Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial adalah penggolongan masyarakat dalam kelas yang dapat disusun
secara bertingkat. Stratifikasi sosial dapat disebut pula sebagai lapisan antar masyarakat.1
Sedangkan menurut Indera Ratna Irawati dalam buku yang ditulisnya yang berjudul
‘Stratifikasi dan mobilitas sosial’, merupakan pembadaan posisi sosial individu dalam
masyarakat. Berdasarkan status yang diperoleh ini dengan sendirinnya anggota masyarakat
dibeda-bedakan berdasarkan usia, jenis, kelamin, hubungan, kekerabatan dan keangotaan dalam
suatu kelompok tertentu seperti kasta dan kelas tidak menutup kemungkinan bahwa banyak
stratifikasi sosial yang didasarkan pada berbagai macam hal seperti agama, ras, ekonomi,
pekerjaan dan lain sebagainya.
Stratifikasi dalam masyarakat Arab yang secara umum masih bertahan hidup dengan cara
berpindah-pindah, dapat dilihat dari kehidupan sehari-harinya dengan menggunakan sistem
kelompok atau disebut kabilah. Kelompok terkecil mereka dalam satu keluarga patriarki terdiri
atas seoarang ayah, anak laki-laki dan anggota keluarga yang lain. Keluarga-keluarga tersebut
selanjutnya berkelompok menjadi suku yang terdiri dari ratusan rumah tenda. Mereka berpindah
secara bersama memiliki padang rumput untuk bergembala bersama dan juga bertempur sebagai
suatu kesatuan dalam medan perang.
Stratifikasi bangsa Arab jika di dasarkan pada usia akan dapat dilihat khususnya dalam
hak untuk menjadi kepala suku atau di sebut syaikh. Syarat utama untuk dapat menjadi syaikh
haruslah orang yang sudah tua di samping kaya dan juga mempunyai sifat-sifat yang baik seperti
adil, bijaksana, sabar, pemaafdan rajin bekerja. Kelompok yang lemah akan meminta
1
Gramedia.com/literasi/stratifikasi-sosial/
perlindungan kelompok yang lebih kuat. Namun persekutuan seperti ini tidak bertahan lama,
mereka akan segera bercerai-berai dan bisa saja diantara mereka saling bermusuhan.
Masyarakat Mekkah pun tidak terlepas dari sistem kabilah tersebut. Dan pada masa masa
itu suku yang dominan adalah suku Quraisy. Seperti telah disinggung di atas bahwa pada
awalnya terjadi pembagian kerja antara dua fungsi yaitu sungsi keagamaan dan kepemimpinan.
Namun pada masa-masa belakangan fungsi-fungsi tersebut digabung jan menjadi satu dan berada
di tangan suku Quraisy. Oleh pemimpin suku Quraisy yang sangat berpengaruh yaitu Qusai bin
Kilab pada pertengahan abad V membagi pekerjaan tersebut menjadi enam macam dan
menyebarkan nya kepada kepala-kepala marga dalam sukunya. Keenam jabatan tersebut adalah
Namun demikian, dalam masalah patriarki khususnya yang berkaitan dengan penentuan garis
keturunan berdasarkan dari jalur ayah tidak sepenuhnya dapat dianggap negatif. Karena hal
tersebut dalam era islam ternyata mendapat legitimasi dari ayat Al qur’an. Q.S. Al Ahzab (33:5).
هّٰللا
ْس َعلَ ْي ُك ْم ُج َنا ٌح ِ ط عِ ْن َد ِ ۚ َفاِنْ لَّ ْم َتعْ لَم ُْٓوا ٰا َب ۤا َء ُه ْم َفا ِْخ َوا ُن ُك ْم فِى ال ِّدي
َ ْن َو َم َوالِ ْي ُك ْم َۗولَي ُ ا ُ ْدع ُْو ُه ْم اِل ٰ َب ۤا ِٕى ِه ْم ه َُو اَ ْق َس
ان هّٰللا ُ َغفُ ْورً ا رَّ ِح ْيمًا َ َت قُلُ ْو ُب ُك ْم َۗو َك ْ فِ ْي َمٓا اَ ْخ َطْأ ُت ْم ِبهٖ َو ٰلكِنْ مَّا َت َع َّمد
“Panggilah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, maka
(panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada
dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa yang di sengaja oleh
hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Dari ayat tersebut bisa disimpulkan bahwa penyebutan anak yang diikuti dengan nama bapak
kandungnya dan ini berimplikasi pada penarikan garis keturunan yang didasarkan pada garis
ayah tidak dapat dianggap hal yang negatif. Model patriarki masyarakat Arab pra islam yang
kurang memberikan peran kepada perempuan, itulah yang negatif dan islam datang untuk
memperbaiki hal tersebut
Pandangan agak berbeda yang disimpulkan oleh Ahmad Syalabi yang menceritakan
bagaimana orang-orang Arab amat menjaga dan membela kehormatan perempuan. Beberapa alas
an yang disampaikan oleh Syalabi adalah kebiasaan mereka membawa perempuan-perempuan ke
medan perang. Perempuan-perempuan diletakkan dibelakang balatentara yang berperang dengan
maksud agar mereka selalu ingat bahwa kekalahan berarti kehormatan mereka akan di injak-
injak oleh musuh. Hal tersebut bisa membakar semangat juang mereka untuk berjuang mati-
matian.
