Anda di halaman 1dari 10

A.

Subordinasi Perempuan Pada Masa Arab Pra-Islam


Mempelajari budaya yang berkembang dalam suatu komunitas tidak dapat dilepaskan
dari sejarah. Analisis dengan pendekatan historis membantu menemukan latar belakang dari
teks ketika diturunkannya wahyu. Dengan adanya konteks sejarah, akan memudahkan
identifikasi simbol-simbol dalam teks dan makna-makna implisit yang tidak tertera jelas
dalam narasi yang menjadi diskursus antropologi. Disinilah fungsi pendekatan sejarah sebagai
alat bantu analisis antropologi budaya. Pembahasan ini menarik sejarah sebelum Islam hadir
ditengah-tengah hiruk-pikuk masyarakat Arab jahiliyah. Kronologi sejarah pra-Islam
digunakan untuk mengetahui budaya yang membentuk masyarakat pada saat itu. Sebab al-
Quran yang diturunkan akan mempengaruhi kebudayaan tersebut. Pemaparan fakta sejarah
mengenai subordinasi perempuan pada masa Arab jahiliyah akan menemukan maksud dan
tujuan al-Qur’an dalam mempengaruhi sebuah tradisi.
Kondisi geografi yang tandus dipenuhi padang pasir di sepanjang semenanjung Arab
mempengaruhi karakteristik penduduk sebagai penyesuaian. Keadaan alam yang demikian
menciptakan watak yang keras dan kesukuan pada suku badui nomaden yang tinggal dalam
tenda. Mata pencaharian yang sesuai dengan kehormatan kaum badui hanyalah beternak dan
berburu serta menyukai peperangan.1 Berbeda lagi dengan bangsa Arab di perkotaan seperti
Mekkah pekerjaan utama adalah berdagang. Hal ini mempengaruhi cara berpikir masyarakat
perkotaan cenderung individualisme dalam artian tidak terlalu terpusat pada kabilah. 2 Bangsa
Arab baik badui maupun yang menetap terikat pada famili dan kesukuan. Namun,
kekerabatan ini sangat erat bagi kaum badui. Lahan dan kekayaan disekitar perkemahan
menjadi harta bersama milik suatu suku.
Kesukuan ini menempati posisi primordial. Kehormatan suatu suku lebih penting
terlebih dengan watak mudah terkonfrontasi sehingga banyak terjadi perang. Konsekuensi
inilah yang menyebabkan tatanan sosial yang patriarki menurut Fatimah Umar.3 Sebab ‘hobi’
berperang dan kondisi nomaden menyebabkan kaum badui membutuhkan anak laki-laki
sebagai penyokong. Tak heran suku badui nomaden lebih menyukai kehadiran anak laki-laki
ditengah keluarga dan marah ketika bayi perempuan lahir hingga tega membunuhnya.
Kehadiran perempuan dianggap beban karena posisi perempuan sebagai kelas dua.4 Namun,
tentunya tidak semua suku selalu berperang dan mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Pada
1
Philip K. Hitti, A Short History of The Arabs, terj. Dedi Slamet R., (Jakarta: Qalam, 2018), 19.
2
Ali Sodiqin, Antropologi Al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu Dan Budaya (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2008), 47.
3
Fatimah Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, terjemah dari Women In Islam: A Discourse in Rights
and Obligations, (Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2001), hal. 50-51.
4
Buana, C. (2010). Citra perempuan dalam syair jahiliyah. Yogyakarta: Mocopat Offset, 199.
dasarnya masyarakat Arab merupakan penganut sistem patriarki dalam lingkup keluarga yang
berpengaruh pada kehidupan sosial.5 Patriarkisme ini sedikit berbeda bagi perempuan kaum
badui dan perempuan kota, perempuan suku badui masih mendapatkan demokrasi dalam
memilih pasangan dan perceraian berbeda dengan perempuan di kota.6
Posisi perempuan pada masa Arab pra-Islam beserta relasi suami istri pada masa itu
tidak dapat terlepas dari konstruksi sosial. Pranata sosial yang patriarkal menempatkan
perempuan sebagai peran pembantu bagi laki-laki. Sistem sosial ini mendarah daging dalam
segala lapisan struktur khususnya dalam relasi suami istri. Objektifikasi perempuan semakin
pelik ketika seorang perempuan memasuki gerbang pernikahan. Pada umumnya pernikahan
dipaksakan kepada perempuan dan tidak ada hak untuk memilih pasangan. Pasangan
dipilihkan oleh wali perempuan dalam hal ini meliputi ayah, kakek, dan paman. Meski tradisi
ini kemudian diterima oleh sebagian ulama seperti Imam Syafi’i yang memberikan hak ijbar
bagi ayah dan kakek. Namun, beberapa ulama lainnya tidak sepakat sebab bertentangan
dengan nilai kemerdekaan yang dijunjung tinggi Islam sebagai rahmatan lil alamin.7
Pernikahan dalam paradigma budaya bangsa Arab tak ayal sebagai perdagangan
perempuan. Meski perempuan merdeka perlakuan terhadap perempuan cenderung seperti
budak. Transaksi jual beli dengan sejumlah mahar yang dibayarkan oleh suami kepada ayah
atau wali dari perempuan. Konsepsi ini disebabkan mahar dianggap sebagai pengganti
hilangnya anak perempuan di rumah.8 Para petinggi aristokrat setiap suku biasa menjual anak
perempuan dengan pernikahan dengan menetapkan sejumlah mahar yang tinggi. Akibatnya
para pemuda badui urung menikah dan mendatangi prostitusi. Hal ini dikritisi oleh al-Qur’an
setelah Islam datang dengan merevisi bahwa mahar adalah sejumlah pemberian yang diterima
oleh pihak perempuan serta menyederhanakan nominal mahar.9
Poligami telah menjadi bagian dari budaya bangsa Arab. Tidak ada ketentuan aturan
dalam berpoligami sehingga poligami tak terkendali pada masa itu dan tidak ada batasan
jumlah maksimal perempuan yang boleh dinikahi. Bahkan para laki-laki dapat menikahi 10
orang perempuan sekaligus.10 Konsep transaksi jual beli dalam pernikahan berdampak pada
ketentuan perceraian sehingga suami sebagai quasi-purchaser secara absolut menjadi pemilik

