Anda di halaman 1dari 2

Referensi:

Supriadi. Hukum agraria. Indonesia: Sinar Grafika, 2007.

Hukum Antariksa - Rajawali Pers. N.p.: PT. RajaGrafindo Persada, 2021.

Hambatan-Hambatan Dalam Memperjuangkan GSO

Prinsip penggunaan GSO atas dasar first come, first served yang berlaku sekarang merupakan
suatu manifestasi dari diskriminasi antara negara maju teknologi dan negara berkembang, dan
dapat dianggap sebagai suatu wujud dari “teori kekuasaan dan kekuatan” yang menyamakan
kekuatan dengan hak. Masalah ini erat kaitannya dengan kedaulatan. Dalam kedaulatan selalu
terdapat yurisdiksi, namun tidak sebaliknya, khususnya dalam arti kedaulatan atas wilayah.
Sebagai contoh dapat dikemukakan pangkalan militer di suatu negara asing, di mana suatu
negara lain mempunyai yurisdiksi atas pangkalan militernya, tanpa ada persoalan kedaulatan
atas wilayah. Dihubungkan dengan masalah GSO maka negara khatulistiwa seharusnya
mempunyai yurisdiksi dan kontrol atas segmen GSO di atas wilayahnya. Pemanfaatan GSO
harus dengan seizin negara tersebut.

Sehubungan dengan kedaulatan terhadap antariksa, pernah ada klaim dari negara khatulistiwa
terhadap orbit geostasioner. Pada tanggal 3 Desember 1976, delapan negara khatulistiwa
menandatangani Deklarasi Bogota. Tujuan klaim negara ini adalah bahwa orbit geostasioner
adalah sumber daya alam yang langka, yang penting dan peningkatan pesat dengan
perkembangan teknologi antariksa dan dengan meningkatnya kebutuhan nilai komunikasi.
Oleh karena itu, negara khatulistiwa bertemu di Bogota dan memutuskan untuk
memberitakan dan membela atas nama rakyat mereka, keberadaan kedaulatan mereka atas
sumber daya alam ini.

Deklarasi Bogota secara teoretis dapat digunakan untuk mencegah negara-negara dari
peluncuran satelit ke orbit geostasioner. Penanda tangan Deklarasi Bogota mengklaim bahwa:
“Keberadaan geostasioner orbit ini semata-mata tergantung pada gaya gravitasi bumi, oleh
karena itu, bukan bagian dari antariksa”. Klaim kedaulatan tersebut ditolak oleh negara-
negara yang telah meluncurkan satelit ke orbit geostationer dan negara-negara yang belum
meluncurkan satelit seperti negara berkembang. Mayoritas bangsa percaya orbit geostationer
adalah bagian dari antariksa dan, dengan demikian diatur oleh ketentuan Outer Space Treaty
1967. Kebanyakan ahli di lapangan tidak setuju dengan klaim Deklarasi Bogota dengan
alasan bahwa keberadaan orbit ini “semata-mata tergantung pada gaya gravitasi bumi”.
Kelompok negara maju terutama Amerika Serikat dengan kemampuan teknologinya selalu
menekankan efisiensi penggunaan GSO sebagai hal utama yang harus dicapai dalam
pemecahan masalah (pendekatan teknis), dan menghindari tercapainya suatu pemecahan
hukum (Hukum Internasional).

Indonesia, salah satu penanda tangan Deklarasi Bogota, melawan kesaksian para ahli
teknologi antariksa dengan menegaskan ada hubungan khusus antara orbit geostasioner dan
negara khatulistiwa. Indonesia berpendapat bahwa menempatkan satelit di atas ruang angkasa
selain khatulistiwa akan menghasilkan efek yang berbeda yang menunjukan bahwa hubungan
fisik khusus memang ada. Argumen bahwa orbit geostasioner adalah milik bumi secara
keseluruhan mungkin benar secara abstrak, namun, sayangnya wilayah bumi dipisahkan oleh
negara berdaulat.

Masalah orbit geostasioner merupakan suatu permasalahan yang amat kompleks, karena
menimbulkan berbagai kepentingan antara negara maju dengan negara-negara berkembang,
khususnya negara-negara khatulistiwa. Dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) yang dilaksanakan pada tanggal 20 Maret-7 April 1989 di New York, terdapat
perdebatan mengenai masalah orbit geostasioner. Delegasi Republik Indonesia
menyampaikan pernyataan bahwa praktik first come, first served dalam segmen GSO sama
sekali tidak wajar, mengingat negara-negara yang belakangan, terutama negara-negara
berkembang tidak dapat menempatkan satelitnya di orbit tersebut. Hubungan fisik secara
khusus antara segmen GSO dengan wilayah negara-negara khatulistiwa harus diperhitungkan
dalam penyusunan rezim hukum pada masa mendatang. Indonesia dan negara Khatulistiwa
lain bermaksud untuk mengajukan formula berkenaan dengan segmen GSO yang merupakan
kelanjutan atas wilayahnya. Tujuannya adalah demi mencapai rumusan yang adil mengenai
GSO, di mana kebutuhan dan kepentingan sah semua negara, khususnya negara berkembang
dapat diwujudkan.

Indonesia dalam perkembangannya telah meratifikasi Outer Space Treaty 1967 dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003, maka Indonesia telah mengakui bahwa GSO adalah
bagian dari antariksa, ketentuan dari Outer Space Treaty 1967 berlaku terhadap GSO dan
Indonesia mengakui prinsip larangan tuntuan pemilikan nasional antariksa termasuk GSO.

Anda mungkin juga menyukai