Anda di halaman 1dari 16

TINJAUAN TAQLID DALAM ILMU USHUL

FIQH

ARTIKEL KAJIAN PUSTAKA

Disusun oleh :
SALMAN AL-FARISI
NIS: 190368
Kelas: XII S4
Absen: 40

MADRASAH ALIYAH MAMBAUL ULUM BATA-BATA


PANAAN PELENGAAN PAMEKASAN
2022
TINJAUAN TAQLID DALAM ILMU USHUL
FIQH

ARTIKEL KAJIAN PUSTAKA


Untuk memenuhi Ujian Akhir Madrasah Aliyah
Mambaul Ulum Bata-Bata Program Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS A)

Disusun oleh :
SALMAN AL-FARISI
NIS: 190368
Kelas: XII S4
Absen: 40

MADRASAH ALIYAH MAMBAUL ULUM BATA-BATA


PANAAN PELENGAAN PAMEKASAN
2022

i
LEMBAR PERSETUJUAN
Artikel tentang “Tinjauan Taqlid dalam Ilmu Ushul Fiqh” yang disusun oleh:
Salman Al-Farisi telah disetujui oleh pembimbing pada tanggal......./......./2021

Pembimbing

ABDUL BASIT, S.Pd

ii
LEMBAR PENGESAHAN
Artikel Tentang “Tinjauan Taqlid dalam Ilmu Ushul Fiqh” yang disusun oleh:
Salman Al-Farisi telah disahkan oleh penguji untuk diuji pada Tanggal
....../....../2021

Penguji I Penguji II

(1)……………………………… (2)………………………………

Mengetahui,
Kepala Sekolah MA Mambaul Ulum Bata-Bata

H. MUZAMMIL IMRON, S, Ag, MA.

iii
TINJAUAN TAQLID DALAM ILMU USHUL FIQH

Salman Al-Farisi
Nis:190368
Email: Sallmanaf@yahoo.com
Jl. Rkh. Abd. Majid Panaan Palengaan Pamekasan

Abstrak: Taqlid merupakan suatu perbuatan atau ucapan yang diterima oleh
seseorang tanpa mengetahui alasan atau tidak mengetahui asal perbuatannya yang
didasari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pada dasarnya hukum Taqlid adalah dilarang
dan dicela, karena hanya mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil
dan alasannya. Akan tetapi ada ulama’ Ushul Fiqh yang membolehkan bertaqlid,
dan bahkan ada yang mewajibkannya, seperti dibolehkannya orang-orang awam
yang tidak mencukupi syarat berijtihad untuk bertaqlid pada Imam madzhab dan
diwajibkannya kita sebagai umat Islam untuk mengikuti perkataan dan perbuatan
Nabi Muhammad SAW. Selaku dasar dalil atau hujjah. Pada penulisan artikel ini
kami menggunakan metode kajian pustaka dan hasil dari kajian pustaka ini bisa
diimplementasikan dalam pembelajaran ilmu Ushul Fiqh tentang masalah Taqlid.
Dan sebagai acuan dalam membedakan diperbolehkan atau dilarangnya Taqlid
dalam masyarakat yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang dikemukakan
oleh ulama’ ushul fiqh
Kata kunci: Taqlid, ilmu Ushul Fiqh

A. Pendahuluan
Menurut anggapan banyak orang Ushul Fiqh adalah disiplin ilmu yang
sulit dipelajari, akan tetapi, sulit bagi kita untuk mempelajari dan memahami
hukum-hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Oleh sebab itu
kita sebagai santri atau generasi ulama’ harus, bahkan wajib mempelajari ilmu
Ushul Fiqh agar tidak salah dalam menafsirkan dan memahami kandungan ayat-
ayat suci Al-Qur’an dan nash-nash Hadits.

Dengan mempelajari ilmu Ushul Fiqh kita sebagai santri dapat mengetahui
rumusan-rumusan mengenai cara mengeluarkan dan menetapkan hukm syara’.
Sebelum seorang mukallaf mengamalkan hukum-hukum yang telah ditetapkan

1
oleh syari’at, ia diharuskan untuk berusaha atau berijtihad terlebih dahulu.
Seseorang yang berijtihad atau seorang mujtahid tidak serta-merta dalam
berijtihad, ia harus memenuhi syarat dan ketentuan, ketika seseorang tidak cukup
syarat dalam berijtihad ia dicukupkan untuk mengikuti pendapat atau hasil ijtihad
orang lain (muqollid).

Berbicara soal Taqlid mayoritas umat Islam sunni diwajibkan untuk


bertaqlid atau mengikuti pendapat ulama’ madzhab. Orang yang bertaqlid tidak
serta-merta dalam mengikuti pendapat dan ucapan seorang mujtahid, seorang
mukallaf harus mengetahui dalam masalah apa ia bertaqlid, misalkan dalam
masalah aqidah. Menurut sebagian ulama’ bertaqlid dalam masalah aqidah tidak
diperbolehkan, beda halnya dengan masalah fiqh, kita sebagai umat Islam
diharuskan bagi yang tidak mampu berijtihad untuk bertaqlid kepada Imam
madzhab yang empat.

Bertaqlid soal fiqh, umat Islam Indonesia mayoritas bermadzhab pada


Imam Syafi’ie, dikarenakan pendapat Imam Syafi’ie sangat sesuai dengan
keadaan dan permasalahan yang dialami masyarakat Indonesia dalam kehidupan
sehari-hari. Bertaqlid kepada salah satu Imam madzhab yang empat mempunyai
atauran-aturan tersendiri, dan tidak hanya dibatasi dengan memahami suatu
masalah fiqh, akan tetapi juga harus mencakup segala aspek tata cara beribadah,
interaksi dengan sesama makhluq dan hukum pidana Islam yang telah ditetapkan
oleh Imam madzhab yang dianut.

Oleh karena itu, kami tertarik untuk membahas hal-hal yang berkaitan
langsung dengan Taqlid secara ringkas dan mudah dipahami oleh pembaca,
dengan merujuk pada karya, buku, dan argumentasi para ahli Ushul Fiqh. Dan
dengan penulisan karya ini, kami mempunyai tujuan tertentu yang berhubungan
dengan Taqlid agar kami dan pembaca dapat mengetahui, mengambil pelajaran
dan mudah memahami definisi, macam-macam Taqlid, hukum Taqlid, dan
pendapat Imam madzhab tentang Taqlid. Dan semoga hasil kajian pustaka ini
dapat dimanfaatkan sebagai bahan acuan bagi pembaca dan sebagai bahan
pelajaran untuk kalangan yang membutuhkan. Pada penulisan artikel ini, kami

2
menggunakan metode kajian pustaka yang didalamnya terdapat hal-hal yang harus
dibahas dengan merujuk pada karya-karya tokoh ahli Ushul Fiqh.

B. Definisi Taqlid
Untuk mengetahui makna dari kata Taqlid dapat dilihat dari dua aspek,
yang pertama dapat dilihat dari aspek lughawiyah (etimologi) dan yang kedua
dapat dilihat dari aspek istilahiyah (terminologi), yang akan kami bahas di
bawah ini sebagai berikut:
1. Taqlid menurut lughawiyah (etimologi)
Taqlid menurut lughawiyah adalah kata Taqlid yang berasal dari
kata qollada yuqollidu Taqlidan yang mengandung arti “meniru atau
mengikuti.1
2. Taqlid menurut istilahiyah (Terminologi)
Taqlid menurut istilahiyah terdapat beragam pendefinisian yang
disampaikan para ulama’ ushul. Berikut kami paparkan beberapa
pendefinisian Taqlid secara istilah menurut ahli ushul fiqh.
Pendefinisian yang pertama, Imam Al-Ghazali mengungkapkan
tentang pendefinisian Taqlid sebagai berikut:

‫َقُب ْو ِل َق ْو ٍل بِاَل ُح َّج ٍة‬

“menerima ucapan tanpa adanya hujjah atau dalil”


Sedangkan pendefinisian yang kedua oleh Ibnu Subki

‫َقُب ْو ِل َق ْو ِل الْغَرْيِ ِم ْن َغرْيِ ُح َّج ٍة‬

“mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dail”2


Dari paparan pendefinisian di atas dapat disimpulkan bahwasanya
Taqlid merupakan suatu perbuatan yang diterima oleh seseorang yang
tidak mengetahui alasannya atau tidak mengetahui asal perbuatan yang
didasari dali-dalil Al-Qur’an atau nash-nash Hadits. Oleh karena itu dapat
kita ketahui bersama menta’ati dan mengerti hukum-hukum syara’ harus

1
Abdul Majid Khon, Tarikh Tasyri’ (Jakarta: Amzah, 2013), 148.
2
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 239.

