Anda di halaman 1dari 11

KHUNSA

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Fiqh mawaris

.Dosen Pengampu : Ali Muchtar, Lc

Oleh :

Reni Maulina 1603016134

Mujiaroh 16030161

Dhiya

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2019
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Allah Yang Maha Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris.
Bahkan dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna Dia menentukan pembagian hak
setiap ahli waris dengan adil serta penuh kebijaksanaan. Maha Suci Allah. Dia menerapkan
hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam kehidupan manusia, meniadakan
kezaliman di kalangan mereka, menutup ruang gerak para pelaku kezaliman, serta tidak
membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang yang lemah.

Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa ketiga ayat tersebut


merupakan salah satu rukun agama, penguat hukum, dan induk ayat-ayat Ilahi. Oleh
karenanya faraid memiliki martabat yang sangat agung, hingga kedudukannya menjadi
separo ilmu. Lebih jauh Imam Qurthubi mengatakan, “Apabila kita telah mengetahui
hakikat ilmu ini, maka betapa tinggi dan agung penguasaan para sahabat tentang masalah
faraid ini. Sungguh mengagumkan pandangan mereka mengenai ilmu waris ini. Meskipun
demikian, sangat disayangkan kebanyakan manusia (terutama pada masa kini) mengabaikan
dan melecehkannya.”

Akan tetapi dibalik semua kejelasan itu, terdapat masalah-masalah baru yang selalu
menjadi pembicaraan dikalangan masyarakat terutama dikalangan ulama dan cendekiawan
fiqih atau akademisi yang sedang mempelajari ilmu fiqih. Misalnya saja masalah mengenai
kewarisan wadam atau khuntsa atau dalam istilahnya yaitu banci. Karena pada dasarnya
banci ini memiliki ciri-ciri spesifik tersendiri yang membedakan dengan orang lain atau
jenis lain.

Maka dari itu, ksmi akan mencoba mengungkap mengenai kewarisan banci yang
sering menjadi polemik dalam ilmu dan pembahasan fiqih, baik fiqih kontemporer maupun
fiqih klasik, dari beberapa referensi yang kami dapatkan kami merumuskan masalahnya
sebagai berikut :

1. Apa Pengertian Khunsa?


2. Apa saja Pembagian Khunsa?
3. Bagaimana penjelasan mengenai Jumlah Ahli Waris Khunsa Musykil ?
4. Bagaimana Penjelasan Mengenai Bagian Warisan Khunsa Musykil ?
5. Bagaimana Cara Pembagian Khunsa Musykil?

1
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Khunsa
Menurut bahasa khunsa diambil dari kata-kata al-khaanats, artinya lemah gemulai.
Disebut ‘khonatsa’ dan ‘takhonnatsa’ artinya omongannya seperti omongan orang
perempuan atau berjalannya atau pakaiannya seperti orang perempuan. 1
Menurut istilah, khunsa ialah seseorang yang mempunya dua alat kelamin, disamping
di samping dia mempunyai penis atau zakar ia juga mempunyai vagina atau faraj. Khunsa
ini banyak di bicarakan dalam kitab-kitab fiqih karena dalam kenyataaannya memang sering
terjadi. Ulama menghendaki kejelasan dari kelamin seseorang yang menjadi subjek suatu
hokum. Meskipun khunsa memiliki dua alat kelamin, namun hokum yang di berlakuukan
padanya hanya satu yaitu laki-laki atau perempuan. Dan untuk maksud itu harus di pastikan
keudukan jenis kelamin seseorang yang khunsa itu. Kepastian kedudukannya itu di ketahui
melalui petunjuk, pada saat ini dnegan adanya alat yang canggih untuk mengetahui jenis
kelamin, tidak sulit untuk mencari kepastian kelamin ini. Ulamaklasik menetapkan
kepastian itu melalui tanda-tanda yang ada.
B. Pembagian Khunsa

Para ulama mebagi khunsa dalam dua keadaaan. Pertama khunsa yang bukan muskil
yaitu khunsa yang melalui alat yang ada dapat di pastikan jenis kelaminnya. Bila melalui
tanda yang ada di pastikan dia adalah laki-laki, maka alat kelamin yang satu lagi adalah alat
kelamin tambahan. Dan begitu pula sebaliknya. Kedua, khunsa yang musykil yaitu manusia
yang dalam bentuk tubuhnya ada keganjilan, tidak dapat di ketahui apakah dia laki-laki atau
perempuan, karena tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan kelakilakiannya atau
keperempuannya, atau samar-samar tanda-tanda itu, khunsa yang dengan segala macam cara
pembuktian tidak dapat di tentukan jenis kelaminnya.

