Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan
BAB II

PEMBAHASAAN

A. Pengertian khuntsa
Allah Swt telah menciptakan manusia sepasang lakilaki dan perempuan.
Adapun salah satu hikmah penciptaan itu adalah agar manusia dapat melahirkan
keturunannya. Allah Swt berfirman:

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia
kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki
dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. atau Dia
menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang
dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS. Asy-Shura (42) ayat 49-
50) .
Selain itu dalam ayat lain juga dinyatakan bahwa Allah telah menjadikan anak
Adam As dengan dua jenis yang berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan. Setiap anak
Adam dari kedua jenis ini mempunyai kelamin masingmasing dan tanda-tanda
khusus. Apabila seorang anak Adam dilahirkan dengan ciri-ciri laki-laki dan
perempuan atau tidak memiliki tanda-tanda khusus sebagaimana lakilaki atau
perempuan, maka dia dinamakan khuntsa. Khuntsa menurut bahasa diambil dari
lafadh AlKhanatsa yaitu lemah dan pecah. Dikatakan khanatsa dan takhanatsa apabila
tutur katanya lemah lembut mirip tutur kata perempuan, atau cara berpakaian dan
berjalan serupa dengan perempuan.
Muhammad bin Yasar menceritakan padaku, ghundar menceritakan kepadaku,
Su‟bah menceritakan kepadaku, dari Qatadah dari ‟Ikrimah, dari Ibn Abbas r.a, dia
berkata Rasulullah Saw melaknat laki-laki yang menyerupakan diri sebagai
perempuan dan wanita yang menyerupakan diri sebagai laki-laki, Amr mengikutinya
dan Su‟bah menceritakan padaku. (HR. Imam Bukhari).1
Sedangkan Khuntsa menurut istilah Seseorang yang mempunyai alat kelamin
pria dan alat kelamin wanita, atau tidak mempunyai kedua alat kelamin tersebut.
Dalam hal semacam ini statusnya tidak jelas apakah laki-laki atau perempuan. Orang
yang demikian dinamakan “khuntsa musykil” (banci yang sulit ditentukan alat
kelaminnya) Yang menimbulkan ke-musykilan, karena pada dasarnya manusia itu
statusnya adalah laki-laki atau perempuan, yang masing-masing status mempunyai
hukum tertentu. Laki-laki dapat dibedakan dari perempuan dengan adanya alat
kelamin kelaki-lakiannya. Oleh sebab itu, apabila seseorang mempunyai dua alat
kelamin, atau tidak mempunyai sama sekali, akan menimbulkan ke-musykilan dan
statusnya tidak jelas. Kemusykilan itu kadang-kadang lenyap setelah melihat cara
buang air kecil (kencing). Jika ia buang air kecil dari kelamin laki-lakinya, maka ia
dihukumi sebagai laki-laki dan dalam bagian warispun berstatus sebagai laki-laki,
demikian pula sebaliknya. Namun apabila buang air kecilnya itu dari kedua alat
kelaminnya, serta tidak diketahui mana yang terlebih dahulu keluar, maka status
orang tersebut tetap dikatakan “khuntsa musykil” (banci musykil), dan ditunggu
sampai ia telah mencapai usia baligh, apabila ia ber-ihtilam (mimpi dan keluar mani)
sebagaimana laki-laki dan lebih cendrung menyenangi perempuan, atau tumbuh
jenggot, maka ia berstatus lakilaki. Namun bila payudaranya nampak membesar atau
haidl, dan lebih cendrung menyenangi laki-laki, maka ia berstatus sebagai perempuan.
Jika tanda-tanda itupun tidak nampak, maka ia tetap berstatus khuntsa musykil.2
Pendapat M. Ali Hasan dalam bukunya yang berjudul hukum warisan dalam
Islam di jelaskan bahwa khuntsa (‫ )خنثي‬ialah: orang yang mepunyai dua alat kelamin

1
Www.Lidwa.Com, Shahih Bukhari, Hadits no. 5885
2
Muhammad Ali As-Shabuni, Hukum Waris dalam Syariat Islam, Alih Bahasa M. Samhuji Yahya (Bandung: CV
Diponegoro, 1995), h. 219
atau tidak mempunyai kedua alat tersebut. Hanya ada sesuatu lobang yang tak sama
dengan alat tersebut.3
Salah satu cara memastikannya adalah dengan pemeriksaan oleh dokter atau
atas pengakuan dari yang bersangkutan, seperti: keluar sperma, menstruasi (datang
bulan), atau dengan melihat ciri-ciri kedewasaannya yang memperlihatkan seperti
laki-laki atau seperti perempuan.
Muchlis Maruzi mendefinisikan al-khuntsa adalah orang yang diragukan jenis
kelaminnya apakah ia lakilaki ataukah perempuan. karena jika dikatakan sebagai laki-
laki ia mirip perempuan, tetapi kalau dinyatakan perempuan ia mirip laki-laki.4

B. Khuntsa dalam sejarah


Diungkapkan dalam suatu riwayat bahwa „Amr bin Dlarrab adalah seorang
hakim dizaman jahiliyah. Ia kedatangan seseorang dari kaumnya yang menanyakan
kasus seorang perempuan yang melahirkan seorang anak yang mempunyai dua alat
kelamin. „Amr bin Dlarrab berfikir sejenak, kemudian jawabnya: “dia berstatus
lakilaki dan perempuan”. Mendapat jawaban demikian orang itu tidak menerimanya.
Persoalan itu terus menghantui pikiran „Amr bin Dlarrab sampai ia tidak dapat
memejamkan mata untuk tidur.
‘Amr bin Dlarrab mempunyai seorang hamba sahaya yang genius, yang
masyhur akan kejituan pendapatnya. Sahaya itu mendatangi tuannya dan menanyakan
persoalan yang membuatnya gelisah. ’Amr diam sejenak, kemudian diceritakanlah
seluruh kejadian kepadanya. Sahaya itu menjawab: “biarkan keadaannya dan hukumi
ia dengan cara ia buang air kecil”. Rupanya alasan tersebut berkenan dihati „Amr. Dia
pun mendatangi kaum yang bertanya tadi dan berkata: “lihatlah oleh kalian, apabila ia
buang air seni dari kelamin laki-laki, maka ia berstatus sebagai laki-laki, dan jika ia
buang air seni dari kelamin perempuan, maka ia berstatus sebagai perempuan”.
Mereka merasa puas dengan pendapat tersebut, dan menjadi ketentuan hukum di masa
jahiliyah.
Setelah Islam datang, legalitas dari hukum tersebut tetap diakui, sebagaimana
diungkapkan dalam riwayat yang diterima melalui Ibnu Abbas r.a, yakni ketika Nabi

3
M. Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 112
4
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris (Jakarta: PT Raja Graf indo Persada, 2001), hal 170
Saw. Ditanya tentang kewarisan anak yang mempunyai sifat tersebut, maka beliau
menjawab: “dilihat dari cara ia buang air kecil”.5
Abu Bakar Ahmad bin Husein bin Ali Baihaqi dalam kitabnya Sunan Al-
Kubro menjelaskan bahwa pada zaman Nabi Muhammad Saw sudah ada khuntsa
yang dikenal namanya antara lain Hita, Matik, dan Hinaba. Khuntsa di zaman Nabi
Saw ada yang memang asli dan ada yang buat-buatan. Khuntsa asli pada umumnya
tingkah lakunya kelihatan tidak membahayakan kepada kaum wanita, dan oleh sebab
itu istri-istri Nabi menganggap mereka sebagai ghairu ulil irbah (tidak punya
syahwat). Namun meski begitu Nabi melarang mereka bebas masuk dan bergaul
dengan kaum wanita dan antara mereka harus ada hijab atau tabir. Bagi mereka yang
tidak mematuhi, oleh Nabi dilarang masuk dan tidak boleh kembali kecuali sekali
dalam seminggu yaitu setiap hari sabtu untuk menerima jatah makan, selebihnya
mereka hidup di badiyah (perkampungan terpencil).6

C. Kewarisan Khuntsa musykil (khuntsa yang sulit ditentukan)


Khuntsa musykil yaitu manusia yang dalam bentuk tubuhnya ada keganjilan,
tidak dapat diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan, karena tidak ada
tandatanda yang menunjukkan apakah dia laki-laki atau perempuan, atau samar-samar
tanda itu dan tidak dapat ditarjihkan. 7 Menurut Wahbah Zuhaili, khuntsa musykil
adalah orang yang keadaannya sulit ditentukan, tidak diketahui kelakiannya atau
keperempuanannya. Seperti dia kencing melaui alat kelamin laki-laki dan perempuan
atau tampak jenggot dan payudara dalam waktu yang sama. Biasanya dengan
kemajuan ilmu kedokteran modern kemusykilan diakhiri dengan operasi yang
menyebabkan kejelasan keadaannya.8 Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi sekarang ini, khuntsa musykil dapat di ketahui kriterianya, yaitu dapat
diperiksa dengan ilmu dan peralatan kedokteran, apakah mereka memiliki sperma
atau ovum. Jika mereka sudah jelas dan pasti termasuk pada golongan mana, maka
hak dan kewajibannya mereka sama dengan muslim atau muslimah.

