Oleh
Muna Hilmi Wardhatul Jannah 1988201032
Ika Nur Fitria 1988201062
Syaniatul Romdiah 1988201016
Penulis
i
DAFTAR ISI
SAMPUL
DAFTAR ISI ...................................................................................................ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah .......................................................................... 1
1.3Tujuan Pembahasan ........................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Taklid………………………………………………...2
2.2 Pengertian Ittiba’…………………………………………………5
2.3 Pengertian Tarjih…………...…………………………………….9
2.4 Pengertian Talfiq………………………………….……………...11
ii
1. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
1
2. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Taqlid
Taqlid menurut bahasa berasal dari bahasa Arab
yaitu qalada, yuqalidu, taqlidan, yang berarti mengulangi, meniru dan
mengikuti. [1]
Para ulama ushul memberikan defenisi taqlid dengan “mengikuti
pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber
dan cara pengambilan pendapat tersebut. Orang yang
bertaqlid disebut mukallid.
Dari defenisi di atas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam
pembicaraan taqlid, yaitu:
1. Menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang
2. Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-
Qur’an dan hadits tersebut.
Defenisi taqlid menurut para ahli ushul fiqih:
“Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan tidak ada hujjah. Dan tidak ada
taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusan ushul
maupun dalam urusan furu’.”
ْ التّقليد هو ا
الخذ بقول غير دليل
2
Contoh taqlid: Seseorang yang mengikuti Umar bin Khattab dalam
melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat, tetapi dia tidak mengetahui alasan yang
dijadikan dasar oleh Umar.
Para ulama sepakat bahwa haram melakukan taqlid yang jenis ini. Jenis
taqlid ini ada tiga macam, yaitu:
“Mereka menjadikan para tokoh agama dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan selain
Allah, dan menuhankan al-Masih anak Maryam, padahal mereka (tahu) hanya
disuruh menyembah Tuhan yang satu, Tiada Tuhan selain-Nya. Maha Suci Dia
dari segala apa yang mereka sekutukan”. (QS. At-Taubah: 31).[4]
3
c. Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan
keahliannya, seperti menyembah berhala, tetapi dia tidak mengetahui
kemampuan, kekuasaan atau keahlian berhala itu.
هذا رأي أبي حنيقة وهو أحسن ما قدّرنا عليه فمن جاء بأحسن منه فهو أولى بالصواب
“ini adalah pendapat saya (Abu Hanifah) dan itulah sebaik baik yang aku dapati
padanya maka siapa yang datang pada ku dengan yang lebih baik dialah yang
lebih benar.”
“Aku adalah manusia yang dapat juga salah dapat juga benar, maka
lihatlah oleh mu pendapat mu. Apa yang sesuai dengan kitab allah dan sunah
rasulnya (Quran dan Sunah) maka ambillah. Dan ayng tidak sesuai dengan
keduanya itu tingggalkan lah.”
“Hai Abu Ishaq! Jaganlah negkau bertaqlid belaka kepada ku dalam segala
apa yang aku katakan, tetapi li
4
Iamam Ahmad bin Hambal bekata: “Janganlah engkau mengikuti
pendapatku, juga pendapat Maliki, dan pendapat Auza’i, tetapi caaarilah dari
mana mereka mengambilnya.”
5
Hukum Ittiba’
6
Dalil Wajibnya Ittiba’
Allah berfirman,
سو ُل فَ ُخذُوهُ َو َما نَ َها ُِّك ْم َع ْنهُ فَانت َ ُهوا َّ َو َما آت َا ُِّك ُم
ُ الر
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah.” ((QS. Al-Hasyr: 7.))
7
Ittiba’ kepada Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terwujud dengan
beberapa hal berikut: [13]
Allah berfirman,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.” ((QS. Al-Ahzab: 21.))
Allah berfirman,
َ سو َل َوأُو ِّلي ْاْل َ ْم ِّر ِّمن ُِك ْم َفإِّن تَنَازَ ْعت ُ ْم ِّفي
َّ ش ْيء فَ ُردُّوهُ ِِّإلَى
َِّّللا ُ الر َّ َّللاَ َوأ َ ِّطيعُوا َّ َيا أَيُّ َها الَّذِّينَ آ َمنُوا أ َ ِّطيعُوا
سنُ ت َأ ْ ِّويال َ ْاَّللِّ َو ْاليَ ْو ِّم ْاْل ِّخ ِّر َٰذَلِّكَ َخي ٌْر َوأَح
َّ ِّسو ِّل ِإِّن ُِّكنت ُ ْم تُؤْ ِّمنُونَ ب
ُ الر
َّ َو
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” ((QS. An-Nisa: 59.))
8
Allah berfirman,
س ِّلّ ُموا تَ ْس ِّليما َ َش َج َر بَ ْينَ ُه ْم ث ُ َّم َال يَ ِّجد ُوا فِّي أَنفُ ِّس ِّه ْم َح َرجا ِّّم َّما ق
َ َُضيْتَ َوي َ فَ َال َو َربِّّكَ َال يُؤْ ِّمنُونَ َحت َّ َٰى يُ َِح ِّ ِّك ُموكَ فِّي َما
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” ((QS. An-Nisa: 65.))
“Akan merasakan manisnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam
sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai rasulnya.” [14]
9
Sedangkan menurut istilah syara’, seperti di kemukakan oleh
Muhammad jawab Mughniyah1 adalah sebagai berikut;
تقد یم أحدى الحجتین على التانیة لمنیة توجب ذلكArtinya ; Berpegang
(mengutamakan) salah satu dari dua Hijjah yang lebih kuat dari yang
1
Muhammad Jawab Muqniyah, Ilmu Ushul al-Fiqih FiSaubih al-Jadid, Beirut; Dar al-Ilm
Lilmalayin,
Cet. I, 1975, h. 441
2
Muhammad, al-Jarjani, Kitab al-Ta’rifat, Singapore, Jeddah, tth, h. 56
10
yang sama, yaitu mengutamakan, mendahulukan atau menguatkan salah
satu dari dua dalil yang berlawanan.
1 Muhammad Jawab Muqniyah, Ilmu Ushul al-Fiqih FiSaubih al-Jadid, Beirut; Dar al-Ilm
Lilmalayin, Cet. I, 1975, h. 441 2 Muhammad, al-Jarjani, Kitab al-Ta’rifat, Singapore, Jeddah, tth,
h. 56
Jika dilihat dari pendapat dua madzhab itu secara terpisah, maka wudlu’
tersebut dinyatakan tidak sah. Dalam madzhab Syafi’i, wudlu’ itu tidak sah
karena yang bersangkutan telah bersentuhan kulit dengan wanita yang
bukan mahram atau muhrim-nya. Dilihat dari pendapat madzhab Hanafi
wudlu’ itupun tidak sah karena orang tersebut hanya menyapu sebagian
kepalanya, menurut imam abu hanifah dalam berwudlu’ kepala harus disapu
seluruhnya.
11
Pemikiran tentang talfiq muncul setelah berkembangnya madzhab yang
diiringi dengan semakin kuatnya pemikiran taqlid, sehingga muncul
pernyataan bahwa ijtihad telah tertutup. Di zaman Rosulullah SAW. Sahabat
dan Tabi’in tidak dijumpai pemikiran tentang talfiqtersebut. Bahkan di zaman
imam Madzhab yang empat pun (Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i, Hanbali) tidak
12
mengamalkan suatu ajaran agama. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah
sebagai berikut:
Talfiq tidak boleh dilakukan dengan mencabut kembali suatu hukum atau
amalan yang sudah diyakini, misalnya, serorang Mujtahidmenceraikan
isterinya secara mutlak, tanpa menyebutkan bilangan talak yang
dijatuhkannya. Ketika itu Ia berkeyakinan bahwa talak yang dijatuhkannya
secara mutlak tersebut adalah talak tiga sekaligus. Oleh karena itu ia tidak
berhak rujuk kepada isterinya, kecuali setelah isterinya menikah dan bercerai
dengan orang lain, kemudian Mujtahid tersebut berubah pikiran, sehingga ia
berpendapat bahwa talak yang diucapkan secara mutlak (tanpa menyebut
bilangan talak) tersebuit hanya jatuh satu, sehingga ia boleh rujuk dengan
istrinya. Menurut imam Ghozali perkawinan seperti itu tidak dibolehkan,
karena akan membuat aqad talak sebagai permainan belaka dan nilai
sakralitas dari perkawinan akan hilang.
Sementara ulama’ ushul fiqh dalam masalah furu’ tersebut menjadi tiga
macam. Hukum yang ditetapkan berdasarkan kemudahan dan kelapangan
yang dapat berbeda dengan perbedaan kondisi setiap pribadi. Hukum-hukum
seperti ini adalah hukum yang termasuk al-ibadah al-mahdah (ibadah
khusus). Karena dalam masalah ibadah khusus tujuan yang ingin dicapai
13
adalah kepatuhan dan loyalitas seseorang pada Allah SWT dengan
menjalankan perintah-Nya. Dalam ibadah seperti ini faktor kemudahan dan
menghindarkan diri dari kesulitan amat diperhatikan.
14
Berdasarkan kenyataan di atas ulama fiqh kontemporer menyatakan
bahwa talfiq diperbolehkan, asal tidak menimbulkan sikap main-main dalam
ber-agama atau mengambil pendapat alasan tertentu.
15
3. Penutup
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Pengertian Taqlid
Para ulama ushul memberikan defenisi taqlid dengan “mengikuti
pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui
sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut. Orang yang
bertaqlid disebut mukallid.
3.1.2 Pengertian Ittiba’
Secara bahasa, kata ittiba’ ( )ا ِّت ّباَعmerupakan mashdar dari kata
ittaba’a ( )اتَّ َب َعyang memiliki akar kata dari huruf taa, baa dan ‘ain.
Ibnu Faris rahimahullah berkata, “Huruf taa, baa, dan ‘ain; adalah
akar kata yang semua kata turunannya tidak menyimpang dari makna
asalnya, yaitu mengikuti.
16
3.1.4 Pengertian Talfiq
Talfiq secara bahasa berarti menyesuaikan beberapa hal, cara
mengamalkan ajaran agama dengan mengikuti secara taqlid tata cara
berbagai madzhab, sehingga dalam satu amalan terdapat pendapat
berabagai madzhab. Ulama ushul fiqh mendefinisikan talfiq dengan
melakukan suatu amalan dengan tatacara yang sama sekali tidak
dikemukakan mujtahid manapun, metode talfiq berkaitan erat
dengan ijtihad dan taqlid.
3.2 Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran
mengenai pembahasan makalah diatas.
17
DAFTAR RUJUKAN
Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Van Hoeve, 2003).
Drs. H. Moh. Rifa’I Ushul Fiqh wicaksana. Semarang 1984 Prof. Dr. H. Amir
Syarifuddin. Ushul Fiqh. Jakarta . Kencono 2009
18