PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAAN
A. Pengertian khuntsa
Allah Swt telah menciptakan manusia sepasang lakilaki dan perempuan.
Adapun salah satu hikmah penciptaan itu adalah agar manusia dapat melahirkan
keturunannya. Allah Swt berfirman:
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia
kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki
dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. atau Dia
menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang
dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS. Asy-Shura (42) ayat 49-
50) .
Selain itu dalam ayat lain juga dinyatakan bahwa Allah telah menjadikan anak
Adam As dengan dua jenis yang berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan. Setiap anak
Adam dari kedua jenis ini mempunyai kelamin masingmasing dan tanda-tanda
khusus. Apabila seorang anak Adam dilahirkan dengan ciri-ciri laki-laki dan
perempuan atau tidak memiliki tanda-tanda khusus sebagaimana lakilaki atau
perempuan, maka dia dinamakan khuntsa. Khuntsa menurut bahasa diambil dari
lafadh AlKhanatsa yaitu lemah dan pecah. Dikatakan khanatsa dan takhanatsa apabila
tutur katanya lemah lembut mirip tutur kata perempuan, atau cara berpakaian dan
berjalan serupa dengan perempuan.
Muhammad bin Yasar menceritakan padaku, ghundar menceritakan kepadaku,
Su‟bah menceritakan kepadaku, dari Qatadah dari ‟Ikrimah, dari Ibn Abbas r.a, dia
berkata Rasulullah Saw melaknat laki-laki yang menyerupakan diri sebagai
perempuan dan wanita yang menyerupakan diri sebagai laki-laki, Amr mengikutinya
dan Su‟bah menceritakan padaku. (HR. Imam Bukhari).1
Sedangkan Khuntsa menurut istilah Seseorang yang mempunyai alat kelamin
pria dan alat kelamin wanita, atau tidak mempunyai kedua alat kelamin tersebut.
Dalam hal semacam ini statusnya tidak jelas apakah laki-laki atau perempuan. Orang
yang demikian dinamakan “khuntsa musykil” (banci yang sulit ditentukan alat
kelaminnya) Yang menimbulkan ke-musykilan, karena pada dasarnya manusia itu
statusnya adalah laki-laki atau perempuan, yang masing-masing status mempunyai
hukum tertentu. Laki-laki dapat dibedakan dari perempuan dengan adanya alat
kelamin kelaki-lakiannya. Oleh sebab itu, apabila seseorang mempunyai dua alat
kelamin, atau tidak mempunyai sama sekali, akan menimbulkan ke-musykilan dan
statusnya tidak jelas. Kemusykilan itu kadang-kadang lenyap setelah melihat cara
buang air kecil (kencing). Jika ia buang air kecil dari kelamin laki-lakinya, maka ia
dihukumi sebagai laki-laki dan dalam bagian warispun berstatus sebagai laki-laki,
demikian pula sebaliknya. Namun apabila buang air kecilnya itu dari kedua alat
kelaminnya, serta tidak diketahui mana yang terlebih dahulu keluar, maka status
orang tersebut tetap dikatakan “khuntsa musykil” (banci musykil), dan ditunggu
sampai ia telah mencapai usia baligh, apabila ia ber-ihtilam (mimpi dan keluar mani)
sebagaimana laki-laki dan lebih cendrung menyenangi perempuan, atau tumbuh
jenggot, maka ia berstatus lakilaki. Namun bila payudaranya nampak membesar atau
haidl, dan lebih cendrung menyenangi laki-laki, maka ia berstatus sebagai perempuan.
Jika tanda-tanda itupun tidak nampak, maka ia tetap berstatus khuntsa musykil.2
Pendapat M. Ali Hasan dalam bukunya yang berjudul hukum warisan dalam
Islam di jelaskan bahwa khuntsa ( )خنثيialah: orang yang mepunyai dua alat kelamin
1
Www.Lidwa.Com, Shahih Bukhari, Hadits no. 5885
2
Muhammad Ali As-Shabuni, Hukum Waris dalam Syariat Islam, Alih Bahasa M. Samhuji Yahya (Bandung: CV
Diponegoro, 1995), h. 219
atau tidak mempunyai kedua alat tersebut. Hanya ada sesuatu lobang yang tak sama
dengan alat tersebut.3
Salah satu cara memastikannya adalah dengan pemeriksaan oleh dokter atau
atas pengakuan dari yang bersangkutan, seperti: keluar sperma, menstruasi (datang
bulan), atau dengan melihat ciri-ciri kedewasaannya yang memperlihatkan seperti
laki-laki atau seperti perempuan.