3
berdasarkan dalil yang benar, bahkan para ulama’ menghukumi haram
bagi mereka yang bertaqlid kepada orang yang tidak mau memperdulikan
Al-Qur’an dan Hadits dan tidak diketahui keahliannya.

C. Macam-Macam Taqlid
Bertaqlid memang bukanlah hal yang mudah. Karena bertaqlid
membutuhkan hujjah atau dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits, sedangkan Taqlid
di masa sekarang hanya berpedoman pada buku-buku yang tidak tau apakah
buku tersebut bertentangan dengan syari’at atau tidak. Oleh sebab itu agar kita
memahami betul apakah kita termasuk kategori bertaqlid yang sesuai dengan
aturan-aturan Ushul Fiqh dan tidak salah dalam bertaqlid. Ulama’ Ushul
membagi Taqlid menjadi dua macam:
1. Taqlid terpuji, yaitu Taqlid orang yang tidak mampu berijtihad.
2. Taqlid tercela dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Taqlid buta yang tidak mengindahkan apa yang diturunkan Allah
SWT.
b. Taqlid kepada seseorang di mana orang yang menaqlid tidak meyakini
bahwa pendapatnya layak diikuti.
c. Taqlid setelah mengetahui ada dalil yang bertentangan dengan
pendapat orang yang bertaqlid.3
Itulah macam-macam Taqlid yang telah ulama’ kemukakan di dalam
buku-buku karyanya, bahwasannya Taqlid mempunyai dua sifat yaitu tercela,
dan terpuji, pemaparan di atas memberikan kita pemahaman agar tidak
termasuk kategori muqollid yang tercela dan diharapkan menjadi muqollid
yang sesuai dengan aturan-aturan Ushul dan pendapat ulama’.
D. Hukum Taqlid dalam Islam
Pada dasarnya Taqlid menurut pandangan Islam itu dicela dan dilarang,
karena hanya mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil dan
alasannya, karena hal itu akan membuat orang yang bertaqlid menjadi fanatik
yang berlebihan kepada orang yang ditaqlidinya.

3
Rusydi Kholil, Ushul Fiqh (Pamekasan: Logis, 2015), 105.

4
Dalam menghukumi Taqlid menurut para ulama’ terdapat tiga macam
hukum: pertama, Taqlid yang diharamkan, Kedua, Taqlid yang diwajibkan,
dan ketiga, Taqlid yang dibolehkan.
1. Taqlid yang diharamkan
Ulama’ sepakat haram melakukan Taqlid berikut:
a. Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek
moyang atau orang terdahulu kala yang bertentangan dengan Al-
Qur’an dan Hadits.4
Asal hukum tersebut haram, karena Allah menciptakan manusia
berikut dengan akalnya. Dengan akal pikiran, manusia menghukumi
suatu perkara yang logis dengan akalnya saja dan tidak mengetahui
dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits.
Allah berfirman tentang haramnya bertaqlid di dalam surah Al-
Baqarah: 170

‫َواِ َذا قِْي َل هَلُ ُم اتَّبِعُ ْوا َمٓا اَْنَز َل ال ٰلّهُ قَالُْوا بَ ْل َنتَّبِ ُع مَٓا اَلْ َفْينَا َعلَْي ِه اٰبَاۤءَنَا ۗ اََول َْو كَا َن اٰبَاُۤؤ ُه ْم‬

١٧٠﴿ ‫﴾اَل َي ْع ِقلُ ْو َن َشْيـًٔا َّواَل َي ْهتَ ُد ْو َن‬


Artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang
telah diturunkan Allah.” Mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti
apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).”
Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun, dan
tidak mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-Baqarah: 170)5
Contoh ayat di atas, sebagaimana orang-orang jahiliyah pada zaman
Nabi Muhammad SAW. atau zaman Nabi-Nabi sebelumnya, di mana
pada saat itu sebelum turunnya syari’at Islam, orang-orang hanya
berpegang teguh kepada perilaku dan pendapat nenek moyang mereka.
Dan dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwasannya Taqlid
diharamkan oleh Allah SWT. jika yang diikuti adalah orang-orang
yang menyesatkan dan tidak diketahui asal-usulnya.

4
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul, 239.
5
Al-Qur’an Mushaf Aisyah (Jakarta: Jabal, 2010), 26.

5
b. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil
perkataannya.
Allah berfirman:

٣٦﴿....ۗ ‫ك بِه ِع ْل ٌم‬


َ َ‫س ل‬
َ ‫ف َما لَْي‬
ُ ‫﴾ َواَل َت ْق‬
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu
ketahui…”(Q.S. Al-Isra’: 36)6
Dari pernyataan ayat di atas adalah dilarangnya bertaqlid atau ikut-
ikutan kepada apa yang tidak diketahui.
c. Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang
bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.7
2. Taqlid yang diperbolehkan
Taqlid diperbolehkan oleh syari’at Islam jika bertaqlid kepada
seseorang yang telah mengarahkan usahanya untuk ittiba’ kepada apa yang
telah Allah turunkan, hanya saja sebagian orang tidak mengetahui hal itu,
sehingga dia dibolehkan untuk bertaqlid kepada orang yang lebih
mengetahui dari padanya.8
Allah berfirman tentang diperbolehkannya Taqlid:

٤٣﴿ ۙ‫الذ ْك ِر اِ ْن ُكْنتُ ْم اَل َت ْعلَ ُم ْو َن‬


ِّ ‫﴾فَسـَٔلُ ْٓوا اَ ْهل‬
َ ْ
Artinya: “…bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui” (Q.S. An-Nahl: 43)9
Berikut ini ulama’ membagi dua golongan masyarakat dalam kaitannya
bertaqlid kepada Imam:
a. Boleh bertaqlid jika yang menaqlid adalah golongan orang awam yang
tidak mengerti cara mencari hukum syari’at. Ia boleh mengikuti
pendapat orang yang pandai dan mengamalkannya.
b. Golongan yang memenuhi syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan
bertaqlid kepada ulama’. Sedangkan golongan orang awam harus

6
Ibid, 285.
7
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul, 239.
8
Ibid, 240.
9
Al-Qur’an, Mushaf, 272.

6
mengikuti pendapat seseorang tanpa harus mengetahui sama sekali
dalil dan alasan pendapat tersebut.10
Contoh: Taqlid yang dilakukan oleh mujtahid madzhab kepada Imam-
Imam mereka, misalnya Imam Nawawi kepada Imam Syafi’ie.
Dari uraian di atas dapat dipahami bersama, bahwasannya para
ulama’ ushul sepakat dalam asal hukum Taqlid ialah haram, jika orang
yang diikuti adalah orang yang menyesatkan dan tidak mengetahui
dalil-dalil yang sudah tertera di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dalam kondisi tertentu Taqlid bisa berubah menjadi boleh jika yang
ditaqlid adalah orang-orang terdahulu yang memiliki pengetahuan
yang luas dan mendapatkan petunjuk dari Allah SWT.
3. Taqlid yang diwajibkan
Adalah Taqlid kepada orang yang perkataanya dijadikan sebagai dasar
hujjah atau dalil, yaitu perbuatan dan perkataan Rasulullah SAW.. Ibnul
Qayyim mengatakan: sesungguhnya Allah SWT. telah memerintahkan
agar umat Islam bertanya kepada Ahlu Dzikir dan adz-dzikr adalah Al-
Qur’an dan Hadits yang Allah SWT perintahkan agar para istri Nabi-Nya
selalu mengingat-Nya sebagaimana dalam firman-Nya:

٣٤﴿ ࣖ ‫ْم ِةۗ اِ َّن ال ٰلّهَ َكا َن لَ ِطْي ًفا َخبِْيًرا‬ ِ ِٰ ِ ِ ِ


َ ‫﴾ َواذْ ُك ْر َن َما يُْت ٰلى يِف ْ بُُي ْوت ُك َّن م ْن اٰيٰت اللّه َواحْل ك‬
Artinya: “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat
Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sungguh, Allah Mahalembut, Maha
Mengetahui.” (Q.S. Al-Ahzab: 34)11
Inilah adz-dzikr yang Allah SWT. perintahkan agar kita selalu
ittiba’ (mengikuti) kepadanya, dan Allah SWT. turunkan kepada Rasul-
Nya agar ahli ilmu ini memberitahukan kepadanya. Kalau dia sudah
diberitahu tentang adz-dzikir ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’
kepadanya.
Contoh: Taqlid yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mampu
berijtihad sendiri (awam). Misalnya orang yang buta, tuna rungu dan
sebagainya.

10
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul, 240.
11
Al-Qur’an, Mushaf, 422.

7
Dari ayat Al-Qur’an di atas dapat diketahui bahwasanya wajib bagi
orang awam atau orang yang tidak berilmu untuk bertanya kepada adz-
dzikir karena seorang hamba wajib beriman dan ittiba’ kepada Rasul-Nya
dan mematuhi perintah-Nya juga menjauhi larangan-Nya dan setiap orang
yang berilmu atau adz-dzikr juga wajib memberitahukan kepada orang
awam. Kemudian, jika orang tersebut telah diberitahu tentang adz-dzikir
maka tidak boleh baginya kecuali mengikutinya (adz-dzikir).12
E. Pendapat Imam Madzhab Tentang Taqlid
Imam madzhab merupakan salah satu hukum syari’at Islam yang dikenal
dalam menentukan dan menetapkan suatu hukum. Adapun Imam madzhab
yang terkenal pada masa dahulu dan masa sekarang ialah, Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, Imam Syafi’ie, dan Imam Ahmad.
Imam madzhab berpendapat tentang Taqlid dengan perbedaan pendapat
mereka masing-masing.
1. Imam Abu Hanifah berpendapat, “tidak halal bagi seorang pun yang
mengambil perkataan selama dia tidak tahu dari mana kami
mengambilnya,” dalam riwayat lain beliau berkata, “orang yang tidak tahu
dalilku haram atasnya berfatwa dengan perkataanku.”13
2. Imam Malik berpendapat, “sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa
benar dan keliru, lihatlah pendapatku yang sesuai dengan kitab dan As-
Sunnah maka ambillah. Dan setiap yang tidak sesuai dengan kitab dan As-
Sunnah maka tinggalkanlah.14
Jadi perbedaan tentang Taqlid di atas bahwasanya Imam Abu
Hanifah mengharamkan bagi seseorang yang mengambil perkataan dan
perbuatan beliau tanpa mengetahui asal perkataan tersebut. Beda halnya
dengan Imam Malik beliau hanya mengatakan apabila pendapatnya tidak
didasari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka wajib bagi orang tersebut untuk
meninggalkannya.
3. Imam Syafi’i berpendapat, “jika kalian menjumpai Sunnah Rasulullah,
ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan

12
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul, 240.
13
Ibid, 242.
14
Zen Amiruddin, Ushul Fiqih (Yogyakarta: Teras, 2009), 208.

8
siapapun, setiap yang aku katakan, kemudian ada Hadits shahih yang
menyelisihkannya, maka Hadits Nabilah yang lebih utama untuk diikuti,
janganlah kalian Taqlid kepadaku.”
4. Imam Ahmad berpendapat, “janganlah kalian Taqlid dalam agamamu
kepada seorang pun dari mereka apa yang datang dari Nabi dan para
sahabatnya ambillah.” Beliau juga berkata, “ittiba’ adalah jika seseorang
mengikuti apa yang datang dari Nabi SAW dan para sahabatnya.”15
Dari uraian perbedaan di atas Imam Syafi’ie mengatakan bahwa beliau
melarang kita untuk tidak bertaqlid kepadanya apabila masih ada Hadits
shahih, karena Hadits lebih utama kepadanya. Sedangkan Imam Ahmad
mengatakan bahwa beliau melarang kita untuk bertaqlid kepada seseorang
di agama kita, akan tetapi beliau menyuruh kita untuk mengikuti apa yang
datang langsung dari Nabi dan para sahabatnya.
F. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah kami paparkan di atas, dapat kita tarik
kesimpulan bahwa Taqlid menurut Bahasa (lughawiyah) adalah meniru atau
mengikuti. Adapun pengertian menurut istilahiyah adalah mengikuti pendapat,
ucapan, atau perbuatan seseorang tanpa harus mengetahui dalil dan alasannya.
Sedangkan macam-macam Taqlid terbagi dua bagian, yaitu Taqlid terpuji dan
Taqlid tercela.