Ibnu Qudamah mengutip dari Ibnu al-Munzairyang menyatakan ijam’ para pakar yang
menetapkan tanda untuk membedakan jenis kelamin khunsa. Tanda tersebut adaah cara dan
bentuk kencing dari khunsa itu. Bila ia kencing dari zakar berarti dia adaah laki-laki dan bila
kencing dari farajnya berarti diaadalah perempuan. Alasan Nabi mnetapkan cara ini unruk
menentukan jenis kelamin darikhunsa adalah karena tanda umum yang bisa di temukan

1 Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni. Hukum Waris (Solo : Anggpta IKAPI , 1994) Hlm 164

2
pada anak kecil atau orang dewasa. Tanda lainnya adalah tumbuh jakun pada laki=laki dan
paudara pada perempuan namun baru akan di ketahui setelah dewasa.

Seandainya kencing keluar dari kedua alat kelamin, maka cara menentukannya adalah
dari alat kelamin yang manakah yang lebih dulu mengeuarkan air seninya pendapat ini di
riwayatkan oleh al-musayyab dan pendapat ini pula yang di ikuti oleh ahmad dan jumhur
ulama.

Selama masih bisa diketahui jenis kelamin khunsa itu dengan menggunkan cara dan
tanda apapun, khunsa itu tidak di sebut khunsa muskil dan hak kewarisannya dapat di
pastikan.

Kewarisan khunsa musykil di tangguhkan sampai ia dewasa. Dalam masa


penangguhan itu bila ada yang menghendaki haknya baik khunsa itu sendiri atau orang yang
mungkin bagiannya terpengaruh dengan keberadaaan khunsa itu, maka diberikan kepadanya
bagian terkecil antara kemungkinan ia laki-laki atau perempuan.kelebihan harta di
tangguhkan.2

Contoh :

Seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak yang
Khuntsa.

Penyelesaiannya: Jika dianggap laki-laki, berarti ahli waris ada dua orang anak laki-
laki. Keduanya dalam hal ini adalah sebagai ‘ashabah bin-nafsi dan mewarisi seluruh harta
dengan masing-masing memperoleh 1/2 bagian.Jika dianggap perempuan, berarti ahli
warisnya seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Dalam hal ini, mereka adalah
sebagai ‘ashabah bil-ghair dengan ketentuan bagian anak laki-laki sama dengan dua kali
bagian anak perempuan. Jadi anak laki-laki memperoleh 2/3, sedangkan anak perempuan
memperoleh 1/3.3

2 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan, (Jakarta:Prenadamedia Group, 2011), hal 143-145.


3 http:/mrufy.blogspot.com/2012/12/norma-0-false-false-false-en-us-x-none.html?m=0

3
Contoh lain, seorang istri meninggal denggan meninggalkan suami, ibu dan khuntsa
muskil seibu, maka khuntsa ini menerima seperenam, baik dia dipandang sebagai laki-laki
atau sebagai perempuan karena dia saudara seibu.4

C. Jumlah Ahli Waris Khunsa Musykil

Para ulama faraidh menetapkan, bahwa para ahli waris khunsa muykil itu hanya
berjumlah tujuh orang dan tercakup dalam empat kelompok yaitu:

1. Garis Anak (Jihat Bunuwah)

Para ahli waris khunsa musykil yang tergantung dalam jihat bunuwah ini ada dua orang,
yaitu anak dan cucu.

2. Garis Saudara (Jihat Ukhuwah)

Mereka yang tergantung dalam jihat ukhuwah ada dua, yaitu saudara dan anak saudara
(keponakan).