Muchlis Maruzi mendefinisikan al-khuntsa adalah orang yang diragukan jenis
kelaminnya apakah ia lakilaki ataukah perempuan. karena jika dikatakan sebagai laki-
laki ia mirip perempuan, tetapi kalau dinyatakan perempuan ia mirip laki-laki.4
3
M. Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 112
4
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris (Jakarta: PT Raja Graf indo Persada, 2001), hal 170
Saw. Ditanya tentang kewarisan anak yang mempunyai sifat tersebut, maka beliau
menjawab: “dilihat dari cara ia buang air kecil”.5
Abu Bakar Ahmad bin Husein bin Ali Baihaqi dalam kitabnya Sunan Al-
Kubro menjelaskan bahwa pada zaman Nabi Muhammad Saw sudah ada khuntsa
yang dikenal namanya antara lain Hita, Matik, dan Hinaba. Khuntsa di zaman Nabi
Saw ada yang memang asli dan ada yang buat-buatan. Khuntsa asli pada umumnya
tingkah lakunya kelihatan tidak membahayakan kepada kaum wanita, dan oleh sebab
itu istri-istri Nabi menganggap mereka sebagai ghairu ulil irbah (tidak punya
syahwat). Namun meski begitu Nabi melarang mereka bebas masuk dan bergaul
dengan kaum wanita dan antara mereka harus ada hijab atau tabir. Bagi mereka yang
tidak mematuhi, oleh Nabi dilarang masuk dan tidak boleh kembali kecuali sekali
dalam seminggu yaitu setiap hari sabtu untuk menerima jatah makan, selebihnya
mereka hidup di badiyah (perkampungan terpencil).6
5
Ibid., hal. 219
6
Abu Bakar Ahmad bin Husein bin Ali Al-Baihaqi, Sunan AlKubro, Juz 8, (Beirut: Al-Ikhlas, 1995), h. 234
7
Hasybi Al-Shidiqy, Fiqh Al-Mawarits (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 280
8
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Penerjemah, Abdul Hayyie Al-Kattani, et. al (Jakarta: Gema
Insani, 2011), h. 485
para faradhiyun setelah mengadakan penyelidikan, menetapkan bahwa para ahli
waris khuntsa musykil yang menimbulkan ke-musykilan dalam penyelesaian mawaris
itu hanya berjumlah 7 orang dan tercakup dalam empat jihat sebagai berikut:
1. Jihat Bunuwah (garis anak)
Para ahli waris khuntsa musykil yang tergabung dalam jihat bunuwah ini ada 2
orang, yaitu anak dan cucu.
2. Jihat Ukhuwah (garis saudara)
Mereka yang tergabung dalam jihat ukhuwah ada 2 orang yakni saudara dan
anak saudara, yaitu kemenakan
3. Jihat ‘Umumah (garis paman)
Para ahli waris khuntsa musykil dari garis paman ada 2 orang, yakni paman
dan anak paman (saudara sepupu)
4. Jihat Wala’ (perwalian budak)
Ahli waris yang khuntsa musykil dari golongan ini hanya seorang saja yakni
maulal-mu‟tiq (tuan yang telah membebaskan budaknya).
Selain 7 orang tersebut di atas, tidak ada. Suami, isteri, ayah, ibu, kakek dan
nenek tidak mungkin mereka sebagai khuntsa musykil. Sebab nikah mereka
tidak sah dan tidak dapat mengadakan hubungan biologis sebagai media
adanya keturunan. Andai kata ada mereka bukan musykil lagi.9
9
Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1981 ), hal. 484
bagian laki-laki dijumlahkan dengan bagian perempuan, lalu dibagi dua, hasilnya
merupakan bagian khuntsa.10
Ketiga, Mazhab Hambali mempunyai dua pendapat mengenai kondisi al-
khuntsa. Pertama, kondisi di mana kejelasan status al-khuntsa masih bisa diharapkan
kondisi ini terjadi ketika al-khuntsa masih kecil. Oleh karena itu, dia dan ahli waris
lainnya diberikan bagian yang paling kecil, dan sisa harta waris ditangguhkan
pembagiannya sampai status al-khuntsa jelas. Jika statusnya sudah jelas dan ia berhak
mendapatkan sisa, maka sisa itu diberikan kepadanya. Namun jika tidak, harta yang
ditangguhkan itu diberikan kepada ahli waris yang lainnya. Kedua, kondisi di mana
kejelasan status al-khuntsa tidak bisa diharapkan lagi, misalnya karena ia meninggal
sewaktu kecil atau sudah baligh, namun tidak terlihat ciri-ciri seorang laki-laki atau
perempuan. Dalam keadaan ini, dia diberi setengah dari bagiannya, jika dia dianggap
laki-laki atau perempuan. 11
Berikut Contoh kewarisan khuntsa musykil:
1. Pendapat pertama, Khuntsa al-musykil diberi bagian terkecil dari dua
perkiraan laki-laki atau perempuan, dan bagian terbesar diberikan kepada ahli
waris yang lain. Ini adalah pendapat imam Hanafi, Muhammad Al-syaibani
dan Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya.
Jadi, misalnya setelah dihitung bagian khuntsa menurut perkiraan perempuan
bagiannya lebih sedikit daripada perkiraan laki-laki, maka bagian yang
diberikan kepadanya adalah bagian perempuan. demikian juga sebaliknya, jika
yang lebih sedikit adalah bagian perkiraan laki-laki, maka bagian itulah yang
diberikan kepada si khuntsa. Contohnya sebagai berikut: Apabila seorang
meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari, bapak, anak perempuan, anak
khuntsa musykil dan ibu. Harta warisannya sejumlah Rp. 36.000.000,- bagian
masing-masing adalah:
Tabel 1
Perkiraan khuntsa laki-laki
10
Muhammad Ali As-Shabuni, Hukum Waris dalam Syariat Islam, Alih Bahasa M. Samhuji Yahya (Bandung: CV
Diponegoro, 1995), h. 221
11
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Penerjemah Addys Al-Dizar dan Fathur
rahman, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004, h.395
Ahli waris Bagian Asal Harta warisan Rp. Bagian masing
masalah 6 36.000.000,- masing
Bapak 1/6 1/6 x 6 = 1 1/6 x Rp. Rp. 6.000.000
36.000.000
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1 1/6 x Rp. Rp. 6.000.000
36.000.000
Anak pr Ashabah 4 4/6 x Rp. Rp. 24.000.00
Anak lk2 bil ghairi 36.000.000
Jumlah Rp.
36.000.000
Khuntsa musykil yang di perkirakan laki-laki menerima bagian dua kali bagian
perempuan, atau 2/3 x Rp. 24.000.000,- = Rp. 16.000.000,- Dan anak
perempuan menerima bagian 1/3 x Rp. 24.000.000,- = Rp. 8.000.000,-
Tabel 2
Perkiraan khuntsa perempuan
Jadi bagian terkecil dari dua perkiraan diatas adalah bagian perempuan Rp.
12.000.000,-. Sementara bagian ibu Rp. 6.000.000,- anak perempuan Rp.
12.000.000,-dan bapak sebesar Rp. 6.000.000,-
2. Pendapat kedua, memberikan separoh dari dua perkiraan laki-laki dan
perempuan kepada khuntsa musykil dan ahli waris lain. Pendapat ini
dikemukakan oleh fuqaha Malikiyah, Hanabilah dalam Satu pendapatnya,
Syi‟ah Zaidiyah dan syi‟ah imamiyah. Satu riwayat menyebutkan bahwa Qadi
Abu Yusuf dalam satu pendapatnya setuju dengan pendapat ini. Dengan
demikian apabila pendapat kedua ini diselesaikan menurut contoh pada
pendapat pertama penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
Tabel 3
Penyelesaian kewarisan khuntsa musykil
menurut pendapat imam Maliki
2 Masing-masing
Anak khuntsa Rp.16.000.000 + ahli waris
Rp.12.000.000 Rp. 14.000.000 memperoleh:
2 Bapak
memperoleh Rp.
Jumlah Rp. 36.000.000
6.000.000,- Ibu
memperoleh Rp. 6.000.000,- Anak pr memperoleh Rp. 10.000.000,- Anak khuntsa +
Rp. 14.000.000,- = Rp. 36.000.000,-
Menurut pendapat yang rajih, khuntsa diperlakukan (diberi warisan) dengan cara
tidak menguntungkan, yaitu memandang mereka sebagai bagian antara laki-laki dan wanita,
yakni mempunyai dua kemungkinan ia diberi bagian sebagai laki-laki dan perempuan.
Kemudian ia diberi bagian yang lebih sedikit dari dua kemungkinan itu. Sisa harta ditunda
sehingga statusnya menjadi jelas atau disepakati oleh para ahli waris. Apabila khuntsa-nya
meninggal, maka bagian warisnya diserahkan kepada ahli waris.
Yang dimaksud diperlakukan tidak menguntungkan ialah: khuntsa
tersebut mendapat waris dengan berbagai kemungkinan: apabila ia
diperlakukan sebagai ahli waris perempuan akan mendapat bagian yang lebih
sedikit, maka perlakukanlah ia sebagai perempuan. Dan jika ia diperlakukan
sebagai ahli waris laki-laki akan mendapat bagian yang lebih sedikit, maka
perlakukanlah sebagai laki-laki.
12
Pt Cordoba internasional indonesia , Al-Qur‟an Cordoba, Penanggung jawab materi, Andi Subarkah,
( Bandung : 2012 ), cet 1 h. 78.
perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. ( QS. An Nisa : 12 )
Dari ayat diatas, secara zahir dapat diketahui bahwa jika seseorang
meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggal ayah dan tidak
meninggal anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki ( seibu ) atau seorang
saudara perempuan ( seibu ), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka
mereka bersama-sama dalam sepertiga itu. Begitu juga dengan anak zina. Jika ia
tidak mempunyai anak, namun mempunyai seorang saudara se-ibu baik laki-laki
maupun perempuan, maka ia mendapatkan seperenam. Kemudian jika anak hasil zina
itu mempunyai saudara seibu lebih dari seorang, maka mereka mendapatkan bagian
sebesar sepertiga dari harta warisan yang ditinggalkan.
Artinya : Dari ibnu Abbas Ra, Dari nabi Saw, ia berkata : Berikanlah Faraidh
(bagian yang telah ditentukan dalam alquran) kepada yang berhak dan sisanya
berikanlah kepada keluarga laki-laki yang terdekat. ( HR. Bukhari dan Muslim ).13
Hadits Nabi Saw yang diriwayatkan dari ibnu Abbas ra menunjukkan perintah
untuk memberikan harta warisan kepada yang berhak. Dalil-dalil tersebut diatas,
secara umum telah menjelaskan mengenai pembagian harta warisan orang yang
meninggal dunia itu adalah anak sah maupun anak Li’an atau anak hasil zina.
Sedangkan dalil yang mengkhususkan keumuman ayat dan hadits diatas, yaitu nabi
saw :
13
Hadits Shahih, Al Bukhari, Shahih al Bukhari, ( Qahirah : Dar Ibnu al Hisyam, 2004 ), cet. Ke-1, h. 785.
Artinya : ”Dalam hadits suami istri yang bermula‟anah yang diriwayatkan
oleh Sahal bin Sa‟id itu, sahal berkata : Bahwa perempuan tersebut sedang hamil,
sedang anak dibangsakan kepada ibunya. Maka menurut sunnah ( cara ) yang berlaku,
bahwa anak tersebut menjadi ahli waris dari ibunya dan ibunya menjadi ahli waris
dari anaknya menurut apa yang telah ditetapkan allah. ( HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits diatas mengkhususkan keumuman dalil-dalil sebelumnya, sehingga
meskipun seseorang yang meninggal dunia itu mempunyai bapak, namun jika ia
adalah seorang anak Li‟an atau anak hasil zina maka yang berhak mewarisi harta
peninggalannya hanya ibunya saja. Hal ini juga dijelaskan didalam hadits nabi saw.
14
At Tirmidzi, Sunan At Tirmidzi, ( Beirut : Darul Fikr, 1994 ), juz 4, h. 38.
15
Muhammad Nashiruddin al Albhani, Shahih Sunan at Tirmidzi, penerjemah: Fachrurazi, ( Jakarta :Pustaka
Azzam, 2006 ), Jilid 2, cet. Ke-1, h. 639.
dasar ketentuan syari‟at, jika melakukannya dengan cara maksiat hal itu tidak lebih
dari sekedar reproduksi biasa bukan merupakan nasab yang benar, sehingga tidak bisa
masuk dalam ayat tahrim81. Maksudnya tidak ada pengaruh dalam masalah hubungan
haram dan tidak haram untuk menikah juga tidak berakibat adanya keawjiban „iddah
sehingga seorang wanita wanita yang hamil bukan karena menikah melainkan karena
kasus Married by accident maka untuk menikah tidak perlu untuk menunggu lahir
anaknya.
Dalam hal batas masa kehamilan para Fuqaha dari Mazhab manapun bahkan
dari golongan Syi‟ah telah sepakat bahwa batas minimal masa kehamilan adalah
enam bulan. Batas minimal kehamilan ini didassarkan atas firman Allah dalam surat
Al-Ahqaf ayat 15 dan surat Luqman ayat 14,dari gabungan 2 ayat ini minimal ibu
mengandung anaknya adalah enam bulan.
Surat Al-Ahqaf yang Artinya :”Kami perintahkan kepada manusia supaya
berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah
payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingg` apabila Dia telah dewasa dan
umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu
bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah
kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya
aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang muslim.
Demikian juga firman allah dalam surat Luqman ayat 14, Artinya : ”Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya
telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
As-Sayid Sabiq menyatakan bahwa apabila seorang perempuan menikah dan
enam bulan sesudah pernikahan melahirkan anak, maka anak itu anak yang sah.
Mengutip Malik, diriwayatkan bahwa Ustman bin Affan di datangi oleh seorang
perempuan yang telah melahirkan anak setelah enam bulan dari pernikahannya.
Ustman bin affan kemudian memerintahkan agar perempuan tersebut di rajam. Akan
tetapi Ali bin Abi Thalib menolak adanya hukum rajam terhadap perempuan tersebut
dengan argumentasi bahwa anak itu masih berada dalam pernikahan yang sah dan
kehamilan bisa terjadi hanya dalam waktu enam bulan saja. Ali bin Abi Thalib
berargumen dg dalil ayat al Qur‟an di surat al-Ahqaf 15, luqman 14 dan al-baqarah
233 tentang masa kehamilan dan persusuan sebanyak 30 bulan dan tentang masa
persesusuan yang sempurna sebanyak 2 tahun (24 bulan), sehingga kehamilan
terhitung 6 bulan. 16
Para ulama sepakat menyatakan bahwa perzinaan bukan penyebab timbulnya
hubungan nasab anak dengan ayah, sehingga anak zina tidak boleh di hubungkan
dengn nasab ayahnya, meskipun secara biologis berasal dari benih laki-laki yang
menzinai ibunya. Alasan mereka bahwa nasab itu merupakan karunia dan nikmat,
sedangkan perzinaan itu merupakan tindak pidana(jarimah) yang sama sekali tidak
layak mendapatkan balasan nikmat.17
Diantara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwasannya suami istri yang
melakukan Li‟an di hadapan hakim karena suaminya menuduh bahwa anak yang
dikandung istrinya adalah hasil penzinaan sedangakan istrinya tidak mengaku lalu
keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak yang dikandung wanita itu dinasabkan
kepada ibunya dan terputus nasabnya dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl
bin Sa‟ad As Sa‟id. Artinya : ” Dalam hadits suami istri yang bermula‟anah yang
diriwayatkan oleh sahal bin Sa‟ad itu, Sahal berkata : Bahwa perempuan tersebut
sedang hamil, sedang anak dibangsakan kepada ibunya. Maka menurut sunnah ( cara )
yang berlaku, bahwa anak tersebut menjadi ahli waris dari ibunya dan ibunya menjadi
ahli waris dari anaknya menurut apa yang telah ditetapkan allah.( HR. Bukhari dan
Muslim ).
Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanita hamil
maka pernikahan itu tidak sah. Hanya saja, kalau pernikahan itu dilangsungkan
dengan anggapan bahwa hal itu boleh dan sah sebagaimana mazhab sebagian ulama
yang berpendapat bahwa boleh bagi seorang laki-laki yang menghamili seorang
wanita dengan penzinaan menikahinya untuk menyelamatkan nasab anak dengan
syarat keduanya telah bertaubat dari perzinaan dan diketahui dengan pasti bahwa yang
menghamilinya adalah laki laki itu. Maka dalam hal ini pernikahan tu dikategorikan
sebagai nikah Syubhat. Artinya, pernikahan itu berlangsung dengan anggapan bahwa
hal itu boleh menurut syariat, padahal sebenarnya tidak boleh. Ini artinya pernikahan
itu tidak mengubah status anak hasil perzinaan tersebut sebaagi anak zina, dia tetap
dinasabkan kepada ibunya dan tidak sah dinasabkan kepada laki-laki tersebut.
16
As-Sayid Sabiq, fiqh as-Sunnah, (semarang; Maktabah toha putera,tht), majlad II, hlm.357-358
17
Ahmad As-Syarbasi, Yas‟alunaka fi Ad-Din wa Al-Hayah, jilid 4,h.103
Namun jika pernikahan itu dilangsungkan tanpa maksud untuk dapat mengubah
nasab anak zina yang lahir, yang artinya laki-laki yang berzina menikahi
perempuan yang dizinainya, maka hal itu adalah boleh menurut kesepakatan para
ulama.18
Semua ulama sepakat (Madzhab Hanafiyah, Malikiyyah, Syafi‟iyyah dan
Hanabilah) bahwa anak hasil zina itu tidak tidak memiliki nasab dari pihak laki-
laki(Ayah biologisnya). Dalam arti dia itu tidak memiliki bapak meskipun si laki-laki
yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya.
Tentang warisan bagi ahli waris non-muslim, dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) tidak ada ketentuannya. Akan tetapi, adanya kekosongan hukum atas suatu
perkara, bukan berarti perkara tersebut tidak akan pernah terjadi di tengah-tengah
kehidupan masyarakat. Dalam hal ini lah hakim dituntut untuk dapat memberikan
keadilan dan membuat aturan melalui penemuan hukum.
18
Ensiklopedi Ijma‟, Penerjemah : K.H.A. Sahal Mahcfuzh, dan K.H. Musthafa Bisri, ( Jakarta : Pustaka Firdaus,
1987 ), cet, ke-1, h. 477.
kepada anak-anaknya yang tidak seluruhnya muslim, sumber hukum lain yang bisa
digali adalah hukum Islam serta nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dalam surat Al-Baqarah, 2:141, serta Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
Muslim dan Hadits yang riwayatkan oleh Ashab As-Sunan, maupun pendapat imam
madzhab empat (Maliki,Hambali, Hanafi dan Syafi’i) dinyatakan bahwa berlainan
agama antara ahli waris dengan pewaris merupakan halangan yang menjadikan ahli
waris kehilangan hak warisnya. Apalagi kalau ahli waris itu termasuk kategori orang
murtad, selain ia tidak bisa mewarisi, ia juga tidak memiliki hak untuk mewariskan
hartanya kepada ahli warisnya.
PENUTUP