D. Jumlah ahli waris khuntsa musykil

5
Ibid., hal. 219
6
Abu Bakar Ahmad bin Husein bin Ali Al-Baihaqi, Sunan AlKubro, Juz 8, (Beirut: Al-Ikhlas, 1995), h. 234
7
Hasybi Al-Shidiqy, Fiqh Al-Mawarits (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 280
8
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Penerjemah, Abdul Hayyie Al-Kattani, et. al (Jakarta: Gema
Insani, 2011), h. 485
para faradhiyun setelah mengadakan penyelidikan, menetapkan bahwa para ahli
waris khuntsa musykil yang menimbulkan ke-musykilan dalam penyelesaian mawaris
itu hanya berjumlah 7 orang dan tercakup dalam empat jihat sebagai berikut:
1. Jihat Bunuwah (garis anak)
Para ahli waris khuntsa musykil yang tergabung dalam jihat bunuwah ini ada 2
orang, yaitu anak dan cucu.
2. Jihat Ukhuwah (garis saudara)
Mereka yang tergabung dalam jihat ukhuwah ada 2 orang yakni saudara dan
anak saudara, yaitu kemenakan
3. Jihat ‘Umumah (garis paman)
Para ahli waris khuntsa musykil dari garis paman ada 2 orang, yakni paman
dan anak paman (saudara sepupu)
4. Jihat Wala’ (perwalian budak)
Ahli waris yang khuntsa musykil dari golongan ini hanya seorang saja yakni
maulal-mu‟tiq (tuan yang telah membebaskan budaknya).
Selain 7 orang tersebut di atas, tidak ada. Suami, isteri, ayah, ibu, kakek dan
nenek tidak mungkin mereka sebagai khuntsa musykil. Sebab nikah mereka
tidak sah dan tidak dapat mengadakan hubungan biologis sebagai media
adanya keturunan. Andai kata ada mereka bukan musykil lagi.9

E. Kewarisan khuntsa musykil


Mengenai kewarisan khuntsa Ulama berbeda pendapat dalam kewarisan
khuntsa musykil kepada beberapa pendapat:
Pertama, Mazhab Ulama Hanafiyah berpendapat, bahwa khuntsa musykil
mendapat bagian yang paling sedikit dari dua kemungkinan bagiannya, yaitu dari
haknya sebagai lakilaki kalau ia dipandang sebagai laki-laki, atau dari haknya sebagai
perempuan apabila ia dipandang sebagai perempuan. Dimana ada bagian yang lebih
sedikit (dari dua kemungkinan sebagai laki-laki dan sebagai perempuan), itulah yang
diberikan kepadanya. Demikian pula salah satu pendapat imam Syafi‟i r.a. serta
umumnya para sahabat r.a.
Kedua, Mazhab Ulama Malikiyah berpendapat bahwa khuntsa diberi bagian
sebesar pertengahan antara bagian laki-laki dan bagian perempuan. Ini berarti bahwa

9
Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, 1981 ), hal. 484
bagian laki-laki dijumlahkan dengan bagian perempuan, lalu dibagi dua, hasilnya
merupakan bagian khuntsa.10
Ketiga, Mazhab Hambali mempunyai dua pendapat mengenai kondisi al-
khuntsa. Pertama, kondisi di mana kejelasan status al-khuntsa masih bisa diharapkan
kondisi ini terjadi ketika al-khuntsa masih kecil. Oleh karena itu, dia dan ahli waris
lainnya diberikan bagian yang paling kecil, dan sisa harta waris ditangguhkan
pembagiannya sampai status al-khuntsa jelas. Jika statusnya sudah jelas dan ia berhak
mendapatkan sisa, maka sisa itu diberikan kepadanya. Namun jika tidak, harta yang
ditangguhkan itu diberikan kepada ahli waris yang lainnya. Kedua, kondisi di mana
kejelasan status al-khuntsa tidak bisa diharapkan lagi, misalnya karena ia meninggal
sewaktu kecil atau sudah baligh, namun tidak terlihat ciri-ciri seorang laki-laki atau
perempuan. Dalam keadaan ini, dia diberi setengah dari bagiannya, jika dia dianggap
laki-laki atau perempuan. 11
Berikut Contoh kewarisan khuntsa musykil:
1. Pendapat pertama, Khuntsa al-musykil diberi bagian terkecil dari dua
perkiraan laki-laki atau perempuan, dan bagian terbesar diberikan kepada ahli
waris yang lain. Ini adalah pendapat imam Hanafi, Muhammad Al-syaibani
dan Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya.
Jadi, misalnya setelah dihitung bagian khuntsa menurut perkiraan perempuan
bagiannya lebih sedikit daripada perkiraan laki-laki, maka bagian yang
diberikan kepadanya adalah bagian perempuan. demikian juga sebaliknya, jika
yang lebih sedikit adalah bagian perkiraan laki-laki, maka bagian itulah yang
diberikan kepada si khuntsa. Contohnya sebagai berikut: Apabila seorang
meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari, bapak, anak perempuan, anak
khuntsa musykil dan ibu. Harta warisannya sejumlah Rp. 36.000.000,- bagian
masing-masing adalah:

Tabel 1
Perkiraan khuntsa laki-laki

10
Muhammad Ali As-Shabuni, Hukum Waris dalam Syariat Islam, Alih Bahasa M. Samhuji Yahya (Bandung: CV
Diponegoro, 1995), h. 221
11
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Penerjemah Addys Al-Dizar dan Fathur
rahman, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004, h.395
Ahli waris Bagian Asal Harta warisan Rp. Bagian masing
masalah 6 36.000.000,- masing
Bapak 1/6 1/6 x 6 = 1 1/6 x Rp. Rp. 6.000.000
36.000.000
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1 1/6 x Rp. Rp. 6.000.000
36.000.000
Anak pr Ashabah 4 4/6 x Rp. Rp. 24.000.00
Anak lk2 bil ghairi 36.000.000
Jumlah Rp.
36.000.000

Khuntsa musykil yang di perkirakan laki-laki menerima bagian dua kali bagian
perempuan, atau 2/3 x Rp. 24.000.000,- = Rp. 16.000.000,- Dan anak
perempuan menerima bagian 1/3 x Rp. 24.000.000,- = Rp. 8.000.000,-

Tabel 2
Perkiraan khuntsa perempuan

Ahli waris Bagian Asal Harta warisan Rp. Bagian masing


masalah 6 36.000.000,- masing
Bapak 1/6 + 1/6 x 6 = 1 1/6 x Rp. Rp. 6.000.000
Ashabah 36.000.000
bin nafsi
Ibu 1/6 1/6 x 6 = 1 1/6 x Rp. Rp. 6.000.000
36.000.000
2 Anak pr 2/3 2/3 x 6 = 4 4/6 x Rp. Rp. 24.000.00
36.000.000
Jumlah Rp.
36.000.000

Khuntsa dalam perkiraan perempuan menerima bagian separoh atau ½ x Rp.


24.000.000,- = Rp. 12.000.000,-

Jadi bagian terkecil dari dua perkiraan diatas adalah bagian perempuan Rp.
12.000.000,-. Sementara bagian ibu Rp. 6.000.000,- anak perempuan Rp.
12.000.000,-dan bapak sebesar Rp. 6.000.000,-
2. Pendapat kedua, memberikan separoh dari dua perkiraan laki-laki dan
perempuan kepada khuntsa musykil dan ahli waris lain. Pendapat ini
dikemukakan oleh fuqaha Malikiyah, Hanabilah dalam Satu pendapatnya,
Syi‟ah Zaidiyah dan syi‟ah imamiyah. Satu riwayat menyebutkan bahwa Qadi
Abu Yusuf dalam satu pendapatnya setuju dengan pendapat ini. Dengan
demikian apabila pendapat kedua ini diselesaikan menurut contoh pada
pendapat pertama penyelesaiannya adalah sebagai berikut:

Tabel 3
Penyelesaian kewarisan khuntsa musykil
menurut pendapat imam Maliki

Ahli waris Bagian Bagian masing masing


Bapak Rp.6.000.000 + Rp. 6.000.000 Jadi separoh dari
Rp.6.000.000 dua perkiraan
2 laki-laki dan
Ibu Rp.6.000.000 + Rp. 6.000.000
perempuan
Rp.6.000.000
kepada khuntsa
2
Anak pr Rp.8.000.000 + Rp. 10.000.000 musykil dan ahli

Rp.12.000.000 waris lain.

2 Masing-masing
Anak khuntsa Rp.16.000.000 + ahli waris
Rp.12.000.000 Rp. 14.000.000 memperoleh:
2 Bapak
memperoleh Rp.
Jumlah Rp. 36.000.000
6.000.000,- Ibu
memperoleh Rp. 6.000.000,- Anak pr memperoleh Rp. 10.000.000,- Anak khuntsa +
Rp. 14.000.000,- = Rp. 36.000.000,-
Menurut pendapat yang rajih, khuntsa diperlakukan (diberi warisan) dengan cara
tidak menguntungkan, yaitu memandang mereka sebagai bagian antara laki-laki dan wanita,
yakni mempunyai dua kemungkinan ia diberi bagian sebagai laki-laki dan perempuan.
Kemudian ia diberi bagian yang lebih sedikit dari dua kemungkinan itu. Sisa harta ditunda
sehingga statusnya menjadi jelas atau disepakati oleh para ahli waris. Apabila khuntsa-nya
meninggal, maka bagian warisnya diserahkan kepada ahli waris.
Yang dimaksud diperlakukan tidak menguntungkan ialah: khuntsa
tersebut mendapat waris dengan berbagai kemungkinan: apabila ia
diperlakukan sebagai ahli waris perempuan akan mendapat bagian yang lebih
sedikit, maka perlakukanlah ia sebagai perempuan. Dan jika ia diperlakukan
sebagai ahli waris laki-laki akan mendapat bagian yang lebih sedikit, maka
perlakukanlah sebagai laki-laki.

F. Hukum Kewarisan Anak Li’an dan Hasil Zina


Sumber hukum anak Li‟an dan anak hasil zina adalah ayat-ayat
Faraidh (warisan), yaitu surat An-Nisa ayat 11 dan 12, serta hadits Nabi Saw :

Artinya : Allah mensyariatkan ( mewajibkan ) kepadamu tentang


( pembagian warisan untuk ) anak-anakmu, ( yaitu ) bagian seorang anak laki-laki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya
perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan. Jika dia ( anak perempuan ) seorang saja, maka ia memperoleh
setengah ( harta yang ditinggalkan ). Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing-
masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia ( yang meninggal )
mempunyai anak. Jika dia ( yang meninggal ) tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh kedua ibu bapaknya ( saja ), maka ibunya mendapatkan sepertiga. Jika dia ( yang
meninggal ) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
( pembagian-pembagian tersebut diatas ) setelah ( dipenuhi ) wasiat yang dibuatnya
atau ( dan setelah dibayar ) utangnya. ( Tentang ) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu.
Ini adalah ketetapan allah. Sungguh allah maha mengetahui, maha bijaksana. ( QS. An
Nisa : 11 ).12
Secara zahir, dapat diketahui bahwa apabila seseorang meninggal dunia dan
dia hanya diwarisi oleh kedua ibu bapaknya ( saja )maka ibunya mendapat sepertiga,
kemudian apabila dia ( yang meninggal ) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. Sehingga apabila seorang anak hasil zina meninggal dunia dan
ia hanya memiliki ibu dan bapak saja, maka ibunya mendapatkan bagian sepertiga
dari harta warisan yang ia tinggalkan. Kemudian jika anak hasil zina tersebut
memiliki saudara se-ibu, maka ibunya mendapatkan bagian seperenam dari harta yang
ditinggalkannya.

Artinya :“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan


oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteriisterimu itu
mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para
isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara

12
Pt Cordoba internasional indonesia , Al-Qur‟an Cordoba, Penanggung jawab materi, Andi Subarkah,
( Bandung : 2012 ), cet 1 h. 78.
perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. ( QS. An Nisa : 12 )
Dari ayat diatas, secara zahir dapat diketahui bahwa jika seseorang
meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggal ayah dan tidak
meninggal anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki ( seibu ) atau seorang
saudara perempuan ( seibu ), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka
mereka bersama-sama dalam sepertiga itu. Begitu juga dengan anak zina. Jika ia
tidak mempunyai anak, namun mempunyai seorang saudara se-ibu baik laki-laki
maupun perempuan, maka ia mendapatkan seperenam. Kemudian jika anak hasil zina
itu mempunyai saudara seibu lebih dari seorang, maka mereka mendapatkan bagian
sebesar sepertiga dari harta warisan yang ditinggalkan.

Artinya : Dari ibnu Abbas Ra, Dari nabi Saw, ia berkata : Berikanlah Faraidh
(bagian yang telah ditentukan dalam alquran) kepada yang berhak dan sisanya
berikanlah kepada keluarga laki-laki yang terdekat. ( HR. Bukhari dan Muslim ).13
Hadits Nabi Saw yang diriwayatkan dari ibnu Abbas ra menunjukkan perintah
untuk memberikan harta warisan kepada yang berhak. Dalil-dalil tersebut diatas,
secara umum telah menjelaskan mengenai pembagian harta warisan orang yang
meninggal dunia itu adalah anak sah maupun anak Li’an atau anak hasil zina.
Sedangkan dalil yang mengkhususkan keumuman ayat dan hadits diatas, yaitu nabi
saw :

13
Hadits Shahih, Al Bukhari, Shahih al Bukhari, ( Qahirah : Dar Ibnu al Hisyam, 2004 ), cet. Ke-1, h. 785.
Artinya : ”Dalam hadits suami istri yang bermula‟anah yang diriwayatkan
oleh Sahal bin Sa‟id itu, sahal berkata : Bahwa perempuan tersebut sedang hamil,
sedang anak dibangsakan kepada ibunya. Maka menurut sunnah ( cara ) yang berlaku,
bahwa anak tersebut menjadi ahli waris dari ibunya dan ibunya menjadi ahli waris
dari anaknya menurut apa yang telah ditetapkan allah. ( HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits diatas mengkhususkan keumuman dalil-dalil sebelumnya, sehingga
meskipun seseorang yang meninggal dunia itu mempunyai bapak, namun jika ia
adalah seorang anak Li‟an atau anak hasil zina maka yang berhak mewarisi harta
peninggalannya hanya ibunya saja. Hal ini juga dijelaskan didalam hadits nabi saw.

Artinya : ”Qutaibah menceritakan kepada kami, Ibnu Lathi‟ab menceritakan


kepada kami, dari Amr bin Syu‟aib dari ayahnya dari datuknya :”Sesungguhnya Nabi
Saw bersabda :”Siapa saja laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan merdeka
atau hamba sahaya, maka anaknya itu adalah anak zina, dia tidak dapat mewarisi dan
diwarisi. ( HR. Tirmidzi )14
Hadits-Hadits di atas merupakan sumber dan dasar hukum untuk membagikan
harta warisan kepada anak Li‟an dan anak hasil zina serta pembagian harta
warisannya. Hadits itu menunjukkan bahwa anak Li‟an dan anak hasil zina hanya
dapat waris dan mewarisi dengan ibu yang melahirkannya dan atau dengan keluarga
dari pihak ibunya. Anak Li‟an dan anak hasil zina tidak dapat waris dan mewarisi
dengan laki-laki yang menyebabkan dia lahir. Baik anak hasil zina tersebut lahir dari
perempuan yang merdeka maupun dari seorang budak.15

G. Kedudukan dan Hubungan Nasab Anak Li’an dan Anak Zina


Kata nasab diambil dari kata na-sha-ba, yanshibu, nashbaan, Menurut Ibnu
Al-Arabi sebagaimana dikutip oleh Al-Qurtubi nasab adalah sebuah istilah yang
menggambarkan proses bercampurnya sperma laki-laki dan ovum seorang wanita atas

14
At Tirmidzi, Sunan At Tirmidzi, ( Beirut : Darul Fikr, 1994 ), juz 4, h. 38.
15
Muhammad Nashiruddin al Albhani, Shahih Sunan at Tirmidzi, penerjemah: Fachrurazi, ( Jakarta :Pustaka
Azzam, 2006 ), Jilid 2, cet. Ke-1, h. 639.
dasar ketentuan syari‟at, jika melakukannya dengan cara maksiat hal itu tidak lebih
dari sekedar reproduksi biasa bukan merupakan nasab yang benar, sehingga tidak bisa
masuk dalam ayat tahrim81. Maksudnya tidak ada pengaruh dalam masalah hubungan
haram dan tidak haram untuk menikah juga tidak berakibat adanya keawjiban „iddah
sehingga seorang wanita wanita yang hamil bukan karena menikah melainkan karena
kasus Married by accident maka untuk menikah tidak perlu untuk menunggu lahir
anaknya.
Dalam hal batas masa kehamilan para Fuqaha dari Mazhab manapun bahkan
dari golongan Syi‟ah telah sepakat bahwa batas minimal masa kehamilan adalah
enam bulan. Batas minimal kehamilan ini didassarkan atas firman Allah dalam surat
Al-Ahqaf ayat 15 dan surat Luqman ayat 14,dari gabungan 2 ayat ini minimal ibu
mengandung anaknya adalah enam bulan.
Surat Al-Ahqaf yang Artinya :”Kami perintahkan kepada manusia supaya
berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah
payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingg` apabila Dia telah dewasa dan
umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu
bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah
kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya
aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang muslim.
Demikian juga firman allah dalam surat Luqman ayat 14, Artinya : ”Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya
telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
As-Sayid Sabiq menyatakan bahwa apabila seorang perempuan menikah dan
enam bulan sesudah pernikahan melahirkan anak, maka anak itu anak yang sah.
Mengutip Malik, diriwayatkan bahwa Ustman bin Affan di datangi oleh seorang
perempuan yang telah melahirkan anak setelah enam bulan dari pernikahannya.
Ustman bin affan kemudian memerintahkan agar perempuan tersebut di rajam. Akan
tetapi Ali bin Abi Thalib menolak adanya hukum rajam terhadap perempuan tersebut
dengan argumentasi bahwa anak itu masih berada dalam pernikahan yang sah dan
kehamilan bisa terjadi hanya dalam waktu enam bulan saja. Ali bin Abi Thalib
berargumen dg dalil ayat al Qur‟an di surat al-Ahqaf 15, luqman 14 dan al-baqarah
233 tentang masa kehamilan dan persusuan sebanyak 30 bulan dan tentang masa
persesusuan yang sempurna sebanyak 2 tahun (24 bulan), sehingga kehamilan
terhitung 6 bulan. 16
Para ulama sepakat menyatakan bahwa perzinaan bukan penyebab timbulnya
hubungan nasab anak dengan ayah, sehingga anak zina tidak boleh di hubungkan
dengn nasab ayahnya, meskipun secara biologis berasal dari benih laki-laki yang
menzinai ibunya. Alasan mereka bahwa nasab itu merupakan karunia dan nikmat,
sedangkan perzinaan itu merupakan tindak pidana(jarimah) yang sama sekali tidak
layak mendapatkan balasan nikmat.17
Diantara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwasannya suami istri yang
melakukan Li‟an di hadapan hakim karena suaminya menuduh bahwa anak yang
dikandung istrinya adalah hasil penzinaan sedangakan istrinya tidak mengaku lalu
keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak yang dikandung wanita itu dinasabkan
kepada ibunya dan terputus nasabnya dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl
bin Sa‟ad As Sa‟id. Artinya : ” Dalam hadits suami istri yang bermula‟anah yang
diriwayatkan oleh sahal bin Sa‟ad itu, Sahal berkata : Bahwa perempuan tersebut
sedang hamil, sedang anak dibangsakan kepada ibunya. Maka menurut sunnah ( cara )
yang berlaku, bahwa anak tersebut menjadi ahli waris dari ibunya dan ibunya menjadi
ahli waris dari anaknya menurut apa yang telah ditetapkan allah.( HR. Bukhari dan
Muslim ).
Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanita hamil
maka pernikahan itu tidak sah. Hanya saja, kalau pernikahan itu dilangsungkan
dengan anggapan bahwa hal itu boleh dan sah sebagaimana mazhab sebagian ulama
yang berpendapat bahwa boleh bagi seorang laki-laki yang menghamili seorang
wanita dengan penzinaan menikahinya untuk menyelamatkan nasab anak dengan
syarat keduanya telah bertaubat dari perzinaan dan diketahui dengan pasti bahwa yang
menghamilinya adalah laki laki itu. Maka dalam hal ini pernikahan tu dikategorikan
sebagai nikah Syubhat. Artinya, pernikahan itu berlangsung dengan anggapan bahwa
hal itu boleh menurut syariat, padahal sebenarnya tidak boleh. Ini artinya pernikahan
itu tidak mengubah status anak hasil perzinaan tersebut sebaagi anak zina, dia tetap
dinasabkan kepada ibunya dan tidak sah dinasabkan kepada laki-laki tersebut.

16
As-Sayid Sabiq, fiqh as-Sunnah, (semarang; Maktabah toha putera,tht), majlad II, hlm.357-358
17
Ahmad As-Syarbasi, Yas‟alunaka fi Ad-Din wa Al-Hayah, jilid 4,h.103
Namun jika pernikahan itu dilangsungkan tanpa maksud untuk dapat mengubah
nasab anak zina yang lahir, yang artinya laki-laki yang berzina menikahi
perempuan yang dizinainya, maka hal itu adalah boleh menurut kesepakatan para
ulama.18
Semua ulama sepakat (Madzhab Hanafiyah, Malikiyyah, Syafi‟iyyah dan
Hanabilah) bahwa anak hasil zina itu tidak tidak memiliki nasab dari pihak laki-
laki(Ayah biologisnya). Dalam arti dia itu tidak memiliki bapak meskipun si laki-laki
yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya.