5
Sodiqin, A. (2014). REFORMASI AL-QUR’AN DALAM HUKUM PERCERAIAN: Kajian Antropologi
Hukum Islam. Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum, 2(2), 263.
6
Hitti, A Short History of The Arabs, Terj. Dedi Slamet R., 29.
7
Redaksi hadis “‫ قال أن تسكت‬،‫ يا رسول هللا كيف إذنها‬:‫قالوا‬  َ‫ستَْأ َذن‬
ْ ُ‫ستَْأ َم َر َوالَ تُ ْنك َُح ا ْل ِب ْك ُر َحتَّى ت‬
ْ ُ‫( ”الَ تُ ْنك َُح ْاَأليِّ ُم َحتَّى ت‬HR. Bukhari)
8
2019, Yinyang, 195.
9
Noel James Coulson, 1978, A History of Islamic Law, 14.
10
2019, Yinyang, 194.
tunggal hak talak.11 Dengan kata lain, tidak ada kesempatan untuk perempuan meminta
perceraian. Selain itu, perempuan yang ditalak tidak memiliki masa iddah konsekuensinya
perempuan dapat langsung dinikahi selepas diceraikan suaminya. Dalam segi waris
perempuan tak mendapatkan bagiannya sama sekali ketika suami atau keluarganya meninggal
dunia. Justru perempuan yang ditinggalkan oleh suaminya menjadi harta warisan dapat
diwariskan kepada keturunannya. Kewenangan atas perempuan tersebut diatur oleh pewaris
untuk dinikahi atau dibiarkan hingga ada seseorang yang akan menikahinya. 12 Ketika Islam
datang, perempuan memperoleh hak atas warisan dengan beberapa bagian tertentu dan
mendapatkan hak kebebasan tidak menjadi harta warisan sebagaimana mestinya.
Konstruksi sosial masyarakat Arab pra-Islam yang berpedoman pada sistem patriarki
telah menjadi pola dalam berperilaku. Pada klimaksnya, objektifikasi perempuan berdampak
pada relasi suami istri dalam hubungan seksual. Salah satunya perempuan pra-Islam yang
diasingkan ketika sedang mengalami menstruasi. Padahal haid atau menstruasi yang dialami
oleh perempuan adalah sebuah sinyal dari tubuh bahwa organ reproduksi perempuan
berfungsi dengan baik. Meluruhnya darah haid bukanlah kehendak perempuan dan tidak dapat
diatur. Namun, para suami pada masa pra-Islam mengasingkan istrinya yang sedang haid
sebagaimana yang dilakukan oleh orang Yahudi. Mitos dalam agama Yahudi menstruasi
disimbolkan sebagai sumber polusi, berbahaya, dan sakral tapi terkutuk.13 Walaupun sebagian
lain mengikuti tradisi umat Nasrani dengan tetap menyetubuhi istrinya dikala haid.14
Sistem sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat akan menciptakan pola
berpikir yang mempengaruhi keseharian. Patriarki yang kental bagi masyarakat Arab pra-
Islam menjadikan mindset terwujud nyata dalam bentuk ketidaksadaran berperilaku seksis.
Pengalaman ini mengakar dalam setiap bidang kehidupan. Subordinasi peran menempatkan
perempuan sebagai objek alih-alih sebagai subjek terutama dalam wilayah domestik. Meski
tidak semua kelompok memberlakukan diskriminasi terhadap perempuan dalam segala lini,
hal yang demikian hanyalah sebuah privilese bagi sebagian perempuan. Budaya yang telah
ada mempengaruhi ajaran yang dibawa oleh Nabi dalam merespon fenomena yang terjadi.
Sehingga secara tidak sadar terjadi dinamika budaya pada dunia Arab abad ke-7 M.

11
Noel James Coulson, 1978, A History of Islamic Law, 15.
12
Buana, C. (2010). Citra perempuan dalam syair jahiliyah. Yogyakarta: Mocopat Offset, 197-199.
13
Balango, M. (2008). Perubahan Sikap Perempuan terhadapMasalah Menstruasi. Jurnal Pelangi Ilmu, 1(1),
126.
14
Balango, M. (2008). Perubahan Sikap Perempuan terhadapMasalah Menstruasi. Jurnal Pelangi Ilmu, 1(1),
129.
B. Aplikasi Model of reality dan Model for reality Geertz 
1. Dialektika Ayat dan Budaya 
Fokus pembahasan pada bagian ini menitikberatkan tentang bagaimana model
dialektika yang terjadi pada masa turunnya Al-Qur’an dengan budaya di sekitarnya serta
tahapan proses pembudayaan nilai-nilai terhadap QS. al-Baqarah ayat 222. Terlebih dahulu
mengupas pemahaman dari QS. al-Baqarah [2] : 222 terkait dengan persoalan haid. Narasi
dari QS. al-Baqarah [2] : 222 secara tekstual menentukan perlakuan terhadap perempuan haid
sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

‫ِيض َوال َت ْق َربُوهُنَّ َح َّتى َي ْطهُرْ َن‬ ِ ‫ِيض قُ ْل ه َُو َأ ًذى َفاعْ َت ِزلُوا ال ِّن َسا َء فِي ْال َمح‬ ِ ‫ك َع ِن ْال َمح‬ َ ‫َو َيسْ َألُو َن‬
َ ‫ين َو ُيحِبُّ ْال ُم َت َطه ِِّر‬
‫ين‬ ُ ‫َفِإ َذا َت َطهَّرْ َن َفْأ ُتوهُنَّ ِمنْ َحي‬
َ ‫ْث َأ َم َر ُك ُم هَّللا ُ ِإنَّ هَّللا َ ُيحِبُّ ال َّتوَّ ِاب‬
Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.”
Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka
telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah
menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.15
Ayat ini tergolong ayat Madaniyyah sebab diturunkan setelah Nabi hijrah ke Madinah.
Ciri khas ayat-ayat yang diturunkan di Madinah cenderung mereformasi tradisi sosial dan
politik. Kota Yatsrib (Madinah) saat awal hijrah merupakan kota heterogen yang dihuni oleh
orang-orang Arab suku Aus dan Khazraj serta orang-orang Yahudi.16 Kemudian kaum
Muhajirin dari Mekkah yang ikut serta berhijrah dengan Nabi turut mengisi Kota Madinah.
Kedekatan relasi antara umat Yahudi menjadikan masyarakat Arab di Madinah menyerap
beberapa tradisi. Salah satunya berkaitan dengan sabab nuzul QS. al-Baqarah [2] : 222 yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas.
‫لَّ َم‬U‫ ِه َو َس‬U‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬U‫ص‬ ْ ‫َأ َل َأ‬U‫ فَ َس‬،‫ت‬
َ ‫ َحابُ النَّبِ ِّي‬U‫ص‬ ِ ‫ت ْال َمرْ َأةُ فِي ِه ْم لَ ْم يَُؤ ا ِكلُوهَا َولَ ْم يُ َجا ِمعُوه َُّن فِي ْالبُيُو‬ َ ‫« َأ َّن ْاليَهُو َد كَانُوا ِإ َذا َحا‬ :‫س‬
ِ ‫ض‬ ٍ َ‫ع َْن‌َأن‬
َ َ‫فَق‬ ،‫ ِة‬Uَ‫ ِر اآْل ي‬U‫آخ‬
‫ال‬U ِ ‫ِإلَى‬ }‫يض‬ ِ ‫ا َء فِي ْال َم ِح‬U‫يض قُلْ ه َُو َأ ًذى فَا ْعت َِزلُوا النِّ َس‬
ِ ‫{ َويَ ْسَألُونَكَ َع ِن ْال َم ِح‬ :‫فََأ ْنزَ َل هللاُ تَ َعالَى‬ ،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫النَّب‬
‫ ْيًئا ِإاَّل‬U‫ا َش‬UUَ‫ َد َع ِم ْن َأ ْم ِرن‬Uَ‫ ُل َأ ْن ي‬U‫ َذا ال َّر ُج‬Uَ‫ ُد ه‬U‫ا ي ُِري‬UU‫ َم‬ :‫الُوا‬UUَ‫فَق‬ ،َ‫ك ْاليَهُود‬ ْ ‫اصْ نَعُوا ُك َّل ش‬ :‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ‫ فَبَلَ َغ َذل‬،‫َي ٍء ِإاَّل النِّكَا َح‬ َ ِ‫َرسُو ُل هللا‬
ِ‫و ِل هللا‬U‫ هُ َر ُس‬Uْ‫ فَتَ َغيَّ َر َوج‬،‫ا ِم ُعه َُّن‬UU‫ فَاَل نُ َج‬،‫ َذا‬U‫ َذا َو َك‬U‫ َك‬ :ُ‫ول‬Uُ‫و َد تَق‬UUُ‫ِإ َّن ْاليَه‬ ،ِ‫ُول هللا‬ َ ‫فَ َجا َء ُأ َس ْي ُد بْنُ ح‬ ،‫خَالَفَنَا فِي ِه‬
َ ‫يَا َرس‬ : ‫ُضي ٍْر َو َعبَّا ُد بْنُ بِ ْش ٍر فَقَااَل‬
ِ َ‫ َل فِي آث‬U‫ فََأرْ َس‬،‫لَّ َم‬U‫ ِه َو َس‬Uْ‫لَّى هللاُ َعلَي‬U‫ص‬
‫ا‬U‫ار ِه َم‬ َ ‫ فَخَ َر َجا فَا ْستَ ْقبَلَهُ َما هَ ِديَّةٌ ِم ْن لَبَ ٍن ِإلَى النَّبِ ِّي‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َحتَّى ظَنَنَّا َأ ْن قَ ْد َو َج َد َعلَ ْي ِه َما‬ َ
»17 ‫ َأ ْن لَ ْم يَ ِج ْد َعلَ ْي ِه َما‬U‫ فَ َع َرفَا‬،‫فَ َسقَاهُ َما‬
Dari Anas mengatakan, “ketika seorang istri haid maka para suami umat Yahudi tidak
makan dan tidak berada dalam satu rumah bersama. Kemudian para sahabat menanyakan
15

16
Sodiqin, A. (2014). REFORMASI AL-QUR’AN DALAM HUKUM PERCERAIAN: Kajian Antropologi
Hukum Islam. Al-Mazaahib: Jurnal Perbandingan Hukum, 2(2), 91.
17
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj an-Naisaburi, 1916, Al-Jami’ as-Shahih Muslim dalam Kitab al-Haid,
Bab Jawàz Gasl al-Èà’iý Ra’s Zaujihà, hadis nomor 302. Turki: Dar ath-Thaba’ah al-‘Amirah.
perihal ini kepada Nabi maka Allah menurunkan firman-Nya (QS. al-Baqarah [2] : 222).
Rasulullah bersabda memberi penjelasan terhadap ayat tersebut (apabila istri kalian sedang
haid) ‘lakukanlah apapun dengan istrimu kecuali bersetubuh’. Sampailah keputusan Nabi ke
telinga orang-orang Yahudi ‘tidaklah ada urusan kami yang dibiarkan oleh laki-laki ini
(Muhammad) kecuali ia menyatakan hal yang berbeda dari (tradisi) kami. Kemudian
datanglah Usaid bin Huyair dan ‘Abbad bin Bisyr mengabarkan ‘wahai Rasulullah,
sesungguhnya orang-orang Yahudi berkata begini dan begitu sehingga kami tidak berkumpul
bersama istri yang sedang haid dalam satu rumah’. Mendengar hal tersebut raut muka
Rasulullah berubah sehingga kami mengira beliau marah pada keduanya. Lantas keduanya
keluar dan tak lama mendatangi Rasulullah kembali sembari menghadiahkan susu kepada
Rasulullah. Kemudian Rasulullah mengajak keduanya minum bersama sehingga keduanya
tahu bahwa Rasulullah tidak marah kepada mereka.”18
Berpijak dari hadis di atas, sebelumnya laki-laki Arab pra-Islam memperlakukan istri
yang haid seperti tradisi Yahudi. Keengganan laki-laki untuk berkumpul dengan perempuan
haid dalam satu rumah berkaitan dengan kisah turunnya Adam dan Hawa ke Bumi.
Berdasarkan kitab Talmud, kisah dibalik keluarnya darah haid adalah salah satu dari 10
hukuman yang diberikan Tuhan kepada Hawa/Eve. Hukuman ini erat kaitannya dengan
original sin terusirnya Adam dan Hawa dari surga. Hawa dalam Perjanjian Lama
digambarkan sebagai tokoh yang penghasut Adam untuk memakan buah khuldi. Dalam kitab
Kejadian 3 : 12 berbunyi:
Manusia itu menjawab: "Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi
dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan."19
Secara tekstual narasi ini menyampaikan seolah yang menyebabkan terusirnya dari surga
adalah kesalahan Hawa. Sebagai akibatnya perempuan dijatuhi tanggungan beban fisiologis
dan moral berat.20
Secara etimologi haid dikenal sebagai niddah (‫ )נִָּד ה‬dalam istilah agama Yahudi
disebutkan dalam Kitab Imamat 15:19.21 Term niddah berasal dari kata ndh yang berarti
18
Hanafi, M. M. (Ed.). (2015). Asbābun-nuzūl: kronologi dan sebab turun wahyu Al-Qur'an. Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur'an, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI.
19

20
Kutukan berupa menstruasi, fase hamil yang berat, rasa sakit ketika pertama kali berhubungan seksual dan
melahirkan, penderitaan dalam mengasuh dan merawat anak, malu atas tubuhnya sendiri, hasrat seksual yang
besar dan kuat tetapi malu untuk menyampaikan, dan lebih menyukai di rumah. 10 hukuman ini dapat dilihat di
Umar, N. (2007). Teologi Menstruasi: Antara Mitologi dan Kitab Suci. Musawa Jurnal Studi Gender dan
Islam, 5(1), 1-20.
21
Teks narasi Imamat 15 : 19
.‫ ָהע ֶָרב‬-‫הַּנֹגֵ ַע ּבָּה יִטְמָ א עַד‬-‫ ְוכָל‬,‫ׁשִ ְבעַת י ָמִ ים ּתִ ְהי ֶה ְבנִּדָ תָ ּה‬--‫ְׂשָרּה‬
ָ ‫ ּדָ ם י ִ ְהי ֶה זֹבָּה ִּבב‬,‫תִ ְהי ֶה זָבָה‬-‫וְאִּׁשָ ה ּכִי‬
Apabila seorang perempuan mengeluarkan lelehan, dan lelehannya itu adalah darah dari auratnya, ia harus tujuh
hari lamanya dalam cemar kainnya, r dan setiap orang yang kena kepadanya, menjadi najis sampai matahari
terpisah dari ketidakmurnian. Akar kata ini terhubung dengan kata ndd yang memiliki arti
membuat jarak.22 Pemisahan seorang perempuan yang haid terjadi dalam ranah publik dan
domestik. Memasuki kuil yang suci dilarang bagi perempuan haid termasuk ritual-ritual
lainnya. Segala benda yang menjadi bahan ritual tidak boleh terkontaminasi dengan
perempuan yang haid terlebih disajikan kepada pemuka Yahudi. Tempat-tempat yang menjadi
bekas duduk atau berbaring menjadi tertular najis dengan batas sampai matahari terbenam.
Sehingga seseorang yang menempati tempat tersebut harus mencuci bajunya. Dalam
hubungan suami istri laki-laki diharamkan mendekati perempuan yang haid apalagi
melakukan hubungan intim.23 Terdapat hukuman karet24 bagi umat Yahudi yang
melanggarnya. Persepsi ketidaksucian dan dosa menciptakan diskriminasi terhadap
perempuan dengan membuatnya diasingkan.
Sebagian masyarakat Arab pra-Islam di Madinah memperlakukan perempuan yang
haid dengan mengadopsi cara umat Yahudi. Al-Wahidi menyebutkan menurut penafsiran
mufasir tradisi ini juga berpedoman pada orang-orang Majusi.25 Tradisi ini membuat
perempuan jahiliyah keluar dari rumahnya bahkan tidur di kandang unta. Mitos-mitos beredar
pada masa itu bahwa perempuan yang haid membawa kesialan yang akan menyebabkan
barang dagangan keluarganya tidak laris. Sehingga untuk makan dan minum bersama
membuat para suami enggan.26 Selain tradisi Yahudi, laki-laki Arab pra-Islam menganut
tradisi dengan tetap menyetubuhi istrinya di kala haid yang mencontoh umat Nasrani. Apabila
perempuan Nasrani yang haid sudah melakukan mikveh27 maka perempuan tersebut telah
suci.28
QS. al-Baqarah [2] : 222 memiliki munasabah atau keterkaitan dengan ayat
sesudahnya. Pada ayat 223, al-Qur’an membicarakan tentang teknis berhubungan badan bagi
pasangan suami istri.29 Latar belakang dibalik turunnya ayat berkaitan dengan arah
mendatangi perempuan ketika berhubungan seksual. Imam As-Suyuthi menyebutkan
setidaknya tiga hal yang menjadi alasan penurunan ayat; penegasan atas pernyataan umat

terbenam.
22
Women and Water: Menstruation in Jewish Life and Law, 23.
23
Women and Water: Menstruation in Jewish Life and Law, 24.
24
Hukuman memutuskan kehidupan jiwa di alam akhirat atas dosa besar yang disengaja.
25
Al-Wahidi an-Naisaburi, ASBAABUN NUZUL: Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat al-Qur'an terj. Moh Syamsi,
2014, Surabaya: Amelia, 110.
26
Balango, M. (2008). Perubahan Sikap Perempuan terhadapMasalah Menstruasi. Jurnal Pelangi Ilmu, 1(1),
128.
27
Ritual pensucian diri dengan mandi di pemandian alami dan mengalir.
28
Balango, M. (2008). Perubahan Sikap Perempuan terhadapMasalah Menstruasi. Jurnal Pelangi Ilmu, 1(1),
129.
29
َ‫ث لَّ ُك ْم ۖ فَْأتُوْ ا َحرْ ثَ ُك ْم اَ ٰنّى ِشْئتُ ْم ۖ َوقَ ِّد ُموْ ا اِل َ ْنفُ ِس ُك ْم ۗ َواتَّقُوا هّٰللا َ َوا ْعلَ ُم ْٓوا اَنَّ ُك ْم ُّم ٰلقُوْ هُ ۗ َوبَ ِّش ِر ْال ُمْؤ ِم ِنيْن‬
ٌ ْ‫ِن َس ۤاُؤ ُك ْم َحر‬
Yahudi bahwa yang mendatangi istri dari belakang maka keturunannya akan juling, merespon
Umar bin Khattab yang merasa bersalah mendatangi istri dari arah belakang, dan perilaku
umat Yahudi yang mendatangi istri dari samping. 30 Respon Nabi terhadap ketiga peristiwa
tersebut dengan menyampaikan QS. al-Baqarah [2] : 223 bahwa perempuan adalah ladang
bagi laki-laki yang bisa dimasuki dari arah mana saja selama itu adalah farji. 31 Relevansi QS.
al-Baqarah [2] : 222 dengan ayat sesudahnya adalah kesamaan tema etika berhubungan
seksual dengan istri. Apabila istri sedang haid maka tidak seharusnya digauli maupun diusir
dari rumah, tetapi ketika telah selesai haid maka boleh untuk digauli. Tata cara yang
diperbolehkan hanyalah melalui farji dari arah manapun.
Model of reality adalah deskripsi budaya yang berkembang ditengah-tengah
masyarakat. Persoalan perempuan haid yang terjadi di Madinah sebelum turunnya QS. al-
Baqarah [2] : 222 merepresentasikan kekeliruan dengan menyingkirkan perempuan dari
rumah. Umat Yahudi dianggap lebih terpelajar sehingga sebagian tradisi mengikuti tata cara
Yahudi. Padahal jika diusut, perkara haid ini dikaitkan pula dengan kesalahan Hawa yang
menjadi alasan impurity. Dari sinilah muncul budaya diskriminasi perempuan haid yang
diserap oleh masyarakat Arab pra-Islam. Barulah kemudian para sahabat Nabi
mempertanyakan hal ini dan sebagai jawaban Allah menyatakan dalam QS. al-Baqarah [2] :
222. Sebaliknya, model for reality didefinisikan sebagai konsep ideal yang ditawarkan
menjadi pedoman bagi komunitas. Dalam hal ini, QS. al-Baqarah [2] : 222 tampil sebagai
konsep ideal bagi komunitas. Tentunya tanpa mengeliminasi nilai universalitas al-Qur’an
sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia yang shalih likulli zaman wa makan.
Dialektika yang terjadi antara budaya dan agama menurut Ali Sodiqin melalui tiga
tahapan proses; adopsi sebagai pengenalan; adaptasi sebagai penyesuaian; integrasi sebagai
hasil akulturasi. Pada ayat ini ketiga tahapan proses terjadi dalam satu ayat. Al-Qur’an
mengenalkan mahid (orang yang haid) sebagai kotoran. Kemudian pada tahap adaptasi
larangan bersetubuh saat istri sedang haid dan hanya boleh mencampurinya setelah suci. Pada
tahap ini worldview universal al-Qur’an yakni tauhid menjadi tolak ukur diterima dan
tidaknya suatu budaya. Terakhir, integrasi antara nilai tauhid yang ditransmisikan oleh nabi
dengan budaya menjadikan pelarangan berhubungan badan saat haid mengembalikan nilai
keadilan bagaikan oase dalam sistem patriarki. Perempuan yang sedang haid tidak boleh
dicampuri namun berhak untuk tetap bersama suaminya sehingga tidak lagi termarjinalisasi. 

30
Imam as-Suyuthi, Asbabun Nuzul, 71-72. Lihat juga, Relasi Seksual Suami-Isteri Dalam Persepektif Al-
Qur’an, 4.
31
Imam as-Suyuthi, Asbabun Nuzul, 72.
2.   Pola Penafsiran Mufasir Terhadap QS. al-Baqarah Ayat 222
Keputusan al-Qur’an dalam mengatur sikap terhadap perempuan haid memperlihatkan
kesepakatan satu suara yang disampaikan para mufasir.
Haid secara etimologi berasal dari kata ‫اض‬
َ ‫ َح‬yang berarti deras, meluap, dan wadah air
mengalir sedangkan mahid adalah bentuk masdar. Mahid dalam al-Qur’an diberi makna adza
sebagai ibarat dari haid dan tempat haid atau waktu haid. Kata adza sendiri memiliki variasi
makna diantaranya penyakit, ketidaknyamanan, .
Menarik diri dari tempat keluarnya haid perempuan dalam QS. Al-Baqarah [2] : 222
adalah tidak melakukan hubungan badan. Seperti yang disampaikan Rasulullah jika perintah
i’tizal adalah tidak menggauli istri yang haid bukan dengan mengusirnya dari rumah
sebagaimana yang dikeluhkan seorang laki-laki Arab ketika hanya memaknai secara dzahir
saja. Aduan yang disampaikan laki-laki tersebut disebabkan cuaca yang dingin sedang
pakaian hanya sedikit tetapi harus berbagi dengan perempuan haid yang berada diluar rumah.
Kisah ini terekam dalam kitab Mafatih al-Ghaib karya Imam ar-Razi.32
Larangan menyetubuhi ini tidak termasuk larangan untuk bersenang-senang bagi
suami istri dengan batasan tidak boleh melebihi antara pusar dan lutut perempuan. Meski pada
bagian batasan ini terdapat khilaf atau perbedaan.33 Secara garis besar mahid diartikan sebagai
tempat haid atau waktu haid. Perbedaan ini berdampak pada hukum yang diberlakukan sesuai
maknanya. Jika yang dimaksud tempat haid maka yang dilarang adalah jimak saja tidak
dengan bersenang-senang diatas pusar dan dibawah lutut. Berbeda lagi jika yang dimaksud
waktu haid maka tidak diperbolehkan berbuat senang-senang selama istri sedang haid.
Dalam karya monumentalnya, Imam ar-Razi menyebutkan secara terperinci perbedaan
darah haid dan istihadhah. Darah istihadhah keluar diluar waktu haid dan sumbernya bukan
dari rahim tetapi dari pembuluh darah yang pecah di mulut rahim.34 Klasifikasi darah yang
keluar dari kemaluan perempuan secara otomatis menjelaskan ciri-ciri darah haid berdasarkan
warnanya dan lama waktu haid dengan didukung dalil-dalil hadis maupun hujjah imam
mazhab.
َّ‫ َوال تَ ْق َربُوهُن‬sebagai penegasan ketidakbolehan berjimak sebagaimana seorang laki-laki
akan mendekatkan diri apabila hendak menyetubuhi perempuan.35 Apabila ‫ا َء‬A‫ا ْعتَ ِزلُوا النِّس‬A‫ َف‬tidak
boleh menyetubuhi sedangkan َّ‫وهُن‬AAُ‫ َوال تَ ْق َرب‬bermakna dilarang mendekati tempat keluarnya
ْ ‫ َحتَّى يَ ْط ُه‬dapat dibaca dengan ‫ ه‬yang tasydid, keduanya memiliki dampak
haid. Meski َ‫رن‬AA
32
Mafatih al-Ghaib, 414.
33
Mafatih al-Ghaib, 415.
34
Mafatih al-Ghaib, 416.
35
Mafatih al-Ghaib, 418.
berbeda terhadap hukumnya. ‫ َي ْط ُه ْرن‬menjadikan perempuan dapat digauli ketika telah selesai
haid. Sedangkan ‫ يتطهرن‬memperbolehkan persetubuhan hanya jika perempuan telah selesai
haid dan mandi besar. َّ‫ فَِإذا تَطَهَّ ْرنَ فَْأتُوهُن‬maka apabila perempuan yang haid telah suci dalam hal
ini dengan mandi besar maka boleh untuk dicampuri.
ُ ‫ْأتُوهُنَّ ِمنْ َح ْي‬Aَ‫ ف‬mendatangi istri pada tempat yang diperintahkan oleh Allah
‫ َّل‬A‫ َر ُك ُم ال‬A‫ث َأ َم‬
dengan kata lain tempat yang halal yakni farji. َ‫ ِإنَّ هَّللا َ يُ ِح ُّب التَّ َّوابِينَ َويُ ِح ُّب ا ْل ُمتَطَ ِّه ِرين‬secara zahir ayat
ini menyebutkan bahwa Allah menyukai memperbanyak taubat. Kata taubat erat kaitannya
dengan orang yang berdosa sehingga apabila melakukan perbuatan dosa tidak ada yang lebih
baik selain bertaubat. Dan Allah menyukai orang yang bersih terbebas dari aib-aib, hal-hal
buruk, dan dosa-dosa sehingga suci secara ruh.36

Melihat titik tekan penafsiran mufasir selama ini mulai dari penafsiran klasik
kemudian pertengahan hingga kontemporer. Pada penjabaran mufassir mufassir populer, topik
utama dalam penafsiran QS. Al-Baqarah ayat 222 secara umum berpusat fiqh-sentris yaitu
pada uraian hal-hal apa saja yang  boleh  dan  tidak  dibolehkan  saat  menstruasi.  Ibnu 
Katsir  misalnya, ia  berfokus pada  penjelasan  mengenai  kebolehan  hubungan  seksual 
bersama  istri  kecuali  pada vagina. Al-Mahalli  dan  As-Suyuthi  berfokus  dalam 
menerangkan keharaman hubungan seks pada waktu haid dan pada vagina. At-Thabari 
berfokus  kepada  kebolehan  pergaulan  suami  istri  saat  istri haid. Selain fiqh, analisis
penafsiran juga lebih banyak menggunakan tinjauan hadis. Sedangkan penafsiran mengenai
haid dari sudut pandang sosial masih belum ditemukan. Padahal ketika ditinjau dengan
pendekatan antropologis maka bentuk pelarangan berhubungan dengan istri akan lebih banyak
ditemukan makna.

Dengan demikian, menjadi penting untuk memahami mengapa al-Qur’an menjabarkan


tentang haid sebagai salah satu hak reproduksi perempuan. Padahal haid sebagai bagian dari
hak reproduksi memiliki kewenangan atas fasilitas bagi organ reproduksinya karena haid
bukan hanya perkara darah yang luruh. Semasa berlangsungnya haid tidak jarang perempuan
merasa tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri karena kram perut, pusing, dan perubahan
mood yang drastis disebabkan hormon.
36
Mafatih al-Ghaib, 420.
b. sjhs

Dalam melacak kronologi sejarah yang terjadi ketika al-Qur’an turun dapat
menggunakan dua cara, asbabun nuzul mikro dan asbabun nuzul makro. Secara tradisi
keilmuan Islam, asbabun nuzul mikro lebih dahulu diperkenalkan. Istilah mikro yang
dimaksud dalam hal ini ialah sebab turunnya ayat yang diriwayatkan secara langsung oleh
sahabat.
Adapun asbabun nuzul makro merupakan konteks historis yang lebih luas daripada riwayat.
Situasi dan kondisi yang terjadi pada abad ke-7 masa diturunkannya al-Qur’an dapat menjadi
petunjuk dalam menafsirkan al-Qur’an sebab tidak semua ayat memiliki asbabun nuzul yang
diriwayatkan. Hal ini diamini oleh Fazlur Rahman dalam bukunya Islam and Modernity, al-
Qur’an merespon situasi yang terjadi pada masa diturunkannya yang terdiri dari nilai-nilai
norma, pranata sosial, dan agama. Konteks historis ini perlu digali mulai dari situasi makro
Arab abad VII.37

37
Rahman, F. (1984). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition (Vol. 15). University of
Chicago Press,5- 6.

Anda mungkin juga menyukai