Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM UDARA DAN ANGKASA 3.

2
KELOMPOK 5

“ORBIT GEOSTASIOAER (GSO)”

DISUSUN OLEH

JORDAN JESSE KIRANA 2010112147

MARTIN NOPRIADI SITUMEANG 2010117014

MUHAMMAD QOLBI JEFRI 2010117010

REZA FAHLEVY 2010112159

RIJAL ASRAF 2010112023

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

2023
BAB I
PENDAHULUAN

A LATAR BELAKANG
Pesatnya perkembangan teknologi saat ini, selaras dengan semakin
meningkatnya kesadaran manusia terhadap keberadaan hukum. Hampir segala aspek
kegiatan yang dilakukan manusia di bumi, didalamnya terdapat hukum / aturan yang
menjadi landasan atau dasar dalam pelaksanaannya. Hukum juga dijadikan sebagai
tolak ukur serta pedoman dalam berperilaku, yang tentunya dipahami secara berbeda –
beda oleh tiap masyarakat di masing – masing negara. Salah satu realisasi nyata dari
keberadaan hukum yaitu guna mengatur wilayah territorial atau kedaulatan suatu
negara, sebagaimana dengan adanya hukum tata ruang di Indonesia yang mengatur
mengenai pemanfaatan, pengelolaan serta pengendalian ruang, baik untuk ruang darat,
laut, udara, maupun ruang yang berada dibawah permukaan bumi. Disisi lain, sebagai
subjek hukum internasional, berdirinya suatu negara tentunya harus memenuhi
kualifikasi / syarat tertentu, salah satunya yaitu adanya kedaulatan. 1
Pasal 33 UUD 1945 ayat 3 menentukan “Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya
kemakmuran rakyat”. Ketentuan yang menentukan ruang lingkup jaminan melekatnya
fungsi penguasaan negara terhadap “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung ‘’di
dalamnya”. Frasa “di dalamnya” menunjukan bahwa yang dimaksud dalam ruang
lingkup fungsi kekuasaan negara adalah menyangkut di permukaan daratan (bumi),
sedangkan segala kekayaan alam yang ada “di atasnya” seolah tidak merupakan ruang
lingkup yang dikuasai oleh negara. Jimly Asshidiqie mengutarakan bahwa: 2
“Perumusan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang tidak melibatkan unsur udara
dan ruang angkasa dianggap sebagai suatu kelemahan. Meskipun Pasal 10
UUD 1945 menentukan bahwa terdapat kekuasaan angkatan udara dibawah
kekuasaan pemerintahan Presiden, akan tetapi tidak terkait fungsi kekuasan
negara.”
Penguasaan negara atas kekayaan alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945 seharusnya tidak hanya di darat, laut, melainkan juga di udara serta ruang
angkasa. Meskipun cabang hukum internasional memiliki ketentuan-ketentuan dan
prinsip-prisnsip berkaitan dengan hukum udara dan ruang angkasa (Air and Outer space
Law) akan tetapi, Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 semestinya memberikan jaminan