Hukum Taqlid menurut ulama’ ushul fiqh ada tiga macam hukum:
Pertama, Taqlid yang diharamkan, yaitu (a) Taqlid karena mengikuti adat
kebiasaan nenek moyang, (b) Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia
pantas diambil perkataannya, dan (c) Taqlid kepada pendapat seseorang ,
sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa pendapat itu salah. Kedua, Taqlid
yang diperbolehkan, yaitu (a) boleh, jika yang bertaqlid adalah orang awam, dan
(b) golongan yang memenuhi syarat berijtihad. Ketiga, Taqlid yang diwajibkan,
yaitu, Taqlid kepada orang yang perkataan dan perbuatannya sebagai dasar hujjah
atau dalil, yaitu perbuatan dan perkataanya Rasulullah SAW.

15
Ahmad Sanusia dan Sohari, Ushul, 242.

9
Sedangkan Imam madzhab berpendapat tentang Taqlid dengan berbeda
pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah ialah haram bagi orang yang mengambil
perbuatan dan perkataan beliau tanpa mengetahui asalnya. Imam Malik
mengatakan, apabila pendapatnya tidak didasari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka
wajib meninggalkannya. Adapun menurut Imam Syafi’ie, beliau melarang kita
unutk tidak bertaqlid padanya jika masih ada Hadits shahih karena lebih utama
dan menurut pendapat Imam Ahmad, beliau melarang kita bertaqlid kepada
seseorang di agama kita dan menyuruh kita untuk mengikuti apa yang datang
langsung dari Nabi dan sahabatnya.

10
UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama kami bersyukur kepada Allah SWT. Yang telah menganugrahkan


rahmat dan inayah-Nya kepada hamba-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah
limpahkan kepada junjungan kita baginda Nabi Muhammad SAW. yang telah
mengangkis kita dari alam jahiliyah menuju alam terang benderang, yakni adanya
iman dan Islam, dan juga kepada keluarganya dan sahabatnya.
Selanjutnya ucapan terima kasih kami sampaikan kepada kedua orang tua
kami, Bpk. Muhammad Thayyib dan Ibu Lilik Fitriyah yang selalu mencurahkan
kasih sayangnya kepada kami. Dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada
Syaikhina Syaikh Rkh. Moh. Faisol Abdul Hamid (Pengasuh pondok pesantren
Mambaul Ulum Bata-Bata) yang telah memimpin dan mengayomi kami. Juga
kepada Ustadz Abdul Basit S. Pd, yang telah meluangkan tenaga dan waktunya
untuk membimbing dan memberi arahan kepada kami. Juga kepada Ust. H.
Muzammil Imron, S. Ag. MA (Kepala sekolah Madrasah Aliyah Mambaul Ulum
Bata-Bata), juga kepada Ustadz M. Hafidz M. Pd (Wali kelas XII-S4) yang selalu
memberikan motivasi kepada kami. Kemudian terima kasih juga kami sampaikan
kepada teman-teman senasib seperjuanagan (E-06, XII-S4, Blok A Kamar 01) dan
juga pihak-pihak yang terkait dalam penyelesaian karya ilmiyah ini.
Harapan kami semoga karya tulis ilmiyah ini bisa menambahkan kecintaan
kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya, dan semoga bisa memberikan banyak
manfaat, dan menambah pengetahuan, wawasan dan pengamalan kepada kami dan
segenap pembaca. Tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya,
bahwa banyak kekurangan dari pnulisan artikel ini, berangkat dari sedikitnya
pengetahuan dan pengalaman kami. Oleh karena itu dengan lapang dada dan
tangan terbuka untuk memberikan kritik dan saran kepada kami sehingga tidak
akan terulang kesahalan yang kedua kalinya.
Billahittaufiq wal hidayah, wallahu a’lam bish-Shawwab.

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an. Mushaf Aisyah. Jakarta: Jabal, 2010.


Amiruddin, Zen. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Teras, 2009.
Kholil, Rusydi. Ushul Fiqh. Pamekasan: Logis, 2015.
Khon, Abdul Majid. Tarikh Tasyri’. Jakarta: Amzah, 2013.
Sanusi, Ahmad; Sohari. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.

12

Anda mungkin juga menyukai