2
KELOMPOK 5
DISUSUN OLEH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A LATAR BELAKANG
Pesatnya perkembangan teknologi saat ini, selaras dengan semakin
meningkatnya kesadaran manusia terhadap keberadaan hukum. Hampir segala aspek
kegiatan yang dilakukan manusia di bumi, didalamnya terdapat hukum / aturan yang
menjadi landasan atau dasar dalam pelaksanaannya. Hukum juga dijadikan sebagai
tolak ukur serta pedoman dalam berperilaku, yang tentunya dipahami secara berbeda –
beda oleh tiap masyarakat di masing – masing negara. Salah satu realisasi nyata dari
keberadaan hukum yaitu guna mengatur wilayah territorial atau kedaulatan suatu
negara, sebagaimana dengan adanya hukum tata ruang di Indonesia yang mengatur
mengenai pemanfaatan, pengelolaan serta pengendalian ruang, baik untuk ruang darat,
laut, udara, maupun ruang yang berada dibawah permukaan bumi. Disisi lain, sebagai
subjek hukum internasional, berdirinya suatu negara tentunya harus memenuhi
kualifikasi / syarat tertentu, salah satunya yaitu adanya kedaulatan. 1
Pasal 33 UUD 1945 ayat 3 menentukan “Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya
kemakmuran rakyat”. Ketentuan yang menentukan ruang lingkup jaminan melekatnya
fungsi penguasaan negara terhadap “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung ‘’di
dalamnya”. Frasa “di dalamnya” menunjukan bahwa yang dimaksud dalam ruang
lingkup fungsi kekuasaan negara adalah menyangkut di permukaan daratan (bumi),
sedangkan segala kekayaan alam yang ada “di atasnya” seolah tidak merupakan ruang
lingkup yang dikuasai oleh negara. Jimly Asshidiqie mengutarakan bahwa: 2
“Perumusan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang tidak melibatkan unsur udara
dan ruang angkasa dianggap sebagai suatu kelemahan. Meskipun Pasal 10
UUD 1945 menentukan bahwa terdapat kekuasaan angkatan udara dibawah
kekuasaan pemerintahan Presiden, akan tetapi tidak terkait fungsi kekuasan
negara.”
Penguasaan negara atas kekayaan alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945 seharusnya tidak hanya di darat, laut, melainkan juga di udara serta ruang
angkasa. Meskipun cabang hukum internasional memiliki ketentuan-ketentuan dan
prinsip-prisnsip berkaitan dengan hukum udara dan ruang angkasa (Air and Outer space
Law) akan tetapi, Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 semestinya memberikan jaminan
1
Prasetiawan, Eno. “Penggunaan Satelit untuk Kepentingan Militer di Antariksa Dalam Perspektif Hukum
Internasional”. Jurnal Kajian Kebijakan Penerbangan dan Antariksa 2, no. 1 (2021): 43.
2
Daniel Zuchron, Menggugat Manusia dalam Konstitusi: Kajian Filsafat atas UUD 1945 Pasca Amandemen,
Jakarta: Rayana Komunikasindo, 2017, hlm. 21
penguasaan negara terhadap kekayaan alam atas udara dan ruang angkasanya. Pengaturan
territorial dalam lingkup ruang udara dengan tingkatan yang lebih tinggi, yakni ruang
angkasa (antariksa), pengaturan terhadap ruang angkasa memiliki karakteristik yang
sedikit berbeda, sebab pemanfaatan terhadap ruang angkasa berserta dengan benda langit
lainnya, bebas digunakan oleh siapa saja / negara mana saja selama masih bersifat positif
untuk kepentingan umat bersama.
Oleh karena itu, ketika negara-negara mulai menyadari bahwa wilayah udara
memiliki nilai ekonomis dan strategis untuk kepentingan pertahanan dan keamanannya
maka negara mulai memikirkan instrumen hukum untuk melindungi kepentingannya itu
sehingga kemudian lahirlah berbagai perjanjian internasional di bidang hukum udara. 3
Hal tersebut dilandasi atas dasar persamaan serta keberadaan hukum internasional yang
ada. Dua perjanjian internasional kemudian melegitimasi kepemilikan ruang udara atas
ruang udara adalah Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944. Dalam pasal 1
Konvensi Paris menyatakan bahwa “The height contracting parties recognize that every
power has the complete and exclusive sovereignity over the air space above its
terrtitory”, pada Konvensi Chicago kepemilikan negara atau ruang udara di atur dalam
pasal 1 yang berbunyi “ The contracting parties recognize that every power has the
complete and exclusive soverignity over the air space above its territory”.
Setelah beberapa tahun legitimasi tentang kepemilikan suatu negara terhadap
ruang udaranya yang menjadikan negara-negara maju dengan dukungan teknologi yang
super canggih senantiasa tampil untuk melindungi kepentingan nasional melalui berbagai
fora Internasional. Akhirnya melahirkan Space Treaty 1967 “yang pada awalnya digagas
oleh UNCOPUOS (United Nations Committes on The Peacefull Uses of Couter Space)”.
Space Treaty 1967 pada dasarnya merupakan landasan hukum internasional atas
pemanfaatan dan eksploitasi ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda angkasa
lainnya. Pemanfaatan dan eksploitasi ruang angkasa tersebut hanya mungkin dilakukan
secara optimal oleh negara-negara maju yang memiliki kemampuan teknologi maju.
Pemanfaatan dan eksploitasi ruang angkasa yang ditandai dengan keberhasilan
Amerika Serikat dan Uni Soviet meluncurkan satelit telekomunikasi telah dapat
dimanfaatkan secara positif oleh masyarakat internasional untuk tujuan kemanusiaan dan
perdamaian, meskipun akhir-akhir ini ada kecemasan masyarakat dunia atas penyalah
gunaan ruang angkasa untuk tujuan militer dan perang. Sebagimana diketahui, bahwa
sistem satelit telekomunikasi dalam penyelenggaraannya memanfaatkan orbit sebagai
mediannya. Orbit tersebut mengitari bumi di atas garis katulistiwa pada jarak ketinggian
3
E.Saefullah Wiradipradja, 2014, “Pengantar Hukum Udara dan Ruang Angkasa”, Alumni, Bandung, hlm. 98
± 36.000 km. Secara alami satelit telekomonikasi tersebut akan stasioner pada orbit
tersebut maka orbit tersebut dinamakan Geo Stasionery Satelit Orbit (GSO).
GeoStationary Orbit (selanjutnya di singkat GSO) merupakan suatu orbit
lingkaran yang terletak sejajar dengan bidang khatulistiwa bumi dengan ketinggian ±
35.786 km dari permukaan wilayah khatulistiwa bumi. Keistimewaan dari GSO adalah
bahwa satelit yang ditempatkan pada orbit ini akan bergerak mengelilingi bumi sesuai
dengan rotasi bumi itu sendiri. GSO sebagai kenyataan alamiah diketengahkan pertama
kali oleh ahli terkemuka kelahiran Inggris yaitu Arthur Clark pada tahun 1945, yang
menyatakan bahwa GSO merupakan cincin dengan diameter ± 150 km dan mempunyai
ketebalan ± 70 km. Kelebihan lain dari jalur GSO ini adalah, jika kita menempatkan
sebuah satelit di jalur tersebut maka satelit akan dalam keadaan tidak bergerak dan hanya
dengan lebar 17° saja akan dapat meliput sepertiga dari bagian bumi. 4
Salah satu dari kegiatan ruang angkasa adalah pemanfaatan satelit yang
ditempatkan diwilayah Geostationer Orbit (GSO). Penempatan satelit di wilayah GSO
oleh negara-negara dengan tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju memiliki
beberapa tujuan, antara lain sebagai sarana telekomunikasi, pemantauan lingkungan, dan
cuaca. Namun, permasalahan yang kemudian muncul dan dihadapi masyarakat
internasional adalah adanya ketidakadilan dalam memanfaatkan GSO tersebut. Hal ini
disebabkan karena GSO dipandang sebagai bagian dari ruang angkasa (outer space),
sehingga di GSO berlaku prinsip kebebasan dalam pemanfaatan. Sebagai akibat
berlakunya prinsip kebebasan bagi setiap Negara dalam memanfaatkan GSO, maka
berlakulah prinsip first come, first served. Prinsip tersebut menyebabkan Negara-negara
maju yang memiliki teknologi tinggi dibidang ruang angkasa dapat memanfaatkan lebih
dulu.5
Pemanfaatan ruang angkasa dengan GSO-nya melalui berbagai perjanjian
internasional oleh negara-negara berkembang dinilai masih belum mencerminkan
rasionalitas yang berkeadilan secara merata setiap anggota ITU/PBB. Keadaan tersebut
memang karena kondisi yang hanya bisa dimanfaatkan negara-negara maju dengan
dukungan teknologi yang mutakhir untuk memanfaatkan ruang angkasa. Meskipun
demikian, negara Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan segala
keterbatasannya menunjukan kemampuannya untuk memanfaatkan penggunaan ruang
angkasa yang melindungi kepentingan nasional Indonesia yaitu dukungan mewujudkan
wawasan nusantara antara lain melalui satelit Palapa.
4
Ferry Junigwan Murdiansyah. Kajian Hukum Antariksa Modern: Kisah Klasik Untuk Masa Depan 2,
http://ferryjunigwan.wordpress.com/2010/01/14/kajian-hukum-antariksa-modern-kisah-klasik-untuk-masa-
depan-2/ dikunjungi pada tanggal 10 Juni 2023 jam 19.00.
5
B RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, adapun permasalahan yang dapat
peneliti rumuskan adalah :
1. Bagaimanakah Regulasi Pemanfaatan Ruang Angkasa Di Indonesia?
2. Bagaimana Perjuangan Negara-Negara Equatoria terhadap GSO?
3. Apa saja yang menjadi Kepentingan Nasional Indonesia Atas GSO ?
C TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui regulasi pemanfaatan ruang angkasa di Indonesia.
2. Untuk mengetahui perjuangan negara-negara Equatoria terhadap GSO.
3. Untuk mengetahui kepentingan nasional Indonesia atas GSO.
BAB II
PEMBAHASAN
6
Timotius Bambang Widarto, Dian Purwaningrum Soemitro, Pengantar Hukum Ruang Angkasa, (Tinjauan
Hukum Internasional dan Hukum Nasional), Jakarta: FHUP Press, 2014, hlm. 1.
7
Priyatna Abdurrasyid, Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967, Bandung, Binacipta., hlm. 4.
8
Stoica Cristinel Popa, Sovereignty and Jurisdiction in Space Law,
https://researchandeducation.ro/2018/03/25/sovereignty-and-jurisdiction-in-spacelaw.html , dikunjungi pada
tanggal 10 Juni 2023 pukul 19.00.
1. Menetapkan usaha yang akan dilakukan/disponsori PBB untuk mendorong
negara-negara dalam pengembangan dan pemanfaatan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi antariksa bagi pembangunan nasional.
2. Mengkaji dan merumuskan aturan-aturan hukum internasional mengenai
eksplorasi eksploitasi antariksa untuk maksud damai.
Space Treaty 1967 memiliki 17 Pasal, sepuluh Pasal diantaranya merupakan prinsip-
prinsip dasar kegiatan manusia di ruang angkasa. Eksplorasi dan penggunaan ruang
angkasa, termasuk bulan, dan benda-benda ruang angkasa lainnya bagi semua negara
dalam rangka untuk tujuan damai dan kerjasama internasional. Pengaturan dalam Space
Treaty bersifat universal, sehingga prinsip-prinsip pokok yang terkandung didalamnya
tersebut dipandang sebagai ius cogens yang kemudian dijabarkan dalam beberapa
perjanjian internasional ruang angkasa, seperti Rescue Agreement 1968, Liability
Convention 1972, Registration Convention 1975, dan Moon Agreement 1979.
“In using frequency bands for souce radio services members shall bear in
mind that radio frequencies and the Goestationary satellites orbit are limited
natural resources, that they must be used efficienly and economically.”
Kepentingan Nasional Indonesia sesungguhnya secara eksplisit sebagaimana
dimaksud dalam pembukaan UUD 1945. Khusus menyangkut pemanfaatan GSO,
maka terkait erat dengan dukungan untuk komunikasi melalui satelit komunikasi
untuk kepentingan Indonesia. Kepentingan mendasar setiap bangsa dan negara
adalah kelangsungan hidupnya yang harus diisi dengan suatu perjuangan untuk
mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya. Dalam kaitan ini kepentingan nasional
mendasar yang perlu dipertahankan dan diperjuangkan oleh bangsa Indonesia,
antara lain adalah:
(i) Terlindungnya bangsa Indonesia dan keutuhan wilayah nasional Republik
Indonesia dari setiap tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang
dating dari luar maupun dari dalam,
(ii) Tercipta dan terpeliharanya stabilitas nasional, serta terjadinya stabilitas
regional dan internasional demi keberhasilan pembangunan nasional
Indonesia selanjutnya, dan
(iii) Terjaganya ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang
abadi serta keadilan sosial.
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, maka kepentingan Indonesia atas GSO baik saat
ini maupun di masa mendatang adalah:
A. KESIMPULAN
1. Bahwa GSO merupakan tempat strategis untuk penempatan satelit komunikasi.
Pemanfaatan GSO, pelaksanaannya diatur berdasarkan Space Treaty 1967 dan
Konvensi Telekomunikasi Internasional; (2). Bahwa hambatan utama
pemerintah Indonesia dalam perjuangan pemanfaatkan GSO untuk kepentingan
nasional Indonesia, pada prinsipnya terletak pada upaya menyakinkan kepada
negara-negara maju agar bisa lebih bersikap “win-win solution”. Indonesia
bersama negara-negara khatulistiwa senantiasa menjalin upaya perjuangan
bersama atas pemanfaatan GSO.
2. Pasal 33 ayat (3) yang memuat konsep penguasaan negara, tidak dapat dimaknai
sebagai sebagai penguasaan 3 dimensi Sehingga seharusnya Pasal 33 ayat (3)
memberikan kekuasaan negara untuk memanfaatkan sepenuhnya sumber daya
alam tidak hanya “bumi,air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya”
melainkan juga yang ada di atasnya seperti udara maupun ruang angkasa. Pada
prinsipnya Pasal 33 ayat (3) memberikan fungsi serta kewajiban kepada negara
untuk menguasai sumber daya alamnya. Dalam pengaturan ruang angkasa
(antariksa) di Indonesia terdapat beberapa regulasi ataupun ketentuan peraturan
perundang-undangan antara lain : Spcae Treaty 1967 yang telah diratifikasi ke
dalam UU Nomor 16 tahun 2002, Liability Convention 1972 yang telah
diratifikasi dengan Keppres Nomor 20 tahun 1996, Registarison Convention
yang telah diratifiksi dengan Keppres Nomor 5 tahun 1997, Rescue Agreement
1968 yang telah diratifiksi dengan Keppres Nomor 4 tahun 1999, serta Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2013 tentang keantariksaan. Namun ketentuan-
ketentuan sebagaimana yang telah Penulis uraikan tidak memberikan jaminan
dalam pemanfaatan ruang angkasa khususnya negara-negara khatulistiwa
termasuk Indonesia. Serta tidak sedikitpun mencerminkan penguasaan negara
terhadap pemanfaatan sumber daya alam yang ada dalam wilayah ruang angkasa.
Hal tersebut menimbulkan banyak kerugian bagi Indonesia sebagai negara
berdaulat.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Agus Pramono, Orbit Geostasioner (GSO) dalam Hukum Internasional dan Kepentingan
Nasional Indonesia, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa
Tengah, Indonesia.
Abdurrasyid, Priyatna,1977, Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967,
Bandung, Binacipta.
Asshiddiqie, Jimly, 2011, Kontitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.