Anda di halaman 1dari 5

TAQLID

1. Pengertian Taqlid
Taqlid menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu qalada, yuqalidu, taqlidan, yang
berarti mengulangi, meniru dan mengikuti. Para ulama ushul memberikan defenisi taqlid
dengan mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui
sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut. Orang yang bertaqlid disebut mukallid.
Dari defenisi di atas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan
taqlid, yaitu:
a) Menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang
b) Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Quran dan hadits
tersebut.

Defenisi taqlid menurut para ahli ushul fiqih:


Taqlid menurut Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa adalah:
Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan tidak ada hujjah. Dan tidak ada taqlid
itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusan ushul maupun
dalam urusan furu.
Al-Asnawi dalam kitab Nihayat Al-Ushul mendefinisikan:
Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil.
Ibnu Subki dalam kitab Jamul jawami mendefinisikan:
Taqlid adalah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil.
Contoh taqlid: Seseorang yang mengikuti Umar bin Khattab dalam melaksanakan shalat
tarawih 20 rakaat, tetapi dia tidak mengetahui alasan yang dijadikan dasar oleh Umar.

2. Jenis jenis Taqlid :

Taqlid ada dua jenis : umum dan khusus.

Taqlid yang umum

Dalam semua urusan agamanya.Dan para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah
ini. Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut dikarenakan (menurut
mereka, pent) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu, pent) untuk ber-
ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena apa yang
ada padanya dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu
alaihi wa sallam.azimah-azimahnya1Seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu
yang ia mengambil Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :

Sesungguhnya dalam pendapat yang mewajibkan taat kepada selain Nabi dalam segala
perintah dan larangannya adalah menyelisihi ijma dan tentang kebolehannya masih
dipertanyakan.Beliau juga berkata : Barangsiapa memegang suatu madzhab tertentu,
lalu ia melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid kepada ulama lain yang
memberinya fatwa dan tanpa istidlal dengan dalil yang menyelisihinya, dan tanpa udzur
syari yang menunjukkan halalnya perbuatan yang dilakukannya, maka ia adalah orang
yang mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharoman tanpa ada udzur syari, dan ini adalah
mungkar.

Adapun jika menjadi jelas baginya apa-apa yang mengharuskan adanya tarjih
pendapat yang satu atas yang lainnya, baik dengan dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu
dan memahaminya, atau ia melihat salah seorang ulama yang berpendapat adalah lebih
aalim (tahu) tentang masalah tersebut daripada ulama yang lain, yang mana ulama
tersebut lebih bertaqwa kepada Alloh terhadap apa-apa yang dikatakannya, lalu orang itu
rujuk dari satu pendapat ke pendapat lain yang seperti ini maka ini boleh, bahkan wajib
dan al-Imam Ahmad telah menegaskan akan hal tersebut.

Taqlid yang khusus :

seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia
lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara
hakiki atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.

3. Pendapat Tentang Bolehnya Fatwa Dengan Taqlid:

Yang pertama:
Tidak boleh berfatwa dengan taqlid karena taqlid bukanlah ilmu, dan berfatwa tanpa ilmu
adalah harom. Ini merupakan pendapat kebanyakan al-Ash`haab (yakni ulama
Hanabilah, pent) dan kebanyakan (jumhur) Syafiiyyah.

Yang kedua :

Bahwa hal tersebut boleh dalam masalah yang berkaitan dengan dirinya sendiri, dan
seseorang tidak boleh taqlid dalam masalah yang ia berfatwa dengannya kepada orang
lain.

Yang ketiga:

Bahwa hal tersebut boleh ketika ada hajat (keperluan) dan tidak adanya seorang aalim
mujtahid, pendapat ini merupakan pendapat yang paling benar dan pendapat ini
dilakukan. Selesai perkataannya (Ibnul Qoyyim, pent).

4. HUKUM TAQLID
Mengenai hukum taqlid ini terbagi kepada dua macam, yaitu taqlid yang diperbolehkan dan
taqlid yang dilarang atau haram.
a. Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu taqlid bagi orang-orang awam yang
belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat.
Sebagaimana yang dikatakan Imam Hasan Al-Bana mengenai taqlid ini, menurut beliau
taqlid adalah sesuatu yang mubah dan diperbolehkan oleh syariat, namun meski
demikian, hal itu tidak berlaku bagi semua manusia. Akan tetapi hanya dibolehkan bagi
setiap muslim yang belum sampai pada tingkatan an-nazhr atau tidak memiliki
kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syariat, yaitu bagi orang awam
yang awam sekali dan yang serupa dengan mereka, yang tidak memiliki keahlian dalam
mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari al-Quran
dan Sunnah, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas.
b. Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai
tingakatan an-nazhr atau yang sanggup mengkaji hukum-hukum syariat. Ada beberapa
taqlid yang dilarang ini antara lain :
Taqlid buta, yaitu memahami suatu hal dengan cara mutlaq dan membabi buta tanpa
memperhatikan ajaran al-Quran dan Hadis, seperti menaqlid orang tua atau
masyarakat walaupun ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran al-Quran dan
Hadis.
Taqlid terhadap orang-orang yang tidak kita ketahui apakah mereka ahli atau tidak
tentang suatu hal yang kita ikuti tanpa pamrih.
Taqlid terhadap seseorang yang telah memperoleh hujjah dan dalil bahwa pendapat
orang yang kita taqlidi itu bertentangan dengan ajaran Islam atau sekurang-
kurangnya dengan al-Quran dan Hadis. Namun, boleh bertaqlid terhadap suatu
pendapat,garis-garis hukum tentang soal-soal dari seorang mujtahid yang betul-betul
mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul.

5. Syarat - syarat Taqlid


Tentang syarat-syarat taqlid bisa dilihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan
syarat-syarat yang ditaqlidi. Syarat-syarat itu yakni sebagai berikut :
a. Syarat-syarat orang yang bertaqlid
Syarat orang yang bertaqlid ialah orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti cara-cara
mencari hukum syara. Ia boleh mengikuti pendapat orang lain yang lebih mengerti hukum-
hukum syara dan mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup menggali sendiri
hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad sendiri kalau baginya masih cukup. Namun,
kalau waktunya sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya
yang lain (dalam soal-soal ibadah), maka menurut suatu pendapat ia boleh mengikuti
pendapat orang pandai lainnya.

b. Syarat-syarat yang ditaqlid


Syarat yang ditaqlidi ada kalanya adalah hukum yang berhubungan dengan syara. Dalam
hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti mengetahui adanya Dzat yang
menciptakan alam serta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan
menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal.

6. Ketentuan Bertaqlid
a. Ibnu Al Ummamah, mengemukakan kesepakatan ulama tentang bolehnya bertaqlid
kepada seseorang dari ulama ahli ilmu, yang diketahui bahwa orang itu mempunyai
kemampuan untuk berijtihad dan memiliki sifat adalah.
b. Menurut Syafiiyah, pendapat yang paling tepat adalah harus memeriksa tentang
keilmuannya dengan cara bertanya kepada orang orang, dan mengetahui keadilannya
cukup dari keadilan menurut lahirnya tanpa perlu pemeriksaan.
c. Bila ilmu dan adil tidak terdapat pada seseorang, maka tidak boleh bertaqlid kepadanya.
d. Pendapat lain mengatakan bila yang tidak diketahui dari orang itu adalah tentang
keilmuannya, maka tidak boleh bertaqlid padanya.
e. Bila dalam satu wilayah hanya ada satu mujahid yang memenuhi syarat tersebut, maka
maka pendapatnya harus diikuti.

Anda mungkin juga menyukai