Anda di halaman 1dari 3

Negara-negara di bawah khatulistiwa, terutama negara-negara di wilayah Tropis,

memang memiliki tantangan tersendiri dalam mempertahankan orbit geostasioner


(Geostationary Orbit/GSO). GSO adalah orbit di sekitar Bumi di mana satelit dapat tetap
berada pada posisi yang tetap di atas titik yang sama di permukaan Bumi.
Tantangan utama yang dihadapi oleh negara-negara di khatulistiwa dalam
mempertahankan GSO adalah efek gravitasi bulan dan matahari yang lebih kuat di wilayah
tersebut. Efek ini menciptakan gaya-gaya tarik tambahan yang mempengaruhi orbit satelit
dan dapat menyebabkan pergeseran orbit dari posisi geostasioner yang diinginkan. Fenomena
ini dikenal sebagai "stabilisasi orbit", dan satelit di orbit khatulistiwa memerlukan
pemeliharaan dan penyesuaian yang konstan untuk menjaga posisi mereka.
Negara-negara di wilayah Tropis telah bekerja sama untuk mengatasi tantangan ini
melalui berbagai inisiatif. Mereka melakukan pemantauan dan pemeliharaan satelit secara
teratur untuk memastikan mereka tetap berada pada orbit yang diinginkan. Selain itu, negara-
negara ini juga telah meningkatkan kapabilitas mereka dalam teknologi antariksa dan sistem
kontrol orbit untuk mempertahankan GSO dengan lebih efektif.
Pembahasan isu GSO di UNCOPUOS diawali dengan adanya Deklarasi Bogota yang
diajukan oleh negara-negara khatulistiwa yang mengajukan tuntutan kedaulatan atas GSO
pada sidang ITU. Dalam forum ITU tersebut terjadi perbedaan pendapat diantara negara-
negara, negara-negara maju dalam hal ini kelompok Utara berpendapat bahwa tuntutan
kedaulatan atas GSO oleh negara-negara khatulistiwa tidak dapat diterima karena
berdasarkan Outer Space Treaty 1967 Article II yang menyatakan bahwa “Outer space,
including the moon and other celestial bodies, is not subject to national appropriation by
calim of sovereignity, by means of use or occupation, or by any other means” dan GSO
secara fisik terletak dan merupakan bagian dari antariksa, maka GSO tunduk pada Space
Treaty 1967. Pembahasan mengenai permasalahan tersebut pada akhirnya menemui jalan
buntu, sehingga pada sidang ITU diputuskan bahwa UNCOPUOS yang berwenang
membahas tuntutan tersebut karena GSO dianggap merupakan bagian dari antariksa.
Akhirnya, isu GSO mulai dibahas dalam sidang UNCOPUOS pada tahun 1978.
Dalam sidang UNCOPUOS permasalahan GSO dimuat dalam Resolusi Majelis Umum 34/66
untuk dibahas dalam sidang sub komite hukum tahun 1979. Pada sidang Sub komite Hukum
1979, pembahasan mengenai GSO masuk menjadi mata agenda yang disatukan dengan
pembahasan definisi dan delimitasi antariksa, dengan judul Definition and/or delimitation of
outer space and outer space activities, bearing in mind, inter alia. Pada sidang ke-35 Sub
komite Hukum tahun 1996 terdapat kesepakatan agar sekretariat UNCOPUOS dan ITU
melakukan analisa kompatibilitas terhadap pendekatan yang dimuat dalam working paper
Kolumbia yang berjudul “Some consideration concerning the utilization of geostationasry
orbit” di mana dalam working paper ini terdapat rekomendasi bahwa beberapa prinsip dapat
diaplikasikan terhadap pengaturan frekuensi dan posisi orbital terkait dengan GSO. Namun
demikian, working paper tersebut dianggap tidak dapat di-endorse oleh Sub komite Hukum.
Selain working paper yang diajukan oleh Kolumbia, Jerman juga mengajukan
working paper yang berjudul “draft resolution request to the International
Telecommunication Union” yang isinya adalah meminta agar anggota ITU membahas
tentang equitable access penggunaan GSO untuk semua negara. Namun dari working paper
tersebut terlihat kecenderungan bahwa pembahasan hal-hal yang berkaitan dengan GSO
hanya akan dilakukan oleh ITU saja dan hal tersebut dinilai oleh negara-negara berkembang
akan mengakibatkan dihapusnya pembahasan pengaturan aspek politik dan hukum
penggunaan GSO di UNCOPUOS. Dalam perkembangan selanjutnya terjadi perubahan
pandangan negara khatulistiwa terhadap GSO. Kolombia yang awalnya mengajukan tuntutan
kedaulatan atas GSO tidak lagi mengatasnamakan negara khatulistiwa tetapi atas nama
negara berkembang. Sehingga substansi sui generis regime yang dimuat dalam working
paper Kolombia tahun 1993 lebih menekankan pada penggunaan GSO yang adil, merata dan
rasional bagi kepentingan semua negara.
Indonesia dan negara-negara equatorial menuntut atas pemanfaatan GSO, dengan
prinsip yang dinamakan “preservation rights”. Dengan adanya tuntutan ini setidaknya akan
timbul kesadaran pada negara-negara teknologi maju, bahwa masalah ruang angkasa perlu
ditangani oleh semua negara secara bersama-sama tanpa perbedaan tingkat kemajuan, dan
bukan oleh mereka secara diam-diam saja. Perjuangan Indonesia dengan negara-negara
khatulistiwa untuk pemanfaatan GSO telah dilakukan sejak tahun 1976 dan akhirnya pada
Sidang Legal Sub Committee UNCOPUOS di Jenewa telah berhasil memasukkan ke dalam
acara siding sebuah Working Paper No. A/AC.105/C.2/L.147 tanggal 29 Maret 1984.
Working Paper ini berisikan prinsip yang harus dipatuhi oleh negara-negara. Adapun prinsip-
prinsip yang diusulkan adalah sebagai berikut:
1. Exclusively for peaceful purposes and the benefit of mankind;
2. Sui generis regime and rights of equatorial countries;
3. Opportune and appropriate utilization;
4. Preferential rights;
5. Prior authorization;
6. International co-operating and efficient and economic utilization;
7. Transfer of technology;
8. Removal of non-operational or unutilized space object from the orbit.
Prinsip-prinsip tersebut menekankan suatu keinginan Indonesia dan negara-negara
khatulistiwa lainnya untuk berusaha agar ruang angkasa benar-benar digunakan semata-mata
untuk kepentingan perdamaian dan kemanusiaan.

Anda mungkin juga menyukai