1
Prasetiawan, Eno. “Penggunaan Satelit untuk Kepentingan Militer di Antariksa Dalam Perspektif Hukum
Internasional”. Jurnal Kajian Kebijakan Penerbangan dan Antariksa 2, no. 1 (2021): 43.
2
Daniel Zuchron, Menggugat Manusia dalam Konstitusi: Kajian Filsafat atas UUD 1945 Pasca Amandemen,
Jakarta: Rayana Komunikasindo, 2017, hlm. 21
penguasaan negara terhadap kekayaan alam atas udara dan ruang angkasanya. Pengaturan
territorial dalam lingkup ruang udara dengan tingkatan yang lebih tinggi, yakni ruang
angkasa (antariksa), pengaturan terhadap ruang angkasa memiliki karakteristik yang
sedikit berbeda, sebab pemanfaatan terhadap ruang angkasa berserta dengan benda langit
lainnya, bebas digunakan oleh siapa saja / negara mana saja selama masih bersifat positif
untuk kepentingan umat bersama.
Oleh karena itu, ketika negara-negara mulai menyadari bahwa wilayah udara
memiliki nilai ekonomis dan strategis untuk kepentingan pertahanan dan keamanannya
maka negara mulai memikirkan instrumen hukum untuk melindungi kepentingannya itu
sehingga kemudian lahirlah berbagai perjanjian internasional di bidang hukum udara. 3
Hal tersebut dilandasi atas dasar persamaan serta keberadaan hukum internasional yang
ada. Dua perjanjian internasional kemudian melegitimasi kepemilikan ruang udara atas
ruang udara adalah Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944. Dalam pasal 1
Konvensi Paris menyatakan bahwa “The height contracting parties recognize that every
power has the complete and exclusive sovereignity over the air space above its
terrtitory”, pada Konvensi Chicago kepemilikan negara atau ruang udara di atur dalam
pasal 1 yang berbunyi “ The contracting parties recognize that every power has the
complete and exclusive soverignity over the air space above its territory”.
Setelah beberapa tahun legitimasi tentang kepemilikan suatu negara terhadap
ruang udaranya yang menjadikan negara-negara maju dengan dukungan teknologi yang
super canggih senantiasa tampil untuk melindungi kepentingan nasional melalui berbagai
fora Internasional. Akhirnya melahirkan Space Treaty 1967 “yang pada awalnya digagas
oleh UNCOPUOS (United Nations Committes on The Peacefull Uses of Couter Space)”.
Space Treaty 1967 pada dasarnya merupakan landasan hukum internasional atas
pemanfaatan dan eksploitasi ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda angkasa
lainnya. Pemanfaatan dan eksploitasi ruang angkasa tersebut hanya mungkin dilakukan
secara optimal oleh negara-negara maju yang memiliki kemampuan teknologi maju.
Pemanfaatan dan eksploitasi ruang angkasa yang ditandai dengan keberhasilan
Amerika Serikat dan Uni Soviet meluncurkan satelit telekomunikasi telah dapat
dimanfaatkan secara positif oleh masyarakat internasional untuk tujuan kemanusiaan dan
perdamaian, meskipun akhir-akhir ini ada kecemasan masyarakat dunia atas penyalah
gunaan ruang angkasa untuk tujuan militer dan perang. Sebagimana diketahui, bahwa
sistem satelit telekomunikasi dalam penyelenggaraannya memanfaatkan orbit sebagai
mediannya. Orbit tersebut mengitari bumi di atas garis katulistiwa pada jarak ketinggian

3
E.Saefullah Wiradipradja, 2014, “Pengantar Hukum Udara dan Ruang Angkasa”, Alumni, Bandung, hlm. 98
± 36.000 km. Secara alami satelit telekomonikasi tersebut akan stasioner pada orbit
tersebut maka orbit tersebut dinamakan Geo Stasionery Satelit Orbit (GSO).
GeoStationary Orbit (selanjutnya di singkat GSO) merupakan suatu orbit
lingkaran yang terletak sejajar dengan bidang khatulistiwa bumi dengan ketinggian ±
35.786 km dari permukaan wilayah khatulistiwa bumi. Keistimewaan dari GSO adalah
bahwa satelit yang ditempatkan pada orbit ini akan bergerak mengelilingi bumi sesuai
dengan rotasi bumi itu sendiri. GSO sebagai kenyataan alamiah diketengahkan pertama
kali oleh ahli terkemuka kelahiran Inggris yaitu Arthur Clark pada tahun 1945, yang
menyatakan bahwa GSO merupakan cincin dengan diameter ± 150 km dan mempunyai
ketebalan ± 70 km. Kelebihan lain dari jalur GSO ini adalah, jika kita menempatkan
sebuah satelit di jalur tersebut maka satelit akan dalam keadaan tidak bergerak dan hanya
dengan lebar 17° saja akan dapat meliput sepertiga dari bagian bumi. 4
Salah satu dari kegiatan ruang angkasa adalah pemanfaatan satelit yang
ditempatkan diwilayah Geostationer Orbit (GSO). Penempatan satelit di wilayah GSO
oleh negara-negara dengan tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju memiliki
beberapa tujuan, antara lain sebagai sarana telekomunikasi, pemantauan lingkungan, dan
cuaca. Namun, permasalahan yang kemudian muncul dan dihadapi masyarakat
internasional adalah adanya ketidakadilan dalam memanfaatkan GSO tersebut. Hal ini
disebabkan karena GSO dipandang sebagai bagian dari ruang angkasa (outer space),
sehingga di GSO berlaku prinsip kebebasan dalam pemanfaatan. Sebagai akibat
berlakunya prinsip kebebasan bagi setiap Negara dalam memanfaatkan GSO, maka
berlakulah prinsip first come, first served. Prinsip tersebut menyebabkan Negara-negara
maju yang memiliki teknologi tinggi dibidang ruang angkasa dapat memanfaatkan lebih
dulu.5
Pemanfaatan ruang angkasa dengan GSO-nya melalui berbagai perjanjian
internasional oleh negara-negara berkembang dinilai masih belum mencerminkan
rasionalitas yang berkeadilan secara merata setiap anggota ITU/PBB. Keadaan tersebut
memang karena kondisi yang hanya bisa dimanfaatkan negara-negara maju dengan
dukungan teknologi yang mutakhir untuk memanfaatkan ruang angkasa. Meskipun
demikian, negara Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan segala
keterbatasannya menunjukan kemampuannya untuk memanfaatkan penggunaan ruang
angkasa yang melindungi kepentingan nasional Indonesia yaitu dukungan mewujudkan
wawasan nusantara antara lain melalui satelit Palapa.

4
Ferry Junigwan Murdiansyah. Kajian Hukum Antariksa Modern: Kisah Klasik Untuk Masa Depan 2,
http://ferryjunigwan.wordpress.com/2010/01/14/kajian-hukum-antariksa-modern-kisah-klasik-untuk-masa-
depan-2/ dikunjungi pada tanggal 10 Juni 2023 jam 19.00.
5
B RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, adapun permasalahan yang dapat
peneliti rumuskan adalah :
1. Bagaimanakah Regulasi Pemanfaatan Ruang Angkasa Di Indonesia?
2. Bagaimana Perjuangan Negara-Negara Equatoria terhadap GSO?
3. Apa saja yang menjadi Kepentingan Nasional Indonesia Atas GSO ?

C TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui regulasi pemanfaatan ruang angkasa di Indonesia.
2. Untuk mengetahui perjuangan negara-negara Equatoria terhadap GSO.
3. Untuk mengetahui kepentingan nasional Indonesia atas GSO.
BAB II
PEMBAHASAN

A. REGULASI PEMANFAATAN RUANG ANGKASA DI INDONESIA


Keberadaan dan perkembangan mengenai ruang angkasa dimulai pada tahun 1957, saat
Uni Soviet berhasil meluncurkan satelit Sputnik 1 ke ruang angkasa. 6 Keberhasilan ini
telah menjadi titik tolak pemanfaatan ilmu dan teknologi ruang angkasa bagi
kemanusiaan. Eksplorasi dan ekploitasi pada awal perkembanganya, lebih ditunjukan
untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun saat itu
sedang hangat-hangatnya perang dingin antara blok barat dan blok timur sehingga
kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan sarat akan kepentingan
militer. Priyatna Abdurrasyid mengemukakan: 7
“Kini kita hidup dalam abad angkasa (space age). Ilmu pengetahuan yang
selamanya bergerak maju, berkembang pesat dalam waktu 50 tahun terakhir
ini, terutama sejak perang dunia ke-2. Kemajuan teknologi khususnya
teknologi penerbangan pada abad kini memberi akibat yang positif kepada
tingkat kehidupan manusia yang sekarang telah mampu melakukan
penerbangan-penerbangan ke dan di ruang angkasa.”
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keruang-angkasaan (Scientific and
technology of outer space) telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat bangsa-bangsa,
seperti pemanfaatan untuk teknologi penginderaan jauh (Matters relating ti remote
sensing of te earth by satellite), observasi atsmosfer, lingkungan hidup di ruang angkasa,
penanggulangan bencana alam (Space system based disaster management support), dan
sebagainya. Di samping itu juga memberikan manfaat ekonomi langsung dan nyata,
melalui penggunaan komersialnya yang meliputi navigasi satelit, televisi satelit, radio
satelit, serta teknologi berbasis satelit lainnya. selain itu, pariwisata luar angkasa juga
telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir. 8
Proses pembentukan hukum ruang angkasa di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
dimulai tahun 1958, ketika Majelis Umum PBB membentuk 18 Anggota Komite yang
disebut dengan “Komite tentang Penggunaan Antariksa untuk Maksud Damai”
(Committee on the Peaceful Uses of Outer Space), adapun tugas UNCOPUOS
diantaranya:

6
Timotius Bambang Widarto, Dian Purwaningrum Soemitro, Pengantar Hukum Ruang Angkasa, (Tinjauan
Hukum Internasional dan Hukum Nasional), Jakarta: FHUP Press, 2014, hlm. 1.
7
Priyatna Abdurrasyid, Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967, Bandung, Binacipta., hlm. 4.
8
Stoica Cristinel Popa, Sovereignty and Jurisdiction in Space Law,
https://researchandeducation.ro/2018/03/25/sovereignty-and-jurisdiction-in-spacelaw.html , dikunjungi pada
tanggal 10 Juni 2023 pukul 19.00.
1. Menetapkan usaha yang akan dilakukan/disponsori PBB untuk mendorong
negara-negara dalam pengembangan dan pemanfaatan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi antariksa bagi pembangunan nasional.
2. Mengkaji dan merumuskan aturan-aturan hukum internasional mengenai
eksplorasi eksploitasi antariksa untuk maksud damai.

Space Treaty 1967 memiliki 17 Pasal, sepuluh Pasal diantaranya merupakan prinsip-
prinsip dasar kegiatan manusia di ruang angkasa. Eksplorasi dan penggunaan ruang
angkasa, termasuk bulan, dan benda-benda ruang angkasa lainnya bagi semua negara
dalam rangka untuk tujuan damai dan kerjasama internasional. Pengaturan dalam Space
Treaty bersifat universal, sehingga prinsip-prinsip pokok yang terkandung didalamnya
tersebut dipandang sebagai ius cogens yang kemudian dijabarkan dalam beberapa
perjanjian internasional ruang angkasa, seperti Rescue Agreement 1968, Liability
Convention 1972, Registration Convention 1975, dan Moon Agreement 1979.

Namun dalam pengaturan secara internasional tersebut belum dapat


memberikan jaminan hukum kepada negara-negara berkembang khususnya dalam
pemanfaatan sumber daya alamnya, sehingga penguasaan terhadap pemanfaatan sumber
daya alam di ruang angkasa pada prinsipnya sangat penting khususnya bagi kepentingan
nasional. Mengingat banyaknya kegiatan-kegiatan eksplorasi di ruang angkasa serta
pemanfaatanya dengan adanya peluncuran berbagai satelit dengan cepat dan
beranekaragam seperti pengawasan wilayah-wilayah, pencarian sumber-sumber daya
alam di darat dan laut, siaran radio, televisi, hubungan telepon, meteorology, observasi
astronomi dan lainya. Indonesia yang secara geografis merupakan negara kepulauan
(archipelagic state) yang terdiri dari lebih 17.000 pulau dan berada di lintasan garis
khatulistiwa, menjadikan Indonesia menjadi tempat yang sangat strategis serta potensial
untuk kegiatan eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa. Terlebih wilayah Indonesia
menjadi negara yang dilalui garis khatulistiwa dimana terdapat Geo Stationary Orbit
atau dikenal dengan GSO.

Kenyataannya dewasa ini, pemanfaatan orbit geostasioner ini masih didasarkan


atas prinsip first come first served, sehingga sangat merugikan negara-negara
berkembang, khususnya negara-negara yang dilalui garis khatulistiwa yang terletak di
bawah orbit geostasioner termasuk Indonesia.38 Selain itu akibat penerapan doktrin first
come, first served sebagain besar kemampuan jalur orbit geostasioner didominasi oleh
negara-negara maju karena mereka mempunyai iptek serta keuangan yang memadai.
Sebaliknya negara berkembang kurang dapat memanfaatkanya.
B. PERJUANGAN NEGARA – NEGARA YANG BERADA DIBAWAH
EQUARITOL
Negara-negara di bawah khatulistiwa, terutama negara-negara di wilayah Tropis,
memang memiliki tantangan tersendiri dalam mempertahankan orbit geostasioner
(Geostationary Orbit/GSO). GSO adalah orbit di sekitar Bumi di mana satelit dapat
tetap berada pada posisi yang tetap di atas titik yang sama di permukaan Bumi.
Tantangan utama yang dihadapi oleh negara-negara di khatulistiwa dalam
mempertahankan GSO adalah efek gravitasi bulan dan matahari yang lebih kuat di
wilayah tersebut. Efek ini menciptakan gaya-gaya tarik tambahan yang mempengaruhi
orbit satelit dan dapat menyebabkan pergeseran orbit dari posisi geostasioner yang
diinginkan. Fenomena ini dikenal sebagai "stabilisasi orbit", dan satelit di orbit
khatulistiwa memerlukan pemeliharaan dan penyesuaian yang konstan untuk menjaga
posisi mereka.
Negara-negara di wilayah Tropis telah bekerja sama untuk mengatasi tantangan
ini melalui berbagai inisiatif. Mereka melakukan pemantauan dan pemeliharaan satelit
secara teratur untuk memastikan mereka tetap berada pada orbit yang diinginkan. Selain
itu, negara-negara ini juga telah meningkatkan kapabilitas mereka dalam teknologi
antariksa dan sistem kontrol orbit untuk mempertahankan GSO dengan lebih efektif.
Pembahasan isu GSO di UNCOPUOS diawali dengan adanya Deklarasi Bogota yang
diajukan oleh negara-negara khatulistiwa yang mengajukan tuntutan kedaulatan atas
GSO pada sidang ITU. Dalam forum ITU tersebut terjadi perbedaan pendapat diantara
negara-negara, negara-negara maju dalam hal ini kelompok Utara berpendapat bahwa
tuntutan kedaulatan atas GSO oleh negara-negara khatulistiwa tidak dapat diterima
karena berdasarkan Outer Space Treaty 1967 Article II yang menyatakan bahwa “Outer
space, including the moon and other celestial bodies, is not subject to national
appropriation by calim of sovereignity, by means of use or occupation, or by any other
means” dan GSO secara fisik terletak dan merupakan bagian dari antariksa, maka GSO
tunduk pada Space Treaty 1967. Pembahasan mengenai permasalahan tersebut pada
akhirnya menemui jalan buntu, sehingga pada sidang ITU diputuskan bahwa
UNCOPUOS yang berwenang membahas tuntutan tersebut karena GSO dianggap
merupakan bagian dari antariksa.
Akhirnya, isu GSO mulai dibahas dalam sidang UNCOPUOS pada tahun 1978.
Dalam sidang UNCOPUOS permasalahan GSO dimuat dalam Resolusi Majelis Umum
34/66 untuk dibahas dalam sidang sub komite hukum tahun 1979. Pada sidang Sub
komite Hukum 1979, pembahasan mengenai GSO masuk menjadi mata agenda yang
disatukan dengan pembahasan definisi dan delimitasi antariksa, dengan judul Definition
and/or delimitation of outer space and outer space activities, bearing in mind, inter alia.
Pada sidang ke-35 Sub komite Hukum tahun 1996 terdapat kesepakatan agar sekretariat
UNCOPUOS dan ITU melakukan analisa kompatibilitas terhadap pendekatan yang
dimuat dalam working paper Kolumbia yang berjudul “Some consideration concerning
the utilization of geostationasry orbit” di mana dalam working paper ini terdapat
rekomendasi bahwa beberapa prinsip dapat diaplikasikan terhadap pengaturan frekuensi
dan posisi orbital terkait dengan GSO. Namun demikian, working paper tersebut
dianggap tidak dapat di-endorse oleh Sub komite Hukum.
Selain working paper yang diajukan oleh Kolumbia, Jerman juga mengajukan
working paper yang berjudul “draft resolution request to the International
Telecommunication Union” yang isinya adalah meminta agar anggota ITU membahas
tentang equitable access penggunaan GSO untuk semua negara. Namun dari working
paper tersebut terlihat kecenderungan bahwa pembahasan hal-hal yang berkaitan
dengan GSO hanya akan dilakukan oleh ITU saja dan hal tersebut dinilai oleh negara-
negara berkembang akan mengakibatkan dihapusnya pembahasan pengaturan aspek
politik dan hukum penggunaan GSO di UNCOPUOS. Dalam perkembangan
selanjutnya terjadi perubahan pandangan negara khatulistiwa terhadap GSO. Kolombia
yang awalnya mengajukan tuntutan kedaulatan atas GSO tidak lagi mengatasnamakan
negara khatulistiwa tetapi atas nama negara berkembang. Sehingga substansi sui generis
regime yang dimuat dalam working paper Kolombia tahun 1993 lebih menekankan pada
penggunaan GSO yang adil, merata dan rasional bagi kepentingan semua negara.
Indonesia dan negara-negara equatorial menuntut atas pemanfaatan GSO,
dengan prinsip yang dinamakan “preservation rights”. Dengan adanya tuntutan ini
setidaknya akan timbul kesadaran pada negara-negara teknologi maju, bahwa masalah
ruang angkasa perlu ditangani oleh semua negara secara bersama-sama tanpa perbedaan
tingkat kemajuan, dan bukan oleh mereka secara diam-diam saja. Perjuangan Indonesia
dengan negara-negara khatulistiwa untuk pemanfaatan GSO telah dilakukan sejak tahun
1976 dan akhirnya pada Sidang Legal Sub Committee UNCOPUOS di Jenewa telah
berhasil memasukkan ke dalam acara siding sebuah Working Paper No.
A/AC.105/C.2/L.147 tanggal 29 Maret 1984. Working Paper ini berisikan prinsip yang
harus dipatuhi oleh negara-negara. Adapun prinsip-prinsip yang diusulkan adalah
sebagai berikut:
1. Exclusively for peaceful purposes and the benefit of mankind;
2. Sui generis regime and rights of equatorial countries;
3. Opportune and appropriate utilization;
4. Preferential rights;
5. Prior authorization;
6. International co-operating and efficient and economic utilization;
7. Transfer of technology;
8. Removal of non-operational or unutilized space object from the orbit.
Prinsip-prinsip tersebut menekankan suatu keinginan Indonesia dan negara-negara
khatulistiwa lainnya untuk berusaha agar ruang angkasa benar-benar digunakan semata-
mata untuk kepentingan perdamaian dan kemanusiaan.

C. KEPENTINGAN NASIONAL INDONESIA ATAS GSO


Pelaksanaan Peraturan Hukum Atas Pemanfaatan GSO terbagi menjadi: Pertama, GSO
sebagai wilayah strategi bagi penempatan satelit komunikasi. GSO adalah suatu jalur
yang sangat potensial untuk penempatan satelit-satelit khususnya satelit komunikasi.
GSO merupakan suatu orbit yang berbentuk cincin yang terletak pada enam radian bumi
di atas garis khatulistiwa, dimana satelit komunikasi harus ditempatkan dalam orbit
tersebut agar berada pada posisi tetap di ruang angkasa terhadap bumi alur GSO
merupakan jalur potensial bagi penempatan satelit komunikasi itu hanya terdapat atas
negara-negara khatulistiwa saja seperti Kolombia, Kongo, Ekuador, Kenya, Uganda,
Zaire, Brasil dan Indonesia.
Dari negara-negara khatulistiwa tersebut maka Indonesia adalah satu-satunya
negara yang memiliki jalur GSO terpanjang di atas wilayah territorial yakni 13 persen
dari panjang GSO seluruhnya atau sepanjang 34.000 km Dengan melihat kondisi
objektif dari GSO yang hanya dimiliki oleh negara-negara khatulistiwa saja maka
jelaslah bahwa GSO ini merupakan salah satu sumber daya alam yang terbatas. Secara
yuridis, status GSO sebagai sumber daya alam yang terbatas dapat dijumpai pada pasal
33 (2) dari ITU Convention tahun 1973 sebagai berikut:

“In using frequency bands for souce radio services members shall bear in
mind that radio frequencies and the Goestationary satellites orbit are limited
natural resources, that they must be used efficienly and economically.”
Kepentingan Nasional Indonesia sesungguhnya secara eksplisit sebagaimana
dimaksud dalam pembukaan UUD 1945. Khusus menyangkut pemanfaatan GSO,
maka terkait erat dengan dukungan untuk komunikasi melalui satelit komunikasi
untuk kepentingan Indonesia. Kepentingan mendasar setiap bangsa dan negara
adalah kelangsungan hidupnya yang harus diisi dengan suatu perjuangan untuk
mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya. Dalam kaitan ini kepentingan nasional
mendasar yang perlu dipertahankan dan diperjuangkan oleh bangsa Indonesia,
antara lain adalah:
(i) Terlindungnya bangsa Indonesia dan keutuhan wilayah nasional Republik
Indonesia dari setiap tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang
dating dari luar maupun dari dalam,
(ii) Tercipta dan terpeliharanya stabilitas nasional, serta terjadinya stabilitas
regional dan internasional demi keberhasilan pembangunan nasional
Indonesia selanjutnya, dan
(iii) Terjaganya ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang
abadi serta keadilan sosial.

Kepentingan Indonesia tersebut di atas dapat diwujudkan, antara lain melalui


penggunaan GSO, yaitu dengan memanfaatkan hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta potensi GSO seoptimal mungkin untuk mendukung pembangunan
nasional, di dalam rangka mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana
terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Putusan Indonesia untuk
memiliki sendiri satelit komunikasi merupakan suatu putusan yang sangat strategis,
karena telah bersama-sama dirasakan bukan saja manfaatnya sebagai alat pemersatu
bangsa dan negara, tetapi juga dapat memacu kemampuan teknologi telekomunikasi
antariksa Indonesia pada khususnya, dan teknologi antariksa pada umumnya. Selain
penggunaan GSO melalui pemanfaatan satelit-satelit yang memiliki dan dioperasikan
sendiri, Indonesia juga memanfaatkan satelit-satelit negara lain atau organisasi
internasional yang ditempatkan di GSO untuk keperluan pengamatan cuaca,
pemantauan lingkungan serta navigasi lalu lintas udara dan lautan. Menyadari bahwa
GSO juga potensial untuk digunakan bagi keperluan-keperluan lainnya, maka tidak
tertutup kemungkinan dimasa mendatang Indonesia akan ikut memanfaatkan GSO
untuk keperluan diluar bidang-bidang aplikasi tersebut di atas. Dengan kondisi dan
status pemanfaatan GSO untuk berbagai keperluan tersebut, maka GSO telah menjadi
kawasan kepentingan Indonesia yang sangat vital.

Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, maka kepentingan Indonesia atas GSO baik saat
ini maupun di masa mendatang adalah:

a) Terjaminnya kesinambungan penggunaan GSO oleh Indonesia untuk keperluan


telekomunikasi, penyiaran, dan meteorologi serta kemungkinan pengembangan
bidang lainnya;
b) Terjaminnya satelit-satelit Indonesia dari segala macam ancaman dan gangguan
pihak-pihak lain yang dapat merugikan Indonesia;
c) Terjaminnya GSO dari penggunaan yang dapat membawa dampak negatif baik
terhadap lingkungan GSO itu sendiri maupun bumi, khususnya terhadap wilayah
Indonesia;
d) Adannya peluang bagi Indonsia untuk setiap saat dapat menggunakan slot orbit
dan spektrum frekuensi di GSO apabila sewaktu-waktu diperlakukan Indonesia
bagi kepentingan nasionalnya;
e) Dapat dihindarkan penggunaan GSO dari segala bentuk kegiatan yang bukan
untuk maksud damai dan kemanusiaan.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Bahwa GSO merupakan tempat strategis untuk penempatan satelit komunikasi.
Pemanfaatan GSO, pelaksanaannya diatur berdasarkan Space Treaty 1967 dan
Konvensi Telekomunikasi Internasional; (2). Bahwa hambatan utama
pemerintah Indonesia dalam perjuangan pemanfaatkan GSO untuk kepentingan
nasional Indonesia, pada prinsipnya terletak pada upaya menyakinkan kepada
negara-negara maju agar bisa lebih bersikap “win-win solution”. Indonesia
bersama negara-negara khatulistiwa senantiasa menjalin upaya perjuangan
bersama atas pemanfaatan GSO.
2. Pasal 33 ayat (3) yang memuat konsep penguasaan negara, tidak dapat dimaknai
sebagai sebagai penguasaan 3 dimensi Sehingga seharusnya Pasal 33 ayat (3)
memberikan kekuasaan negara untuk memanfaatkan sepenuhnya sumber daya
alam tidak hanya “bumi,air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya”
melainkan juga yang ada di atasnya seperti udara maupun ruang angkasa. Pada
prinsipnya Pasal 33 ayat (3) memberikan fungsi serta kewajiban kepada negara
untuk menguasai sumber daya alamnya. Dalam pengaturan ruang angkasa
(antariksa) di Indonesia terdapat beberapa regulasi ataupun ketentuan peraturan
perundang-undangan antara lain : Spcae Treaty 1967 yang telah diratifikasi ke
dalam UU Nomor 16 tahun 2002, Liability Convention 1972 yang telah
diratifikasi dengan Keppres Nomor 20 tahun 1996, Registarison Convention
yang telah diratifiksi dengan Keppres Nomor 5 tahun 1997, Rescue Agreement
1968 yang telah diratifiksi dengan Keppres Nomor 4 tahun 1999, serta Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2013 tentang keantariksaan. Namun ketentuan-
ketentuan sebagaimana yang telah Penulis uraikan tidak memberikan jaminan
dalam pemanfaatan ruang angkasa khususnya negara-negara khatulistiwa
termasuk Indonesia. Serta tidak sedikitpun mencerminkan penguasaan negara
terhadap pemanfaatan sumber daya alam yang ada dalam wilayah ruang angkasa.
Hal tersebut menimbulkan banyak kerugian bagi Indonesia sebagai negara
berdaulat.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Agus Pramono, Orbit Geostasioner (GSO) dalam Hukum Internasional dan Kepentingan
Nasional Indonesia, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa
Tengah, Indonesia.

Abdurrasyid, Priyatna,1977, Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967,
Bandung, Binacipta.

Asshiddiqie, Jimly, 2011, Kontitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

Bahar, W. 1988. Pertanggungjawaban Negara Terhadap Aktivitas Komersial di Ruang


Angkasa. Hukum Angkasa dan Perkembangannya. Editor E. Saefullah Wiradipradja
dan Mieke Komar Kantaatmadja. Remaja Karya CV. Bandung.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, 1998, “Urgensi Pengesahan Treaty on


Principles Governing the Activities of State in the Exploration and Use of Outer Space,
Including the Moon and other Celestial Bodies, 1967”

Mardianis, 2016, Hukum Antariksa, Jakarta : Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai