Juli 2011
Pandecta
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta
Abstract
Space treaty 1967 is the international law of space based in utilizing and exploiting
of the space including Moon and other space objects. The utilization and exploitation
of the space is only conducted by the developed countries, which has the resources
and developed technology. Geostasioner is one of the limited natural resources as a
strategic place for communication satellite orbite. The communication satellite is
the major vehicle to endorse many kind of the world people activities, and especially
for the national interest such as economics, politics, social and culture, and also
defence. The equal principle among states is based on the international cooperation
in utilizing GSO for the human peace. Indonesia with other equatorial countries
struggle through various international forum to search the international regulation
in utilizing space above the countries.
1
Pandecta. Volume 6. Nomor 2. Juli
tentang GSO dilakukan oleh ITU Pemanfaatan GSO terbagi menjadi:
(Internasio- nal Telecommunication Union) Pertama, GSO sebagai wilayah strategi bagi
dan UNCO- PUOS. Pemanfaatan ruang penempa- tan satelit komunikasi. GSO
angkasa dengan GSO-nya melalui adalah suatu ja-
berbagai perjanjian inter- nasional oleh
negara-negara berkembang dinilai masih
belum mencerminkan rasiona- litas yang
berkeadilan secara merata setiap anggota
ITU/PBB. Keadaan tersebut memang karena
kondisi yang hanya bisa dimanfaatkan
negara-negara maju dengan dukungan tek-
nologi yang mutakhir untuk memanfaatkan
ruang angkasa. Meskipun demikian, negara
Indonesia sebagai salah satu negara
berkem- bang dengan segala
keterbatasannya menun- jukan
kemampuannya untuk memanfaatkan
penggunaan ruang angkasa yang
melindungi kepentingan nasional Indonesia
yaitu dukun- gan mewujudkan wawasan
nusantara antara lain melalui satelit
Palapa.
Memperhatikan latar belakang
sebagai- mana tersebut, permasalahan
yang diajukan sebagai berikut: (1).
Bagaimana pelaksanaan peraturan hukum
internasional atas peman- faatan GSO?; (2).
Bagaimana hambatan yang dihadapi dan
upaya apa yang ditempuh oleh Pemerintah
Indonesia dalam memperjuang- kan GSO
untuk kepentingan nasional Indo- nesia?.
2. Metode Penelitian
1
Pandecta. Volume 6. Nomor 2. Juli
tidak boleh dijadikan sebagai objek d. GSO is an orbit which lies in the plane
pemili- kan nasional dengan jalan klaim of Earth`s equator;
kedaulatan terhadap objek tersebut. Dalam e. All States should be guaranteed in prac-
kenyataan- nya tampak bahwa seolah-olah tice equitable access to the GSO.
negara maju adalah negara yang memiliki
jalur tersebut. Prinsip first come first
served, telah membawa suasana kompetisi
serta mengakibatkan lahir- nya technological
appropriation. Hal ini me- nambah
keadaan kelompok negara-negara
khatulistiwa dan negara berkembang
lainnya semakin dirugikan. Hal inilah yang
menjadi- kan pertentangan antara negara-
negara maju khususnya Amerika Serikat
dan Uni Soviet dengan negara-negara
ekuator dan negara- negara berkembang
lainnya di sisi lain.
Negara-negara khatulistiwa mengin-
ginkan adanya suatu pengaturan Hukum
Internasional yang tidak merugikan posisi
mereka dalam rangka pemanfaatan sumber
daya GSO tersebut. Sejak awal negara kha-
tulistiwa tersebut mencoba
memperjuangkan penempatan GSO lebih
adil sebagaimana dinyatakan dalam
Deklarasi Bogota tahun 1976. Namun
demikian negara-negara maju terutama
Amerika Serikat dengan kemampu- an
teknologinya selalu menekankan efisien- si
penggunaan GSO sebagai hal utama yang
harus ditempuh dalam pemecahan
masalah, dan tidak tertarik untuk
melakukan suatu pe- mecahan melalui
jalur hukum.
Masalah GSO masih menjadi
masalah
pokok di dalam siding Subkomite Hukum.
Pada sidang ke 28 di New York, negara-
ne- gara menyampaikan statementnya
mengenai GSO, dan setelah
mengemukakan pernya- taan-
pernyataannya, dalam suatu pembaha- san
dalam kelompok kerja dihasilkan 5 prin- sip
mengenai GSO yang pokok-pokoknya
adalah sebagai berikut (Sumadi,
2008:111):
1
Pandecta. Volume 6. Nomor 2. Juli 2011
1
Pandecta. Volume 6. Nomor 2. Juli
plikasi yang luas, terutama terhadap tuntutan termasuk slot orbit di GSO.
kedaulatan yang diajukan oleh negara
khatu- listiwa, karena berdasarkan apriori Maksud ITU membuat pengaturan
planning, maka slot orbit di GSO telah tersebut di atas adalah untuk dapat men-
direncanakan terlebih dahulu
penggunaannya, termasuk GSO yang
berada di atas wilayah negara kha-
tulistiwa.
Pada WARC 1998, ketentuan first
come first served diganti menjadi
Allotment Plan, yang berisi pengalokasian
jalur spectrum fre- kuensi tertentu bagi
Fised Satellite Services (FSS) dan rejim
pengaturan terhadap Unplan- ned Bands.
Dengan Allotment Plan pada da- sarnya
semua negara mendapatkan minimal satu
slot orbit GSO, baik untuk kepentingan
telekomunikasi maupun penyiaran. Unplan-
ned Bands dimaksudkan untuk menampung
jasa-jasa yang belum direncanakan dan di-
tempuh berdasarkan prosedur frequency
as- signment sesuai dengan Pasal 11, 12, 13,
dan 14 Radio Regulation, yaitu melalui tiga
tahap: (1). advance publication; (2).
coordination; and (3). notifation and
recording in MIFR (Master International
Frequency Register).
Dalam perkembangan selanjutnya
be- berapa pasal penting yang mengatur
GSO di- muat di dalam Konstitusi ITU 1994
dan Radio Regulation. Pasal-pasal tersebut
meliputi:
1
Pandecta. Volume 6. Nomor 2. Juli 2011
gakomodasikan kepentingan semua negara adalah pengaturan yang terkait den- gan
yang mempunyai jangkauan jauh ke depan. prosedur pemanfatan lokasi, slot orbit di
Namun dalam kenyataannya telah menim-
bulkan masalah baru, antara lain munculnya
pengajuan “paper satellites” oleh berbagai
negara, yaitu pengajuan penggunaan slot-slot
tertentu untuk satelit-satelit yang belum
jelas rencana peluncuran. Adanya paper
satellite tersebut dipandang dapat
mengurangi opti- malisasi pemanfaatan
GSO, di samping me- nutup peluang
negara-negara lain yang lebih
membutuhkan.
1
Pandecta. Volume 6. Nomor 2. Juli
GSO dan penggunaan spectrum frekuensi. pihak secara fisik GSO dianggap sebagai
Forum lain yang dapat dicatat bagian dari antariksa yang sepenuh- nya
dalam kaitan dengan pembahasan masalah tunduk pada ketentuan-ketentuan Spa-
GSO di for a internasional adalah
UNISPACE 1982 di Wina. Dalam
konferensi tersebut seca- ra khusus telah
dipertimbangkan implikasi penggunaan
GSO. Kebutuhan dan kemung- kinan
mengoptimumkan penggunaannya, dan
guna menetapkan tindakan-tindakan
yang harus dilakukan untuk mencapai
tujuan tersebut. Pada kesempatan ini negara-
negara khatulistiwa kembali mengusulkan
pemben- tukan suatu rezim hukum sui
generis bagi GSO.
Demikian juga kepentingan-kepen-
tingan dasar negara khatulistiwa yang
mem- punyai special geographical
situatioan telah mulai diperhatikan.
Negara-negara yang ter- masuk dalam
Kelompok 77, berhasil mem- perjuangkan
suatu deklarasi tentang GSO yang
menyatakan:
b. Hambatan-Hambatan
Dalam Memperjuangkan
GSO
Hambatan yang dihadapi dalam
mem- perjuangkan GSO yaitu bahwa
sejak awal pembahasan terdapat
perbedaan pendapat dan kepentingan di
antara berbagai nega- ra atau kelompok
negara mengenai hukum GSO. Di satu
1
Pandecta. Volume 6. Nomor 2. Juli 2011
ce Treaty 1967, dan tidak memerlukan negara late comers juga dijamin oleh ITU.
suatu bentuk pengaturan khusus, tetapi Dengan telah ditandatanganinya pen-
cukup dia- tur aspek-aspek teknisnya oleh
ITU. Di lain pihak mengingat letaknya yang
khusus di atas khatulistiwa dan
karakteristiknya yang khusus pula, maka
dipandang perlu untuk mengatur GSO dalam
suatu sui generis regime. Walau- pun
terdapat pandangan yang berbeda, teta- pi
pada umumnya negara-negara tidak kebe-
ratan diaturnya GSO dalam suatu sui
generis regime. Permasalahannya terletak
pada sub- stansi sui generis regime, yaitu
apakah GSO bebas digunakan, atau berada
dibawah ke- daulatan negara khatulistiwa,
atau diberlaku- kan hak preferensi bagi
negara tertentu, atau bentuk status hukum
lainnya.
Dalam hal ini sesuai dengan Bogota
Declaration 1976 semula negara khatulisti-
wa mengajukan tuntutan kedaulatan, yang
kemudian pada sidang Subkomite Hukum
Tahun 1984, dalam Working Paper 4 negara
khatulistiwa (Kolombia, Ekuador, Kenya dan
Indonesia) bergeser kepada hak preferensi
(preferential rights) bagi negara khatulistiwa
atas GSO. Dalam perkembangan selanjutnya
terjadi perubahan pandangan negara khatu-
listiwa terhadap GSO. Kolombia yang semula
mengajukan tuntutan kedaulatan atas GSO
mulai meninggalkan tuntutan tersebut dan
mengambil sikap tidak lagi mengatasnama-
kan negara khatulistiwa tetapi atas nama
ne- gara berkembang.
Tuntutan kedaulatan atas GSO
dipan- dang tidak rasional lagi dan tidak
dapat di- pertahankan, sehingga substansi
sui generis regime yang dimuat dalam
working paper Kolombia tahun 1993 lebih
menekankan pada penggunaan GSO yang
adil, merata dan rasional bagi kepentingan
semua nega- ra. (Abdurrasjid, 2008:284).
Sampai Sidang Ke-34 Subkomite Hukum
Tahun 1995 masih terdapat perbedaan-
perbedaan pandangan. Negara maju, seperti
Amerika Serikat, Jer- man, Perancis, Italia,
Inggris dan Jepang te- tap berpendapat
bahwa GSO cukup diatur oleh aturan-
aturan ITU. Jerman berpendapat bahwa GSO
sebagai limited natural resources sudah
dimuat dalam aturan ITU, dan equi- table
access baik untuk negara berkembang dan
1
Pandecta. Volume 6. Nomor 2. Juli
gaturan penggunaan GSO oleh ITU, dapat diselesaikan apabila dibahas dalam
maka masalah GSO tidak perlu lagi perspektif global, dengan memper-
diselesaikan di Subkomite Hukum. hatikan baik negara yang sudah mempunyai
Demikian juga Jepang menyatakan
bahwa aturan tentang GSO ti- dak
diperlukan, antara lain karena GSO
dianggap merupakan bagian dari antariksa
sehingga telah diatur oleh Space Treaty 1967,
dan mengingat penggunaan GSO hanya
un- tuk keperluan telekomunikasi, maka
cukup diatur oleh ITU saja. Dengan
demikian tidak perlu memisahkan
pengaturan aspek politis dan teknis.
(Abdurrasjid, 2008:282).
Sebaliknya beberapa negara lain,
teru- tama negara berkembang
berpendapat ba- hwa GSO perlu di bahas
lebih lanjut, karena GSO tidak cukup
diatur oleh Space Treaty 1967 dan aturan-
atutan ITU. Space Treaty 1967 sangat
bersifat umum dan ketentuan- nya tidak
dapat diterapkan terhadap situasi khusus
seperti sifat unik GSO.
Walaupun tidak lagi secara bersama-sa-
ma, negara khatulistiwa antara lain
Kolombia, Ekuador dan Indonesia tetap
berpendapat perlu adanya pengaturan
GSO secara khusus (sui generis regime).
Brasil berpendapat ba- hwa GSO tidak
cukup hanya diatur dengan ketentuan-
ketentuan teknik, lagi pula konsep GSO
sebagai limited natural resources su- dah
dimodifikasi dalam berbagai perjanjian
internasional. Ekuador menyatakan bahwa
dengan belum ditentukannya delimitasi an-
tariksa, maka tidak dapat dipastikan bahwa
GSO adalah bagian dari antariksa.
Dinyata- kan selanjutnya bahwa prinsip
pengaturan GSO perlu memperhatikan
kebutuhan khu- sus negara khatulistiwa.
China menyatakan ketidaksetujuan-
nya apabila mata acara GSO dihapuskan
dan berpendapat bahwa GSO tidak sama
dengan peraturan tentang antariksa yang
menekankan pada kebebasan untuk dieks-
plorasi. Penagaturan GSO harus didasarkan
pada prinsip equity. ITU hanya mengatur
aspek teknik, yaitu mengenai alokasi spek-
trum frekuensi dan posisi satelit,
sedangkan ada aspek lain yang perlu di
atur dalam su- atu peraturan yang
komperehensif. Selanjut- nya Meksiko
menyatakan bahwa masalah ini akan
1
Pandecta. Volume 6. Nomor 2. Juli 2011
1
Pandecta. Volume 6. Nomor 2. Juli 2011
1
Pandecta. Volume 6. Nomor 2. Juli 2011
c. Perjuangan Negara-
Negara Equatorial
Indonesia dan negara-negara equato-
rial menuntut atas pemanfaatan GSO,
den- gan prinsip yang dinamakan
“preservation rights”. Dengan adanya
tuntutan ini setidak- tidaknya akan timbul
kesadaran pada negara- negara teknologi
maju, bahwa masalah ruang angkasa perlu
ditangani oleh semua negara secara
bersama-sama tanpa perbedaan tng- kat
kemajuan, dan bukan oleh mereka secara
diam-diam saja.
Perjuangan Indonesia dengan
negara- negara khatulistiwa untuk
pemanfaatan GSO telah dilakukan sejak
tahun 1976 dan akhir- nya pada Sidang
Legal Sub Committee UN- COPUOS di
Jenewa telah berhasil memasuk- kan ke
dalam acara siding sebuah Working
Paper No. A/AC.105/C.2/L.147 tanggal
29 Maret 1984. Working Paper ini
berisikan prinsip yang harus dipatuhi oleh
negara-ne- gara. Adapun prinsip-prinsip
yang diusulkan adalah sebagai berikut:
1
Pandecta. Volume 6. Nomor 2. Juli 2011
1
Pandecta. Volume 6. Nomor 2. Juli
1982. Pergamon Press. New York.