Penghormatan kepada perempuan yang berlebihan sering juga menimbulkan bencana dan
perbuatan-perbuatan yang negatif lainnya. Salah satu alasan mengapa ada suku-suku Arab yang
menguburkan anak perempuan perempuannya yang masih bayi adalah agar setelah dewasa anak
mereka tidak ternoda atau ditawan musuh, meskipun tidak semua suku melakukan hal tersebut.
Yang tidak kalah menarik adalah informasi yang disampaikan oleh Abdul Hameed Siddiqie
dalam bukunya The life of Muhammad yang menyatakan bahwa “The costum of polyandry, i.e.,
a costum of marriage under which a woman recenses more than one man as her husband was
very common in Arabia”. (Kebiasaan poliandri yaitu sebuah kebiasaan dimana seorang
perempuan menerima lebih dari satu orang laki-laki sebagai suaminya adalah kebiasaan yang
sangat umum dalam masyarakat Arab). Dengan keadaan tersebut dapat dimengerti bahwa posisi
perempuan terkadang menjadi sangat lemah karena mereka bukanlah milik individu seorang
suami tetapi menjadi milik suku. Anak-anak yang mereka lahirkan juga sepenuhnya menjadi
warga dari suku tersebut.
Namun tidak menutup kemungkinan bahwa apabila yang lahir adalah bayi perempuan maka
akan di kubur hidup-hidup hal tersebut juga disinyalir oleh Al-Qur’an dalam Q.S. At Takwir
(81:8)
Zamakhsyri member komentar ayat diatas bahwa pada masa tersebut anak perempuan
yang akan di tanam hidup-hidup diminta agar ibunya menghiasinya terlebih dahulu dengan
alasan akan dibawa menemui keluarganya. Tetapi setibanya di tempat yang dituju dan setelah
menggali lubang ia menyuruh anak tersebut melihat kedalam lubang itu, lalu dijerumuskan dan
di kubur hidup-hidup. Biasanya anak perempuan tersebut telah mencapai umur enam tahun. Ada
juga ibu-ibu yang sengaja melahirkan didepan sebuah lubang yang sudah disiapkan terlebih
dahulu dan bila ternyata anaknya perempuan maka langsung saja di kubur hidup-hidup di lubang
tersebut.
Dalam masyarakat yang seperti itu lah Nabi Muhammad SAW diutus dengan membawa
risalah yang salah satu misalnya untuk membebaskan manusia dan ketidakadilan khusus nya
yang dialami oleh perempuan. Dari sinilah akan terciptanya sebuah tatanan masyarakat yang
ideal. Secara terminologis Al-Qur’an juga memperkenalkan stratifikasi sosial dengan tolak ukur
tertentu.
C. SISTEM KEKEDARATAN
Secara garis besar masyarakat mekah sudah memiliki hokum adat yang sederhana,
sedangkan penduduk Madinah sudah mengenal bentuk awal dari penguasa atas tanah.
Adab berapa tradisi yang sudah mapan dapat di gambarkan sebagai berikut.
A.Tradisi keagamaan
Tradisi yang sudah di terapkan di daerah arab antara lain adalah:haji,umrah dan
jumatan, sakralisasi bulan Ramadhan dan mengagungkan bulan bulan haram :zulqodah,
zulhijjah, muhharam dan rajab.tradisi ini sudah melembaga di dalam masyarakat arab.
Haji dan umrah yang di lakukan oleh orang arab pra islam juga seperti yang di
pratek kan umat islam saat ini. Dikalangan orang arab biasanya melakukan ibadah haji
pada bulan zulhijjah karena pada bulan ini di sebut juga bulan haji yang berarti juga bulan
pribadatan dan bulan genjatan senjata. Ritual yang dilakukan biasanya seperti
mengunakan pakaian ihram, menggumandang kan talbiyah, melaksanakan thawaf tujuh
kali(dengan telanjang), menyembelih hewan qurban, melaksanakan sai, wukuf, melempar
jumrah dan mncium hajar aswad.ada satu ritual yaitu di kenal dengan hari tarwiyah dan
hari tasyi ,pelaksanaan ritual ini merupakan penghormatan merek kepada ka’bah dan
hajar aswad
B.sistem sosial
Kembali kepada kemaslahatan dalam budaya yang berlaku dan mengambil institusi-
institusi yang sesuai dan tepat.
Metode akulturasi yang dilakukan Nabi Muhammad adalah tudarruj atau bertahap
merupakan upaya efektif untuk memasukkan unsure atau kaidah asing kedalam
kebudayaan masyarakat, model tadarruj yang dilakukan didasarkan pada kondisi
objektivitas sahabat meminta nasihat kepada Rosulullah terkait peristiwa penting
disamping itu, penetapan hokum suatu persoalan tidak dilakukan sekaligus, tetapi
bertahap sesuai dengan kesiapan masyarakat.
Target perubahan sosial yang dilakukan Nabi selama ke-Rasulannya meliputi tiga
tingkah (level), yaitu micro, intermediate, dan macro.Tingkatan micro (awalan) yang
menjadi sasaran adalah individu. Dalam tingkatan ini Al-Qur’an berusaha mengubah
perilaku pribadi dengan menurunkan ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
eskatologis (hari akhir/kiamat). Tingkatan intermediate (pertengahan) merupakan garis
yang menghubungkan tingkatan antara micro dengan macro , atau antara individu dengan
masyarakat. Sasaran perubahan sosial dalam tingkatan ini adalah perubahan islam dalam
hubungan organisasional, seperti hubungan antar kelompok suku mau pun komposisi
dalam masyarakat.Targetnya adalah perubahan norma dan aturan-aturan dalam relasi
antar kelompok. Tingkatan perubahan sosial yang terakhir adalah macrolevel, dimana
suaranya adalah perubahan struktur sosial. Target dari tingkatan ini adalah munculnya
perubahan pola budaya dalam masyarakat sasarannya melalui inovasi.
Media Akulturasi
Saluran atau media akulturasi adalah kebudayaan masyarakat Arab yang melembaga pada
saat Al-Qur’an diwahyukan. Kebudayaan tersebut meliputi tradisi keagamaan, sistem sosial,
dan sistem hukum. Dalam bidang keagamaan, makam isi akulturasi adalah mengembalikan
kepercayaan masyarakat pada ke Esaan Tuhan (tauhid). Simbol atau tradisi keagamaan yang
menyimpang dari prinsip tauhid dirombak dan dimusnahkan. Kepercayaan pagan yang
berlaku di Kalangan orang Arab dikembalikan ke tradisi lainnya, yaitu agama Hanif. Tradisi
yang tidak bertentangan dengan tauhid dibiarkan hidup bahkan dikembangkan dan
dilegimitasi. Melalui proses ini Islam berdialog dengan tradisi dan menghasilkan simbol.
Sistem simbol tersebut yang merupakan hasil akulturasi membentuk pola-pola budaya yang
pada gilirannya membentuk model (models of reality), yaitu memberikan konsep atau doktrin
untuk ralitas.23
Di bidang sosial, sasaran akulturasi adalah kesetaraan hubungan dan kedudukan antara
laki-laki dan perempuan. Namun system patriarki hal tetap dipertahankan dan dipertegas
dengan system nasab. Atas dasar ini maka poliandri tetap dilarang karena bertentangan
dengan system patriachi tersebut. Poligami tetap diperboleh kan meskipun dibatasi.
Legitimasi ini disebut kan dalam surat An-Nisaa ayat;3. Bahkan Al-Qur’an juga melestarikan
istilah baal untuk menyebut suami sebagai mana tercantum dalamsurat An-Nisaa ayat ;
128(tentang nusyuz) dan An-Nur ayat;21( tentang kebolehan menampakkan perhiasan).
Selama kurang lebih dua puluh tiga tahun Al-Qur’an melakukan perubahan mendasar
pada tradisi masyarakat Arab. Al-Qur’an tidak hanya meroformasikan budaya
penerimanya, tetapi mengorganisasikan efek-efek negatif dan pelaksanaan institusi sosial
yang ada. Kesemuanya dilakukan dengan melibatkan masyarakat dan institusi social nya
untuk berperan dalam pengolahan dan pembentukan kebudayaan baru yang positif dan
fungsional. Keterlibatan masyarakat dan tradisinya menunjukkan adanya proses
pembelajaran norma melalui internalisasi ajaran Al-Qur’an dalam perikehidupan sosial.