3. Garis Paman (Jihat ‘Ummah)

Para ahli waris khunsa musykil dari garis paman ada dua, yaitu pamana dan anak paman
(saudara sepupu).

4. Perwalian Budak (Jihat Wala’)

Ahli waris yang khunsa musykil dari golongan ini hanya seorang saja, yakni maulal
mu’tiq (tuan yang memerdekakan budanya).

Selain tujuh tersebut di atas tidak ada. Suami, istri, ayah, ibu, kakek, dan nenek tidak
mungkin mereka sebagai khunsa musykil, sebab nikah mereka tidak sah dan tidak dapat
mengadakan hubungan biologis sebagai media adanya keturunan.5

D. Bagian Warisan Khunsa Musykil

Ulama faraidh berbeda pendapat tentang bagian warisan khunsa musykil, yaitu:

4 Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddieqy, Fiqih Mawaris, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1996),
Hlm 250-251.
5 Moh Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), Hlm 137

4
Pendapat pertama, yaitu pendapat Ibnu Abbas yang kemudian diikuti Ahmad, Al-
Sya’bi, Ibnu Abi Laila, Al-Tsauri, Ahli Madinah dan Mekkah, Abu Yusuf, Syareik, al-Lu’lu
dan beberapa ulama lainnya, bahwa kunsa musykil ini menerima hak separuh hak laki-laki
dan perempuan.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Abu Hanifah dan para pengikutnya, bahwa khunsa
musykil itu menerima jumlah minimum dari kemungkinannya sebagai laki-laki atau ia
perempuan.

Pendapat ketiga, yaitu pendapat Imam Syafi’I dan diikuti oleh Abu Tsaur, Daud, dan
Ibnu Jarir, bahwa khunsa musykil dan orang yang bersamaannya mendapat yang
menyakinkan sampai ada kepastian jenis kelaminnya atau sampai mereka bersama
memutuskan secara damai.6

E. Cara Pembagian Khunsa Musykil


Bagi seorang khunsa, warisan yang diperolehnya dalam pembagian warisan dapat
memiliki lima kemungkinan yaitu:
1. Jika dianggap laki-laki ataupun perempuan, maka bagiannya sama besar
2. Jika dianggap laki-laki maka bagiannya lebih besar daripada jika dianggap perempuan
3. Jika dianggap perempuan, maka bagiannya lebih besar daripada jika dianggap laki-laki
4. Hanya dapat menerima warisan jika dianggap laki-laki
5. Hanya dapat menerima warisan jika dianggap perempuan
Dalam menghitung bagian warisan untuk khunsa, ada tiga pendapat yang utama :
1. Menurut Imam Hanafi
Khunsa diberikan bagian terkecil dari dua perkiraan laki-laki atau perempuan,
sedangkan ahli waris lain diberikan bagian yang terbesar dari dua perkiraan laki-laki
atau perempuan.
2. Menurut Imam Syafi’i:
Semua ahli waris termasuk khunsa diberikan bagian yang terkecil dan meyakinkan dari
dua perkiraan, dan sisanya ditahan sampai persoalan khunsa menjadi jelas, atau sampai
ada perdamaian untuk saling menghibahkan diantara para ahli waris.
3. Menurut Imam Maliki:
Semua ahli waris termasuk khunsa diberikan separuh dari dua perkiraan laki-laki
danperempuan (nilai tengah dari dua perkiraan)

6 Dr. Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Depok: Pt. Grafindo Persada, 2014) Hlm 87

5
Sementara itu Imam Hambali berpendapat seperti Imam Syafi’I dalam hal khunsa
masih dapat diharapkan menjadi jelas jenis kelaminnya. Tetapi jika dalam hal status khunsa
tidak dapat diharapkan menjadi jelas, pendapat beliau mengikuti pendapat Imam Maliki.7

Contoh :

Seorang wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang khunsa

Penyelesaiannya :

a. Jika dianggap laki-laki, berarti ahli waris ada dua orang anak laki-laki. Keduanya dalam
hal ini adalah sebagai ‘ashabah binnafsi dan mewarisi seluruh harta dengan masing-
masing memperoleh ½ bagian.
b. Jika dianggap perempuan, maka ahli warisnya seorang anak laki-laki dan seorang anak
perempuan. Dalam hal ini mereka adalah sebagai ‘ashabah bil ghair dengan ketentuan
bagian anak laki-laki sama dengan dua kali bagian anak perempuan, jadi anak laki-laki
memperoleh 2/3, sedangkan anak perempuan memperoleh 1/3

Dari kedua macam anggapan ini, pembagiannya adalah sebagai berikut :

a. Menurut Mazhab Hanafi:


Bagian anak laki-laki = 2/3
Bagian khunsa = 1/3
b. Menurut Mazhab Syafi’I :
Bagian anak laki-laki =½
Bagian khunsa =1/3
Sisa = 1/6 (ditahan sampai jelas statusnya)
c. Menurut Mazhab Maliki :
Bagian anak laki-laki = ½ (1/2+ 2/3) = 7/12
Bagian khunsa = ½ (1/2+ 1/3) = 5/12

Dr. Mardani dalam bukunya, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia menjelaskan


bahwa jiika terdapat di antara ahli waris khunsa musykil, maka pembedaan warisannya
dilakukan dengan salah satu cara dari dua cara berikut:

a. Tiada berubah bagian khunsa dan bagian ahli waris lainnya, walaupun dia
dihukumkan laki-laki atau perempuan. Di dalam hal ini, warisan itu langsung dibagi
menurut ketentuan masing-masing ahli waris.

7 Achmad Yani, Faraidh & Mawaris, (Jakarta : Kencana, 2016), Hlm 166-167

6
Contoh : Seseorang meninggal dunia meninggalkan ahli waris; ibu; ayah, anak
perempuan, dan cucu khunsa. Harta warisannya sebesar Rp12.000.000-, maka
penyelesaiannya sebagai berikut:

Ahli Waris Bagian AM Harta Warisan Penerimaan


6 Rp12.000.000,-
Ibu 1/6 1 1/6x12.000.000 2.000.000
Ayah 1/6 1 1/6x12.000.000 2.000.000
Seorang anak
1/2 3 3/6x12.000.000 6.000.000
Pr
Cucu Khunsa 1/6 1 1/6x12.000.000 2.000.000
Jumlah 12.000.000

Jika cucu perempuan tersebut dihukumkan sebagai seseorang perempuan, dia


mendapat seperenam (1/6) bagian. Jika dia dihukumkan sebagai laki-laki, dia
mendapat seperenam (1/6) juga, tetapi selaku ‘ashabah, tidak selaku orang yang
mendapat ketentuan (dzawil furudh). Jadi sebagian ahli waris lainnya tidak berubah,
walaupun khunsa itu dihukumkan laki-laki atau perempuan.

b. Ada perubahan bagian khunsa dan ahli waris yang lain, jika khunsa dihukumkan laki-
laki atau perempuan.

Apabila khunsa itu dihukumkan laki-laki, maka anak laki-laki mendapat seperdua
(1/2) bagian. Anak khunsa mendapat seperdua (1/2) bagian. Apabila anak khunsa itu
dihukumkan perempuan, maka anak laki-laki mendapat dua pertiga (2/3) bagian
(ingat anak laki-laki mendapat dua kali lipat anak perempuan) dan anak khunsa
mendapat sepertiga (1/3) bagian. Jika terdapat hal semacam ini, maka warisan itu
hanya boleh diberikan kepada masing-masing ahli waris dengan jumlah bagian yang
paling sedikit.

