Anda di halaman 1dari 6

Bangsa Arab Sebelum Datangnya Islam

Kehidupan bangsa Arab sebelum datangnya Islam dikenal dengan istilah Jahiliyah.
Masyarakat Jahiliyah ini identik dengan peradaban yang sangat buruk, pelacuran dimana-
mana, pertumpahan darah, perbuatan keji yang tak dapat diterima akal sehat.

Sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW , orang-orang Arab menganut agama Yahudi,


Nasrani, Majusi, Shabi'ah dan penyembah berhala (paganisme). Seperti apa kondisi sosial
dan peradaban bangsa Arab masa zaman Jahiliyah? Berikut ulasan singkat yang dirangkum
dari Sirah Nabawiyah karya Syeikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury (bersumber dari Kitab
Ar-Rahiqul Makhtum).

Kondisi sosial bangsa Arab Jahiliyah memiliki klasifikasi berbeda-beda dimana kaum
bangsawan mendapat kedudukan terpandang. Mereka memiliki otoritas dan pendapat yang
mesti didengar.

Adapun gaya hidup masyarakat Arab Jahiliyah terbiasa bercampur baur antara kaum laki-laki
dan perempuan. Boleh dikatakan kehidupan mereka jauh dari akal sehat. Selain pelacuran,
gila-gilaan, pertumpahan darah sudah biasa di kalangan masyarakat Arab Jahiliyah.

Imam Bukhari meriwayatkan dari 'Aisyah radhiallahu 'anha (RA), bahwa pernikahan pada


masa Jahiliyah terdiri dari empat macam:
1. Pernikahan seperti pernikahan orang sekarang, yaitu seorang laki-laki mendatangi laki-laki
yang lain dan melamar wanita yang di bawah perwaliannya atau anak perempuannya,
kemudian dia menentukan maharnya dan menikahkannya.

2. Seorang laki-laki berkata kepada istrinya manakala ia sudah suci dari haidnya, "pergilah
kepada si fulan dan bersenggamalah dengannya". Kemudian setelah itu, istrinya
ditinggalkan dan tidak disentuh selamanya hingga tampak tanda kehamilannya dari laki-laki
tersebut. Apabila tampak tanda kehamilannya, apabila si suaminya masih berselera
kepadanya maka dia akan menggaulinya. Hal tersebut dilakukan hanyalah lantaran ingin
mendapatkan anak yang pintar. Pernikahan semacam ini dinamakan dengan nikah Al-
Istibdha'.

3. Sekelompok orang dalam jumlah yang kurang dari sepuluh berkumpul, kemudian
mendatangi seorang perempuan dan masing-masing menggaulinya. Jika perempuan ini
hamil dan melahirkan, setelah beberapa malam dia mengutus kepada mereka (sekelompok
orang tadi). Ketika itu tak seorang pun dari mereka yang dapat mengelak hingga semuanya
berkumpul kembali dengannya, lalu si perempuan itu berkata kepada mereka: "Kalian telah
mengetahui apa yang telah kalian lakukan dan aku sekarang telah melahirkan, dan dia ini
adalah anakmu wahai si fulan!". Dia menyebutkan nama laki-laki yang dia senangi dari
mereka, maka anaknya dinasabkan kepadanya.

4. Banyak laki-laki mendatangi seorang perempuan, sedangkan si perempuan ini tidak


menolak sedikitpun siapa pun yang mendatanginya. Mereka ini adalah para pelacur, di
pintu-pintu rumah mereka ditancapkan bendera yang menjadi simbol siapa pun yang
menghendaki mereka maka dia bisa masuk. Jika dia hamil dan melahirkan, laki-laki yang
pernah mendatanginya itu berkumpul lalu mengundang ahli pelacak (Al-Qaafah), kemudian
si ahli ini menentukan nasab si anak tersebut kepada siapa yang mereka cocokkan ada
kemiripannya dengan si anak itu. Dalam hal ini, laki-laki yang ditunjuk tidak boleh
menyangkal. Maka ketika Allah Ta'ala mengutus Nabi Muhammad SAW, beliau
menghapuskan semua pernikahan kaum Jahiliyah itu kecuali pernikahan yang ada saat ini.

Dalam tradisi Arab Jahiliyah, antara laki-laki dan perempuan selalu berkumpul dan diadakan
di bawah tajamnya pedang dan tombak. Pemenang dalam perang antarsuku berhak
menyandera perempuan-perempuan suku yang kalah dan menghalalkannya. Anak-anak
yang ibunya mendapatkan perlakuan semacam ini akan mendapatkan kehinaan semasa
hidupnya.

Kaum Jahiliyah juga terkenal dengan kehidupan dengan banyak istri (poligami) tanpa
batasan. Mereka mengawini dua bersaudara, mereka juga mengawini istri bapak-bapak
mereka apabila telah ditalak atau karena ditinggal mati oleh bapak mereka.

Perbuatan zina merata di semua lapisan masyarakat. Namun, ada sekelompok laki-laki dan
perempuan yang terbebas dari hal tersebut. Mereka adalah orang-orang yang memiliki jiwa
besar dan menolak keterjerumusan ke dalam kemaksiatan. Kondisi hina lebih banyak
dialami para budak perempuan.

Imam Abu Daud meriwayatkan dari 'Amru bin Syu'aib, dia berkata: seorang laki-laki berdiri
sembari berkata: "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya si fulan adalah anakku dari hasil
perzinaanku dengan seorang budak wanita pada masa Jahiliyah. Rasulullah SAW kemudian
bersabda: "Tidak ada dakwaan dalam Islam (yang berkaitan dengan masa Jahiliyah). Urusan
yang terkait dengan masa Jahiliyah telah lenyap. Seorang anak adalah dari hasil ranjang
(dinasabkan kepada suami yang menikah sah), sedangkan kehinaan adalah hanya bagi
wanita pezina".

Mengenai pergaulan masyarakat Arab Jahiliyah, hubungan seorang laki-laki dengan


saudaranya, anak-anak paman dan kerabatnya sangat kental dan kuat. Mereka hidup dan
mati demi fanatisme kesukuan. Semangat untuk bersatu begitu membudaya antar sesama
suku. Bahkan prinsip yang dipakai dalam sistem sosial adalah fanatisme rasial dan hubungan
tali rahim.
Mereka hidup di bawah semboyan: "Tolonglah saudaramu baik dia berbuat zhalim ataupun
dizhalimi". Mereka menerapkan semboyan ini sebagaimana adanya, tidak seperti arti yang
telah diralat oleh Islam yaitu menolong orang yang berbuat zhalim maksudnya
mencegahnya melakukan perbuatan itu.

Meskipun begitu, persaingan memperebutkan martabat dan kepemimpinan seringkali


menyebabkan perang antarsuku yang masih memiliki hubungan se-bapak. Seperti yang
terjadi antara suku Aus dan Khazraj, 'Abs dan Dzubyan, Bakr dan Taghlib, dan lain-lain.

Di lain pihak, hubungan yang terjadi antarsuku benar-benar berantakan. Kekuatan yang
mereka miliki digunakan untuk berjibaku dalam peperangan. Satu-satunya yang menolong
mereka adalah adanya bulan-bulan yang diharamkan berperang (Asyhurul Hurum) sehingga
mereka hidup damai dan mencari rezeki untuk kebutuhan sehari-hari.

Kesimpulannya, kondisi sosial masyarakat Arab Jahiliyah benar-benar rapuh dan jauh dari
akal sehat. Kebodohan mencapai puncaknya dan khurafat merajalela dimana-mana. Orang-
Orang hidup layaknya binatang ternak.

Wanita diperjualbelikan, bahkan terkadang diperlakukan seperti benda mati. Hubungan


antarumat sangat lemah, saling berperang menjadi tradisi mereka ketika ada yang
mengancam kekuasaan dan melukai kehormatan. Selain itu, kebiasaan masyarakat Arab
Jahiliyah juga tak lepas dari minum khamr, mabuk-mabukan dan perjudian.

Masyarakat Jahiliyah memang dikenal memiliki peradaban yang buruk, namun masih ada
akhlak mulia dan terpuji yang menjadi kelebihan mereka. Di antaranya, kemurahan hati,
kedermawanan, pantang menyerah, memenuhi janji, suka menolong orang lain.

Semua keterpurukan moral dan kelamnya peradaban Jahiliyah itu baru berubah setelah
Nabi Muhammad SAW diutus membawa risalah Islam. Perlahan namun pasti, berkat rahmat
Allah, Nabi Muhammad SAW dengan kelembutan dan kemuliaan akhlaknya mengubah
gelapnya peradaban menuju cahaya. Kemusyrikan dihilangkan, perbudakan dihapuskan,
perempuan dimuliakan, perzinaan dan perjudian ditinggalkan. Bangsa Arab memasuki fase
peradaban baru yang lebih bermartabat dengan hadirnya Islam. Allahu A'lam.

Jahiliyyah menjadi isu sentral mengapa Nabi Muhammad diutus oleh Allah dan menjadi Nabi
dan Rasul yang terakhir. Para sejarawan muslim menyebutkan bahwa Jarak antara Nabi
Muhammad diutus dengan Nabi Isa adalah 600 tahun. Hal ini menunjukan bahwa
kebobrokan yang terjadi pada masa Nabi Muhammad belum diutus begitu panjang dan
lama bahkan pada masa Nabi diutus kondisi tersebut sudah menakar kuat dalam karakter
masyarakat Arab. Lantas, apa yang dimaksud dengan jahiliyyah yang sering digunakan dalam
menilai orang-orang Arab sebelum Nabi diutus dan diangkat menjadi Nabi dan Rasul?
Dalam KBBI, jahiliah berarti kebodohan. Dengan ini, berarti zaman jahiliah adalah zaman
yang kondisi masyaraktnya hidup dalam kebodohan, ketidak tahuan. Nabi pernah menyebut
kondisi masyarakat yang seperti ini dalam peristiwa ketika Nabi di usir dan lempari batu oleh
penduduk Thaif. Ketika Nabi ditawari malaikat apakah mereka perlu untuk dimusnahkan
dengan dilemparkan gunung kepadanya, Nabi menjawan, jangan mereka adalah masyarakat
yang belum tahu (hum lâ ya’lamȗn). Dengan ini apakah yang dimaksud dengan oleh Nabi
dengan kata ”tidak tahu” merupakan ”kebodohan” secara total masyarakat Arab atau hanya
dalam masalah-masalah tertentu?
Ketika Al-Qur’an diturunkan, para pakar sastra mengakui bahwa al-Qur’an bukan ciptaan
manusia. Mereka belum pernah menemukan keindahan susunan kalimat Arab seindah al-
Qur’an. Bahkan Al-Qur’an memberi tawaran kepada masyarakat Arab untuk membuat
susunan kalimat minimal menyamai keindahan Al-Qur’an. Keindahan susunan kalimat al-
Qur’an tidak hanya diakui oleh para pakar ahli bahasa pada waktu itu, para ahli sastra
kontemporerpun mengakui hal tersebut. Dalam ’Ulȗm al-Qur’an, kelebihan tersebut masuk
dalam pembahasan tentang i’jâz al-Balaghî atau mukjizat dalam perspektif sastra. Hal ini
menunjukan bahwa masyarakat Arab sudah terbiasa dan membudaya dengan dunia sastra.
Disamping itu, masyarakat Arab memiliki keahlian dalam membaca cuaca, bintang, dan jejak
sesuatu (’ilm tatâbu’ al-Âtsar).

Masyarakat Arab adalah masyarakat yang buta huruf. Meskipun mereka memiliki kelebihan
dalam dunia sastra-puisi, semua itu tidak lebih hanya dinikmati untuk didengarkan bukan
ditulis. Al-Thabari bahkan menyebutkan hanya 17 orang dari masyarakat Arab yang bisa
menulis. Ketidak mampuan mereka untuk membaca justru merupakan sebuah kebanggaan
pada waktu itu. Hal ini berpengaruh bagi cara masyarakat Arab melihat kemanusiaan dalam
bangunan masyarakat yang fanatik dengan kelompoknya. Dijelaskan oleh Engineer,
masyarakat Arab tidak bisa melihat kemanusiaan diluar kelompoknya, dalam artian
kebenaran bagi mereka adalah tatanan nilai dan aturan yang berlaku bagi komunitasnya,
diluar itu adalah kesalahan, yang ada dalam komunitas dia adalah kemanusiaan, tidak ada
nilai yang perlu untuk dihargai diluar kelompoknya sendiri.

Wanita dalam tradisi Arab juga mengalami nasib yang mengenaskan, yakni tidak dihargai
atau sering kali mendapatkan pelecehan. Memiliki keturunan perempuan bagi masyarakat
Arab adalah aib. Untuk itu, mereka tidak tanggung-tanggung untuk membunuh anak
perempuan. Karena bagi mereka yang bermanfaat adalah memiliki anak laki-laki.
Perempuan di Arab pada waktu itu tidak mendapatkan harta warisan bahkan perempuan
adalah barang yang diwariskan. Begitulah kurang lebih yang disampaikan oleh Fakhruddin
Al-Razi dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib-nya.

Dalam masalah ekonomi juga mengalami nasib yang sama. Kesengsaraan golongan
masyarakat kecil yang selalu tertindas oleh kelompok elit masyarakat Arab menjadi
pemandangan dimana-mana. Akibatnya, anak yatim piatu, miskin, janda, terbengkalai dan
tidak diperhatikan. Mereka dimanfaatkan untuk bekerja dengan gaji yang rendah dan tidak
jarang gajinya dibatar terlambat. Itulah mengapa Nabi nanti mengharuskan untuk
membayar gaji seorang pekerja sebelum kering keringatnya.

Menurut Ibnu Hisyam dalam Sîrah Ibnu Hisyâm menyebutkan bahwa Makkah pada


masa jahiliyyah terbebas dari yang tindakan dzalim. Menurutnya, Jurhum adalah orang yang
dzalim di Makkah. Menghalalkan segala yang telah diharamkan, menindas masyarakat
Makkah, memakan harta benda yang diserahkan untuk perawatan Ka’bah. Ketika suku Bakr
menyaksikan hal tersebut, mereka berkumpul untuk memerangi dan mengusir Jurhum dari
kota Makkah. Hingga akhirnya peperangan dimenangkan oleh Suku Bakr dan tersingkirlah
Juhrum dari Makkah.
Dalam kitab Manhaj al-Salaf fî Fahmi al-Nushȗsh Baina al-Nadzriyyah wa Al-Tanhbîq, Sayyid
Muhammad Alawi Al-Maliki menyebutkan bahwa kedatangan Nabi Muhammad Saw. adalah
merupakan bentuk penyelamatan masyarakat Arab dari kondisi yang sudah berda diujung
kehancuran. Islam datang untuk mengajak mereka saling menyayangi, mengasihi, tidak
berpecah belah, tidak saling memusuhi dan membenci. Itu semua disarikan dari Firman
Allah dalam QS. Ali Imran ayat 103 yang artinya, ”dan berpeganglah kalian semua pada tali
Allah dan janganlah kalian saling bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada
kalian ketika kalian dulu saling bermusuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian lalu
dengan rahmat Allah kalian dijadikan saling bersaudara, kalian sebenarnya telah berada
diujung kehancuran kemudian Allah menyalamatkan kalian (dengan perantara Nabi
Muhammad)”.

Dalam penjelasan ini menyiratkan bahwa bangsa Arab sudah terbiasa dengan pertikaian,
peperangan, bermusuhan satu sama lain. Meskipun sekilas ada perbedaan antara yang telah
disampaikan oleh Ibnu Hisyam diatas dengan penjelasan yang disampaikan oleh Sayyid
Muhammad Al-Maliki, dengan menjadikan penjelasan Engineer sebagai refrensi tengah
dalam memahami kedua refrensi yang sekilas saling bertolak belakang tersebut ada satu
benang merah bahwa tidak dipungkiri bahwa masyarakat Arab tidak bisa dilepaskan dengan
yang namanya bertengkar, berperang, berbuat dzalim, namun itu sifatnya adalah antar
kelompok bukan pergolakan dalam internal suku. Dalam artian, suku Quraisy tidak
dipungkiri juga melakukan kedzaliman kepada suku lainnya bukan kepada sesama suku
Quraisy.

Budaya pertikaian yang terjadi pada masyarakat Arab adalah karena mereka memiliki
karakter fanatik kesukuaan (ta’ashshub) yang kuat. Setiap hal yang menyinggung suku
tertentu mudah meledak menjadi bahan pertikaian bahkan peperangan diantara mereka.
Solidaritas sesama suku memang kuat, namun mereka tidak bisa memahami orang lain
diluar sukunya. Singkatnya budaya untuk saling memahami, saling menghargai, saling
toleransi tidak terlihat pada diri mereka.
Untuk itu, jahiliah adalah kondisi masyarakat yang jauh dari semangat persatuan,
menghargai kelompok masyarakat diluar suku dan kelompoknya, masyarakat yang mudah
menistakan nilai kemanusiaan, tidak bertanggung jawab atas kewajibannya, memeras dan
menjajah kebebasan orang lain. Dengan itulah, mengapa Nabi Muhammad Saw. diutus Allah
sebagai sosok yang bertugas untuk menyempurnakan akhlak manusia. Bahkan Nabi memiliki
satu visi penting dalam tugasnya, yakni menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil
’alamin).

Anda mungkin juga menyukai