Status Perjanjian Internasional Dalam Hukum Internasional
Status Perjanjian Internasional dalam Hukum Internasional lahir karena
didasarkan atas persetujuan bersama antara satu negara dengan negara lainnya, untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional baik dalam bentuk Bilateral, Trilateral maupun Multilateral, yang diatur oleh hukum internasional dan berisikan ikatan- ikatan yang mepunyai akibat- akibat hukum. Persetujuan suatu negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian dapat diberikan dengan berbagai macam cara dan bergantung kepada persetujuan antara negara- negara peserta pada pada waktu perjanjian itu diadakan. Hubungan internasional yang diterapkan oleh negara-negara dan organisasi internasional, tidak akan tercipta jika tidak didukung perjanjian internasional. Suatu instrumen hukum internasional, digunakan sebagai peraturan, pedoman utama bagi pihak-pihak dalam menjalankan hubungan internasional secara baik dan damai. Sebagai sumber hukum utama, Pasal 38 ICJ (International Court of Justice) menegaskan adanya Perjanjian Internasional memberikan kepastian hukum yang saling mengikat bagi para pihak dalam melangsungkan praktek hubungan antara satu atau lebih negara dalam berbagai kepentingan. Baik perjanjian internasional bersifat antara kedua negara (bilateral treaties), oleh tiga negara (trilateral treaties), dan juga perjanjian diselenggarakan oleh banyak negara (multilateral) sama-sama memberi daya ikat karena menimbulkan hak dan kewajiban. Adapun mengenai mengikatnya perjanjian, suatu perjanjian internasional baru mulai dapat mengikat bagi negara peserta perjanjian tersebut bergantung pula pada tahap-tahap pembentukan perjanjian itu sendiri. Jika perjanjian tersebut tidak mensyaratkan adanya ratifikasi, maka negara peserta akan terikat secara hukum sejak penandatanganan perjanjian itu. Jika perjanjian tersebut mensyaratkan ratifikasi, maka negara peserta baru akan terikat secara hukum sejak diratifikasinya perjanjian itu. Sebaliknya, masih saja dilematis pemberlakuan Perjanjian Internasional, seperti Statuta Roma. Sebab, selain negara-negara ada yang dapat menolak pemberlakuannya, seperti Amerika Serikat, China, Rusia, Juga Israel dan termasuk Indonesia. Di pihak negara- negara yang menolak umumnya, selain dapat berdampak pada sistem hukum pidana nasionalnya. Juga negara-negara penolak umumnya tidak menghendaki pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu dipersoalkan oleh Komisi HAM Internasional dan juga tentunya Dewan Keamanan PBB. Penerapan Perjanjian Internasional dalam suatu negara tergantung pada teori-teori penerapan PI yang digunakan negara-negara. Adakalanya negara tersebut menggunakan teori monisme (monism theory) dan juga ada beberapa kelompok negara menggunakan teori dualisme (dualism theory). Namun demikian, penggunaan teori-teori tersebut tidak selalu menjamin suatu negara dapat menerapkan secara bersama. Sedangkan pengaturan Perjanjian Internasional yang diterapkan oleh subyek hukum bukan negara, dapat diterapkan kepada hukum kebiasaan internasional, dimana organisasi internasional dan lainnya diakui memiliki status yang sederjat seperti kedudukan negara. Selain terdapat perjanjian yang diikuti oleh subyek hukum negara, organisasi internasional, baik berbentuk organisasi antara negara (inter-governmental organization) atau organisasi swadaya masyarakat (non-governmental organization). Vatikan atau Tahta Suci di Vatikan Roma, Organisasi Gerakan Pembebasan (Liberation Movement Organization), dan juga organisasi-organisasi profesi setingkat dunia lainnya.
2. Sumber Hukum perjanjian Internasional
Adapun yang menjadi dasar hukum perjanjian Internasional yaitu : 1) Pasal 2 Konvensi Wina 1969 Perjanjian Internasional sebagai suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya. 2) Pasal 1 ayat 1 UU RI No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban dibidang hukum publik. 3) Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional Perjanjian Internasional adalah sumber utama dari sumber hukum internasional lainnya.
3. Fungsi Perjanjian Internasional Dalam Hukum Internasional
1) Perjanjian Internasional merupakan suatu tanda bagi suatu negara yang telah menempatkan dirinya sebagai negara modern yang beradab. Menggunakan perundingan dan perjanjian, negara-negara akan berusaha untuk menahan diri dari tindakan penggunaan kekeran di dalam penyelesaian sengketa. Sebab, dalam merumuskan perjanjian internasional, pihak-pihak yang mewakili negara hendaknya menggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest). 2) Perjanjian Internasional sebagai pedoman tertulis yang mengandung kepastian hukum bagi kedua negara atau lebih untuk dijadikan rujukan dalam melakukan hubungan internasional dan juga sebagai arah dari pembangunan nasional negara masing-masing. Misalnya, berdirinya badan PBB terkait dengan bantuan program pembangunan (United Nations for Development Program - UNDP), bagi negara-negara yang sedang membangun dan mengembangkan demokrasi. 3) Perjanjian Internasional sebagai sertifikat atau bukti bahwa negara-negara tersebut terikat berbagai kesepakatan internasional, sehingga jika dikemudian hari terdapat sengketa maka model penyelesaian sudah jelas ada rujukannya di luar atau di dalam pengadilan
4. Istilah- Istilah dalam Perjanjian Internasional
1) Agreed minutes, yaitu risalah yang disepakati. 2) Agreement (persetujuan), yaitu istilah yang digunakan untuk transaksi- transaksi yang bersifat sementara. Perikatan tidak seresmi traktat dan konvensi. 3) Charter yaitu istilah yang dapat dipakai dalam perjanjian internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi administratif Misal Atlantic Charter. 4) Convention (konvensi), yaitu persetujuan formal yang bersifat multilateral dan tidak berurusan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy). 5) Covenant yaitu anggaran dasar LBB (Liga Bangsa Bangsa) 6) Declaration (Deklarasi), yaitu perjanjian internasional yang berbentuk traktat dan dokumen tidak resmi. Deklarasi sebagai traktat bila menerangkan suatu judul dan batang tubuh ketentuan traktat dan sebagai dokumen tidak resmi apabila merupakan lampiran pada traktat atau konvensi. Deklarasi sebagai persetujuan tidak resmi bila mengatur hal-hal yang kurang penting. 7) Exchange notes (Pertukaran nota), yaitu metode yang tidak resmi tetapi akhir-akhir ini banyak digunakan. Biasanya pertukaran nota dilakukan oleh wakil-wakil militer dan negara serta dapat bersifat multilateral. Akibat pertukaran nota ini timbul kewajiban yang menyangkut mereka. 8) Final act (Ketentuan penutup), yaitu ringkasan hasil konvensi yang menyebutkan negara peserta, nama utusan yang turut diundang serta Inasalah yang disetujui konferensi dan tidak memerlukan ratifikasi. 9) General act (Ketentuan Umum), yaitu traktat yang dapat bersifat resmi dan tidak resmi. Misalnya, LBB (Liga Bangsa Bangsa) menggunakan ketentuan umum mengenai arbritasi untuk menyelesaikan secara damai pertikaian internasional tahun 1928. 10) Letter of intens yaitu nota kesepakatan. 11) Modus vivendi, yaitu dokumen untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat sementara sampai berhasil diwujudkan perjumpaan yang lebih permanent, terinci dan sistematis serta tidak memerlukan ratifikasi. 12) Negotiation (perundingan), merupakan perjanjian tahap pertama antara pihak/negara tentang objek tertentu. Dalam melaksanakan negosiasi, suatu negara dapat diwakili oleh pejabat yang dapat menunjukkan surat kuasa penuh (full powers). 13) Proses verbal, yaitu catatan-catatan atau ringkasan-ringkasan atau kesimpulan-kesimpulan konferensi diplomatic atau catatan-catatan suatu permufakatan. Proses verbal tidak diratifikasi. 14) Protocol (protokol), yaitu persetujuan yang tidak resmi dan pada umumnya tidak dibuat oleh kepala negara, mengatur masalah-masalah tambahan seperti ketentuan tambahan sebuah perjanjian. 15) Ratification (ratifikasi), yaitu persetujuan terhadap rencana perjanjian internasional agar menjadi suatu perjanjian yang berlaku bagi masing- masing negara peserta perjanjian. 16) Signature (penandatanaganan), yaitu penandatanganan hasil perundingan yang dituangkan dalam naskah perundingan yang dilakukan wakil-wakil negara peserta yang hadir dalam perjanjian bilateral, penandatanganan dilakukan oleh kedua wakil negara yang telah melakukan perundingan sehingga penerimaan hasil perundingan secara bulat dan penuh, mutlak sangat diperlukan oleh kedua belah pihak. Sebaliknya, dalam perjanjian multilateral penandatanganan naskah hasil perundingan dapat dilakukan jika disetujui 2/3 dan semua peserta yang hadir dalam perundingan, kecuali jika ditentukan lain. Namun demikian, perjanjian belum dapat diberlakukan oleh masing-masing negara, sebelum diratifikasi oleh masing-masing negaranya. 17) Statute (piagam); yaitu himpunan peraturan yang ditetapkan oleh persetujuan internasional baik mengenai pekerjaan maupun kesatuan- kesatuan tertentu seperti pengawasan internasional yang mencakup tentang minyak atau mengenai lapangan kerja lembaga-lembaga internasional. Piagam itu dapat digunakan sebagai alat tambahan untuk pelaksanaan suatu konvensi seperti piagam kebebasan transit. 18) Summary record, yaitu catatan singkat, ikhtisar. 19) Treaty (traktat), yaitu perjanjian formal yang merupakan persetujuan dua negara atau lebih. Perjanjian ini khusus mencakup bidang politik dan bidang ekonomi.
5. Pejabat Berwenang dalam Perjanjian Internasional
Sebuah perjanjian internasional tidak dapat membebankan sebuah kewajiban atau memberikan hak kepada pihak ketiga tanpa persetujuan pihak tersebut. Berdasarkan hukum kebiasaan internasional penegrtian pernyataan tersebut terangkum dalam sebuah prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosunt. Prinsip tersebut tercantum dalam VCLT 1969 Pasal 34 , “A treaty does not create either obligations or rights for a third state without its consent”. Dalam praktek pernyataan persetujuan keterikatan terhadap aturan sebuah perjanjian internasional tersebut tidak bisa dilakukan secara begitu saja oleh sebuah negara. Untuk mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian internasional sebuah negara akan mengirimkan representasinya yang memiliki wewenang untuk bernegosiasi, bernegosiasi dan melakukan ratifikasi. Pada setiap negara,pihak yang berwenang membuat perjanjian internasional ditentukan oleh konstitusi masing-masing. Dilihat dari pembagian wewenang melalui amanah konstitusi maka pejabat yang berwenang mewakili negara dalam pembuatan perjanjian internasional dapat dikategorikan dalam 2 hal, yaitu: 1) Kewenangan mutlak eksekutif perjanjian internasional terpusat pada kepala negara. 2) Kewenangan mutlak legislative kewenangan pembuat perjanjian internasional pada lembaga legislative. Pasal 7 VCLT menyatakan representatif negara dalam perundingan perjanjian internasional dapat dikategorikan: 1) Kepala Negara, Kepala Pemrintahan dan Menteri Luar Negeri dengan kewenangan mewakili negara dan mengkatkan diri terhadap perjanjian internasional. 2) Kepala Misi Dimplomatik, untuk tujuan mengadopsi teks perjanjian antara negara yang mengakui dan negara yang diakui. 3) Perwakilan negara yang diakreditasi untuk konferensi internasional atau organisasi internasional (atau salah satu instansinya) dengan tujuan untuk mengadopsi teks perjanjian dalam pertemuan tersebut.