H. Orang yang berlainan Agama dengan Pewaris


Hal ini ditegaskan dalam hadist Nabi yang di riwayatkan oleh HR Bukhari dari
Usamah Bin Jaid, yang artinya “orang Islam tidak jadi waris bagi si kafir dan tidak
pula si kafir jadi waris bagi orang Islam”.
Dalam islam ahli waris dibedakan menjadi tiga golongan yakni:
1. Dzul faraa’idh, yaitu orang ahli waris yang lansung mendapatkan warisan
dengan bagian tertentu dan tidak berubah-ubah. Orang–orangnya adalah orang
yang memiliki hubungan lansung dengan pewaris baik garis keturunan keatas,
kebawah dan garis keturunan kesamping, serta duda atau janda yang menjadi
suami/isteri yang ditinggalkan oleh pewaris.
2. Assabah yaitu kerabat laki-laki dari pihak bapak
3. Dzul Arham, yaitu orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris
melalui pihak ketiga

Tentang warisan bagi ahli waris non-muslim, dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) tidak ada ketentuannya. Akan tetapi, adanya kekosongan hukum atas suatu
perkara, bukan berarti perkara tersebut tidak akan pernah terjadi di tengah-tengah
kehidupan masyarakat. Dalam hal ini lah hakim dituntut untuk dapat memberikan
keadilan dan membuat aturan melalui penemuan hukum.

Sehubungan dengan hakim bukan sebagai corong Undang-Undang, maka


hakim dituntut untuk menggali sumber hukum agar rasa keadilan dalam masyarakat
dapat terpenuhi. Dalam konteks pembagian harta peninggalan orang tua muslim

18
Ensiklopedi Ijma‟, Penerjemah : K.H.A. Sahal Mahcfuzh, dan K.H. Musthafa Bisri, ( Jakarta : Pustaka Firdaus,
1987 ), cet, ke-1, h. 477.
kepada anak-anaknya yang tidak seluruhnya muslim, sumber hukum lain yang bisa
digali adalah hukum Islam serta nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Dalam surat Al-Baqarah, 2:141, serta Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
Muslim dan Hadits yang riwayatkan oleh Ashab As-Sunan, maupun pendapat imam
madzhab empat (Maliki,Hambali, Hanafi dan Syafi’i) dinyatakan bahwa berlainan
agama antara ahli waris dengan pewaris merupakan halangan yang menjadikan ahli
waris kehilangan hak warisnya. Apalagi kalau ahli waris itu termasuk kategori orang
murtad, selain ia tidak bisa mewarisi, ia juga tidak memiliki hak untuk mewariskan
hartanya kepada ahli warisnya.

Sudah menjadi kesepakatan ulama’(ijma’) bahwa perbedaan agama (muslim


dan non-muslim) merupakan salah satu faktor pengahalang untuk dapat mewarisi.
Berkaitan dengan perbedaaan agama, yang disepakati oleh para ulama’ tersebut
adalah bahwa ahli waris non-muslim, baik karena sejak awal tidak beragama Islam
(kafir) ataupun keluar dari agama Islam (murtad), tidak dapat mewarisi pewaris
muslim.

Di Indonesia, sekalipun Pasal 173 KHI tidak menyatakan perbedaan agama


sebagai penghalang untuk dapat mewarisi, namun Pasal 171 point B dan C KHI
menyatakan bahwa pewaris dan ahli waris harus dalam keadaan beragama Islam. Hal
ini dapat dipahamiapabila salah satunya tidak beragama Islam, maka di antara
keduanya tidak dapat saling mewarisi.

Ditengah-tengah perbedaan pendapat mengenai Wasiat Wajibah tersebut, MA


selaku puncak dari keseluruhan lembaga kekuasaan kehakiman yang dalam hal ini
merupakan lembaga yang berwenang dalam penyelesaian kasus ini, dalam perkara
No. 368 K/AG/1995 memutuskan bahwa ahli waris non-muslim memperoleh bagian
dari harta warisan pewaris muslim atas dasar Wasiat Wajibah, yang kadar bagiannya
sebanyak yang seharusnya diterima oleh ahli waris muslim. Padahal, Kompilasi
Hukum Islam (KHI) sebagai hukum terapan di lingkungan Peradilan Agama tidak
mengenal Wasiat Wajibah bagi ahli waris non-muslim.

Mengetahui kenyataan ini, saya tertarik untuk mengkaji putusan MA ini,


karena putusan tersebut telah mengadakan pembaharuan dalam hukum waris di
Indonesia. Mengingat, bahwa putusan MA merupakan yurisprudensi yang merupakan
hukum dan salah satu sumberhukum, maka kemungkinan besar di masa selanjutnya
hakim akan mengambil keputusan dengan dasar yurisprudensi ini.
BAB III

PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai