Anda di halaman 1dari 7

1.

Status Perjanjian Internasional Dalam Hukum Internasional

Status Perjanjian Internasional dalam Hukum Internasional lahir karena


didasarkan atas persetujuan bersama antara satu negara dengan negara lainnya,
untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional baik dalam bentuk
Bilateral, Trilateral maupun Multilateral, yang diatur oleh hukum internasional
dan berisikan ikatan- ikatan yang mepunyai akibat- akibat hukum. Persetujuan
suatu negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian dapat diberikan
dengan berbagai macam cara dan bergantung kepada persetujuan antara
negara- negara peserta pada pada waktu perjanjian itu diadakan.
Hubungan internasional yang diterapkan oleh negara-negara dan
organisasi internasional, tidak akan tercipta jika tidak didukung perjanjian
internasional. Suatu instrumen hukum internasional, digunakan sebagai
peraturan, pedoman utama bagi pihak-pihak dalam menjalankan hubungan
internasional secara baik dan damai. Sebagai sumber hukum utama, Pasal 38
ICJ (International Court of Justice) menegaskan adanya Perjanjian
Internasional memberikan kepastian hukum yang saling mengikat bagi para
pihak dalam melangsungkan praktek hubungan antara satu atau lebih negara
dalam berbagai kepentingan. Baik perjanjian internasional bersifat antara
kedua negara (bilateral treaties), oleh tiga negara (trilateral treaties), dan juga
perjanjian diselenggarakan oleh banyak negara (multilateral) sama-sama
memberi daya ikat karena menimbulkan hak dan kewajiban.
Adapun mengenai mengikatnya perjanjian, suatu perjanjian internasional
baru mulai dapat mengikat bagi negara peserta perjanjian tersebut bergantung
pula pada tahap-tahap pembentukan perjanjian itu sendiri. Jika perjanjian
tersebut tidak mensyaratkan adanya ratifikasi, maka negara peserta akan terikat
secara hukum sejak penandatanganan perjanjian itu. Jika perjanjian tersebut
mensyaratkan ratifikasi, maka negara peserta baru akan terikat secara hukum
sejak diratifikasinya perjanjian itu. Sebaliknya, masih saja dilematis
pemberlakuan Perjanjian Internasional, seperti Statuta Roma. Sebab, selain
negara-negara ada yang dapat menolak pemberlakuannya, seperti Amerika
Serikat, China, Rusia, Juga Israel dan termasuk Indonesia. Di pihak negara-
negara yang menolak umumnya, selain dapat berdampak pada sistem hukum
pidana nasionalnya. Juga negara-negara penolak umumnya tidak menghendaki
pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu dipersoalkan oleh Komisi HAM
Internasional dan juga tentunya Dewan Keamanan PBB.
Penerapan Perjanjian Internasional dalam suatu negara tergantung pada
teori-teori penerapan PI yang digunakan negara-negara. Adakalanya negara
tersebut menggunakan teori monisme (monism theory) dan juga ada beberapa
kelompok negara menggunakan teori dualisme (dualism theory). Namun
demikian, penggunaan teori-teori tersebut tidak selalu menjamin suatu negara
dapat menerapkan secara bersama.
Sedangkan pengaturan Perjanjian Internasional yang diterapkan oleh
subyek hukum bukan negara, dapat diterapkan kepada hukum kebiasaan
internasional, dimana organisasi internasional dan lainnya diakui memiliki
status yang sederjat seperti kedudukan negara. Selain terdapat perjanjian yang
diikuti oleh subyek hukum negara, organisasi internasional, baik berbentuk
organisasi antara negara (inter-governmental organization) atau organisasi
swadaya masyarakat (non-governmental organization). Vatikan atau Tahta
Suci di Vatikan Roma, Organisasi Gerakan Pembebasan (Liberation Movement
Organization), dan juga organisasi-organisasi profesi setingkat dunia lainnya.

2. Sumber Hukum perjanjian Internasional


Adapun yang menjadi dasar hukum perjanjian Internasional yaitu :
1) Pasal 2 Konvensi Wina 1969
Perjanjian Internasional sebagai suatu persetujuan yang dibuat antara
negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah
dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan
apapun nama yang diberikan kepadanya.
2) Pasal 1 ayat 1 UU RI No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu,
yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta
menimbulkan hak dan kewajiban dibidang hukum publik.
3) Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional
Perjanjian Internasional adalah sumber utama dari sumber hukum
internasional lainnya.

3. Fungsi Perjanjian Internasional Dalam Hukum Internasional


1) Perjanjian Internasional merupakan suatu tanda bagi suatu negara yang
telah menempatkan dirinya sebagai negara modern yang beradab.
Menggunakan perundingan dan perjanjian, negara-negara akan berusaha
untuk menahan diri dari tindakan penggunaan kekeran di dalam
penyelesaian sengketa. Sebab, dalam merumuskan perjanjian
internasional, pihak-pihak yang mewakili negara hendaknya menggunakan
mekanisme lobi, negosiasi, dan pertimbangan untung dan rugi bagi
kepentingan nasional (national interest).
2) Perjanjian Internasional sebagai pedoman tertulis yang mengandung
kepastian hukum bagi kedua negara atau lebih untuk dijadikan rujukan
dalam melakukan hubungan internasional dan juga sebagai arah dari
pembangunan nasional negara masing-masing. Misalnya, berdirinya badan
PBB terkait dengan bantuan program pembangunan (United Nations for
Development Program - UNDP), bagi negara-negara yang sedang
membangun dan mengembangkan demokrasi.
3) Perjanjian Internasional sebagai sertifikat atau bukti bahwa negara-negara
tersebut terikat berbagai kesepakatan internasional, sehingga jika
dikemudian hari terdapat sengketa maka model penyelesaian sudah jelas
ada rujukannya di luar atau di dalam pengadilan

4. Istilah- Istilah dalam Perjanjian Internasional


1) Agreed minutes, yaitu risalah yang disepakati.
2) Agreement (persetujuan), yaitu istilah yang digunakan untuk transaksi-
transaksi yang bersifat sementara. Perikatan tidak seresmi traktat dan
konvensi.
3) Charter yaitu istilah yang dapat dipakai dalam perjanjian internasional
untuk pendirian badan yang melakukan fungsi administratif Misal Atlantic
Charter.
4) Convention (konvensi), yaitu persetujuan formal yang bersifat multilateral
dan tidak berurusan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy).
5) Covenant yaitu anggaran dasar LBB (Liga Bangsa Bangsa)
6) Declaration (Deklarasi), yaitu perjanjian internasional yang berbentuk
traktat dan dokumen tidak resmi. Deklarasi sebagai traktat bila
menerangkan suatu judul dan batang tubuh ketentuan traktat dan sebagai
dokumen tidak resmi apabila merupakan lampiran pada traktat atau
konvensi. Deklarasi sebagai persetujuan tidak resmi bila mengatur hal-hal
yang kurang penting.
7) Exchange notes (Pertukaran nota), yaitu metode yang tidak resmi tetapi
akhir-akhir ini banyak digunakan. Biasanya pertukaran nota dilakukan
oleh wakil-wakil militer dan negara serta dapat bersifat multilateral.
Akibat pertukaran nota ini timbul kewajiban yang menyangkut mereka.
8) Final act (Ketentuan penutup), yaitu ringkasan hasil konvensi yang
menyebutkan negara peserta, nama utusan yang turut diundang serta
Inasalah yang disetujui konferensi dan tidak memerlukan ratifikasi.
9) General act (Ketentuan Umum), yaitu traktat yang dapat bersifat resmi
dan tidak resmi. Misalnya, LBB (Liga Bangsa Bangsa) menggunakan
ketentuan umum mengenai arbritasi untuk menyelesaikan secara damai
pertikaian internasional tahun 1928.
10) Letter of intens yaitu nota kesepakatan.
11) Modus vivendi, yaitu dokumen untuk mencatat persetujuan internasional
yang bersifat sementara sampai berhasil diwujudkan perjumpaan yang
lebih permanent, terinci dan sistematis serta tidak memerlukan ratifikasi.
12) Negotiation (perundingan), merupakan perjanjian tahap pertama antara
pihak/negara tentang objek tertentu. Dalam melaksanakan negosiasi, suatu
negara dapat diwakili oleh pejabat yang dapat menunjukkan surat kuasa
penuh (full powers).
13) Proses verbal, yaitu catatan-catatan atau ringkasan-ringkasan atau
kesimpulan-kesimpulan konferensi diplomatic atau catatan-catatan suatu
permufakatan. Proses verbal tidak diratifikasi.
14) Protocol (protokol), yaitu persetujuan yang tidak resmi dan pada
umumnya tidak dibuat oleh kepala negara, mengatur masalah-masalah
tambahan seperti ketentuan tambahan sebuah perjanjian.
15) Ratification (ratifikasi), yaitu persetujuan terhadap rencana perjanjian
internasional agar menjadi suatu perjanjian yang berlaku bagi masing-
masing negara peserta perjanjian.
16) Signature (penandatanaganan), yaitu penandatanganan hasil perundingan
yang dituangkan dalam naskah perundingan yang dilakukan wakil-wakil
negara peserta yang hadir dalam perjanjian bilateral, penandatanganan
dilakukan oleh kedua wakil negara yang telah melakukan perundingan
sehingga penerimaan hasil perundingan secara bulat dan penuh, mutlak
sangat diperlukan oleh kedua belah pihak. Sebaliknya, dalam perjanjian
multilateral penandatanganan naskah hasil perundingan dapat dilakukan
jika disetujui 2/3 dan semua peserta yang hadir dalam perundingan,
kecuali jika ditentukan lain. Namun demikian, perjanjian belum dapat
diberlakukan oleh masing-masing negara, sebelum diratifikasi oleh
masing-masing negaranya.
17) Statute (piagam); yaitu himpunan peraturan yang ditetapkan oleh
persetujuan internasional baik mengenai pekerjaan maupun kesatuan-
kesatuan tertentu seperti pengawasan internasional yang mencakup tentang
minyak atau mengenai lapangan kerja lembaga-lembaga internasional.
Piagam itu dapat digunakan sebagai alat tambahan untuk pelaksanaan
suatu konvensi seperti piagam kebebasan transit.
18) Summary record, yaitu catatan singkat, ikhtisar.
19) Treaty (traktat), yaitu perjanjian formal yang merupakan persetujuan dua
negara atau lebih. Perjanjian ini khusus mencakup bidang politik dan
bidang ekonomi.

5. Pejabat Berwenang dalam Perjanjian Internasional


Sebuah perjanjian internasional tidak dapat membebankan sebuah
kewajiban atau memberikan hak kepada pihak ketiga tanpa persetujuan pihak
tersebut. Berdasarkan hukum kebiasaan internasional penegrtian pernyataan
tersebut terangkum dalam sebuah prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosunt.
Prinsip tersebut tercantum dalam VCLT 1969 Pasal 34 , “A treaty does not
create either obligations or rights for a third state without its consent”.
Dalam praktek pernyataan persetujuan keterikatan terhadap aturan sebuah
perjanjian internasional tersebut tidak bisa dilakukan secara begitu saja oleh
sebuah negara. Untuk mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian internasional
sebuah negara akan mengirimkan representasinya yang memiliki wewenang
untuk bernegosiasi, bernegosiasi dan melakukan ratifikasi. Pada setiap
negara,pihak yang berwenang membuat perjanjian internasional ditentukan
oleh konstitusi masing-masing. Dilihat dari pembagian wewenang melalui
amanah konstitusi maka pejabat yang berwenang mewakili negara dalam
pembuatan perjanjian internasional dapat dikategorikan dalam 2 hal, yaitu:
1) Kewenangan mutlak eksekutif
perjanjian internasional terpusat pada kepala negara.
2) Kewenangan mutlak legislative
kewenangan pembuat perjanjian internasional pada lembaga legislative.
Pasal 7 VCLT menyatakan representatif negara dalam perundingan
perjanjian internasional dapat dikategorikan:
1) Kepala Negara, Kepala Pemrintahan dan Menteri Luar Negeri dengan
kewenangan mewakili negara dan mengkatkan diri terhadap perjanjian
internasional.
2) Kepala Misi Dimplomatik, untuk tujuan mengadopsi teks perjanjian antara
negara yang mengakui dan negara yang diakui.
3) Perwakilan negara yang diakreditasi untuk konferensi internasional atau
organisasi internasional (atau salah satu instansinya) dengan tujuan untuk
mengadopsi teks perjanjian dalam pertemuan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai