Anda di halaman 1dari 10

KHUNTSA MUSYKIL DALAM WARISAN DAN KETENTUAN PENYELESAIANNYA

OLEH

AMMAR AAN FAUZI HARAHAP 2110200031

DOSEN PENGAMPU

Drs. NUR KHOLIDAH, M. Ag

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM

UIN SYEKH ALI HASAN AHMAD ADDARY

PADANGSIDIMPUAN

T.A. 2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hukum kewarisan yang berlaku Indonesia begitu unik. Bagaimana tidak, sampai saat ini
Indonesia masih memberlakukan tiga sistem hukum waris sekaligus, yakni hukum waris
menurut adat, hukum waris menurut perdata barat (Burgerlijk Wetboek) dan hukum waris
menurut Islam. Di dalam pluralisme hukum waris tersebut, ternyata hukum waris Islam
masih mempunyai variasi tentang cara pembagian harta warisan kepada ahli waris
berdasarkan tiga mazhab, yakni Bilateral Hazairin, Patrilineal Syafi’i dan Kompilasi
Hukum Islam. Hal ini dapatlah dikatakan bahwa di dalam hukum kewarisan Islam yang
berlaku di Indonesia masih terdapat pluralisme.

Meskipun demikian, ketiga mazhab tersebut tidak sepenuhnya selalu berbeda pendapat
dalam segala hal. Adapun salah satu persamaan dari ketiga mazhab tersebut adalah
menentukan besar bagian harta waris yang akan diterima oleh ahli waris berdasarkan
jenis kelamin. Misalnya, dalam hal ahli waris yang terdiri dari anak laki-laki dan anak
perempuan, maka anak laki-laki akan mendapatkan bagian dua kali lebih besar daripada
anak perempuan. Namun hal ini akan menjadi kendala pada saat ahli waris yang tampil
adalah seorang khuntsa musykil.

Khuntsa musykil adalah seorang sulit diidentifikasi jenis kelaminnya akibat berkelamin
ganda. Hal ini tentu saja akan berimbas pada sulitnya menentukan bagian yang akan
diterima oleh orang tersebut beserta ahli waris lain yang terkait mengingat harta warisan
harus segera dibagi. Di samping itu, harus memperhatikan Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
menyatakan bahwa hakim tidak diperkenankan untuk menolak perkara dengan alasan
belum ada dasar hukumnya, maka Hakim perlu melakukan Ijtihad guna menyelesaikan
masalah tersebut. Melalui makalah ini, penulis akan melakukan suatu penelusuran
mengenai bagaimana kedudukan khuntsa musykil dalam suatu peristiwa mewaris, dan
berapa harta waris yang akan diperoleh bagi dirinya, sehingga dapat pula digunakan
sebagai alternatif untuk menyelesaikan permasalahan mengenai perolehan harta warisan
bagi khuntsa musykil dalam suatu peristiwa mewaris.
B.
B. Perumusan Masalah
1. Apa pengertian dari hukum waris yang ditinjau dari perspektif hukum Islam?
2. Bagaimana hukum waris Islam menempatkan khuntsa musykil dalam suatu
peristiwa mewaris?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian hukum waris yang ditinjau dari perspektif hukum
Islam
2. Untuk mengetahui bagian harta warisan bagi khuntsa musykil dalam peristiwa
mewaris yang ditinjau dari hukum waris Islam.
BAB II

KHUNTSA MUSYKIL DALAM WARISAN DAN KETENTUAN PENYELESAIANNYA

A. Pengertian Waris Menurut Hukum Islam


Kata waris (mawaris) berasal dari bahasa Arab Al-miirats, yang artinya adalah
harta peninggalan orang yang telah meninggal dunia yang diwariskan kepada ahli
warisnya.1 Sedangkan ilmu yang mempelajari mengenai warisan disebut ilmu mawaris
atau lebih dikenal dengan istilah fara’id. Kata fara’id merupakan bentuk jamak dari kata
faridho yang diartikan oleh para ulama’farridiyun semakna dengan kata mafrudah, yang
artinya adalah bagian yang telah ditentukan kadarnya.2 Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa ilmu faraid adalah ilmu untuk mengetahui orang yang berhak
menerima harta warisan, orang yang tidak dapat menerima harta warisan, kadar atau
jumlah yang dimiliki masing-masing pewaris, dan pembagiannya.

Sedangkan secara terminologi kewarisan dapat diartikan sebagai hokum yang


mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui
bagianbagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak
menerimanya. Dengan demikian secara garis besar definisi hokum waris yaitu hukum
yang mengatur segala sesuatu tentang perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang
kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup dengan
memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.

B. Perihal Khuntsa dan Haknya dalam Mewaris Menurut Hukum Waris Islam
Ilmu fiqh skolastik hanya mengenal dua kategori, yakni laki-laki dan perempuan.
Meskipun Islam sendiri disisi lain mengenal pula kategori khuntsa dan mukhannits atau
mukhannats, akan tetapi Al-Qur’an tidak menyebut kategori tersebut.3 Disisi lain, jenis
kelamin seseorang sangat penting kaitannya dengan lter waris Islam. Mengingat ketiga
mazhab pembagian waris menurut lter Islam pun membedakan hak bagi laki-laki dan
perempuan yang menjadi ahli waris. Hal ini akan menjadi kendala apabila terdapat ahli
waris yang tidak diketahui atau tidak jelas jenis kelaminnya (khuntsa).

Kata khuntsa berasal dari kata ‫ خنث‬yang artinya lemah atau pecah, jamaknya dari
wazan ‫ فعل‬menjadi lafadz ‫ خنث‬.Sedangkan istilah al-khuntsa diambil dari kata dasar al-
khanats yang artinya lembut atau lunak. Sebagaimana dikatakan ‫ خنثوتخنث‬yang berarti
seorang laki-laki yang berbicara, berjalan, atau berpakaian dengan lembut, lunak, atau
1
Muhammad Ali ash-Sahabuni, Al-Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyyah ‘Ala Dhau’ Al-Kitab wa Sunnah.
Terj. A.M. Basalamah “Pembagian Waris Menurut Islam”, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal.33
2
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hal.11
3
Moh Yasir Alimi. Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama,
(Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2004), hal.12
lemah gemulai seperti cara perempuan berbicara, berjalan, dan berpakaian.4 Meskipun
masyarakat mempunyai penilaian tertentu terhadap seseorang yang disebut khuntsa,
sebenarnya Allah mengetahui bahwasanya orang tersebut laki-laki atau perempuan. Pada
dasarnya Allah tidak pernah menciptakan seseorang dengan setengah laki-laki maupun
setengah perempuan, Melainkan seseorang yang seutuhnya laki-laki maupun seseorang
yang seutuhnya perempuan saja. Dalam QS. Al-Lail : 3, Allah berfirman:
َّ ۙ‫ااۡل ُ ۡن ٰثٓى‬
َ َ‫الذ َك َر َخل‬
‫ق َو َما‬
Artinya: Demi Tuhan yang menjadikan laki-laki dan perempuan.

Sebenarnya manusialah yang menentukan status seorang khuntsa yang entah itu
laki-laki ataukah perempuan, sehingga para fuqaha membagi khuntsa menjadi dua
macam, yakni:
1. Khuntsa Musykil, yaitu orang yang mempunyai alat kelamin ganda, jika ia
membuang air kecil melewati kedua alat kelaminnya secara bersama-
sama.
2. Khuntsa Ghairu Musykil, yaitu orang yang mempunyai alat kelamin
ganda, akan tetapi statusnya sudah diketahui bahwa ia statusnya laki-laki
ketika membuang air kecinya lewat dzakar atau ia statusnya perempuan
ketika membuang air kecilnya lewat farji.

C. Cara-cara Untuk Menentukan Besarnya Bagian yang Akan Diterima Oleh Seorang
Khuntsa
Adapun cara-cara untuk menentukan besarnya bagian yang akan diterima oleh
seseorang khuntsa adalah sebagai berikut:
a) Menemukan kejelasan jenis kelamin dari khuntsa tersebut, yakni dari jenis
kelamin yang dominan, akan tetapi apabila sulit untuk menentukan jenis kelamin
yang dominan dari orang yang bersangkutan, maka para ahli lter Islam sepakat
dengan cara mengidentifikasi indikasi fisik yang dimiliki oleh yang bersangkutan
(bukan penampilan psikis atau kejiwaannya). Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah SAW dalam hadist riwayat Ibnu Abbas, yakni “Berilah harta warisan
anak khuntsa dari mana pertama lewat ia membuang air kecilnya”.
b) Meneliti tanda-tanda kedewasaannya. Pada umumnya antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan terdapat tanda-tanda kedewasaan yang khas, misalnya
dari tumbuhnya jenggot, kumis, perubahan suara atau tumbuhnya buah dadanya.
Apabila tanda-tanda ini diketahui dengan jelas, maka khuntsa tersebut
digolongkan kepada jenis kelamin yang memiliki tanda-tanda khas tersebut.
Seandainya apa yang diungkapkan dalam poin 1 dan 2 tidak dapat
ditentukan atau samarsamar, maka para ahli lter Islam tidak ada kesepakatan

4
Muhammad Ali Al-sabouni, Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur’an dan Sunnah, (Jakarta: Dar AlKutub
Al-Islamiyyah., 2005), hal. 227.
bagaimana cara untuk menentukannya, sehingga dalam hal ini lahir beberapa
pendapat dari berbagai mazhab:5
a) Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa khuntsa musykil mendapat harta warisan
yang kurang dari bagian yang seharusnya diberikan kepada ahli waris laki-laki
dan perempuan. Hal ini didasarkan pada khuntsa tersebut dapat diduga sebagai
laki-laki maupun perempuan. Maka bagian yang paling sedikit di antara dua
bagian tersebutlah yang akan diberikan kepadanya. Pendapat ini juga merupakan
salah satu pendapat Imam Syafi’I rahimahullah dan pendapat kebanyakan sahabat
Rasulullah saw.
b) Mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa seluruh ahli waris termasuk khuntsa
musykil mendapat harta warisan kurang dari bagian yang semestinya, karena
bagian tersebutlah yang diyakini sebagai bagian masing-masing ahli waris. Sisa
harta warisan dibekukan atau tidak dibagikan untuk sementara waktu hingga jelas
keadaan khuntsa tersebut.
c) Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa khuntsa musykil diberi bagian
pertengahan dari dua bagian. Sehingga harus melalui perhitungan harta warisan
dalam dua tahap. Lalu kedua bagian itu disatukan dan dibagi dua. Hasil itulah
yang menjadi bagian khuntsa musykil.

D. Contoh Kasus
Apabila Malik meninggal dunia, dengan meninggalkan ibu yang bernama
Raudah, anak perempuan yang bernama Melati, anak khunsa musykil yang bernama
Maryam dan istri yang bernama Sarah. Harta waris yang dimiliki oleh Malik yang sudah
bersih dari segala tanggungan adalah sebesar Rp. 7.200.000,00. Maka, bagian masing-
masing ahli waris adalah:

Raudah

Sarah P

Melati ⁇ Maryam

5
Suhrawardi K. Lubis Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal 71-72
Menurut pendapat yang paling kuat, khuntsa mendapat bagian harta warisan bil
adharr (yang kurang dari hak semestinya), sehingga harus ditinjau dengan dua ketentuan,
yakni bagian lakilaki dan bagian perempuan. Tata cara pembagian harta waris ini
dilakukan melalui dua tahap. Pada tahap pertama khuntsa dianggap sebagai laki-laki dan
pada tahap kedua, dia dianggap sebagai perempuan. Harta waris yang akan khuntsa
terima nantinya adalah kurang dari pada hak yang semestinya tersebut. Adapun selisih
pembagian untuk sementara waktu dibekukan hingga jelas keadaannya, ataupun para ahli
waris itu berdamai menentukan bagiannya itu. Pendapat ini yang dimaksudkan untuk
memberi bagian yang meyakinkan. Adapun sisa harta ditangguhkan terdahulu sampai
menjadi jelas.6 Bila khuntsa ini wafat maka selisih bagiannya itu diberikan kepada ahli
warisnya. Keberadaan khuntsa dapat me-mahram-kan atau me-mahjub-kan salah seorang
ahli waris, baik dengan menganggapnya sebagai laki-laki maupun perempuan. Apabila
terjadi demikian, maka gugurlah hak ahli waris yang terhijab oleh khuntsa tersebut.16
Inilah pendapat yang mu’tamad dalam mazhab Syafi’I sebagaimana diisyaratkan oleh
penyusun kitab Manzhumah Ar-Rahabiyyah sebagai berikut: “jika dalam urutan para ahli
waris terdapat khuntsa yang jelas-jelas musykil Maka berilah ia bagian yang kurang dari
semestinya. Dengan demikian engkau telah melakukan pembagian dengan cara yang
benar dan jelas.”

Penyelesaian Kasus:
2) Tahap Pertama
•Perkiraan laki-laki Sarah(Istri) sebagai zul-faraid mendapat bagian 1/8 x Rp.
7.200.000,00 = Rp. 900.000,00. Raudah (Ibu) sebagai zul-faraid mendapat bagian 1/6 x
Rp. 7.200.000,00 = Rp. 1.200.000,00. Melati (anak perempuan) dan Maryam (anak
khuntsa musykil) sebagai asabah bil ghairi mendapat bagian sisa
Bagian sisa = 1 – (1/8 + 1/6)
= 1 – (3/24 + 4/24)
= 1 – 7/24 = 17/24 untuk Jeni dan Maryam dengan pembagian 1 :2

Melati = (1/3 x 17/24) x Rp. 7.200.000,00


= 17/72 x Rp. 7.200.000,00 = Rp. 1.700.00,00

Maryam = (2/3 x 17/24) x Rp. 7.200.000,00

= 34/72 x Rp. 7.200.000,00


= Rp. 3.400.000,00

Harta = Rp 7.200.000,00 – (Rp. 900.000,00 + Rp. 1.200.000,00 +


Rp.1.700.000,00 + Rp. 3.400.000,00)

= Rp. 7.200.000,00 – Rp. 7.200.000,00


6
Ahmad Rofiq, Fiqih Mowaris, (Jakarta: Bulan Bintang), h. 138
= Rp. 0,00

• Perkiraan Perempuan

Sarah (Istri) sebagai dzul-faraid mendapat bagian 1/8 x Rp. 7.200.000,00 = Rp.
900.000,00. Raudah (Ibu) sebagai dzul-faraid mendapat bagian 1/6 x Rp. 7.200.000,00 =
Rp. 1.200.000,00. Melati (anak perempuan) dan Maryam (anak khuntsa musykil) sebagai
dzul-faraid mendapat bagian secara berserikat sebesar 2/3 x Rp. 7.200.000,00 = Rp.
4.800.000,00. Dengan ketentuan, = ½ x Rp. 4.800.000,00 = Rp. 2.400.00,00 dan
Maryam = ½ x Rp. 4.800.000,00 = Rp. 2.400.000,00.

Harta = Rp. 7.200.000,00 – (Rp. 900.000,00 + Rp. 1.200.000,00 + Rp.


2.400.000,00 + 10 Rp. 2.400.000,00)

= Rp. 7.200.000,00 – Rp. 6.900.000,00

= Rp. 300.000,00

2) Tahap ke-2

Sisa sebesar Rp. 300.000,00 tersebut ditangguhkan atau diselesaikan menurut


kesepakatan ahli waris.

Kompilasi Hukum Islam belum mengatur mengenai pembagian harta warisan


untuk khuntsa musykil. Namun, dengan memperhatikan Pasal 10 ayat (1) UU
No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa,
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa lter tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”, oleh sebab itu
Hakim dapat menggunakan alternative penyelesaian di atas.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Hukum waris menurut tinjauan Islam yaitu hukum yang mengatur segala sesuatu tentang
perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal
dunia kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam
mewarisi. Adapun rukun mewaris adalah Pewaris/muwarrist, Ahli waris/al-waris dan
Harta warisan/almaurust. Sedangkan syarat-syarat mewaris adalah meninggalnya
seseorang (pewaris) baik meninggal secara hakiki, hukmi maupun takdiri; pemindahan
hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar
masih hidup; seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-
masing.

Khuntsa adalah orang yang mengalami ketidakjelasaan kelamin karena mempunyai dua
jenis kelamin sekaligus. Meskipun demikian, sekalipun khuntsa tersebut berkelamin
ganda, ia tetap berhak untuk menjadi ahli waris dan berhak menerima warisan. Menurut
pendapat yang paling kuat dan mu’tamad dalam mazhab Syafi’i sebagaimana
diisyaratkan oleh penyusun kitab Manzhumah Ar-Rahabiyyah, khuntsa mendapat bagian
harta warisan yang kurang dari hak semestinya. Adapun tata cara pembagian harta waris
ini dilakukan melalui dua tahap. Pada tahap pertama khuntsa dianggap sebagai laki-laki
dan pada tahap kedua dia dianggap sebagai perempuan. Harta waris yang akan khuntsa
terima nantinya adalah kurang dari pada hak yang semestinya tersebut. Adapun selisih
pembagian untuk sementara waktu dibekukan hingga jelas keadaannya, ataupun para ahli
waris itu berdamai menentukan bagiannya itu.

DAFTAR PUSTAKA
Alimi, Moh Yasir. 2004. Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: Dari Wacana Bangsa Hingga
Wacana Agama. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta.

Al-sabouni, Muhammad Ali. 2005. Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur’an dan Sunnah, Jakarta:
Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah.

Ash-Sahabuni, Muhammad Ali. 1995. Al-Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyyah ‘Ala Dhau’
AlKitab wa Sunnah. Terj. A.M. Basalamah “Pembagian Waris Menurut Islam”. Jakarta:
Gema Insani Press. Hasan,

M. Ali. 1996. Hukum Warisan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Rofiq, Ahmad. 2000. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT . Raja Grafindo Persada.

Simanjuntak, Suhrawardi K. Lubis Komis. 2008. Hukum Waris Islam. Jakarta : Sinar Grafika.

Umam, Dian Khairul. 1999. Fiqih Mawaris. Bandung: CV Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai