkan oleh Space Treaty 1967
(dan perjanjian-perjanjian internasional lain yang bersumber padanya) melainkan
juga bilamana hal itu dapat dibenarkan oleh ketentuan hukum internasional umum
dan Piagam PBB.9
Lebih lanjut, dalam Space Treaty 1967 yang juga memuat prinsip-prinsip
dasar bagi aktivitas negara-negara di ruang angkasa, termasuk bulan dan benda-
benda langit lainnya, mempunyai tujuan bahwa segala kegiatan Negara-negara
dalam eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa harus dilakukan demi perdamaian
dan kemanusiaan. Prinsip ini yang dianggap sebagai prinsip utama yang terdapat
dalam Resolusi Majelis Umum PBB 1962 yaitu a) eksplorasi dan penggunaan
ruang angkasa dapat dilakukan hanya untuk kesejanteraan dan kepentingan
kemanusiaan; b) ruang angkasa, bulan dan benda-benda langit lainnya bebas
untuk dieksplorasi dan digunakan oleh semua Negara tanpa kecuali, berdasarkan
persamaan derajat, tak dapat dijadikan objek pemilikan nasional; dan c) berada di
bawah pengaturan hukum internasional dan Piagam PBB.
8
Ibid. hlm 19
9
Ibid. hlm 20
8
Dalam perkembangannya bahwa pembentukan hukum ruang angkasa
dengan lahirnya perjanjian internasional di samping Space Treaty 1967, dalam
aktivitas eksplorasi penggunaan ruang angkasa kini telah ditentukan Sembilan
prinsip dasar yaitu:
9
internasional. Negara-negara bebas melakukan akses pada benda-benda
langit.
10
Namun, penggunaan peralatan maupun personil militer untuk maksud-
maksud damai tidak dilarang.
11
Setiap Negara Pihak yang melaksanakan kegiatan antariksa harus
mencegah terjadinya bahaya kontaminasi dan perubahan yang dapat
merusak lingkungan, termasuk lingkungan di bumi. Apabila suatu negara
mengetahui bahwa kegiatan atau percobaan yang dilakukannya atau warga
negaranya akan membahayakan atau mengganggu kegiatan negara lain,
maka negara yang melaksanakan kegiatan tersebut harus melakukan
konsultasi internasional. Negara Pihak mempunyai kesempatan untuk ikut
mengawasi setiap kegiatan suatu negara yang diperkirakan dapat
menimbulkan ancaman terhadap kegiatan eksplorasi dan penggunaan
antariksa untuk maksud damai.
12
atas, dapat dikatakan bahwa penggunaan ruang angkasa untuk kepentingan militer
adalah tidak sesuai dengan semangat hukum internasional pada umumnya,
khususnya Piagam PBB maupun Space Treaty 1967. Hal ini didasarkan pada
argumentasi:10
13
Mengingat bahwa semua Negara berhak untuk memperoleh manfaat dari
ruang angkasa, karena selama ini hanya Negara-negara maju yang lebih banyak
menikmati manfaat dari hasil eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa
berkewajiban untuk membantu Negara-negara sedang berkembang, yang karena
kemampuan teknologinya belum bisa melakukan sendiri perolehan manfaat
tersebut.
11
Ibid. hlm 22-24
14
bersifat komprehensif. Meskipun pada Pasal IV Space Treaty 1967 menyatakan
bahwa:
“States party to the Treaty undertake not to place in orbit around the earth
any objects carrying nuclrear weapons or any other kind of weapons of mass
destruction, install such weapons on celestial bodies, or station such weapons in
Outer Space in any other manner.
The moon and celestial bodies shall be used by all States Party to the Treaty
exclusive for peaceful purposes. The establishment of military bases, installations
and fortifications, the testing of any type of weapons and the conduct of military
manoeuvers on celestial bodies shall be forbindden. The use of military personel
for scientific research or for any other peaceful purposes shall not be prohibited.
The use of any equipment or facility for peaceful exploration shall also not be
prohibited”
15
Mengenai belum adanya kesatuan pendapat maka untuk mengetahui
interpretasi yang benar dari istilah “militerisasi” ataupun “maksud-maksud damai”
itu tidak cukup hanya dengan memperhatikan apa yang tertulis. Dalam hal ini,
Konvensi Wina 1969 memberikan ketentuan tentang tata cara menafsirkan suatu
perjanjian internasional. Menurut Pasal 31 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum
Perjanjian Internasional disebutkan bahwa dalam menginterpretasikan suatu
perjanjian internasional harus diperhatikan: a) arti yang biasa dipakai dalam
hubungannya dengan objek dan tujuan perjanjian internasional yang
bersangkutan; b) konteks atau hubungan kata-katanya; dan c) arti khusus atau
tertentu yang diberikan terhadap suatu istilah yang dikehendaki oleh para pihak
dalam perjanjian itu.
16
demiliterisasi ruang angkasa, telah berkembang dua keinginan atau pendapat.
Pertama, demiliterasi dalam arti luas yaitu yang menghendaki agar ruang angkasa
dibebaskan dari segala aktivitas yang mempunyai tujuan atau maksud-maksud
yang bersifat militer. Kedua, demiliterisasi dalam arti sempit yaitu yang
mengartikan demiliterisasi ruang angkasa sebagai “space deweaponization.”
Pendapat yang kedua ini menghendaki agar ruang angkasa dibebaskan dari segala
macam persenjataan. Ini tampaknya mengacu pada kenyataan sejarah
demiliterisasi. Merujuk pada perkembangan sejarahnya, yang diartikan sebagai
demiliterisasi itu sendiri memang berkisar pada upaya-upaya pembatasan,
pengurangan, atau penghapusan suatu jenis senjata tertentu atau pembatasan atau
pengurangan kekuatan bersenjata.
17
c) Tidak adanya penjelasan yang pasti terkait “maksud-maksud damai” dan
“militerisasi” di dalam rumusan Pasal IV Space Treaty 1967, sehingga perlu
dipertegas agar adanya suatu kepastiaan hukum atas tindakan-tindakan yang
memiliki tujuan militer dan memiliki potensi mengancam keamanan dan
perdamaian dunia baik sekarang maupun yang akan dating patut dianggap
sebagai tindakan militerisasi ruang angkasa.
Selain itu, upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi militeriasi yaitu
dengan membentuk suatu perjanjian internasional multilateral tentang upaya
demiliteriasasi ruang angaksa. Akan tetapi, upaya ini tentu akan menghadapi
beberapa hambatan yang disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, faktor politik
yaitu bahwa peran factor politik dalam proses pembentukan hukum internasional
khususnya hukum ruang angkasa sangat besar. Hal ini karena perbedaan
kepentingan politik masing-masing Negara akan menghambat kesepakatan terkait
substansi demiliterisasi ruang angkasa terutama dari Negara-negara maju. Kedua,
factor perbedaam dalam hal kemampuan teknik dan ilmiah antara negar-negara
maju dan Negara-negara berkembang yang sudah jelas bahwa dominasi
perumusannya ada pada Negara-negara maju. Ketiga, faktor ketidakjelasan dalam
ketentuan hukumnya bahwa ketidakjelasan perumusan suatu ketentuan hukum
internasional yang sering terjadi dapat menjadi penghambat upaya demiliterisasi
ruang angkasa. Adanya hal ini membuka peluang munculnya berbagai interpretasi
yang belum tentu sesuai dengan jiwa atau maksud yang sesungguhnya dari
ketentuan tersebut, sebagaimana yang terjadi dalam Pasal IV Space Treaty
1967.28 Meskipun demikian, diperlukan usaha yang lebih nyata dari berbagai
Negara angggota PBB untuk bertemu dan membahas mengenai pembentukan
perjanjian multilateral demiliteriasi ruang angkasa sesegera mungkin. Hal ini
tidaklah mustahil ketika perjanjian internasional mengenai pembatasan senjata
nuklir berhasil dirumuskan karena masalah militerisasi ruang angkasa juga
berdampak buruk terhadap keamanan dan perdamaian dunia. Agar tujuan dari
Piagam PBB dan khususnya tujuan dari Space Treaty 1967 tercapai yaitu menjaga
keamanan dan perdamaian dunia internasional dari ancaman perang yang dapat
merugikan kehidupan manusia.
18
D. Angkatan Luar Angkasa Amerika Serikat
Kepala militer Angkatan Luar Angkasa adalah kepala operasi luar angkasa
(CSO). Kepala operasi antariksa juga merupakan perwira Angkatan Luar Angkasa
paling senior, kecuali perwira Angkatan Luar Angkasa menjabat sebagai ketua
atau wakil ketua dari Kepala Staf Gabungan. Kepala operasi luar angkasa
melakukan pengawasan atas unit-unit Angkatan Luar Angkasa dan berfungsi
sebagai salah satu Kepala Staf Gabungan. Pasukan operasi Angkatan Luar
Angkasa ditugaskan ke komando kombatan terpadu, terutama ke Komando Luar
Angkasa Amerika Serikat.
1. Mandat kongres
19
a. Memberikan kebebasan operasi bagi Amerika Serikat di, dari, dan ke
luar angkasa.
b. Menyediakan operasi ruang angkasa yang cepat dan berkelanjutan.
2. Dan tugas Angkatan Luar Angkasa adalah untuk:
a. Lindungi kepentingan Amerika Serikat di luar angkasa.
b. Mencegah agresi dalam, dari, dan ke luar angkasa.
c. Melakukan operasi ruang angkasa.
3. Proyeksi kekuatan tempur
20
menargetkan spektrum penuh kemampuan musuh untuk mengeksploitasi domain
luar angkasa, yang mencakup target di domain terestrial dan cyber. Operasi ruang
angkasa yang ofensif sangat penting untuk mencapai keunggulan ruang.
12
Adam Irish, “The Legality of a U.S. Space Force”.
http://opiniojuris.org/2018/09/13/the-legality-of-a-u-s-space-force/. 13 September 2018. Diakses
09 November 2020.
21
internasional. Dan setiap puing yang dihasilkan kemungkinan akan memicu
pertanggungjawaban berdasarkan Pasal VI13 dan VII14 Perjanjian Luar Angkasa
serta Konvensi Kewajiban Luar Angkasa 1972 jika hal itu menyebabkan atau
menimbulkan risiko kerusakan pada properti negara lain.
22
akses luar angkasa, berisiko melanggar batasan yang lebih luas dari Perjanjian
Luar Angkasa. Secara khusus, Pasal I yang menyatakan “eksplorasi ruang angkasa
dan penggunaan ruang angkasa, termasuk Bulan dan benda langit lainnya, harus
dilakukan untuk kepentingan dan kepentingan semua negara,” dan Pasal II
pembatasan bahwa ruang angkasa dan benda langit adalah “Tidak tunduk pada
perampasan nasional dengan klaim kedaulatan, melalui penggunaan atau
pendudukan, atau dengan cara lain”.
23
puing-puing luar angkasa dari Angkatan Luar Angkasa AS yang ditempatkan di
orbit atau di titik Lagrange semuanya akan membuat AS menghadapi tanggung
jawab hukum. salah satu item ini mempengaruhi kesejahteraan negara bagian lain.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
24
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang
Undang-Undang No. 16 tahun 2002 tentang Pengesahan Treaty On Principles
Governing The Activities Of States In The Exploration And Use Of
Outer Space, Including The Moon And Other Celestial Bodies, 1967
(Traktat Mengenai Prinsip-Prinsip yang Mengatur Kegiatan Negara-
Negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa, Termasuk Bulan
dan Benda-Benda Langit Lainnya, 1967
LINK WEBSITE
Adam Irish, “The Legality of a U.S. Space Force”. http://opiniojuris.org/2018/09/13/the-
legality-of-a-u-s-space-force/. 13 September 2018. Diakses 09 November
2020.
25
https://www.unoosa.org/
https://www.unoosa.org/pdf/publications/STSPACE11E.pdf
26