7
Bagia A
Ahli Waris Harta Warisan Penerimaan
n M
Rp12.000.000,
6
.
Anak 3/6x12.000.00
1/2 3 6.000.000
Laki2 0
Anak 2/6x12.000.00
1/2 2 4.000.000
Khunsa 0
Jumlah 10.000.000

Sisa yang seperenam (1/6) atau Rp2.000.000,- ditahan untuk sementara, sehingga
dapat dihukumkan apabila khunsa itu lakia-laki atau perempuan. Jika ternyata
kemudian dia laki-laki, maka sisa itu diberikan kepadanya untuk mencukupkan
bagiannya seperdua (1/2). Apabila ternyata kemudian perempuan, maka sebagian
lagi diberikan kepada anak laki-laki untuk mencukupi bagiannya dua pertiga
(2/3). Walaupun demikian, apabila harta itu hendak dibagi juga, boleh dilakukan
dengan jalan perdamaian dia antara sesame mereka.8

8 Dr. Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Depok: Pt. Grafindo Persada, 2014) Hlm 88-89

8
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Khunsa ialah seseorang yang mempunya dua alat kelamin, disamping di samping dia
mempunyai penis atau zakar ia juga mempunyai vagina atau faraj. Khunsa ini banyak di
bicarakan dalam kitab-kitab fiqih karena dalam kenyataaannya memang sering terjadi.
2. Khunsa dibagi menjadi dua macam yaitu, Pertama khunsa yang bukan muskil yaitu
khunsa yang melalui alat yang ada dapat di pastikan jenis kelaminnya. Bila melalui tanda
yang ada di pastikan dia adalah laki-laki, maka alat kelamin yang satu lagi adalah alat
kelamin tambahan. Dan begitu pula sebaliknya. Kedua, khunsa yang musykil yaitu
manusia yang dalam bentuk tubuhnya ada keganjilan, tidak dapat di ketahui apakah dia
laki-laki atau perempuan, karena tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan
kelakilakiannya atau keperempuannya, atau samar-samar tanda-tanda itu, khunsa yang
dengan segala macam cara pembuktian tidak dapat di tentukan jenis kelaminnya.
3. Para ulama faraidh menetapkan, bahwa para ahli waris khunsa muykil itu hanya
berjumlah tujuh orang dan tercakup dalam empat kelompok yaitu: Garis Anak (Jihat
Bunuwah), Garis Saudara (Jihat Ukhuwah), Garis Paman (Jihat ‘Ummah), Perwalian
Budak (Jihat Wala’)
4. Bagian waris bagi khunsa menurut para ulama. Pendapat pertama, yaitu pendapat Ibnu
Abbas yang kemudian diikuti Ahmad, Al-Sya’bi, Ibnu Abi Laila, Al-Tsauri, Ahli Madinah
dan Mekkah, Abu Yusuf, Syareik, al-Lu’lu dan beberapa ulama lainnya, bahwa kunsa
musykil ini menerima hak separuh hak laki-laki dan perempuan, Pendapat kedua, yaitu
pendapat Abu Hanifah dan para pengikutnya, bahwa khunsa musykil itu menerima
jumlah minimum dari kemungkinannya sebagai laki-laki atau ia perempuan, Pendapat
ketiga, yaitu pendapat Imam Syafi’I dan diikuti oleh Abu Tsaur, Daud, dan Ibnu Jarir,
bahwa khunsa musykil dan orang yang bersamaannya mendapat yang menyakinkan

9
sampai ada kepastian jenis kelaminnya atau sampai mereka bersama memutuskan secara
damai.

B. Kritik dan Saran


Demikian makalah yang dapat kami susun, semoga menambah wawasan ilmu
pengetahuan bagi kita semua. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
banyak sekali kekurangan, maka kami mengharapkan kritik dan saran yang dapat membantu
penyempurnaan pembuatan makalah selanjutnya, terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shabuni , Syaikh Muhammad Ali. 1994. Hukum Waris. Solo : Anggpta

IKAPI.

Ash-shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 1996 Fiqih Mawaris.Semarang :

PT. Pustaka Rizki Putra.

Mardani. 2014. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Depok: Pt. Grafindo

Persada.

Muhibbin, Moh dan Abdul Wahid. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta :

Sinar Grafika.

Syarifudin, Amir. 2011. Hukum Kewarisan. Jakarta:Prenadamedia Group.

Yani, Achmad. 2016. Faraidh & Mawaris. Jakarta : Kencana.

10

Anda mungkin juga menyukai